Tuesday, January 31, 2006

Bye Bye Kost...


(20 Juli 2005 – 30 January 2006)
Enam bulan kamar kost menjadi dunia senyap yang semula mengerikan dan kemudian berbah menjadi indah, karena improvisasi atas sunyi dan keperihan memanjang ketika hati menjadi serpihan luluh lantak oleh bengis penghianatan. enam bulan menjadi warna kepasrahan dan kebangrutan setelah sepuluh bulan yang melumpuhkan.

Kamar kost Bu Parmi menjadi singgasana, dilantai dua dan berjejer berdua saja dengan kamar mandi diluar kamar. Ia menjadi singgasana bagi sebuah hati yagn dihancurkan lalu ditelantarkan untuk kemudian dipungut dan dilemparkan legi kejurang kesengsaraan bathin yang lebih dalam. Dan jadi kebisaan sesudahnya.

Kini hidup bagaikan siput tanpa cangkangnya, remuk terinjak kaki sang durjana, terjepit diantara sederet karang kewajiban, terikat dengan tali temali kawat kepatutan. Kenangan kamar kost berisi begitu banyak cerita tentang sunyi kebahagiaan ditengah hamparan kemunafikan. Sunyinya melahirkan filsafat filsafat bijak, perenungan panjang atas makna hidup yang tak bisa berhenti untuk dipertanyakan. Didindingnya tercatata peperangan demi peperangan antara hati dan logika sepanjang masa yang menenggelamkan kesendirian.

Akan kurindukan indahnya hujan di jendela ketika matahari ternggelam di peraduan, akan kurindukan percakapan percakapan panjang yang menghiasi malam malam yang hitam. Dan pasti kukenangkan betapa diri pernah merasa menjadi pemenang karena merasa sanggup menaklukan ego hingga menyerah diantara ikhlas dan mengalah sambil berharap nurani masih tersisa di jiwa yang durjana; sang penganiaya.

Sekarang mohon diri, kaki melangkah meninggalkan catatan enam bulan menjauhi pintu untuk menuju pintu lain lagi yang penuh berisi iblis. Entah untuk berapa lama lagi menjadi nomanden, mengapung diantara keraguan dan sakit hati.

Bye bye kost….terimakasih telah membantuku tetap hidup dan tetap sebagai manusia…


Simatupang, 060131



Jika engkau harus pergi

Jika memang engkau harus pergi wahai secuil hatiku, berjalanlah menjauh dengan kepala tegak dan dagu terangkat pasti menuju tempat teduh yagn kau tuju.

Engkaupun tahu, aku tengah berada di tumpukan badai yang mengamuk bertubi tubi tanpa engkau sanggup menyentuhnya. Badai ini telah dirancang khusus buatku, buat menceraikan damai dan harapan jiwaku. Aku melihatmu, berdiri menggigil diluar lingkaran api yang mengurungku.

Jika memang engkau harus pergi, tolong jangan lupakan jabat tanganku untuk malaikat kecil yang selalu menyertaimu. Nanti bagilah cerita pencerahan tentang makna kepasrahan, ceritakan bahwa dulu pernah ada seorang manusia yang berjuang menjadikan diri manusia dengan bentuk yang tak karuan karena benturan berulang ulang. Ceritakanlah tentang rumah indah yang sempat dibangunya, dengan atap, dinding dan lantai terbuat dari kesementaraan kabut.

Jikapun engkau harus pergi, dipenjara apiku bau nafasmu tak pernah surut, kuhirup menjadi pemandu langkah sampai badai ini usai, atau setidaknya akan kusimpan jadi mantra penyejuk kalbu yang hangus merana.

Jika engkau harus pergi, engkaupun tahu telah kupilih jalan cadas ini, menggendong tanggung jawab di ransel kodrat sebagai manusia. Ya, hanya sebagai manusia yang bodoh dan hina dimata Sang Pencipta.

Jika memang engkau harus pergi, biarkan ruhku selalu mengiringimu dan doa dari isi semesta memohon agar dijaga engkau dari segala bencana yang menghancurkan nilai.

Gempol 060131

Dunia Baru

Sebuah hari baru menyeret diri menjadi satu satunya bagian dari dunia yang baru termasuki. Asing. Sekeliling hanya asing, bahkan dengan perwujudan diri sendiripun begitu asing. Inikah bikini bottom? Inikah dunia dasar laut yang senyap tanpa suara? Ya, senyap tanpa suara, hanya ribuan peristiwa terkenang dikepala.

Jiwa yang kerdil terus menengadah, mengharap ego untuk melipat lutut dan bersideku menanti dengan pasrah apa yang bakal dibawa oelh masadepan yang akan datang. Pengharapan berubah menjadi kemewahan yang memilukan dengan janji kekecewaan yagn mengmbrio pada keyakinan gamang.

Iblis telah menjauhkan diri dari segala yang tercintai, bahkan merampas semua yang pernah tercipta, tinggal tersisa duka lara memanjang tanda kehidupan terus berjalan. Terali kokoh telah dibangun dibalik kesejatian fikiran mengurung petaka sebagai hadiah yang datang bertubi tubi tanpa ampun apalagi belas kasihan. Sebegitu perkasanyakah keculasan memperdayai nurani? Atau diri yang tak tahu cara mengaduh saja jadi begini?

Dan maka, diantara lumpur yang menghambur membutakan pandangan dimana hanya gelap dan tanpa mata angina satupun berjalan diam diam. Meninggalkan stasiun stasiun pemberhentian kenangan menyusuri track track baru yang terkadang mengharuskan diri berhenti sejenak untuk mengukur letih yang membandul dikedua kaki. Tak ada peluh juga keluh yang pantas diutarakan. Semua berjalan, berjalan dengan bimbang.

Ya, hidup hanya berjalan, pelan pelan dan kadang diam, mencari kematian dimana segala cerita kepahlawanan ataupun keculasan akan berujung. Sebuah perjalanan singkat saja, dari ujung gelap keujung gelap lainya yang harus melewati terang benderang bernama; adat dunia!

Gempol, 060131

Monday, January 30, 2006

Langkah kaki

Dikehampaan udara kaki berpijak, kepada kabut berwarna kelabu langkah terayun dimana mata angin adalah garis horizon yang melingkar mengurung. Inilah kegamangan yang harus berjalan dan dianggap sebagai kehiduapan peradaban. Mimpi, kenangan dan harapan lebur dalam debu yang memusingkan asa.

Malaikat datang dari gelap, yang memang hanya ada gelap bermil mil luasnya. Disamudera yang bisu sebisu cangkir berisi coklat panas diri bergumul berkelahi dengan badai, badai bisu tanpa suara yang menenggelamkan jiwa dalam sesak, kalbu kehilangan oksigenya sementara energi harus terus diperas untuk melawan, melawan dan melawan. Terus melawan. Melawan ego sendiri yang terkoyak dan tergulung ombak.

Pertempuran ini begitu sunyi sampai lukapun tak lagi terasa, kecuali kesadaran yang timbul tenggelam antara mati dan entah hidup, antara mimpi dan entah sekedar sisa harapan yang tak lagi punya tempat teduhan.

Aku tahu,
Dikehidupan terang benderang dimana matahari datang dan pergi sesuai jadwal, kematianku telah begitu dipersiapkan dengan upacara dan bumbu kesedihan. Kehilangan menjadi judul dari seremoni, dimana puing dan patahan patahan jiwa, sisa perkelahian akan dikumpulkan dan jadi kenangan abadi, sekedar dramatisasi kehidupan yang pernah singgah dengan warnanya yang mencolok penuh kesan. Ya, dia akan mencatat sebuah kematian ketika separuh hati hanyut, lenyap bersama badai yang menenggelamkanya suatu ketika…


Duren Tiga, 060129 – 2128hrs

Friday, January 27, 2006

Tunggu aku dipantai pengharapan

(Kepada seseorang yang mulai kehilangan)
Tangan mungilmu menggapai gapai, jeritmu terdengar memilukan menyaksikan diri tercabik oleh ribuan iblis dalam badai gelombang yang menenggelamkan. Aku sibuk meladeni, perkelahian sejuta musuh dalam ingatan, hingga engkau kehilangan lengan dan dadaku yang biasa menghangatkan. Diantara gemuruh perangku, kulihat tubuh mungilmu menggigil ditepi pantai, berteriak berharap seseorang akan datang mengulurkan tali untukku lepas dari kepungan taufan.

Aku akan terus berkelahi, aku akan terus meninju dan menendang musuhku yang datang berombongan tak bosan bosan. Di perairan ini pula dulu kau temukan aku, terengah kelelahan sesudah perkelahian pertama yang panjang, lalu kau balut semua luka lukaku, kau obati permukaan kulit hatiku yang membusuk, merawatku bak sebutir telur yang rapuh. Lalu aku jadi kuat, mampu berdiri dan melihat setelah keyakinanku koyak, bahwa aku hanya akan berhadapan dengan kematian, kegilaan ataupun terali penjara. Kau menjadi pupuk bagi sebatang hidupku yang teracuni penghianatan.

“ Will you be back?”
Tanyamu berdesir bersama miliaran pasir yang berkelip kelip disekitar pipimu yang basah oleh air mata. Tatapan mata beningmu memanduku, untuk tetap optimis bahwa iblis akan terkalahkan dan badai akan berlalu pergi dari kehidupan, dimana permukaan akan kembali tenang. Berharaplah dan terus berharap, aku akan muncul dari puing puing peperanganku suatu hari nanti, mungkin dengan kaki pincang atau dengan dada penuh lobang, yang pasti kubawakan padamu cerita seribu malam dalam pertempuranku.

Tunggu aku dipantai pengharapan, wahai malaikat bayanganku, sampai badai mereda dan suara tak lagi menggemuruh meremukkan gendang telinga. Sampai riak ombak mendamparkan jasadku, bahkan jika aku tak pernah lagi kembali mencium bumi, tenggelam dalam samudera berbadai yang abadi….

Tunggu aku, sebab hanya itu semangatku…


Burned cubicle 060127

Thursday, January 26, 2006

Psikotis

Apakah orang yang telah mengalami peristiwa mengerikan akan dengan mudah pulih, apakah bara dalam sekam itu sungguh-sungguh padam? Apakah individu tersebut sudah siap untuk berinteraksi seperti dahulu lagi, bebas dari kebencian, sakit hati dan rasa takut berlebihan.

Gerakan rekonsiliasi telah menyatukan kembali berbagai masyarakat di kancah peradaban dunia. Namun, apakah telah menyatukan keperibadian sesorang yang telah tergores bahkan terpecah oleh luka yang mendalam? Peristiwa traumatis jika tidak disembuhkan akan memberikan dampak yang mendalam, yang akan menjadi bayang yang selalu mengikuti orang yang mengalaminya. Bayang yang mengikuti tersebut akan merusak hubungan sosialnya, relasi dengan keluarga, rekan kerja bahkan dengan dirinya sendiri

Rekonsiliasi pihak yang berkonflik perlu disertai rekonsiliasi batin. Rekonsiliasi yang bersifat sangat personal, yang terjadi dalam batin individu. Rekonsiliasi batin ini dibutuhkan agar individu yang telah melalui perjalanan pahit, menjadi pribadi yang utuh dan sehat serta siap kembali ke keluarga dan masyarakatnya.

Otherwise, dia akan menjalani sisa hidupnya dalam kepincangan psikis, cacat mental secara permanen dan menjadi ganjil dilingkungan sosialnya, bahkan menjadi psikotis, orang gila yang tak diurus pemerintah mengembara dijalan jalan dengan dunia yang hilang dibalik kepalanya.

Kenapa orang bisa menjadi gila, kehilangan akal dan ingatanya? Symptom kegilaan pasti ada gejalanya seperti scizofrenia, insomnia maupun hysteria. Tetapi pada tahap ‘gejala’ itupun sebenarnya jiwa sudah terganggu, masuk pada stadium awal gangguan kejiwaan yang lebih umum disebut gila atau lebih lazim dibilang ‘stress’, sinting padahal dia hanya kehilangan fikiran rasionalitasnya, kehilangan logika.

Orang yang gila memiliki dunianya sendiri, dengan halusinasinya sendiri, tidak peduli dengan keadaan sekitar dan kehilangan respon sosial. Awal dari kegilaan semacam ini adalah tekanan bathin yang luar biasa untuk ditanggungkan, perasaan perasaan negatif yang datang menghimpit di kehidupan nyata, kehidupan peradaban dunia.

Orang orang yang berjiwa lemah, yang merasa haus akan perlindungan dan maupun akar kepribadian sangat rentan terhadap tekanan sejenis ini. Bisa juga karena tekanan yang datang tiba tiba, seperti tak tertanggungkan. Lepas dari kacamata patologi, idealnya kehidupan jiwa, kehidupan bathin memiliki fondasi ‘iman’ atau keyakinan terhadap kekuasaan Tuhan, bahwa semua yang terjadi dimuka bumi, adalah kehendaknya semata.

Tekanan bathin hanya datang ketika ketidak adilan, ketidak berdayaan mencari penggugatan pada diri sendiri, tidak bisa berhadapan dengan kenyataan karena akal yang terlalu jeli melihat ketidak mungkinan yang ternyata menjadi kenyataan; menjadi mungkin. Pelepasan diri dari tekanan yang mematikan logika itu bisa menjadi perkelahian diam diam yang sangat menyakitkan.

Psikotis, merekalah orang orang malang yang tak sanggup lagi menolong dirinya sendiri, dan tak ada satupun tangan yang peduli untuk sekedar meringankan himpitan bathinya. Barangkali dia terbebas dari siksaan beban bathin, dan yang pasti tidak menyadari, banyak mata sehat justru tak melihatnya sebagai manusia, sebagai sesama.

Semoga rahmat Tuhan tercurah kepada orang orang yang menderita itu.

Warung Nabiel, ketika pintu dunia kegilaan mulai terlihat terbuka, 060126

Ketika tak lagi sanggup berdiri

Ketika kaki tak kuat lagi menopang untuk berdiri, maka waktunya membiarkan lutut mencium tanah bumi. Membiarkan hati rebah ketanah, tinggal berharap dan hanya berharap. Diam, biarkan sepi mengelilingi sehingga hanya isak tangis paling bisu yang terjadi. Rubuhkan kesombongan diri, tunduk takluk pada keagungan sang pemilik semesta kehidupan; Gustialah (baca: Gusti Allah).

Membiarkan sunyi mengurung bathin, justru mendatangkan jutaan iblis yang berpesta pora mentertawakan dan menyiksa. Ataukah hanya diri yang terlalu menganggap kesempurnaan menjadi hak milik hingga beban menjadi begitu berat terasa?

Jalan kedepan yang gelap dan tak tertebak tetap jadi tempuhan, kaki yang kelelahan harus segera dibiasakan untuk menerima rute perjalanan, meskipun harus melewati lumpur dan bebatuan, bahkan kadang tenggelam dikedalaman kubangan air, mendaki dan menuruni lembah sendirian. Itulah kehidupan, kata teman yang hanya tahu penderitaan dari judulnya, bukan dari penghayatan.

Ketika kaki tak sanggup lagi berdiri, kalbu mengadu meminta dikasihani. Air mata tak mungkin kering karena dia ada sebagai lambang kelukaan yang tak terlihat mata, bukan sekedar cairan pencuci pipi. “Menerima, menerima, menerima. Ikhlas, ikhlas..ikhlas…” nurani terus memompakan sloganya. Mengharap hati sudi mendengarkanya. Sedangkan logika mencak mencak merasa dipecundangi oleh orang yang justru dilindungi.

Dan ketika lutut tak lagi sanggup menyangga beban, biarkan diri duduk bersimpuh, menikmati keberagaman keperihan yang datang bertubi tubi dalam sanubari. Kiranya diri tak sekuat yang disangka, kiranya hati tak seperkasa yang diduga.

Lalu biarkan semua peristiwa tertayang, semua catatan perjalanan terkuakkan, bahwa ini hanya perjalanan biasa menuju kematian, bahwa Tuhan yang memberikan semuanya kepada diri termasuk kebahagiaan yang pernah ada juga ketika kebahagiaan direnggutkan. Bahwa kehilangan inipun miliknya jua. Sungguh diri tak berarti apa apa.

Duh Gustialah,
Ampunkanlah hamba, atas kesombongan diri dan ego yang menjadi pisau tajam penyiksa diri. Juga ampunkanlah dia laki laki yang menyepelekanku, menganggapku hanya debu semata. Ampunilah ketidak mengertianya, dan berikanlah rahmat dan karuniamu bagi kemuliaan hidupnya. Dan kepada perempuan yang mendustai, juga menganggapku hanya kertas pembersih lubang anusnya, ampunilah ketidak mengertianya tentang tenggang rasa, berkatilah dia dengan rasa kemanusiaan yang wajar dan muliakanlah kehidupanya. Jauhkanlah mereka berdua dari kesengsaraan dan penderitaan bathin dunia, ya Gustialah…

Ya Gustialah,
Ampunkanlah kami, para pendosa yang kotor dengan segala kepentingan diri, menganggap Engkau ada hanya untuk mengawasi….
Ceger on an empty morning, 060126.

Tuesday, January 24, 2006

Kupu Kupu

Kupu kupu yang tampak rapuh dan lemah, bisu tanpa suara terbang mengembara menentang ultra violet sang matahari yang membutakan. Warna kupu kupu yang kaya dengan warna dunia menyimpan kesejatian jika dilihat dengan infra merah, lebih indah dan kaya dari apapun dimuka bumi.

Otot yang menggerakkan sayapnya dengan dinamis itu, adalah otot terkuat didunia bagi kelompok serangga. Kupu kupu mengembara dari sunyi ke sunyi, berenang menikmati hangat matahari. Sekedar hidup, sekali berarti lalu mati.

Kupu kupu adalah guru bagi kesahajaan sikap. Guru bagi tauladan keindahan serta anti kesertamertaan. Dia melewati proses panjang metamorfosa, melewati banyak keprihatinan sebelum dipunggungnya tumbuh sayap dan sanggup mengepak menari, melaju, mundur ataupun bermanuver. Terkadang hidup memperlakukanya dengan bengis, karena dia rapuh dibalik indahnya. Kebengisan hidup dilukiskanya pada sayapnya yang merobek, compang camping mengaburkan bentuk. Tapi dia tetap terbang diantar ranting dan batang batang rumput yang menganiayanya.

Dan jika saatnya tiba, sang kupu kupu sampai diujung pengembaraanya, mati terkapar diantara tanah berdebu ataupun diantara tumpukan daun daun yang usai bertugas bagi pohon kehidupan, warnanya tak pudar, indahnya tak luntur. Dia hanya tidur yang abadi, sambil tersenyum kepada siapapun yang melintasi.

Mute cubicle, 060124

Monday, January 23, 2006

Simalakama


Tak tahu kepada siapa lagi diri harus mengadu, setelah tanpa jemu memohon kepada Tuhan untuk membantu, menguatkan hati dan mambangun logika kembali setelah porak poranda berkali kali. Kali ini juga, kehancuran begitu terasa pedihnya. Diri telah kehilangan segala yang patut untuk dipertahankan menjadi lumpur yang mengabur diterjang kazaliman sesama umat manusia. Luluh lantak bagaikan cuma cerita duka.

Diri tengah dihancurkan tanpa penyesalan, diri yang terlanjur mengenakan jubah malaikat yang compang comping oleh penghianatan. Telah dipenuhi segala (?) yang semesetinya dipenuhi dan telah dilewati segala yang tidak selayaknya dilewati sebagai lelaki, atau bahkan sebagai manusia. Apakah diri terlalu sempurnanya? Tentu tidak, kecuali menempatkan diri sebagai manusia lengakap dengan perhitungan nurani dan kecacatan kepribadianya.

Inipun hanya satu dari sekian banyak persembahan dari setan, bayi bayi unggulan iblis yang dititipkan dikepala dan dibiakkan ketika ego menjadi puing, debu tanah merah belaka. Pernah juga singgah ikhlas dan menyerah ketika diri letih mengharap ampun, ketika hati hancur diterjang ego yang menjulang menutup aib. Semua bergedebaman semaunya berulang ulang, menimbulkan asap barnama sesal, pekat menyesakkan isi rongga kepala, panas membakar dada dan perih menikam punggung. Ternyata hidup tak sesederhana fikiran, ternyata fikiran tak serumit kejadian. Dan harus rela menerima bahwa bumi berubah jadi neraka penyiksaan oleh jutaan beban yang hanya tertampung dalam wadah tipis bernama kulit ari.

Ketika ketidak berdayaan menjadi raja, maka fisik tak lagi bermnakna. Kehidupan riuh hanya dalam angan angan, dalam fikiran berkecamuk mengamuk dan meraung raung. Sampai letih, sampai suara habis dan sampai energi tak tersisa setetespun juga di jiwa. Lalu berkaca melihat diri adalah manusia biasa, bukanlah Nabi apalagi Malaikat. Diri hanya menusia yang menjalani kehidupan dengna ketidak sempurnaan dan terus memaksakan diri untuk menjadi sempurna.

Dengan mata kabur dan tubuh gemetaran, nurani meriut oleh kehendak, menjadi manusia sesejatinya atau menjadi manusia egois. Manusia sejati akan mengumpankan diri untuk kebaikan kehidupan, mengesampingakan diri sendiri tanpa bentuk rasa. Membela rasa yang dikehendaki berarti merelakan satu penggal kehidupan hancur tanpa bentuk dengan miliaran pertanyaan tentang apa yang akan terjadi dimasa depan.

Dan masa depan tetap jadi misteri, apakah diri tetap jadi tumbal atau menjadi pahlawan bagi kehidupan, paling tidak dalam ukuran nurani. Pesimisme menjawab sinis atas setiap tawaran entah dari hati maupun logika, mengumbang ambingkan nurani dalam siksa simalakama...

Entahlah…

Empty cubicle, January 23, 2006 – 1157hrs

Thursday, January 19, 2006

Air mata

Air mata, adalah getah dari ranting jiwa yang patah oleh pristiwa, sempal karena dicabik paksa, terluka. Banjir bandang, tertahan oleh selaput tipis yang melingkupi kornea dan juga aturan kepatutan menempatkan diri. Air mata terus mendesak menuntut pembebasanya, sedangkan telinga hati hanya punya suara arus nafas dan raungan panjang kesakitan didalam kebisuan. Tak ada yang bisa dilakukan kecuali mengutuk kenyataan, menyaksikan dendam berpesta pora mengobral birahinya, untuk berkembang biak dan beranak pinak, menjadi mutan dijiwa.

Tangis kepedihan adalah manivestasi dari pengebirian rasa ikhlas dari bathin yang dalam. Dia menterjemahkan ribuan pisau silet yang berterbangan mengamuk dan menyambar dinding dinding ego, ketika badai bersimaharaja lela dalam hati. Sangat sunyi terasa dalam kehidupan bathin, sendirian gemetaran menentang segala yang datang menyerang. Menangis adalah perlawanan yang maha diam, maha damai karena tidak menimbulkan dampak sakit kepada individu lain, kecuali simpati barangkali. A shoulder to cry on – barangkali secara impulsif dianggap yang paling tepat sebagai pendampingan, penguatan langkah kaki yang goyah bahkan berhenti linglung. Dan, a shoulder to cry on tetaplah a shoulder, sebuah organ yang berdiri sendiri tanpa berafiliasi dengan dunia jiwa.

Air mata melukiskan kepedihan yang maha dalam, penderitaan bathin yang maha hebat, berputar berpendaran tanpa format interval yang baku, semau gue! Dia bisa datang ketika kita sedang berjalan, ketika kita sedang berbicara bahkan ketika raga sedang tertidur. Inilah penjajahan yang sempurna oleh iblis, yang menyebabkan penderitaan bagi hati. Penderitaan, ya zat mengerikan yang hanya ada dalam alam fikiran dan menggerogoti hampir semua aspek penyubur berlangsungnya kehidupan duniawi. Terjajah oleh pengalaman tentang kezaliman orang lain, dan kerasnya pemberontakan yang dilakukan logika melahirkan penderitaan yang tak terlihat oleh siapapun, dan tak terbagi dengan siapapun, menjadi hak kepemilikan pribadi yang mutlak.

Menangis, menjabarkan ekspresi mengasihani diri yang merasa tidak layak untuk menerima penderitaan, ketika semua upaya banding dan pembelaan telah patah oleh kenyataan yang harus ditelan mentah. Inilah konskwensi dari pilihan diri untuk menjadi manusia yang berusaha menempatkan diri sebagai manusia sebagai kewajiban, seperti telah disepakati dulu ketika kita lahir telanjang dari rahim bunda. Penistaan bathiniahlah yang menjadi pangkal dari segala bentuk penderitaan yang terjadi. Nurani memprotes tanpa perlawanan, menjalaninya seolah akhir dari kehidupan.

Teman hati yang datang dari intisari simpati, mengulurkan bahu dan tangan tanda peduli, menyaksikan diri berkelahi dan menghitung setiap gores luka yang ditimbulkan, dan tetap menyemangati untuk sekedar bertahan, dan berharap badai kan reda, segera. Menjadi suara pemandu, ketika langkah tersuruk dikegelapan mata hati….


Blankspot cubicle, January 18, 2006


Monday, January 16, 2006

@#$$#$%^&^%

Menabur benih masa depan diantara hamparan puing kebanggaan, meyakini keyakinan bahwa manusia memiliki perasaan dan hati untuk bertenggang rasa, memiliki nurani untuk sekedar menempatkan diri menjadi manusia. Maka perjalanan menjemput jubah malaikat yang lama tertanggalkan menumpang harapan dan keikhlasan sebagai kendaraan.

Didasar lumpur aib tanganmu menggapai meminta simpati, memohon agar kesempatan datang lagi. Bahwa tragedy bermakna sebagai pembelajaran atas sikap salah maupun kekhilafan. Dari jauh telah kukemas satu paket rekonsiliasi dengan penyadaran bahwa diri memang layak menerima apa yang telah sepuluh bulang menghacurkan kepribadian dan memincangkan langkah bathin. Luka yang meradang perlahan kukesampingkan dan berharap kesadaranmu datang sebagai perban.

Lalu, dengan tali hati kugendong kaki lumpuhmu, membawamu keluar dari kubangan lumnpur penuh lintah mengerikan. Dan dengan tawa kau tikamkan belati karatan dipunggungku, tepat pada bekas luka yang kau hadiahkan sepuluh bulan lalu. Aku limbung, mataku buta dan jubah malaikatku compang camping oleh tanganmu yang berlumuran nista.

Aku pikir hati telah kebal sakit setelah kau hancurkan, aku pikir bathin telah imun dari luka setelah kau koyakkan, aku pikir nurani akan tetap berdiri tegak sewaktu kepercayaan kau khianati, ternyata aku keliru.

Kamu lebih keji dari iblis, lebih jahat dari segala bentuk setan. Hatimu buta, perasaanmu mati dan kau hanya tahu memaki. Aku tak kenal dirimu lagi, yang telah kujaga dan kucintai serasa hampir seluruh hidupku, yang kupertaruhkan keperihan dendam hati yang panjang berharap aku dapat imbalan akan penghargaan dan kasihanmu.

Ribuan kesalahan kau lakukan dengan sengaja, berharap aku akan hancur dan binasa. Tapi kamu akan kecewa, sebab aku akan tetap berdiri dan berharap suatu saat kau kembali menjadi manusia…


Ceger, 16 Januari 2005 - ketika diri sekarat dipecundangi iblis.


Wednesday, January 11, 2006

81.3 Satpam Indonesia!

(Tulisan ini dibuat sebagai renungan HUT Satpam ke XXV tanggal 30 Desember 2005)

Dunia persatpaman Indonesia maju sedemikian pesatnya, berkembang ibarat jamur dimusim hujan. Orgnaisasi organisasi bisnis perpanjangan tangan POLRI itu kini tanpa kita sadari menjadi komponen professional yang bukan main main. BUJPP (Bada Usaha Jasa Penyelamatan dan Pengamanan) barupun bermunculan disana sini, membawa genre sendiri sendiri dengan core bisnis sama: Satuan Pengaman!

Pandangan bahwa profesi satpam adalah pekerjaan kelas kedua, kelompok kelas kedua dalam sebuah komunitas pekerjaan berkelompok baik yang datang dari luar maupun individu pak satpam sendri sering kali membuahkan sikap skeptis. Pandangan seperti itu samasekali keliru, profesi satpam adalah mulia dan professional. Memutuskan diri menjadi satpam (meskipun banyak juga karena tuntutan keadaan), adalah memutuskan diri untuk bersedia menyediakan diri sebagai tameng hidup bagi orang lain. Keputusan itu dilandasi dengan sikap mengabdi untuk keluarga, untuk Tuhan. Kemuliaanya bahkan jauh dari apa yang bisa terdeskripsikan dalam tulisan ini.

Tugas pokok satpam, TURJAWALI (Atur, Jaga, Kawal dan Patroli), telah beranak pinak dan berkembang meninggalkan paradigma satpam yang berseragam lusuh, penampilan kusut, wajah sangar, kuat begadang dan doyan ngopi. Pengelolaan satpam bahkan telah menyentuh bidang bidang yang lebih serius, dari penanganan white collar crime, close protection, business intelligence, investigation, risk management, due diligence research, security measurement assessment, security audit, security management, crisis management plan, information management dan sedabrek lagi kegiatan pengamanan tertutup dan terbuka yang intinya sama; cegah dan lawan kejahatan, kenali dan antisipasi ancaman!

Kemajuan persatpaman juga diimbangi dengan persaingan kualitas pelayanan jasa dari BUJPP. Angin baik bagi profesi satpam karena persaingan kualitas itu membawa dampak kepada fasilitas pengembangan diri, pengembangan karir dibidang pengamanan, yang at the end of the day, menciptakan organisasi professional perusahaan penyedia jasa pengamanan yang matang karena pengalaman, bukan karbitan.

Tugas sebagai seorang satpam bukanlah tugas main mainan, bukan pekerjaan kelas dua, pekerjaan yang dijalani karena keadaan. Tugas sebagai satpam adalah profesi yang membanggakan dari sisi kemanusiaan, yang mengandung resiko fifty fifty (fifty selamat fifty celaka), dan itu bentuk pengabdian terhadap hidup yang bukan sembarangan. Sunggguh sebuah pilihan profesi yang mengandung tanggung jawab besar dan mulia, menyediakan diri menjadi pelindung dan penjaga dari segala niat dan perbuatan jahat.

Dirgahayu Satpam Indonesia, junjung tinggi jiwa korsa dan disiplin!
Selamat bertugas satpam Indonesia; detect, deter, delay and response!!


Note:
(Tulisan ini juga sebagai persembahan, kepada Alm. Bpk. Bayudi satpam Bank Mandiri Tebet yang tewas tertembak perampok pada 22 Desember 2005, mendiang sahabatku Marcus Yohannes yang tewas pada penyerbuan pos di tepi sungai Kampar Riau pada Oktober 2002, Gam Gurung, dan ribuan lagi yang cidera atau meninggal dalam tugas. Semoga dimuliakanlah kehidupannya seperti telah dimuliakanNya cara kematian mereka. Amin)

Simatupang, 060111 – 0103hrs

Saudara Kandung

“Hey…sopo sing dadi korban kono?”
(terjemahan: Selamat Hari Raya Idhul Adha, saudara kembarku)

Saat ini aku rindukan kamu, tertawa dan bercerita seperti dulu tentang lucu kehidupan, dan indahnya kegetiran panjang kita. Sekarang kita mendiami dunia kita masing masing, mendiami pulau maya kita masing masing terpisah oleh samudra tuntutan dan kewajiban.

Piye kabare, Son?
Piye critane uripmu?

Siapa lagi yang sudah meninggal dikampung kita?

Seorang teman yang kujumpa dalam pengembaraanku pernah bilang, katanya kembar adalah satu jiwa yang terbelah dua. Dua perbedaan fisik yang serupa dengan satu kemiripan tabiat dan kelakuan mungkin juga fikiran (?). Aku dulu percaya itu, merasakan itu, entah sekarang. Aku tak tahu cara merasakanya. Aku hanya tahu aku rindu kamu saat ini, merindukan cerita cerita perjalanan kita masing masing, menelanjangi kenaifan menjadi kelucuan yang hanya kita berdua bisa memahaminya.

Kebersamaan dan kesamaan kita semasa kecillah yang terindah untuk kukenangkan saat ini. Ketika kita sama sama hanya bisa menerima menjadi saksi, dan berimprovisasi dengan cuaca musim paceklik panjang, paceklik lahir bathin. Betapa rapuhnya kita, terbanting dan terhempas kapan saja. Juga betapa perkasanya kita yang sekecil kecil itu berkat bunda mampu melewatinya. Dan kita tetap menjadi saksi atas segala kejadian yang kerap mengusik rasa keadilan yang kita anut.

Betapapun jauh perjalanan masing masing kita tempuh, lalu kita simpan sendiri di almari pengalaman bathin masing masing, kenangan masa kecil kita tetap menjadi akar yang mengilhami kehidupan. Aku pernah beruntung ketika kamu gagal dan aku pernah gagal ketika kamu beruntung. Semua berpilin pilin, membentuk warna yang berbeda beda hingga kita menjadi dua individu. Menghilangkan keraguanku atas teori suratan nasib.

Kita memang sedang menghancur, kita hanya kebal saja terhadap kehancuran. Sebab kita pernah berjaya, menjadi yang terbaik dalam ukuran kita. Tetaplah hidup, saudaraku…menjadi saksi atas berputarnya roda dunia, bekal cerita untuk anak cucu dan keturunan kita…

Titip tinjuku untuk jagoanmu; Landung.


Kamar kost, 060110 – 2255hrs






Cinta dari bawah rindang pohon ceri


Jam setengah sebelas, matahari serius memanggang bumi. Lalulintas bergemuruh dari jarak sekitar 8 meteran tempat duduk, dibawah rindang pohon ceri ditepi jalan TB Simatupang. Kendaraan bagaikan peluru baja dengan malaikat kematian berseliweran dijalanan, melesat cepat diatas jalanan beton seperti hendak ketinggalan sesuatu, atau sekedar bergembira mengendalikan gerak mekanis peluncur badan. Dan teduh pohon ceri jadi oase pilihan.

Diluar lingkupan rindang daun dan ranting ceri, kehidupan terlihat gersang dan ngangas angas. Kehidupan berjalan diam diam dalam alam bathin, mengumpulkan semua memori menggapai gapai kemungkinan masa depan. Kursi plastik, sebotol teh botol dingin menemani, menyempurnakan indahnya kesederhanaan membungkam gemuruh lalu lintas dibelakang punggung.

Didalam sana, ada sunyi yang melapisi gemuruh yang tak teraba. Tak ada suara apa apa, sebab gemuruh itu dikejauhan, terbungkus oleh deburan diluar kebekuan lautan masadepan. Atau hanya diri yang terlalu egois untuk menerima dan mengakui kemenangan sang nasib? Ah, seharusnya diri berhenti mempertanyakan, bukankah keindahan menjadi ada karena ada ketidak indahan?

Dibawah rindang pohon ceri dengan sesekali udara yang dilemparkan setiap kendaraan yang melintas menampar lirih, menunggu satu proses kejadian selesai, membuat nurani haus akan makna. Lalu datang serang bapak, berkaos oblong dan bercelana pendek menggendong seorang anak laki laki berkulit coklat, berumur sekitar tiga tahunan, berbaju ngejreng merah dengan motif kartun warna kuning dan putih sana sini. Dalam pangkuan ayahnya, sikecil mengantuk, matanya kliyep kliyep, merem melek, sesekali memandang kosong tanpa beban, berusaha melawan kantuk yang menyerang, terkantuk dan tergagap lagi karena sesuatu. Sang ayah dengan lembut memeluk tubuhnya yang mungil, meniupi kepalanya agar lekas lelap tidur sang bocah. Dan anak kecil coklat lucu berbaju merah itupun akhirnya samasekali mengatupkan mata, terlelap dalam nyaman dan aman lindungan dada sang ayah.
Terlihat cinta yang begitu kental mengikat bathin keduanya, kedamaian dibalik bathin sikecil yang tak berdaya didada ayahnya. Bayi itu begitu fragile, so weak and protection needed. Kesejukan luar biasa terimbas cinta yang begitu sempurna di keduanya.

Cinta dari bawah pohon ceri akhirnya mendatangkan kesejukan dalam hati sepanjang hari Selasa yang panas ngangas angas…

Simatupang, 060110 - 1023hrs

Tuesday, January 10, 2006

Dari tidak ada menjadi ada dan dari ada menjadi tidak ada


Hari raya Qurban, kumaknai peringatan atas telaah makna keikhlasan. Keikhlasan bathin yang mendasari satu perilaku menerima tanpa pertanyaan, melakukanya dengan kesungguhan dan tanpa pamrih.

Ikhlas menerima kehilangan, mengembalikan diri ke titik dibawah nol ketika kita baru dilahirkan, tanpa selembar benangpun kecuali organ tubuh karunia gratis dari Tuhan. Lalu menjadi manusia, penghuni dunia dan menciptakan budaya dan adat kaum manusia; matrialistik. Dari tidak ada menjadi ada menciptakan rasa memiliki yang mengikat tanpa terlihat. Dari ada menjadi tidak ada menciptakan rasa penyesalan atas kehilangan sesuatu yang pernah dianggap menjadi hak milik pribadi.

Menjadi ikhlas adalah menerima hidayah dari Tuhan, karunia kekuatan hati yang luar biasa. Ikhlas dan bersyukur menerima segala pemberianNya, dan ikhlas menerima imbas sosial dalam kehidupan dunia. Keikhlasan membasmi benih benih protes yang mungkin berujung pemberontakan pada nurani. Mematahkan segala bentuk pledoi atas sebuah ketidak adilan (baca: kehilangan).

Keikhlasan dalam pandanganku sekiranya, adalah keadaan hati yang sejuk damai menjalani kehidupan, tanpa keluhan dan protes macam macam. Kebahagiaan yang lahir dari perilaku ikhlas sungguh luar biasa, membuat diri merasa sangat rendah dan tak berdaya sebagai manusia, merasa sangat dicintai Tuhan dan selalu diperhatikanNya. Hanya ketika kita nakal saja Dia memberi kita pelajaran supaya kita berperilaku baik, pelajaran yang akan kita ingat seumur hidup. Ah, alangkah idealnya hidup dengan pondasi pemikiran seperti itu.

Tunggu…
Bagaimana dengan….ikhlas menerima perilaku durjana orang lain terhadap kita?! Ikhlas menjalani konskwensi negative dari perbuatan orang lain yang memperlakukan kita seperti badut memanfaatkan tenaga kita seperti kuda, dan kadang mempermainkan kita seperti kelinci yang buta. Ikhlas menjalani penyiksaan bathin yang terluka berkepanjangan, ikhlas menerima kecacatan mental sebagai akbat benturanya. Kemudian dengan ikhlas pula mengalami kehancuran diam diam, lalu ikhlas mengambil tanggung jawab dari keseluruhan tragedy, menggantikan posisi si pencipta cerita tragis, menyediakan diri dan hidup untuk menjaga dan membahagiakanya dengan ikhlas hati. Kekuatan energi apa yang akan bisa kita pakai untuk memelihara dan memupuk keikhlasan seperti itu jika ada?

Kata “terpaksa” adalah barangkali benteng terakhir dari menyerahnya ego terhadap kekuatan luar ego. Terpakasa ikhlas, aduh…betapa rendahnya, sebab ikhlas tidak mengenal kata ‘terpaksa’. Keikhlasan itu seperti hamparan warna, polos tanpa cacat dan perbedaan, tanpa alasan masasilam dan tanpa tendensi untuk masa depan.

Doa untuk jutaan nyawa hewan yang disembelih untuk qurban kali ini (yang kemudian dagingnya dibuat pesta pesta, senang senang, sebagian dikorupsi orang), yang memberi pelajaran tentang keihlasan si yang berkorban mengorbankan hak miliknya yang nisbiah, keikhlasan sang hewan untuk menjadi korban. Pelajaran bathin tentang keikhalasan untuk berkehilangan. Sebuah pelajaran perilaku bahwa kita tidak berhak mengklaim memiliki sesuatu, merasa terikat dengan sesuatu yang kita anggap milik kita. Itu semua milikNya, juga termasuk cerita dikehidupan bathin setiap manusia, tak ada lain milikNya. Tuhan, sebagai sang Maha Kuasa, pemilik mutlak jagat raya. Kita hanya dipinjamiNya, apapun yang kita (anggap) miliki.

Selamat Hari Raya Idhul Qurban…semoga kita dikaruniai hidayah keikhlasan…


Kost Simatupang – 060109 – 2357hrs



Saturday, January 07, 2006

Surat Sahabat

Kepada siapapun yang berkenan membaca tulisan ini, aku menulis sebagai sahabat…

Sahabatku,
Seminggu belakangan ini, kepiluan menggilas hatiku setiap kali di tv tertayang berita tentang ledakan kesedihan, tangis pilu ketika jasad jasad diangkat dari timbunan lumpur sisa banjir di Jember dan tanah longsor di Banjarnegara.

Orang orang sederhana itu meronta ronta hatinya disiksa kepedihan yang teramat dalam ketika kebahagiaan direnggut dengan acak oleh alam. Orang orang yang dicintainya dirampas begitu saja tanpa peringatan. Hingga yang terisa hanya kepasrahan dan isak tangis kesedihan. Sungguh penderitaan bathin yang tak terkirakan, dan aku tak bisa menggantikan kedudukanya, bahkan tak sanggup sedikit saja mengurangi beban sedihnya.

Menyalahkan alam barangkali sama dengan mempertontonkan kebodohan kita sendiri. Bukankah sebenarnya kita sendiri yang semakin menjauhkan alam dari kehidupan kita sehari hari? Mungkin saja kita lupa menyadari bahwa alam berada jauh sebelum manusia, pasti lebih bijaksana dari manusia itu sendiri. Lalu manusia berkoloni dan menggerogoti alam dengan keji, hanya demi nasi, dasi, mercy, sebagian demi sapi atau kursi.

Ini mengingatkan orgasme bathin ketika berada diketinggian lereng Lawu beberapa tahun silam. Betapa kemegahan alam mengkerdilkan kesombongan diri, mematahkan segala tanda tanya tentang keagungan Tuhan, menyadarkan bahwa diri tak berdaya samasekali ketika hanya Tuhan sebagai jawaban. Tunduk, takluk tak berdaya! Barangkali saja peristiwa peristiwa bencana itu pesan singkat dariNya juga untuk kita, yang berisi teguran atas tingkah manusia yang pongah dengan kehidupan dunia, merasa menjadi sesuatu padahal kita hanyalah sekuku hitamnya gurem* bagi alam milikNya. Jadi bencana itu atas kersane sing kuoso, kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, Allah Subhannallahita’ala.

Sahabat,
Kepadamu yang sudi membaca tulisan ini, aku menghasutmu untuk sejenak merenungkan tentang interaksi antara kita dan alam. Betapa kita telah menumpuk hutang budi kita kepada alam dengan tingkah tingkah laku atas nama peradaban. Sebagian diantara kita, umat manusia inilah yang sebenarnya mendzalimi alam, padahal kehidupan berhutang banyak kepadanya. Kitalah yang seharusnya malu, tidak tahu rasa berterimakasih kepada Sang Pemiliknya.

Akhirnya, aku mengajakmu sahabat, menunduk diam dalam khusyu’ doa yang menggema dalam palung bathin, memohonkan pengampunan dosa atas nama semua korban bencana yang ditemukan dan yang hilang, memohonkan ampun dosa diri dan seluruh umat manusia atas kesombongan yang tidak disadari jadi kebanggaan, memohon ampun atas nama semua manusia yang masih diberiNya kesempatan hidup…


Peace on earth!

Sahabatmu,
buderfly

*binatang sejenis kutubusuk yang berukuran sangat kecil dan suka menghisap darah manusia.

Kost Simatupang, 060106 – 0004hrs

Friday, January 06, 2006

Maaf (atas nama tulisan)

Atas nama tulisanku, aku minta maaf kepadamu yang tertusuk serpihan masalalu. Inspirasi penulisanya datang begitu saja bersama rombongan kecemasan dan tanda tanya tentang jawaban teka teki masa depan. Anyaman dari kejadian yang sedang teralami sekarang, sebuah matarantai panjang bernama biografi barangkali.

Atas nama kedangkalan syaraf kepekaanku aku minta maaf telah melafalkan mantra mantra penggugah prasangka, meskipun sebenarnya lonceng pengukur seberapa kental rasa memiliki terlukai. Dan itu kusadari belakangan setelah letupan reaksi menggelegar memberi peringatan. Lalu kau tersadar, aku telah berbuat kesalahan.

Kesalahan?
(Ya! Kesalahan, titik!)
No more questions.

Atas nama pengalaman (meminjam salah satu judul essainya PAT) aku meminta maaf kepadamu atas telah kualaminya kehidupan masalalu. Atas kehidupan alam fana yang berbentuk padat dan alam bathin berbentuk udara angkasa. Betapa pengalaman menjadi arsip sejarah yang tersimpan di directory antah berantah, tak terlihat oleh pencarian, kecuali ditemukan secara kebetulan.

Aku bersedia menghukum diri jika engkau mau, tebusan atas kesalahanku. Namun beling pengalamanku terlanjur melukaimu. Dan aku tak bisa memadamkan perihnya. Tak ada yang bisa memadamkanya. Tapi setidaknya aku telah meminta maaf atas salahku.

Kepada bunda, aku mohon ampun telah menjadi anaknya yang durhaka…


Kost Simatupang, 060105 – 2309hrs




Bagimu yang sedang menjelma sakit

Engkau bimbang diantara setengah keberanian dan setengah ketakutan; sama sama nisbi. Penyesalan hanyalah batu beban ditas punggung, dan kau memilih menjelempah mengharap malaikat datang bawa ambulans.

Lihat sekelilingmu, semak semak akan semakin mengurungmu jika kau hanya menunggu dibawah pohon, bahkan sang akar pohonpun lambat lambat akan melilit dan mencekikmu...sementara harapmu tak pernah terjawab, tak ada malaikat bawa ambulans...

Tangan yang dilurkan semestinya dijadikan tiang penyangga ketika kakimu lemah, kepedulian yang disodorkakan mestinya menjadi pelampung ketika engkau mulai tenggelam; bukan untuk dicampakkan. Nyatanya ribuan kata kata bijak lewat bagai angin disisi telinga, mustahil menembus kokoh dinding ego yang membentengi fikiran.

Ya, engkau mengharap cinta dari cinta yang telah kau hancurkan dan memandangnya sebagai bukan apa apa. Membangun kebohongan diatas kebohongan atas azas cinta, atau sekedar petualanganmu mencari pengakuan. Nurani tentu berontak dan menuntut pembebasan dari penindasan, sebab engkau hanya sang naga yang mempermainkan luka luka pada jiwa orang orang yang menjelajahimu. Tapi engkau tak merasa, sebab yang ada hanya lukamu, hanya keberadaamu semata. Jikapun engkau merasakan perihnya, itupun hanya engkau dengan mudah berpaling dan memutar globe duniamu yang kecil.

Teruslah bermimpi, hingga kau sadar bahwa engkau telah jauh tertinggal hanya untuk mencoba mencari dimana ketertinggalanmu. Sekarang engaku menjelma sebagai si sakit yang lemah, terus berharap cinta yang kau hancurkan akan datang memberi hiba. Bukankah engkau adalah naga yang memiliki kekuatan melebihi rata rata? Kebesaranmulah yang memberatkanmu, kekebalanmu pulalah yang menyakitimu.

Sungguh, hidup ini absurd, sangalang….apalagi ketika diri bermahkota ego. Ketika semut diseberang lautan terang benderang dalam pandangan. Sungguh kepintaran absolut yang jusru menghilangkan cermin atas diri. Bahkan mengaburkan pandangan tentang orang orang yang sebenarnya peduli, menjadi sosok sosok tak berarti. Kepintaran dan egomu memagari, menghalangi malaikat manapun untuk sekedar menepuk pundakmu, memelihara kekuatan agar dagu tetap terangkat dan tatapan lurus kedepan.Tapi engkau memilih menjadi budak atas ego hatimu yang tak pernah terkalahkan…memajang keterpurukan disepanjang perlintasan perasaan.

Dan sepotong kabut yang mestinya menyejukkan menjadi tak berarti dalam kehidupan megahmu…

Graha Simatupang, 060105 – 1620

Thursday, January 05, 2006

Untukmu yang pergi dari hidupku

:Tet
Sehelai rambutmu patah, lalu angin winter ditempatmu mengantarnya mengembara, sampai mengetuk dikaca kamarku, lalu luruh dibawah jendela. Senymmu melintas dan cahaya dimatamu selalu mengobarkan nyala setiap kali memandang.

Barangkali sudah sekian abad tak kujumpai lagi suaramu, juga keseluruhan penampilan duniawimu. Engkau menghilang, sengaja menenenggelamkan diri diperut bumi. Menduga kebersamaan akan memupus kesendirianmu. Hidup tidak sesederhana itulah, sahabat manisku, bahkan kadang kita keliru memahami satu makna yang kita yakini. Tapi tangismu redam, bisu. Aku tak tahu kabarmu, aku tak patut untuk tahu sekedar keadaanmu. Bukankah aku hanya selembar daun dalam kehidupanmu, yang kini harus tunduk luruh terpisah dari mekanisme kehidupan sang pohon?

Gerimis Januari datang bersama bayanganmu, sesaat dan menatapku dengan senyuman; dan mata yang gemerlapan penuh excitement. Ah gerimis, menghidupkan lagi mummi mummi kenangan yang rapi tersusun dalam rak pengalaman. Membangkitkan lagi seluruh kehidupan yang sengaja engkau bekukan dikedalaman angan. Sedangkan kemarau sedemikian panjang memaksa akar ilalang tetap tertancap dalam di timbunan tanah hitam.

Kehilangan lambaianmu ketika engkau berangkat menempuh jalan pilihan; menyempurnakan kesendirian. Tapi aku tahu engkau ada, entah dimana. Engkau melihatku, tanpa bicara. Setia menyambangi gunung rindu yang kau tinggalkan sejak lama…

Bersama udara lembab Jakarta, kutitipkan sesalku yang tak mampu melahirkan harapan yang kulela dalam kandungan…sepanjang perjalanan…


Kamar kost TB Simatupang, 060104 2259hrs

Wednesday, January 04, 2006

Ali Bujel


Sewaktu kecil dulu, seorang teman sepermainan, Ali namanya pada suatu pagi aga siang dikebun ketika kami sedang mencari kayu bakar, entah bagaimana jari telunjuknya terpotong putus oleh arit besar bekalnya menebang ranting ranting kering dikebun. Ujung sampai pangkal kuku jari telunjuk kirinya terputus, dan darah ada dimana mana. Diantara rimbunan pohon pepaya muda kami kebingungan menanggung akibatnya nanti kalau bapak si Ali murka karena kami tidak bisa menjaganya. Kami kebingungan bagaimana menghentikan lukanya. Yang terjdi adalah telaah kejadian yang diceritakan berulang ulang oleh Ali. Ali gelisah, ketakutan tampak sekali dimatanya, bukan kesakitan. Diantara ketakutannya, dia coba atasi dengan jalan pintas, bahwa dia ingin menunjukkan bahwa dia tidak apa apa. Jari yang putus itupun tak dirasakanya, digosok gosokkanya detanah sambil kami duduk terpekur mencoba mencari jalan keluar. Jari tangan yang beradarah itupun terus digosok gosokkanya ketanah merah kering berdebu dikebun itu, sampai darahnya berhenti dan membuatnya lega sedikit. Ketika pulang, disembunyikanya luka itu dari orang tuanya, dia hidup seperti layaknya hidup yang sebelumnya, menunggu waktu magrib, pergi mengaji ke masjid, lalu pulang sesudah isya’ lalu belajar pelajaran sekolah.

Si Ali merasa aman sejauh itu, menyembunyikan luka dijari tanganya yang putung, dan hidup terus berjalan normal, tidak ada sesuatu yang ditakutkan terjadi. Hingga esok harinya baru setelah ibu yang mencintainya menemukan jari tangan anaknya putus dan tidak ada tindakan apa apa. Cinta ibunyalah yang kemudian membawanya ke mantri untuk minta perawatan. Beruntung saja jari tangan si Ali tidak terkena infeksi dan berakhir lebih parah. Tanganya dibungkus perban dari mantri untuk beberapa hari, sampai lukanya mengering dan lalu hilang total. Tak sakit lagi, tapi tak juga pulih lagi seperti sedia kala.

Kisah si Ali adalah kisah klasik sifat kejawaan yang cenderung menerima dan merasa ikut wajib melestarikan status qou. Bahwa dipermukaan harus aman toto titi tentrem, tidak ada gejolak maupun gangguan apapun. Sebuah kehidupan harus berjalan dengan tenang tanpa ledakan, meskipun itu harus dengan kebohongan. Ali mewakili kecenderungan karakteristik jawa, yang membohongi orang tuanya karena tidak ingin mereka mendapat kesulitan atas apa yang terjadi padanya.

John Pemberton yang menulis antropologi jawa dalam bukunya "JAVA" pernah juga menyimpulkan bahwa pada masa orde baru, Indonesia berjalan atas azas kejewen itu, yang tidak ada ledakan, yang berjalan toto titi tentrem itu. Air dipermukaan harus tetap datar dan tenang, meskipun dikedalaman sana ada arus dan pusaran yang ganas sekalipun. Bahkan sejak zaman kerajaan sekalipun, kondisi seperti itu haruslah dipertahankan dan dipatronkan. Kebudayaan, adat, kebiasaan klenik dan mistis dijadikan alat penciptaan kondisi seperti itu. Ali adalah type si air datar itu, yang menyembunyikan rasa sakit dan lukanya. Meskipun mungkin sekarang si Ali harusnya berterimakasih kepada ibu yang mencintainya sebab tanganya tidak perlu amputasi karena infeksi. Bekas itu masih ada, kuku yang tumbuh tidak semestinya karena kehilangan media dan kelainan jari jari seperti itu dalam bahasa jawa disebut bujel.

Maka namanya kini Ali Bujel.

Kost, 060104 – 0210hrs

Untuk seseorang yang diam menunggu dibawah pohon.


Yen wedi ojo wani wani, yen wani ojo wedi wedi.
(Kalau takut jangan sok berani, kalau berani jangan takut takut)


Maka akhirnya kaupun tiba, diujung jalan yang menyajikan cabang kemungkinan. Engkau terdiam, menunggu pilihan dikirim langsung dari langit oleh malaikat kekasih Tuhan yang hanya punya kebaikan. Tangis bederai ketika hati dan logika bercerai, menuntut kebajikan dan mempertahankan keinginan. Tangis yang sendiri dimuka bumi, tersimpan sangat rahasia bagi dunia.

Bathinmu memberontak, berharap ini bukanlah kenyataan. Sedangkan logika dengan task forcenya samasekali bukan lawan yang seimbang. Inilah jalan kehidupan, isi kehidupan itu sendiri yang sering kita dengar bahkan dalam kelakar terkadang, sewaktu kita sedikit lupakan bahwa hidup begitu rapuhnya. Semua adalah matarantai yang terbentuk dari masalalu, konskwensi atas keputusan yang pernah diambil dulu. Bukankah hidup adalah menjalani keputusan yang dibuat??

Tak berguna membodohi diri, tak berguna menyesali apa yang terjadi. Ujung jalan yang menyajikan cabang adalah medan peperangan, dimana engkau akan berada hanya berdua dengan musuhmu; ketakutanmu terhadap kemungkinan. Kemungkinan akan tetap datang, bederet beribu pilihan yang nanti akan harus kau ambil satu untuk pilihan. Persiapkan mental untuk menerima scenario terburuk sekalipun, dan hilangkan apapun yang membuatmu merasa berhak untuk membela diri. Sekali ini, serahkan pada kehidupan, apapun yang akan diperlakukan, terimalah sebagai warna kehidupan yang sewajarnya. Terimalah dengan rela, sebagai konskwensi dari keputusan yang pernah diambil dulu.

Maka waktunya untuk melipat lengan baju, menimang bathin mengukur keberanian, sebab engaku butuh supply besar sekali keberanian untuk mengikuti jalan manapun yang nantinya harus menjadi kemungkinan yang menjelma kenyataan. Timbang bathinmu, yakinkan bahwa keberanianya total, setotal ketakutanya. Yen wani ojo wedi wedi! Yen wedi ojo wani wani! Hanya orang yang berani yang bisa menciptakan cerita hidup baginya sendiri.

Dan….jika hal buruk yang terjadi, tidak berarti dunia sudah selesai punya cerita, kiamat. Justru hidup dalam dimensi barulah yang terjadi sesudahnya. Dan engkau akan menemukan kepribadian baru ketika semua bisa kau lewati tanpa niat mengalahkan apapun, kecuali ego diri. Menjadi pribadi yang matang dan bijaksana, belajar dari setiap penggal pengalaman hidup yang pernah dijalani.

Ketika tiba masanya engkau harus menangis sendirian dimuka bumi, maka seorang teman adalah satu satunya yang kau butuhkan…

Kita selalu punya teman yang seperti itu, dia hidup di alam kehidupan kita sendiri….

Good luck, hearts!

Kost, 4 Decmber 2006 - 0117hrs

Tentang hati, suatu ketika


Hanya pada menit terakhir pertemuan, menitipkan kepiluan yang bakalan panjang bahkan terlalu pekat untuk diarungi. Nurani berteriak memanggil atas hati yang selama ini mengumbar haknya yang mutlak. Enough is enough, katanya! Berada diujung persimpangan jalan, memilih perih sebagai jawaban. Pemberontakan logis itu justru ketika si hati sedang pingsan terkena bius tahun baruan.

Pagi tadi ketika dunia terbangun, sang hati perlahan siuman lalu mengumpulkan syaraf yang terkunci dan segala kekuatan yang selama ini menjadi pengemudinya. Dia meraba raba kesekelilingnya, yang dijumpainya hanya hampa. Hujan, suaranya, baunya, nuansanya, memaksa hati untuk terus mencari sesuatu yang berarti. Si hati diam diam terus mencari rumah teduhanya yang telah dibongkar satpol pp, rumah teduhan semu yang memberikan keteduhan sesungguhnya selama ini, yang disangkanya tetap menjadi miliknya. Lalu disesalinya kepingsananya dan seluruh penyebabnya, disesalinya diri yang tak kuat berdiri diatas lantai kesabaran, bahkan dengan sokongan pengertian nurani. Dia terus mencari cari dalam diam. Malam tadi, diantara igauannya dia memanggil nama. Lalu dia pingsan lagi karena yang dijumpai hanya sepi.

Dan, yang pertama ditanyakanya, dicarinya adalah puteri Nawangwulan yang hanya ada dinegeri dongeng. Sampai dengan bijak harus menikam lagi dia dengan pisau logika;
Hey…look now!
See the truth!
Face it! You don’t belong there anymore!
You’re on your own now!
Dia terisak sedih, dia terpukul ragu, darah mengucur dari setiap permukaan kulitnya yang terluka. Dikenangnya segala hal sampai yang sesepele lalat sekalipun menjadi sesuatu yang istimewa, lalu diam diam dibingkainya setiap kenangan itu menjadi karya paling indah yang akan selalu menghiasi dinding sang hati.

Dan si hati tak berhenti merajuk, hujan membuatnya terkurung dalam kenangan, dan mendung pekat seperti meyakinkan bahwa harapanya tinggal menjadi angan angan semata. Tapi dia memang tidak menyerah, tidak percaya bahwa semua harus dialaminya justru setelah dia siuman. Diingatnya saat saat menjelang pingsan. Hhmm…si hati memang gigih, sosok yang perfeksionis dimana dia harus tahu semua yang harus dilaluinya supaya dia bisa mengayunkan langkah apabila memang harus berjalan lagi, jika kekuatanya pulih. Habisan akal membujuknya untuk berhenti bertanya dan merengek. Berbagai kecengengan disampaikan, sampai bingung bagaimana lagi memberi pengertian. Sampai pada penjejalan paksa propaganda alam nyata dengan atas restu logika. Membenturkan bacaan di blog ke jidat si hati, agar dia berhenti bermimpi, kembali mengijak bumi dan menerima keadaan tanpa banyak bacot lagi. Bahkan banyak filsafat tentang kebijaksanaan, tentang tanggung jawab nurani dan tentu saja hati nanti kalau saja dia harus ikutkan kemauan.

Lambat laun perlawananya melemah, jeritanyapun melemah. Yang datang kemudian adalah pertanyaan pertanyaan kekanak kanakan tentang apa yang hati lakukan nanti, dan tentang bagaimana kisah kelanjutan cerita, berusaha selembut mungkin memperlakukan hati, tidak kasar dan sebisa mungkin membujuknya bisa mengerti dan menerima itu semua dengan satu tiang menara: Menerima!

Dan sekarang si hati kembali bernafas seperti biasa, mencoba menggapai sekeliling dan memandang diri, berintrospeksi untuk kemudian berjalan lagi. Dikemasnya segala kenangan dan catatan, lalu disimpanya baik baik di ransel yang akan dibawanya mengelilingi bumi. Tidak, dia tidak berusaha menemukan apa apa, dia hanya berjalan dan terus berjalan, siapa tahu terkadang ketemu dengan sesuatu sebagai pengalamanya. Dipandanginya gambar rumah indah itu penuh keharuan, dikenangnya rasa sayang yang menggenangi hati hampir setiap waktu itu, serasa masih ada meskipun dia kehilangan alamat tujuan. Sisa sisanya masih berserakan menunggu untuk dirapikan. Tapi dia bisa terima keadaan, dia akan perlahan berdiri dan melangkah diam diam. Ya, dia akan diam, seperti sejuta peristiwa yang harus dilalui sebelumnya. Diterimanya doktrin tentang kebijaksanaan dari sang logika, tentang sesuatu demi kebaikan bersama.

Tuesday, January 03, 2006

Diam!


Aku menjadi semakin tak berdaya. Meyakini ketidak yakinan dan berserah pada keadaan memperlakukanku. Diam diam telah kupilih diam sebagai jawaban atas ribuan pertanyaan yang lengkap dengan jawaban dikepala. Aku hanya mahluk kecil penghuni planet.

Luka luka kecil, bahkan singgungan canda sekalipun tak terasa, kecuali membangkitkan pembusukan yang memang sudah ada dan menjadi mutan bagi emosi. Tinggal kewajiban yang harus dijalankan, kewajiban menjadi manusia itu sendiri.

Lalu bathin ragu bertanya tentang harapan, tentang jawaban tekateki masadepan. Harapan? Kemewahan apa lagi itu? Membicarakanya sama rasanya seperti menaburkan benih benih kekecewaan yang siap kita panen dimasa datang.

Penderitaan. Ufh…lagi lagi penderitaan! Bosan hati menafsirkan! Dia hanya ada dalam alam fikiran, dia adalah musuh yang kita ciptakan sediri kemudian kita dramatisir penganiayaanya. Dia datang pada setiap kehidupan yang rumit, complicated.

Diam kau wahai hati! Berhenti bertanya apalagi protes. Terima rasa hidup sebagai pembagian. Terima! Terima! Terima! Tanpa tanda tanya!

Dan kau wahai diri!
Telah bodoh masih bertingkah sombong dengan anggapan egois. Kamu bukan apa apa kecuali debu. Maka luruhlah ditempatmu, menjadi sesuatu yang tak berarti dimanapun berada.

Diam. Baiklah, diam. Mengunci mulut, menyumbat telinga. Tenggelam dalam kegelapan angan angan, tak ada masadepan maupun masasilam. Mustahil!!! Diam hanya karena hati letih mengeja kata kata, karena bathin lusuh diperbudak makna makna. Diam wahai diri! Diam wahai hati! Diamlah!

Diam! Just shut the hell up!!!! Jangan bertanya maupun berbisik tentang semua peristiwa!
Graha Simatupang, 2 Januari 2006

Monday, January 02, 2006

Tahun Baru

2005 meninggalkan kesan sebagai tahun yang celaka, tahun rawa rawa, tahun bencana, dan sekaligus tahun untuk pengetahuan baru, pemahaman baru akan hidup dan aspeknya. Sungguh sepanjang tahun yang melelahkan, sepanjang tahun yang padat berisi, warna warni aneka warna dan rasa! 2005 juga menjadi tahun keramat. Mengalami berada di dua kutub kesempurnaan yang berbeda, berada diantara dua ujung paling ujung rasa; pahit manis kehidupan. Dan 2005 seperti tidaklah berakhir, karena segala detail calon kejadian telah menjadi embrio bagi mengisi cerita di 2006. Dan…kita tinggal menjalani seperti umumnya, meneruskan apa yang setengah jalan, dan menjalankan apa yang sudah jalan, mengikuti track yang telah terbentuk entah bikinan hati atau buatan logika. Kedua duanya mengantarkan setiap insan manusia kepada kelanjutan peristiwa dunia.

Sebagian orang memilih mengikuti kata hatinya dan menjadi legenda kemudian, sebagian lagi babak belur terjebak salah mengikut kata si hati, lalu mengasihani diri tak henti henti, mengemis dan terus mengemis simpati kepada Tuhan. Dan masing masing diiringkan dengan konskwensi sendiri sendiri, yaaa…kita jalani saja 2006 dengan rasa penuh terimakasih kepada Tuhan, tetap menjadikan nurani sebagai yuri pertandingan antara hati dan logika.
2005 juga tahun kehilangan, dimana yang hilang tak akan kembali lagi, hilang musnah ditelan zaman. Tahun yang sama juga berisi temuan temuan baru tentang pengalaman. Yang paling berkesan, 2005 adalah tahun semu, tahun ketidak pastian dan tahun kegelapan...yang menyisakan beban penyesalan ditahun 2006 dan barangkali tahun mendatang.
Dan hidup harus terus berjalan...
Jakarta, 01 January 2006

Sunday, January 01, 2006

Contemplation


Pagi bermula bersama ketidak yakinan dan pertanyaan pertanyaan sinis bahkan pesimis, plain semata.
Aku ingin diam, dalam gelap yang mengurung. Diam tanpa gerakan dan fikiran. Tidak, aku tidak bisa mengentikan laju fikiranku, yang menyeret nyeret kenangan menjadikan beban penyesalan.
Aku ingin berhenti menulis, sebab yang terbaca hanya keluhan, makian diam diam.
Aku ingin berhenti memuja, sebab yang datang hanya cemburu yang menghanguskan isi dada.
Aku ingin diam dalam gelap, diam tanpa gerak dan kata kata, tapi tolong singkirkan segala suara yang datang dikepala.
Mungkin aku sangat marah hingga tak mampu marah,
Mungkin aku sangat sedih hingga tak sanggup bersedih
Mungkin aku sangat sakit hingga tak bisa merasakan sakit
Atau mungkin aku sangat bahagia hingga tak bisa menghayati kebahagiaan?

Inikah titik nadir?
Inikah tubir jurang?
Inikah akhir?
Atau awal?
Atau pertengahan jalan?

Aku kebingungan!

Aku bukan punya siapa siapa, seperti aku tak punya siapa siapa..
Hanya lingkupan gelap dan kabut yang datang pergi sesuka hati, kadang menjanjikan kadang menikam…
Lalu, dimana diri harus diletakkan?
Diantara bekas bangunan kebanggan yang tinggal puing dengan mayat berjalan berseliweran?
Ataukah harus diri mengikuti sesat di persimpangan jalan?

Aku mengalah terseret kebekuan, tanpa langkah apalagi tujuan.
Kuikuti arus zaman, dari gelap ke gelap dan hanya gelap yang tertayang…tanpa rasa, tanpa beban dan tanpa harapan…

Aku diawang awang sendirian…
Melayang layang menunggu kematian datang...

Jakarta, 1 January 2005