Wednesday, February 15, 2006

Senyum dan keikhlasan

(sebuah argumentasi atas kuasa sunyi)

“ Hidup jangan dipersulit, senyum itu lebih indah mengundang keikhlasan untuk masuk secara perlahan”
Mempersulit hidup, sungguh tidak seorangpun dimuka bumi ini yang masih menganggap diri waras mau melakukan itu. Terkadang hidup jadi dianggap sulit lantaran tanggungan konskwensi atas keputusan yang dibuat dan dihayati sungguh sungguh dengan nurani. Kesulitan itu sendiri menjadi denyut nadi kehidupan, sebuah indikasi harfiah bahwa hidup masih berjalan, masih ada dan terasa.

Hati yang ikhlas akan secara simbolis diterjemahkan dalam senyum yang mengembang, tanda kebahagiaan yang terundang masuk secara perlahan kedalam sanubari. Senyum menterjemahkan kebahagiaan itu dan menjadi bahan baku dari keikhalasan yang akhirnya beranak pinak dalam jiwa, berkembang biak menjadi suasana hati yang berbahagia.

Senyum sebagai umpan bagi datangnya keikhalasan menjadi imitasi atas kesementaraan, pertanda pondasi keikhlasan jiwa yang labil. Keikhlasan datang sebagai hidayah, bukanlah tamu bagi hati yang siap pergi kapan saja waktunya pantas untuk pergi. Dan ketika senyum dipaksakan sebagai umpan, keikhlasan yang datangpun hanya sebagai kiasan belaka. Sedangkan syarat mutlak dari keikhlasan adalah; sukarela.

Sebuah senyuman memerlukan kekuatan dari hati yang ikhlas, sebab ketika senyum dipaksakan maka keikhlasan yang menyertainyapun berupa keikhlasan yang dipaksakan juga, bukan keikhlasan yang hakiki, dan sama saja tidak ada keikhlasan disana.


Gempol, 060215