Saturday, April 29, 2006

Nanyian indah dari amarah

(Membaca Pramoedya Ananta Toer)
Membaca Pramoedya Ananta Toer, adalah membaca pendalaman bathin dari karakter karakter yang sangat kuat yang sebetulnya dimiliki oleh setiap individu. Dengan latar belakang dan perwatakan sesuai status sosial yang beragam, Pram dengan cermat dan akurat menuturkan ‘cara berfikir’ si tokoh, bahkan cara menggambarkan background si figuran sekalipun. Jadi membaca Pram adalah membaca sebuah drama kehidupan dari banyak sekali sudut pandang pemikiran yang sangat individual. Karya karya tulis Pram yang luar biasa mengantarkan pembacanya untuk mendramatisasi jejak sejarah dari sudut pandang pelaku sejarah itu sendiri, dengan tokoh sentral yang timbul tenggelam dipermainkan kepiawaian Pram dalam memandu emosi pembacanya. Semua meninggalkan kesan bahwa pembaca sendirilah yang mengalami perjalanan emosional sang tokoh.

Tetralogi Buru (Bumi Manusia, Jejak Langkah, Anak Semua Bangsa dan Rumah Kaca) misalnya, pembaca dimanjakan dengan gaya bertutur Pram yang luar biasa lancar mengalir lembut dan sangat dalam, sangat detail. Pram dengan sangat genius mampu menggambarkan sebuah kemuraman produk dari tirani kekuasaan (apapun bentuknya) dengan sangat menakjubkan, bahkan mengkamuflasekan kemuraman itu sedemikian rupa sehingga ketika lembar terakhir selesai terbaca pembaca masih terapung apung dalam lautan dramatisme yang dipaparkan. Tetralogi itu (ataupun secara individual).

Pram sang individualis, karya tulisanya sanggup menelusup jauh kedalam bilik bilik sempit sanubari pembacanya, meninggalkan jejak sebagai satu pemahaman yang luar biasa nikmat. Mencermati tulisan pram selalu meninggalkan kepiluan yang indah, cerita yang barangkali biasa bagi kehidupan umat manusia. Tulisan Pram juga jauh dari kesan seronok ataupun vulgar, Pramoedya seperti memiliki semua pengetahuan yang dibutuhkan pembacanya yang tidak tersedia lagi dimasa kini.

Pram yang sudah beberapa kali dinominasikan sebagai peraih hadiah nobel bidang sastra adalah nyanyian sunyi dari seorang yang dibisukan. Berpuluh tahun Pram menjalani kehidupanya dari penjara ke penjara tanpa satupun melalui proses peradilan. Namun konsistensi sebagai penulis dan individualitasnya menjadikan Pram sebagai penulis yang menempatkan dirinya sekelas lebih diatas penulis penulis lainya.

Membaca Pramoedya Ananta Toer adalah mendeskripsikan kepada diri kita sendiri tentang bagaimana emosi bermain dalam situasi dan kondisi, dalam ruang waktu yang berbeda beda, selamanya mengajarkan kita menjadi orang yang bijaksana. Meski demikian, kehebatan Pram tidaklah kemudian menjadikan dirinya ternobatkan secara de jure sebagai penulis kebanggaan Indonesia, hanya karena pandangan pandangan oligarki dari penguasa yang memoles sejarah dengan cerita buatan dan benih ke antian. Bagaimanapun juga, Pram tetap mencuat tak tertandingi dihati para pembacanya yang kemudian membentuk embrio menjadi sebuah aliran pemikiran moderat sosialis; pramis-me.

Hari ini Pramoedya pulang ke rahmatullah dalam usia 81 tahun. Tubuhnya yang renta kehabisan tenaga karena usia, sementara pemikiranya tetap produktif sampai detik beliau tidak lagi produktif. Dimakamkan di TPU Karet Bivak, satu kompleks pemakaman dengan tokoh pertama jurnalistik dan Sang Pemula kebangkitan Indonesia yang tak terecatat dalam sejarah pelajaran sekolah dan yang juga sebagai ilham dari tetralogi Buru. RM. Tirto Adi Soerjo.
Telah engkau buktikan bahwa sehebat apapun manusia, dia bukan apa apa jika tak menulis apa apa. Maaf, tak ada tangis kepiluan sebab engkau tak pernah pergi dari sanubari. Selamat jalan, Bung Pram!

Gempol, 060429

Friday, April 28, 2006

Mendung

Sesaat setelah suara di ujung telephon yang meminta konfirmasi nomor telepon rumah menghilang, langit menjadi kelabu kemudian hitam berkepanjangan. Mendung mengurung angan angan, pun tak juga turun hujan. Hanya asap yang menyelimuti pandangan, dan samar samar dinding menjulang mengelilingi diri.

Badai telah menyapu hampir segalanya, kecuali asa, kecuali seutas nyawa, benteng terakhir dari eksistensi di muka bumi. Begitu banyak harap dialamatkan dan begitu lemah kaki ditegakkan. Sungguh badai celaka yang mencelakakan, membuat pingsan dan lalu siuman ketika penyesalan justru melindas dada menjadi penjajah yang semestinya. Hanya mimpi mimpi buruk berkepanjangan dan beranak pinak sesudahnya menjadi tayangan rutin keseharian, siang-malam, ketika terjaga maupun terlena.

Betapa rumah tangga adalah investasi sosial dalam arti yang sesungguhnya, dimana dari sana berawal eksistensi lembaga terkecil yang menciptakan peradaban makro. Selamanya investasi memiliki dua kemungkinan, bangkrut atau berkembang menjadi sebuah monumen kemudian. Rumah tangga (baca: keluarga) menempatkan anggotanya pada martabat yang dengan susah payah diperjuangkan dari ketiadaan, dari mengumpulkan sejumput demi sejumput nilai menjadi ada, menjadi sesuatu. Sebuah siklus liar yang tak berpola; hidup.

Rumah, adalah tempat segalanya berpulang. Segala keluhan, keceriaan bahkan mimpi mimpi dirakit dan diberangkatkan. Lelaki sebagai tiangnya, perempuan navigatornya dan selebihnya adalah pelita. Penghianatan terhadap fungsi masing masing menghasilkan benturan yang menggetarkan syaraf ketenangan, mematikan benih benih rencana masa depan di persemaian pengharapan. Menyisakan beling dalam tulang untuk bekal sepanjang jalan.

Ah, masa lalu!
Menegaskan betapa diri hanya sebutir debu di angkasa liar, dan ketika mendung mengurung tak ada lagi yang ada dalam pandangan, kecuali kematian mulia yang diharapkan. Sungguh diri tak menganggap masalalu sebagai peliharaan, ia ada sebagai jejak atas perjalanan, dan menempelkan kesan yang tak dapat diingkari, ketika setitik debu sendirian dipermainkan pekat sang mendung.
Mendung kali ini...telah benar benar membungkam percakapan...


Cubicle, 060428

Thursday, April 27, 2006

Kapan?

Tanya yang meluncur dalam tujuh detik saja lalu membabibuta menikam pagi, siang, sore dan malam hari. Tanya yang itu itu juga dengan jawaban yang itu itu juga; hampa membelenggu.

Kata itu begitu tajam bagai belati dalam genggaman, bebas mencabik cabik semua bidang dan menuntut jawaban. Sedangkan jawabanya mutlak atas kuasa masa depan, kemisterian tanpa buah tebakan. Tanya seperti mengeja udara sedangkan masa depan adalah ribuan pintu kemungkinan dan hanya satu yang harus jadi lompatan.

Bahkan diri sendiri yang menjadi alamatpun kebingungan menemukan jawaban. Kapan dingin angin utara akan lebur di hangat hawa selatan? Kapan rindu yang menggelayuti langit akan bertemu ladang untuk tumpahan? Kapan peristiwa dambaan akan berubah menjadi satu catatan dalam masadepan dari masalalu? Kapan kita akan bertemu? Nah, lo…!

Mencoba menemukan jawaban dari pertanyaan celaka itu, membuat kerja otak menjadi berat dan lambat. Sedangkan satu keinginan ego adalah untuk melunaskan episode rindu yang makin jarang dikatakan. Pada musim yang sama kecemasan datang menyerbu bagaikan semut merubung kaki. Kecemasan akan ketidak mampuan menjadi sang pemenuh harapan dan hanya memberikan goresan luka bagi si pengharap.

Sebuah pertanyaan dengan kewajiban menuntut satu bentuk kesimpulan; terkaan semata. Masa depan bukan hal nyata seperti halnya masa lalu yang tinggal jadi catatan. Jadi, biarkan alam yang menjawab pertanyaan tentang masadepan sebab kita tidak ikut menentukan hasilnya kecuali diri cukup kuat untuk memikul kekecewaan apabila pengharapan tak jadi buah kenyataan, bahwa keyakinanpun bisa menipu diri di kadangkala.

Cubicle 060427, ketika angin memporak porandakan curah hujan dan angan angan.

Monday, April 24, 2006

Nyanyian hujan

Titik air yang menghempas dijendela kaca meleleh turun, sisanya menterjemahkan rindu yang menghambur bersama angin bingung yang mempermainkan serpihan mendung. Siang ini rindu menghujam jantung sedang sapamu menggoda goda menimang keberanian untuk menghingkari dunia peradaban. Hanya langit yang abu abu di padang pandangan berbatas kalbu yang lemas.

Gemuruh tanpa warna memaparkan kisah sejuk pekuburan kenangan yang mencambah oleh waktu. Bilur bilur kebahagiaan dikabarkan oleh camar yang berkelebatan membelah rintik hujan. Ah, hujan siang ini begitu tandas menikam palung angan angan, mengantarkan kekosongan dari wajah yang terpaku disisi jendela kaca dengan fikiran menjilati pedih kehampaan.

Hujan melukis wajahmu, sepotong pesan terkirim lewat beku udara, berisi tentang kerinduan akan kaki yang mengejang. Ah, gelap ini begitu kokoh mengurung, dengan udara sebagai dinding kaca. Kebekuan meronta ronta oleh setiap titik air yang meluncur dan menancap. Sisa kemeranaan semalam tertinggal menempel pada setiap inci kulit ari, pedih adanya.

Setitik kehangatan muncul di wajah keruh, melata dalam dan menyisakan dingin meraja. Oh, air mata…betapa rapuhnya kebahagiaan ketika dermaga hati telah porak poranda dipermainkan musim dan iblis yang riang berpesta.

Hujan, gemuruhnya, bau wangi tanah, sejuk yang melumuri, dan kenangan yang membanjir dalam hati, menyajikan keindahan atas dramatisasi keperihan; menu makan siang kali ini…

Cubicle, 060424

Saturday, April 22, 2006

Kupu kupu yang merindu

Ia rindu, sejuk tanah berdebu dibawah rimbun pohon bambu kampungnya, yang menjadi istana masa kecilnya. Tempat pertama mengenal planet bumi, kemudian dunia dan segala macam isinya, dengan segala tumpang tindih kisahnya. Di setiap hembusan angin yang menerpa wajah adalah kabar tentang tempat nun jauh disana, dunia luas terbentang berbatas langit ke langit; mayapada!

Betapa ia ingin segera selesai proses transformasinya dari seekor ulat lembek yang tidak menarik menjadi seekor kupu kupu! Mengakhiri proses demi proses metamorfosa dan akan memasuki fase terlama dalam rantai metamorfosis. Voila! Sepasang sayap terpasang, dan kaki bermunculan untuk menapak, sementara sayap tak sabar untuk mengepak, terbanglah terbang si kupu kupu, jelajahi bumi dari ketinggian, dan ketika kaki harus menapak, ia tinggalkan catatan sebagai jejak.

Bersama angin, kepak sayapnya menari. Setidaknya warna sayapnyapun tidaklah istimewa. Tubuhnya mengikuti angin meliuk dan mendorong, menjelajah udara yang maha luas dan berisi keindahan. Angin sawah musim kemarau di kampungnya dulu, selalu membawa kabar tentang peradaban manusia, selamanya kisah antara manusia dan manusia. Dan manusialah yang membuat dunia ini ada dan bearadab. Pengembaraannya mengajarkan tentang gelembung gelembung dunia bagi setiap individu.

Wajah wajah kusam masa lalu, tersenyum mengundang kenangan untuk menengok jendela kuburan masa kecilnya yang penuh harapan dulu. Betapa kesederhanaan dan alam amatlah nikmatnya. Malam malam yang eksotis masa kecilnya, menantang untuk menjelajah hati, palung terdalam dari gelembung gelembung kepribadian. Betapa kemudian tak mengherankan juga baginya ketika sayapnya koyak tercabik, dan ia harus tgerkapar miring ditanah sebagai lambang ketidak berdayaan. Angin pulalah yang menghempaskan ia ketanah. Gelembung dunia kupu kupuku terkadang bersentuhan lembut, dan suatu ketika keras membentur.

Terbangnya jadi pincang kini. Tak pintar lagi menari bersama matahari. Malam menjalani kehidupan dengan kegelapan. Hitam, gagah dan anggun. Hitam menyembunyikan. Malam menyembunyikan catatan kepak sayapnya, dan ia terus mengepak, menyusuri dunia tak berujung sampai ijin hidupnya dicabutNya dan liang lahat pekuburan jadi garis finishnya. Biarkan catatannya jadi nisannya, setidaknya ia belum cukup jauh menempuh….

Gempol, 060422

Friday, April 21, 2006

Raden Ajeng Kartini (1879 – 1904)

Semakin tua usia merambati nasib, ajaran luhur yang ditanamkan waktu kita SD waktu kita kecil tentang kepahlawanan semakin memudar karena berganti dengan nilai nilai cetakan dari pengalaman hidup sepanjang jalan. Pahlawan yang berakar dari kata ‘pelawan’ sudah tentu mengandung cerita tentang tokoh perlawanan pembela terhadap satu keadaan yang umumnya berlumur ketidak adilan. Si tokoh kemudian menjadi contoh panutan dan sekaligus tugu peringatan zaman atas jasa jasanya.

Pahlawan pahlawan non fiksi tecatat dengan tinta emas dalam sejarah setiap bangsa karena mereka membwa perubahan yang berdampak kepada jalanya roda sejarah selanjutnya. Rasa terimakasih dari generasi berikutnya kemudian dipelihara sebagai penghargaan kepada si pemberi perubahan kepada kebaikan tersebut, dengan peringatan peringatan, karnaval, bahkan upacara resmi kenegaraan terkadang. Dan itu terjadi ketika kita masih anak anak sampai remaja.

Hari ini semestinya juga berisi peringatan tentang sorang pejuang kesetaraan derajat gender, Kartini. Meskipun pada realitasnya sekali lagi, semakin tua pemeliharaan terimakasih dan hormat kepada Kartini makin menyusut. Setidaknya sejenak kita merenung tentang luhurnya cita cita dan kemuliaan budi pekerti wanita yang satu ini, yang pada zaman ketika beliau hidup dulu telah memiliki pemikiran pemikiran dan tindakan sehebat dan seberani itu, dan pada saat yang sama menerima dan menjalani realitas feoedalisme jawa dalam kungkungan system budaya rumah tangga yang super patriarki. Protes sosialnya elegan melalui gagasan gagasan yang mengalir melampaui semua batasan peradaban kala itu. Keterbatasan tehnologi, pengetahuan maupun komunikasi ditengah atmosphere kolonialisme saat itu dilumpuhkan hanya dengan sebuah keberanian dan keyakinan yang luar biasa cemerlang.

Setuju ataupun tidak, Kartini meletakkan batu fondasi kesetaraan gender hingga hari ini. Keberanian dan sikap sikap yang dituangkan dalam tindakannya saat itu telah menggeser paradigma perempuan yang hanya sebagai konco wingking dengan pameo surga nunut neraka katut - nya, atau anak bawang, atau lebih ekstrim lagi sebagai pelengkap dunia lelaki. Kartini melihat kesetaraan itu melalui mata nalurinya yang bening, namun toh tetap mengikut kodratnya sebagai wanita dengan keterbatasan dan pemahaman yang menyeluruh tentang kondisi zamannya yang kemudian melahirkan satu retorika bernama emansipasi.

Zaman melaju, wajah dunia berubah dan manusia dengan peradaban dan budayanyapun ikut berubah. Yang tidak pernah berubah adalah ‘manusia’ dengan kemanusiaanya, dengan kodratnya. Kepintaran dan kemajuan ilmu pengetahuan sering memperdaya artikulasi emansipasi sebagai satu dalih untuk menipu kodrat gender. Sebagian kecil perempuan mengartikan emansipasi sebagai satu hak mutlak untuk berbuat dan bertindak sama atau bahkan melebihi dari lelaki. Yang rendah akal budi ini mengartikan emansipasi sebagai persamaan kodrat, bukan hak. Padahal, sejak hari pertama dilahirkan dari rahim bunda antara laki laki dan perempunan membawa kodratnya sendiri sendiri yang tentu tidak sama. Perbedaan kodrat itupun oleh alam memang telah sedemikian rupa menjadi satu kelengkapan yang harmonis, ideal.

Bagi kaum hawa yang bijaksana menyikapi emansipasi sebagai hak perempuan untuk mendapatkan haknya sebagai perempuan, hak diperlakukan oleh laki laki sesuai dengan kodratnya sebagai perempuan dan memperlakukan laki laki sesuai kodratnya sebagai laki laki. Kesadaran akan hak rembesan dari emansipasi ini tidak lantas memunculkan sikap pengingkaran terhadap kodrat wanita, sebagai ibu dan induk sebuah kaum, sebagai guru bagi tiap generasi dan sebagai penyandang keindahan mahluk Tuhan bagi kaum laki laki yang tidak serta merta keberadaanya diperuntukkan untuk kaum laki laki.


Sejenak mari kita diam, mengirim do’a yang khidmat untuk Kartini, sebagai sesuatu yang pantas untuk kita haturkan sebagai rasa terimaksih kita yang tidak terhingga.


Gempol, 060421

Wednesday, April 19, 2006

Film Unggulan Hollywood versi Padang








1. Enemy at the Gates -- Lah tibo lawan di pintu...
2. Batman Forever -- Kalalauang
3. Remember the Titans -- Lai Takana jo si Titan
4. The Italian Job -- Karajo maliang
5a. Die Hard -- Payah matinyo
5b. Die Hard II -- Alun Juo Mati Lai...?
5c. Die Hard III With A Vengeance -- Ondeh Mandeh, ndak juo mati matidoh...?
6. Bad Boys -- Anak Kalera
7. Sleepless in Seattle -- Mangantuak..
8. Lost in Space -- Ilang di awang awang
9. Brokenback Mountain -- Gunuang patah tulang
10. Cheaper by Dozens -- Bali salusin tambah murah..
11. You've got Mail -- Ado surek tuh ha...
12. Paycheck -- Pitih Gaji
13. Independence Day -- Hari Rayo
14. The Day After Tomorrow -- Saisuak
15. Die Another Day -- Ndak kini matinyo..?
16. There is Something About Marry -- Manga si Merry yo..?
17. Silence of the Lamb -- Kambiang pangambok
18. All The Pretty Horses -- Kudonyo rancak-rancak
19. Planet of the Apes -- Planet Siamang
20. Gone in Sixty Seconds -- Barangkek lah waang Lai
21. Original Sin -- Sabana-bana doso...
22. Mummy Returns -- Lah Baliak si One tadi..?
23. Crash -- Balago kambiang
24. Copycat -- Kopi Kuciang
25. Seabiscuit -- Makan Biskuit di Lauik
26. Freddy vs Jason -- Bacakak
27. Just in Heaven -- Lah di Surgo
28. Air Bud -- aia si Budi
29. How To Lose A Guy in 10 Days -- Baa caronyo manyipak urang..
30. Lord Of The Ring -- Juragan batu cincin
31. Deep Impact -- Taraso dalamnyo
32. Million Dollar Baby -- Anak Rangkayo
33. Blackhawk Down -- Buruang itam si Don
34. Saving Private Ryan -- Mahagia les ka si Ryan
35. Dumb and Dumber -- Pakak jo sabana Pandia..

(PS. copy pasted from widespreaded email. Thank you for my man, BJ for forwarding this email)

Tuesday, April 18, 2006

Piala Plastik untuk Juara Plastik

(Terjadi di sebuah Sekolah Dasar Negeri masa kini…)
Sebuah korporasi produk minuman berafiliasi dengan sebuah penerbit majalah anak anak menggelar bermacam lomba ketangkasan bagi murid murid sekolah dasar. Guru guru sibuk mempersiapkan perwakilan sekolahan dan melatih mereka tiga minggu sekali setelah selesai jam pelajaran, beberapa siswa yang entah atas pertimbangan apa dipilih untuk mengikuti lomba. Hanya sekitar 30 anak dari 240an muridnya. Lokasi lomba; nun jauh dari sekolahan, seratus kilometer arah timur laut. Para orang tua yang kebetulan belum memiliki kendaraan pribadi silahkan kasak kusuk mencari tumpangan kepada orang tua murid lainya yang kebetulan punya. Atau kalau memang tidak cukup nyali untuk kasak kusuk, silakan gigit jari karena sekolahan hanya menyediakan transportasi bagi siswa, sewa dua buah angkot.

Tiga minggu persiapan yang melelahkan, hingga datang hari perlombaan. Peserta dari puluhan sekolahan, melombakan berbagai ketangkasan khas anak anak mulai dari lari berantai membawa bendera, memasukkan bola ke keranjang yang diberi tiang, mengelompokkan bola bola dengan nama bahasa inggris ke tiga keranjang berbeda, hingga melempar gelang gelang ke patok kayu. Semua bergembira tampaknya, ratusan anak dan orang tua bersorak sorai dibawah matahari Cikarang yang panas ngangas angas. Selebihnya, semua orang boleh membikin acaranya masing masing, melepaskan diri dari kelompok besar dari sekolahan. Lomba selesai, mengakhiri masa latihan selama tiga minggu.

Sesudahnya tak ada pembicaraan mengenai lomba, kecuali petualangan asyik main prosotan air di waterboom. Entah apa maknanya lomba, siapa yang menang dan kalah, kriteria penilaian dan hadiahnya. Tak ada informasi tersedia. Sisa waktu usai lomba terisi dengan keasyikan bermain air bahkan esensi kedatangan ketempat rekreasi keluarga itupun sudah tak lagi menjadi penting. Dan ketika waktu tak terbendung melaju, hari berjalan seperti kebanyakan, seperti kebiasaan. Dari pagi ke siang lalu sore lalu malam dan seterusnya hingga dua minggu kemudian kabar dari sekolahan: semua yang ikut lomba diharap membeli piala seharga enampuluh ribu rupiah!

Sebagian anak baru pertama kali seumur hidup mereka mendengar kata “piala”, dan terbiasa menjadikan anjuran sebagai kewajiban. Maka orang tua anak memiliki kewajiban baru yaitu membeli piala seharga enampuluh ribu rupiah. Dunia anak anak memang sangat pragmatis. Harus beli karena yang lain juga beli, malu dan rendah diri apabila tak ikut membeli.

Bibit bibit pengemban kelangsungan kehidupan itu diracuni dengan menyepelekan ajaran moral dari sebuah piala, sebagai lambang penghargaan atas sebuah prestasi individual (ataupun kelompok). Ia insentif bagi semangat juang yang menghasilkan sebuah keteladanan, kemudian melahirkan penghargaan. Hanya dengan berjerih payah, usaha keras dan perjuangan berat piala boleh menjadi hak. Proses peraihanyapun melalui kriteria yang jelas dan standard penilaian yang transparan, bukan sekedar lambang partisipasi atas sebuah kegiatan. Nanti, maka akan tertanam di pengertian si anak bahwa piala adalah lambang penghargaan dengan pengorbanan beberapa lembar uang. Bisa dibeli dan mudah mendapatkanya.

Entah kemana sensitifitas para pendidik itu yang mengajarkan pelajaran moral dengan nilai materi dan bersifat instant seperti itu. Semestinya nilai semangat dan sportifitas ditanamkan sejak anak anak mengenal dunia, bahwa hanya sedikit dari banyak peserta yang berhak atas piala sebagai penghargaan peringkat tiga besar juara, dan harus rela menerima kalau toh diri belum layak menjadi juara. Ketangkasan itupun adalah kerja kolektif, mulai dari para guru pembina hingga rekan rekan peserta, jadi seharusnya pula piala dianugerahkan kepada satu kelompok atas nama, menjadi kebanggaan bersama dan alih alih sebagai ajaran moral bahwa kerjasama kelompok bisa menghasilkan prestasi, bahwa persatuan regu itu penting lebih penting ketimbang kerja individual berdasarkan sifat.

Walhasil sebuah piala dari plastik cetakan berwarna biru kombinasi keemasan setinggi 60 senti menjadi pajangan sudut ruang tamu. “juara tiga lomba ketangkasan bla bla bla…”. Kuning berkilau menyilaukan mata atas kesederhanaan telaah akar nilai. Cuma plastik hasil dari daur ulang sampah non organik, piala plastik bagi juara plastik, piala plasu bagi juara palsu. Sebuah degredasi nilai yang memprihatinkan.

Gempol, 060418

Sunday, April 16, 2006

Pura pura bahagia/bahagia pura pura

(Sebuah monolog hati, diantara riuh rendah kerumunan suatu siang)
Apkah hidupmu berbahagia?
Aku berdiri diantara puing puing bangunan kebahagiaan itu kini. Tetapi aku tidak menderita. Aku mati rasa.
Berarti kamu tengah merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya dengan cara yang realistis bahwa kamu berbahagia dengan pura pura berbahagia.
Kepura puraan itu relative. Aku lebih senang mendefinisikanya sebagai sebuah kerelaan. Kepura puraan bahagia demi membahagiakan atau minimal menyenangkan orang tersayang adalah kerelaan hati untuk mengalami sendiri sesuatu yang tak enak dikonsumsi, dan pengalaman sendiri itu melahirkan efek kesenangan kepada orang lain, itu kerelaan untuk mengimplementasikan rasa sayang kepada orang istimewa.
Atas nama cinta?
Ya, cinta yang tanpa syarat. Bukan cinta yang sekedar ikatan kewajiban, ikatan hukum dan ikatan tanggung jawab. Cinta yang berazaskan kasihan dengan belitan naluriah yang memiliki kekuatan untuk melakukan itu semua.
Pasangan hidup adalah cinta suci!
Bukan, hal itu hanyalah kewajiban.
Dari sanakah kebahagiaan teraih?
Ketidak bahagiaan datang dari masalalu, dan masalalu hanyalah batu yang tak sanggup digubah lagi menjadi apapun. Ia akan tetap jadi batu, meskipun dalam wujud ukiran patung indah sekalipun. Ia mati, keras dan abadi. Sedangkan kebahagiaan terletak pada masa depan yang berisi tebaran benih harapan. Menanti benih harapan tumbuh adalah pengupayaan sebuah jawaban atas tebakan dengan daya upaya maksimal. Pengupayaan itu membuat aku terus ingin hidup menyambangi benih harapan itu.
Tetapi ketidak bahagiaan mengitip dari setiap sudut kepura puraan, bukan?
Aku sudah pernah bilang bahwa sesekali ego diri haruslah disublimkan, dikempeskan sampai tak ada isi, agar kepentingan diri hilang dan berganti menjadi sebuah persembahan kepada orang kesayangan. Dengan begitu satu persepsi baru bahwa kebahagiaan yang sebenar benarnya kebahagiaan adalah ketika diri bisa membahagiakan orang lain, menyenangkan orang lain yang disayangi.
Bagaimana mengimplementasikah itu?
Mudah saja, aku pura pura bahagia. Dan aku bahagia dengan bahagiaku yang pura pura itu.


LPI Darussalam Cipayung, 060416

Saturday, April 15, 2006

Lelaki, malam dan Sahara

Seorang lelaki sendirian menggigil di gurun Sahara bathin pada satu tengah malam. Di angan angannya berkecamuk fikiran tentang kehilangan demi kehilangan dan berderet daftar harapan yang tak terpenuhi, membentur dinding dan ambyar di hampa suasana.

Sisa haus yang selama berabad ditanggungkan telah mematikan perbedaan antara siang dan malam, membaur menjadi satu rasa dominan haus, lapar dan letih. Ia tersesat di perjalanananya sendiri, mencoba mengingat senyum dan tawa yang pernah dijalani sebagai penipu rasa celaka.

Ia haus akan cinta sedangkan yang dikepalanya hanya berisi kemesuman. Seraut wajah laki laki dan wajah perempuan yang sangat dikenali hanya menawarkan kekecutan atas ketidak berdayaan menghindar dari serangan mereka yang diam diam. Ia haus akan sentuhan embun yang barangkali tersisa menetes dari pohon teduhan satu satunya.

Hatinya begitu lapar akan kebahagiaan sebagai hakikat dari inti perjalanannya. Pemenuhan atas kebutuhan jasmaninya terbentur pada dinding langit yang mengurungnya dalam kosong yang luas.

Badan ragawi menjadi rapuh oleh tamparan demi tamparan badai pasir, merayakan keletihan yang begitu tebal atas keterdamparannya. Karena ia lelaki, maka ia tidak menjerit oleh sebab ia tahu keadaan yang mengurungnya dan mengerti betul dimana dirinya berada. Satu satunya yang membuatnya bertahan adalah harapan, bahkan ketika ia berdiri diantara nisan pekuburan harapannya sendiri.

(Amatlah manisnya dunia ini kalau dipandang dari jurusan hati yang penuh harapan. Tetapi kadang kadang harapan itu mengalami kematian seperti mahluk mahluk lain. Dan untuk sisa hidupku selanjutnya aku akan bernafas tanpa harapan. Aku hanya mau bekerja, bekerja bekerja. Orang lain akan tertawa apabila kukatakan bahwa hanya bekerjalah tempat pelarianku yang utama melupakan masa masa dengan hati penuh mayat harapan. Masa itu, masa yang manis itu, telah lalu. Orang lain itulah yang dengan ejekanya yang sengit akan berkata: pelarian! Pengecut! – P.A.T, Sunyisenyap di siang hidup)

Gempol, 060415

Friday, April 14, 2006

Tentang Rumah Tangga

(Sekali ini aku bicara kepada kalian tentang lembaga yang menjadi pangkal. Mulai kehidupan umat manusia: keluarga! Payung yang melindungii keturunan manusia daripada hujan dan terik pergaulan hidup. Titik permulaan di mana tiap suami dan isteri mendapat atau tidak kebahagiaan.

Aku telah banyak mengenal keluarga dengan mencari hakikat hakikat yang ada padanya, orang lebih gampang mengerti apakah lembaga kehidupan salah pasang ataukah telah bergeser dari tempatnya yang semestinya. Demikianlah pada suatu ketika telah aku perhatikan suatu keluarga yang sebenarnya banyak terdapat dalam lingkungan kita, banyak juga terdapat antara kawan kawan kita sendiri, dan banyak terdapat antara tetanga kita sendiri – dari Lembaga Kehidupan Telah Hancur Sebuah Lagi karya P.A.T)



Dua paragraph pembuka tersbut menghentikan kerja pemaknaan isi rangkaian kalimat yang selalu dahsyat menghasut nurani untuk mencocokkanya dengan fikiran sendiri, menggantinya kepada mode kontemplasi. Berhenti dan menelaah diri, hidup sendiri sebagai kehidupan yang paling dekat bagi si yang menjalani. Tulisan Pram yang diterbitkan Majalah Roman No. 5 Th. III, Mei 1956 tersebut seketika mengakibatkan pemadaman aliran listrik PLN dirumah otak yang tadinya terang benderang karena terangsang bacaan kesukaan; anything Pramoedya Ananta Toer.

Sebermula pendapat Pram yang luar biasa tentang nilai rumah tangga tersebut memang telah tercetak dalam hati, meskipun tak sanggup untuk diuraikan seperti cara Pram menamparkanya ke pembacanya. Menggunakan bahasa salah kaprah jaman sekarang bisa diekspresikan dengan kata kata “sangat setuju sekali”, terlepas dari benar dan tidaknya setiap orang menyikapinya.

Dan…
Rumah tangga sebagai investasi sosial, dimana sesuatu tercipta dari ketiadaan atas upaya bersama, komitmen dua individu laki laki perempuan untuk memasuki satu penjara peradaban, sepakat melepaskan kebebasan atas banyak sekali hak pribadi atas nama cinta. Haih…cinta ini, begitu sempurna sebagai alasan atas hampir semua keadaan. Cinta juga yang mula mula membutakan logika ego, yang bergerak bebas seperti tanpa garis ruang maupun halangan. Dan tetap cinta juga yang memberi kekuatan atas permaafan, bahkan sebagai zat mematikan untuk membunuh seseorang, baik pembunuhan secara karakter maupun pembunuhan atas kuasa aktualisasi diri.

Perkawinan mempertaruhkan nilai wanita yang disimbolkan dengan citra, dengan nilai laki laki yang disimbolkan dengan wibawa, dan cinta melaksanakan tugasnya dengan sempurna memberi hutang harapan yang dikemudian hari bisa berkembang menjadi rentenir bagi batin. Pada saatnya ego yang buta akan sembuh. Terlepas dari delik apapun yang terjadi menyangkut hubungan beda kelamin ini, si ego-lah yang memprakarsai kekacauan. Ketersinggungan ego menggeserkan fungsi sosial gender serta menciptakan status quo dalam rumah tangga.

Hukum sebab akibat kerap menjadi peluru peluru pembelaan dan penyerangan dua ego yang bertempur, melilit mencari cari. Memunculkan indikasi indikasi dini bahwa perkawinan yang bahagia yang menjadi landasan pacu ketika memutuskan untuk menikah dulu jaraknya semakin melenceng menjauh dari jangkauan. Perlu kerja keras ekstra untuk membetulkan letak kemudi agar arah haluan tepat sasaran tujuan awal perkawinan; kebhagiaan suami isteri!

Demi kebahagiaan terkadang justru menimbulkan konflik berkepanjangan, mendapatkan hasil kebalikan dari apa yang diidamkan. Meskipun (dan semoga) happy marriage juga terjadi dikawasan bumi manapun, termasuk dilingkungan kita, sukur sukur terjadi pada kita sendiri. Memang setiap investasi apapun selalu memiliki dua hasil akhir antara bekembang makmur atau bangkrut pailit. Kalau sudah sebegini gawat dimana cinta sebagai alasan dasar dari pembentukan lembaga keluarga tinggal samar terlihat, maka sudah menjadi kesemestian bagi suami untuk kembali mengenakan jubah kodrat dan demikian juga bagi si istri. Suami kembali menjadi sepantasnya lelaki dan istri menjadi sepantasnya istri dengan keharusan keharusan yang menyertainya.

Memang seharusnya, laki laki yang memiliki power lebih dibanding wanita menggunakan power itu secara tepat guna serta bijaksana untuk mengayomi dan sekaligus mengawal laju perjalanan sejarah sebuah rumah tangga.

Gempol, 060414

Thursday, April 13, 2006

Merawat hari hari basi

Badan yang memang semata wayang tak henti mengembara mengisi kubus kubus dimensi ruang dan waktu. Tak bisa berhenti sejak kontrak kematian dengan nama kelahiran disepakati. Dan sang badan melayang meliuk menterjemahkan jalinan ruh tak berwarna, tak berasa dan tak berbau pula. Ia menjalani track yang memang sudah disediakan meskipun tak terlihat mata, kalis dari praduga, seperti langkah dalam menjejaki udara.

Segugus satuan waktu terbunuh tinggal menjadi ampas kehilangan sari pati. Teronggok berisi catatan tentang harapan dan kemisterian hidup yang bermetamorfosa menjadi sepah belaka bernama masa lalu. Sebagian masa lalu memang tak meninggalkan jejak, lenyap terbawa angin usia dan sebagian lagi menempel jadi benalu, terseret seret bahkan sebagian menjadi parasit bagi ruh dalam melanjuti perjalanan di track udara.

Sebagian masa lalu terkadang teronggok bagai sampah dan tak mau pergi begitu saja, meskipun logika berkali kali menepis dan hati keras berusaha membersihkannya dari kedalaman ingatan. Baunya menebarkan kejijikan dan sekaligus kesakitan, yang siap menghampiri indra penciuman dan mengirimkan signal kemuakan ke syaraf otak kapan saja angin leluasa membawa muatannya.

Sungguh segala kesatuan ruh dan badan menyadari kebusukan dan keperihan (atau luka dalam) hanyalah sampah masa lalu yang kemudian menjadi basi. Mereka adalah hari hari basi yang karena system pertahanan ego kemudian mengendap menjadi sumber penyakit yang menggerogoti syaraf. Lalat lalat berbulu malaikat meramaikan kehadiranya, menyempurnakan fungsi fundamentalnya sebagai penjajah bagi keselarasan hidup, dan kemudian memperkenalkan kepada nurani bahwa hari hari basipun harus menjadi bagian dari pola gerak langkah kaki ketika menapaki udara yang sekali lagi tak boleh berhenti.

Life goes on, saudara. Jika hari hari basi tinggal menjadi sampah organik, maka memang begitu hukum alam menentukan. Menerimanya sebagai satu kesatuan paket hidup adalah satu satunya opsi seperti tercantum pula dalam klausul kontrak kematian. Mengingkari keberadaanya dalam palung kenangan hanya akan mempertegas perih yang terasa, sedangkan menelan bulat bulatpun mengandung kemungkinan besar akan tersedak dan tercekik kehabisan oksigen penyegar sel darah. Ah, sejak dahulu hidup memang absurd!

Hari hari basi, kenangan yang tidak kita ingini semestinya tinggal menjadi masa lalu tanpa efek apapun sebab memang tak bisa kita berbuat apapun untuk mengimprovisasinya. Bau busuknya, kuman kuman yang ditimbulkannya kemungkinan kemungkinan negatif yang berkecamuk didalamnya adalah murni milik kehidupan sebuah pribadi. Mustahil melupakan keberadaanya semustahil menghilangkanya. Masalalu tidak bisa begitu saja dicopot dari memori otak untuk dibuang (meminjam istilah si sipit) . Tak ada amputasi otak dimanapun, kecuali mencucinya. Ya mencuci otak agar hari hari basi yang menjelma jadi seonggok sampah penebar malapetaka menjadi lebih higienis dan tetap menyandang kodratnya sebagai kenangan, sebagai pengalaman. Mencuci otakpun punya prinsip khusus dimana satu satunya bahan pembersih yang bisa dipergunakan hanyalah: Menerima tanpa tanya.

Cubicle. 060413

Wednesday, April 12, 2006

Percakapan sebelum tidur

(terjemahan bebas dari percakapan dari sumur tanpa dasar, dengan sebelah jiwa)

“Besok jika kita bangun tidur, maka dimuka bumi ini hanya tinggal aku dan kamu yang tersisa hidup. Semua orang diseluruh dunia seperti tidak pernah ada, semua tiba tiba tidak ada lagi, hanya kita berdua”
“Orang orangnya meninggal kena wabah atau bagaimana?”
“Tidak mereka menghilang pindah dunia. Asyik, kita bisa gila gilaan sampai puas, tidak perlu kerja dan tidak perlu pergi sekolah. Yang ada hanya pergi bersenang senang dan gila gilaan. Aku pingin kita tinggal di Ancol saja biar bisa berenang dan main prosotan air siang dan malam, atau kita cari rumah bagus yang ada kolam renangnya juga bisa”
“Hmm…tapi aku harus kerja, supaya tetap punya uang”
“Kita kan tidak perlu uang lagi, buat apa?? Kan tidak ada orang jualan lagi, kita boleh ambil apa saja semau kita. Aku juga pengin punya Barbie yang banyak sekali…”
“Tapi kalau lapar gimana?
“Kan ada McD, ada KFC dan lain lain?!”
“Iya, tapi siapa yang masak? Kan semua orang sudah tidak ada?”
“Oh, iya yaa…Nah, pasti ada bahan bahanya, kita masak saja berdua. Rasanya pasti nggak karu karuan, tapi pasti asyik”
“Hanya berdua? Bukanya lebih asyik kalau bertiga?”
“Berdua saja lebih asyik, kalau bertiga malah repot nanti, soalnya cuma kita berdua yang bisa gila gilaan. Kita kan teman karib”
“Kalau nanti aku mati, kamu sendirian dong dimuka bumi. Aku nggak mau?!”
“Kamu tidak boleh mati, kalau kamu sakit nanti aku yang rawat kamu”
……

“Besok kamu masuk apa?”
“Masuk siang, sukurin, kamu masuk pagi, kan?!”
“Iya…bobo yuuk….”
“Aku belum ngantuk…aku lagi mikir Ancol dan Eldorado, mana yang akan aku pilih kalau besok benar benar dunia tidak ada orang lagi ya? Eldorado bagus dan Ancol jauh…Eh, tapi kita bisa pakai mobil mana saja deng yaa…tidak perlu pakai motor lagi. Ah, nggak ah…aku lebih suka motor”
“Yasudah…kita harus bobo…”
“Semoga mimpi kita dikabulkan ya…”
“Ya semoga…”
“Aku sayang kamu…”
“Aku leebbbbih…sayang”
“Aku sayang kamu melebihi sayang orang seluruh dunia”
“Aku leeeeeeeeeeeebbbbbbbbbbbbbbiiiiiiiiiiiiiihhhh…….sayang”
“Sekarang waktunya berdoa….”
(berdoa bersama)
“Selamat tidur sayang…”
“Selamat tidur, saying…”
(berpelukan, erat saling merasakan, hingga raga terbuai mencari mimpi tentang dunia yang tak berpenghuni, hanya kami berdua yang menempati dengan cinta sejuta rasa dalam setiap utas usia)

Gempol, 060411

Friday, April 07, 2006

Episode Kebangkrutan

:N
Badai telah terlalu lama berkuasa, hingga pilar terakhirpun luruh kebumi mencium bekas fondasi labil tumpuan bangaunan untuk teduhan. Semua telah terpertaruhkan sampai kepada titik terakhir kata kata sekalipun. Kita bangkrut kehilangan wujud, amarahmu menebas separuh nafas yang selama ini setia menyangga keberadaannya, menciptanya menjadi kecacatan milik keabadian riwayat.

Kandas tak berbekas, bahkan sekedar menghitung kekalahan, apalagi kesalahan. Lenyap dilarung dalam kepasrahan yang dipaksakan. Kesedihan datang menghiasi perih kekecewaan, tak ada tangis meratapinya. Bahkan air matapun kehilangan bahan, setelah sekian lama menjadi catatan pengaduan.

Kekacauan telah sempurna dan hajat iblis telah terlaksana. Langkah akan menjauh mengikuti rencana yang sekian lama menjadi rahasia. Tinggal harapan diserahkan kepada udara, kepada angin yang mengembara diangkasa. Episode kebangkrutan ini begitu berat dijejalkan kepada kemurnian manusia bahkan jika dinamakan pembelajaran, atau sekedar kenyataan.

Setidaknya hal lain diraup sebagai hikmah, bahwa memang beginilah sejarah harus tercatat setelah sekian lama keyakinan dibangun bahwa masa depan hanya konskwensi keputusan dari masa lalu.

Ah, kini hanya tersisa kenangan perih atas iblis yang berpesta pora dikepala, hingga tak ada lagi yang tersisa. Bangkrut apapun yang pernah menjadi ada dari ketiadaan.


Gempol, 060407

Thursday, April 06, 2006

Letak kebahagiaan

Ketidak bahagiaan datang dari diri sendiri, ia adalah buah negatif dari fikiran atas keinginan dasar yang tidak terpenuhi oleh harapan atas orang lain. Buah fikiran negatif itu jika dijabarkan akan menjadi panjang berentet rentet dan berubah menjadi sebuah kisah menyedihkan, laksana pengejawantahan dari badai hujan berwarna hitam. Kemuraman dimulai tanpa mengerti dasar dimana akhiran akan ditemukan. Karena dia – sekali lagi - buah fikiran negatif, penghuni alam angan angan yang tak memiliki dinding konkrit.

Kebahagiaan sendiri adalah suasana hati dan fikiran yang mayoritas berisi keadaan yang harmonis, kesesuaian antara harapan dan keinginan dengan kenyataan yang dijalani. Ekspresinya adalah sebuah perasaan cinta kasih yang memiliki alamat tujuan pelimpahan, menciptakan sebuah kerelaan dengan landasan pengabdian, meluap kepada sebuah sikap peduli terhadap kehidupan kosmik, dengan menjunjung tinggi nilai nilai positif. Kebahagiaan hati membuat langit fikiran bersinar cerah ceria, penuh dengan hal hal yang mudah dilihat dan dirasakan. Bagi pemuja rasa hati, kebahagiaan adalah samudera seni, dimana semua hal memiliki nilai estetika.

Ketika kebahagiaan menjadi hambar (dan diartikulasikan menjadi ketidak bahagiaan) yang terasa adalah bahwa hidup telah kehilangan warnanya, kehilangan rasanya. Ini yang sering menuntun mental kepada keputus asaan karena kemuraman kemudian secara skeptis diartikan sebagai kebutaan yang permanen, bahwa kehilangan tidak akan mendatangkan tunas harapan baru untuk masa depan. Muram semata. Padahal, hidup sudah akan benar benar kehilangan makna maupun nilainya apabila memang hidup itu sendiri sudah berakhir dengan kematian.

Kebahagiaan, sama halnya dengan ketidak bahagiaan juga datang dari diri sendiri, ia adalah buah postif dari fikiran atas keinginan dasar yang terpenuhi oleh harapan atas orang lain. Jadi kalau kita mau mencari dimana letak kebahagiaan itu maka kita tinggal menengok ke pendalaman hati dan fikiran karena disanalah kebahagiaan dan ketidak bahagiaan itu berada. Terkadang kebahagiaan menghilangkan pandangan obyektif bahwa keadaan bisa berbalik dalam hitungan detik tanpa peringatan dan bukan kecelakaan, melainkan akumulasi dari keadaan yang tidak tersadari sebelumnya.

Berjiwa besar, melapangkan hati, kerelaan berkorban (atau menjadi korban), membuat hidup mendekati indah asalkan didasari dengan sukarela yang ikhlas. Merendahkan hati pada ukuran standar juga membuat kita merasa pantas dianggap berharga. Begitulah idealnya cara kita merawat kebahagiaan, jika memang letaknya sudah ditemukan pasti, didalam hati….


Gempol, 060406

Wednesday, April 05, 2006

Cinta yang benar benar cinta

Menemukan cinta yang sesungguhnya sama saja dengan membujuk kaum lajang untuk segera memiliki anak sebagai keturunan. Cinta yang sepenuhnya menterjemahkan cinta yang hakiki adalah cinta kepada anak keturunan sebagai titisan ruh, bahkan sebagai reinkarnasi atas diri pribadi.

Kekuatan cinta kepada sang anak sanggup menciptakan senjata senjata baru yang mumpuni bagi persoalan persoalan yang datang dalam dunia yang melingkupi kehidupan. Anak menjadi jimat penyelamat ketika krisis kedewasaan melanda jiwa. Ia menjadi sinar kekuatan yang memandu langkah untuk tetap bijaksana ketika hati gelap. Cinta kepada anak menerbitkan keikhlasan menyediakan diri untuk menjadi pelampung dan perisai bagi keberlangsungan hidup normal sang anak secara mental.

Anak juga adalah malaikat penyelamat ketika godaan datang menawarkan kesenangan subyektif, atau ketika semangat terperosok kepada lubang ketidak yakinan. Sang malaikat memompakan semangat hanya dengan senyumnya yang tak dibuat buat dan dengan tingkahnya yang tanpa sandiwara apalagi rekayasa, permainan khas orang dewasa.

Anak juga menjadi guru filsafat paling bijaksana dan sederhana. Cara anak mencintai orang tua tanpa memandang busuk atau harum baunya, cara anak mengekspresikan perasaan ketergantunganya adalah cermin dari cinta yang sesungguhnya. Belajar dari anak anak, adalah belajar untuk menjadi manusia sederhana yang hanya tahu kebenaran dan kesahajaan. Dia mengajarkan kebeningan kepada keruhnya nurani manipulatif orang dewasa.

Kecintaan kepada anak sebagai imbal balik dari kebesaran cinta anak kepada orang tua menjadi obat mujarab bagi kekecutan hati yang diracuni oleh sikap sikap palsu orang dewasa yang terkadang harus ditelan mentah mentah dalam kehidupan. Anak memberikan penawarnya dengan segala kemurnian keinginan dan akal fikiranya yang berkembang melewati fase demi fase dengan perlahan. Ia adalah selembar kertas kosong dengan orang tua sebagai pena yang mengisi satu paragraph pembuka untuk menjadi sebuah buku suatu saat kelak.

Mencintai anak adalah mengenal cinta yang sebenar benarnya. Sayang banyak orang tua durjana yang memandangnya sebagai mahluk lemah, bodoh yang merepotkan, bahkan memanfaatkanya dalam permainan busuk, bahkan mengajarkan kebusukan sebagai nilai kehidupan, dengan cinta sebagai alasan.
Orang dengan type seperti itu hanya pantas disebut sebagai bajingan!


Gempol, 060405

Tuesday, April 04, 2006

Maaf

Maafkan aku wahai sesal yang mengisi lambaian tangan perpisahan dengan kehampaan dari perjalanan jauh yang sia sia, senilai dengan pembelaan diri atas ketidak berdayaan. Malam yang membekap anganmu menterjemahkan pelarian yang salah tujuan ketika terali peradaban kokoh membentur wajah dan menyisakan garis keperakan di kornea mata; akar kenyataan.

Ketidak berdayaan kita timbul tenggelam, terpung dalam kapasitas yang berbeda pun terlalu rumit untuk diterjemahkan sebagai nilai dari hubungan. Tak ada tambang pengikat untuk jadi tuntunan ketika gelap mengurung, hanya intuisi yang berjalan bersama harapan dalam simbol tebak tebakan.

Engkau matahari jiwa yang terkadang lewat begitu saja sebagai rutinitas kehidupan, membawa kecerahan dan pandangan terang benderang. Berpendar mengitari alam fikiran dalam orbit yang selalu sama; pengingkaran diri. pengingkaran diri atas letih yang menggenang, atas kepercayaan teronggok bak karung basah

Bulan sabit dikotamu, mengantar hadirku yang termenung diujung tipisnya dan angin telah kuutus untuk membangunkanmu dari tidur, kuajak menemaniku menikmati kopi dan mengais inspirasi malam ini. Setelah letih perjalanan seharian, mungkin engkau letih sebab sapaku tak lagi terjawab. Maka lewat embun kutiupkan mantra pengusik mimpi, agar aku menyembul sebentar dalam perjalanan khayali dalam bawah sadarmu.

Maafkan aku wahai sesal, atas diri yang membatu menyaksikan hasrat membuncah.

(kata kata panjang yang tak terucapkan pada 3 April 2006)

Gempol, 060404

“Truth hurts”

Sebuah pameo terpampang didepan gerbang sebuah dunia hubungan antar manusia, sangat pribadi dan berkarakter terikat jelas olah kewajiban hukum, tanggung jawab dan sosial bernama perkawinan. Dua kata itu mengandung penjabaran atas pencarian kebenaran yang terkadang ketika ditemukan terbungkus dengan keperihan. Keperihan menjadi lebih terasa ketika digarami oleh sandiwara sempurna atas kebohongan yang kemudian terkuak oleh hukum alam. Becik ketitik, olo ketoro, temen tinemu tetap menjadi konsep baku yang tetap mutakhir bagi hukum alam sepanjang sejarah umat manusia.

Ketika kebenaran yang menyakitkan hati itu ditemukan, maka kesakitan akan menuntun pencarian untuk menemukan lebih banyak lagi kebenaran kebenaran lainya. Kebenaran yang sedang dibicarakan disini adalah kebenaran yang tertutupi oleh segala daya upaya kebohongan, seperti menyimpan tahi dalam bungkusan kado indah gemerlapan dan mempertahankan si kado dengan segala pembelaan yang diperlukan dengan kekuatan fisik maupun mental. Perilaku culas pasangan yang beberapa tahun lalu telah sepakat untuk memasuki dunia perkawinan yang notabene adalah penjara pergaulan, menyebabkan nilai komitmen itu sendiri membias menjadi sesuatu yang menghawatirkan, terombang ambing ditubir jurang.

Menemukan bangkai kebenaran yang dengan rapi dikamuflasekan dalam kepura puraan yang hampir sempurna menyebabkan kekecewaan yang meruntuhkan setiap senti dinding kepercayaan yang terbangun dan kokoh menjadi pelindung dari serangan syak wasangka. Bangkai kebenaran yang tak tercium aromanya karena mata tertutupi oleh kepercayaan yang secara total diabdikan sebagai modal bagi sebuah rumah tangga. Runtuhnya bangunan berkomitmen itupun menyebabkan kepercayaan menjadi satu bend mati yang telanjang, mudah dipermainkan musim yang melintasi sesuka hati.

Nasi telah menjadi bubur, kehidupan kebenaran telah mejadi bangkai yang ditemukan membusuk dipekarangan nurani. Dengan tangan gemetaran membujuk amarah, bangkai harus dikuburkan agar baunya berhenti membuat muntah, dan nasi yang jadi bubur tetap harus jadi santapan dengan improvisasi sesuai kekuatan hati. Menyesali penemuan kebenaran yang menyakitkan tetap menjadi warna, meskipun masa lalu telah menjadi batu yang harus juga dikemas dalam tas punggung bernama pengalaman, untuk mau tidak mau dimasukkan menjadi muatan meneruskan perjalanan mencari kematian.

Muatan baru dalam tas pengalaman memerlukan kekuatan ekstra agar kaki tetap punya pola langkah, agar mata tetap terbuka dengan dagu terangkat menatap udara. Nasehat bijak didatangkan dari delapan penjuru angin tanpa definisi, yang berujung kepada satu titik yang tak terbantahkan sebagai alasan terakhir: kehendak sang pencipta. Sebuah jalan pintas yang membungkam protes dan gugatan atas ketidak sesuaian perbuatan dalam aturan peradaban manusia yang berazaskan nurani dan tenggang rasa.

Akal budi menggerutu mengutuki kedurjanaan, meskipun tak ada sesuatupun yang dapat berubah hanya dengan kutukan. Rute perjalanan telah dipilih yakni mengikuti arah matahari pergi. Revolusi yang radikal tetap diperbolehkan tetapi hanya akan menghasilkan korban yang kemudian menjadi momok bernama penyesalan dimasa depan. Nasehat bijak berlalu bagai angin sebab telinga hanya berisi desisan mengerikan dari si Medusa dan jerit kesakitan dalam hampa rongga dada. Ketika bait terakhir dari angkasa berhenti menghibur, maka yang ada hanyalah fikiran yang menata ruang yang porak poranda.

Lalu sebuah nasehat lagi datang dari dalam diri, hanya dengan menyodorkan kaca benggala agar diri bercermin, melihat kebenaran diri sendiri dari luar kubus inklusif bernama ego, melihat dengan jeli setiap gajah yang tak tampak dipelupuk mata. Memandang diri sebagai pencipta dan penemu kebusukan yang menyakitkan, kemudian mengevaluasi diri dalam filsafat yang menyakitkan. Sebab hanya itu yang tersisa sebagai penghiburan. Dan pengingkaran terus berjalan karena memang tak sebanding kuantitas antara sebab dan akibatnya.

Gempol, 060404

Saturday, April 01, 2006

Tamu

Matahari meninggi di isolasi peradaban, sebuah panti rehabilitasi manual bagi lembaga rumah tangga bernama rumah kontrakan. Tamu tamu tak diminta datang sekedar membawa basa basi dan bau tahi. Jelangkung jelangkung dengan nafas teratur dan hasrat hewani yang terperangkap dalam kerendahan akal budi, berkasak kusuk sekedar merendahkan harga diri.

Tamu tamuku membawa teman temanya, ribuan iblis berbagai rupa yang lama terabaikan. Mereka membawa generasi baru dalam gerbong gerbong panjang bagi hidupnya kembali si api bagi otak. Dibawanya juga pesan pesan rahasia yang hanya terperdengarkan oleh dinding dinding dapur, penuh intrik yang mematikan berulang ulang.

Ruang tamu hanya tinggal menjadi simbol keberadaan, menjadi sebuah pelintasan tanpa makna kehormatan. Kasak kusuk menetaskan jentik jentik amarah dalam jantung, mendidihkan darah yang membungkam percakapan, oleh sebab kepalsuan menjadi kudapan ketika teh manis disuguhkan sebagai hadiah kedatangan.

Ketika tamu tamu terhormat pergi, yang tertinggal hanya sampah yang dihasilkan dari sebuah kekacauan yang terselubungi asap menyesakkan, meninggalkan dua ton bahan pertanyaan dan perlahan mengikis keyakinan yang susah payah dibangun dengan segala keterpaksaan. Sebuah komunitas aneh dihidupkan dalam kerjapan kehadiran tamu yang mengguyurkan kenangan menyakitkan, menjadi generator bagi pelecehan sebuah pribadi.

Gempol, 060401