Thursday, November 25, 2010

Tukang Monyet

Di tepi ruas ruas jalanan Jakarta belakangan ini kita banyak temui monyet monyet lucu yang tidak lucu. Berjam jam berdiri, atau mondar mandir dengan sepeda motor dari kayu, mengenakan topeng dari bekas boneka plastik, dikenakan baju kumal seolah manusia kerdil; dipaksa mengemis oleh tuannya yang duduk bersimpuh dibelakangnya. Berjam jam sang monyet menjalani pekerjaan yang bukan profesinya, tak kuasa melawan perkasanya tali kekang rantai baja yang melingkar di pinggang kurusnya. Nyeri dan linu terasa sampai ke ujung jari kaki kakinya setiap kali tuannya menyentakkan rantai itu jika sang monyet merasa bosan atau dianggap membandel dari kemauan sang majikan. Monyet itu menjadi mahluk yang sangat menderita di dalam hidupnya, terperkosa oleh kamauan duniawi manusia.

Sang tuan yang mengendalikan hidup si monyet, duduk ditanah seolah menengadah, mengharap derma. Baginya apa yang dilakukannya adalah sebuah pekerjaan, sebuah profesi yang menghasilkan materi. Hatinya kejam, jiwanya keji sehingga tidak mewakili karakter sebagai manusia yang berakal dan berbudi serta dianugerahi oleh Tuhannya dengan perasaan cinta kasih. Si tuan tidak mewakili hakikat manusia yang pengasih, bahkan mewakili karakter bangsa monyet pun tidak. Sebab seekor monyet tentu akan memperlakukan monyet lainnya sebagai sebagai monyet. Dan abang tukang monyet itu bukan mewakili kodrat bangsa manusia dan bukan pula mewakili kodrat bangsa monyet.

Sang monyet hanyalah alat tak berjiwa yang dijadikan sarana untuk seolah olah memberikan penghiburan selayak pengamen mengharapkan imbalan jasa. Monyet tidak butuh rasa iba dari manusia, dan seekor monyet tidak membutuhkan uang untuk kelangsungan hidupnya. Kesengsaraan yang dialaminya tidak ada hubunganya samasekali dengan kebutuhan hidupnya; kecuali kebutuhan hidup tuannya yang pemaksa. Sebagai binatang biasa ia hanya rindu kebebasanya akan berkehidupan di dunia monyet. Tapi sang monyet sungguh tidak berdaya dan tampaknya tidak ada satu manusiapun yang peduli atas nasib malangnya. Ia tetap akan berdiri menari, mengenakan topeng dari cuilan boneka plastik dengan sentakan rantai yang melingkar di pinggangnya yang suka datang menerjang tiap saat. Sang monyet sungguh tak akan pernah mengerti, mengapa manusia bisa berlaku keji.

Sang monyet juga tidak mengerti kenapa materi bisa menyebabkan manusia begitu rakus, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan materi lebih banyak dari orang lainnya. Iapun tidak mengerti jika ternyata bagi bangsa manusia, materi dapat dengan mudah mengalahkan nurani dan membunuh akal budi. Ternyata materi pulalah yang menyebabkan dunia menjadi penuh dengan kesewenang wenangan dan kekerasan. Diantara ketidak mengertiannya itu, sang monyet tidak berdaya memberontak dari penganiayaan panjang yang dialaminya. Gas beracun dari knalpot ribuan kendaraan yang melintasi dekat tubuh mungilnya seolah telah membaur dengan lapar haus yang ia tahankan dibawah panggang terik matahari didalam tirani tuannya; si Tukang Monyet. Ia sungguh tidak berdaya, tidak mampu mengakhiri penderitaanya sendiri. Sang monyet memang sial, hidup di negeri yang seolah tanpa kearifan penguasa, dimana tidak ada pejabat yang bersikap layaknya manusia; sebab manusia semestinya melindungi dan menyayangi binatang. Bukankah di negeri inipun sudah ada aparatur negara yang seharusnya melindungi bangsa monyet dan dari keganasan nafsu manusia? Aparatur negara yang digaji oleh rakyat untuk menegakkan undang undang yang miskin implementasi.

Lantas sebenarnya pertunjukan apa yang disajikan oleh Tukang Monyet kepada pengguna jalan? Pertunjukan topeng monyet tidak seperti itu meskipun sama sama mengeksploitasi binatang demi uang recehan. Topeng monyet yang asli membuat anak anak orang tersenyum bahkan anak anak bisa tertawa terbahak bahak oleh tingkah sang monyet melakukan aksi aksi yang diteriakkan oleh sang tuan. Musik sederhana mengiringi gerakannya, menambah meriah suasana. Orientasi Tukang Topeng Monyet lebih jelas, yaitu memberikan jasa hiburan keliling jalan kaki, dan berhenti jika tiba waktunya beraksi. Tukang Monyet tidak seperti itu; ia hanya duduk menunggu, dan sang monyet hanya bisa tertindas oleh rantai kekang dibawah terik matahari dan himpitan rasa bosan, lapar dan kesakitan.

Kalau saja abang Tukang Monyet mau kembali kepada kesejatian tujuan keberadaannya dipinggir jalan, yaitu demi derma dari para pejalan, sebenarnya saran ini layak untuk dicoba; balikkan keadaan. Dandani dan arahkan sang monyet untuk bertingkah seperti manusia, dan biar abang tukang monyet yang berperan menjadi monyetnya, bertingkah dan bergerak layaknya seekor monyet yang menghibur. Bertopeng, menari, dan berdiri dibawah matahari. Sementara buatkan sofa mini dan setelan jas sederhana untuk sang monyet yang berkacamata sambil memegang kekang rantai palsu ditangannya seolah mengendalikan si tukang monyet. Disitulah letak kelucuan sebuah ironi, suatu penampilan hal yang mudah dicerna dan bisa diterima oleh manusia yang katanya berakal budi. Penderma pasti akan menghampiri, memberi penghargaan atas kreatifitas berfikir untuk mendobrak kemiskinan dan mengesampingkan gengsi, tanpa harus menggunakan mahluk lain sebagai pijakan kaki. Niscaya, antara si monyet dan tuannya akan sama sama bisa menerimanya.

Tukang Monyet di jalanan Jakarta seolah mencerminkan kemerosotan akhlak bangsa. Dan lebih memprihatinkan lagi, tidak banyak yang menyadari degradasi moral akut negeri tercinta ini. Dan kita berhutang banyak kepada anak keturunan kita atas kekacauan nurani bangsa, yang tercipta dari apa yang kita lakukan hari ini.

Bambuapus 101125

Saturday, November 20, 2010

Indonesia Tertib

Kota purwokerto pada sembilanbelas november duaribu sepuluh pukul tujuh lewat empatpuluh dua menit malam menjadi seperti utopia mininy Indonesia. Jalan jalanan mulus melengang, berkendara bagaikan mengambang diatas genangan angan angan malam. Ketika semua orang ber deja vu dengan sepotong sepotong mozaik terbaik dalam hidup masing masing. Cinta dan orang lainlah yang membuatnya jadi terbaik, dan semua menjadi hak intelektualitas setiap individu. Kota ini menjadi bebas distorsi. Kota kecil yang sejuk dan makmur, dengan keakraban warganya layaknya tinggal di sebuah desa raksasa. Pengamen, pengemis, tukang pakir, pemulung, PKL dan pelanggar lalu lintas tentu ada, menjadi warna dinamika sebuah kota. Dan alun alunnya tetap menjalankan fungsi pokok setiap alun alun di setiap kota; tempat terbuka umum yang bebas diakses oleh siapapun dengan membawa sopan santun sebagai identitas sebagai orang yang berhak atas fasilitas komunal gratis; diatas hamparan rumput hijau sejuk, dibawah taburan sinar lampu berwarna biru muda serta kerdipan bintang yang menebarkan kegenitan. Sepasang sepasang manusia bedalingan diantara sela sela kegelapan, membagi hati membagi kehidupan.

Rumah rumah tua sisa peninggalan kejayaan Belanda berdiri kaku, menjadi saksi bisu atas arus zaman yang perlahan menggerogoti dinding dinding kearifan tanah Jawa. Gedung gedung batu selayak tanah makam tanpa pepohonan, menyembunyikan miliaran kisah hidup yang tertimbun oleh gundukan sang waktu. Dan diantara gang gangnya, nafas alam berliukan menukar siklus sejarah dalam catatan diam. Kehidupan kota ini datang dan pergi mengikuti adat dunia, selayaknya terwakili oleh stasiun tua bagaikan sungai baja yang mengangkuti kecemasan dan kebahagiaan yang datang dan pergi dalam kehidupan. Rasanya tak ada satupun orang yang akan sanggup menafikan eksotisme kota purwokerto di waktu malam. Terlalu sayang jika tak dilewatkan bersama pasangan. Cinta antar manusia telah memelihara kota kecil ini dari ganasnya globalisasi. Laksana oase ditengah carut marut dan semrawutnya ketertiban dan ketenteraman hidup di negeri subur makmur Indonesia.

Dewasa ini banyak pejabat negri menjadi maling, banyak mayat bayi terbuang di WC umum, banyak selebriti hamil nganggur, banyak kelompok menjadi jahilliyah homo homini lupus yang haus darah saudaranya sendiri. Mereka yang miskin dan bercita cita, terpaksa menjual diri menjadi babu di negeri orang., banyak sarjana berijazah tanpa menguasai ilmu pengetahuan. Negeri kita ini saudaraku, ibarat seonggok bangkai gajah yang dekerubuti ratusan juta belatung yang rakus akan kekuasaan dan harta benda. Aturan hukum yang menjamin ketertiban umum perlahan lahan menjadi retorika pemanis tujuan negara. Sesungguhnya tidak satupun kita merelakan jika aturan dan undang undang dihinakan dengan perbuatan laknat, dilecehkan dengan mengkomoditikan hukum menjadi barang dagangan yang dijual murah bagi mereka yang berkelimpahan jabatan. Sedangkan segalanya, bahkan Tuhan sekalipun seringnya dikalahkan demi kepentingan tahta dan harta oleh beberapa orang saja. Mereka menciptakan sejarah kelam, sebuah degradasi peradaban yang kelak akan diwariskan kepada anak keturunan. Generasi yang akan datang akan menjadi bentuk improvisasi dari kondisi integritas moral bangsa hari ini.

Bagi kita yang mungkin lupa akan bentuk kepribadian sebagai bangsa timur yang santun dan beradab, pengalah lagi relijius. Kondisi kejiwaan bangsa saat ini sudah semestinya menjadi alarm peringatan akan datangnya bencana politik yang akan dapat meluluh lantakkan citra bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Produk hukum bukan sekedar permainan tebak tafsir, tetapi harus kembali menjadi panglima bijaksana. Taat aturan serta tata tertib dimanapun bisa menjadi sebuah kampanye sikap perilaku dan obat mujarab bagi sakitnya bangsa. Kita sendiri yang harus mengupayakan kesembuhannya serta mengembalikanya menjadi sebuah negeri yang gemah ripah loh jinawi, disegani negara manapun karena kesatuan dan persatuannya yang solid. Jika kita sudah bisa tertib tunduk terhadap aturan dan rambu larangan, maka pada gilirannya mereka yang gemar melakukan pelanggaran akan kesepian, menjadi pemain tunggal seperti topeng monyet di pasar malam.

Sikap sikap utama sebagai ksatria yang beretika hanya bisa dihayati oleh mereka yang terpelajar sebagai kaum intelektual. Itulah sebabnya sekolahan diadakan secara massive, supaya setiap warga negara sadar dan paham betapa pentingnya turut menjaga kesatuan dan kesatuan bangsa dengan taat terhadap aturan hukum. Jika itu terjadi, Indonesia akan kembali menjadi surga dari timur. Setidaknya untuk anak cucu kita kelola kelak.

Pwt 101120