Wednesday, December 19, 2007

Sampul

Standar fisik sebagai ukuran penampilan bawaan lahir yang ideal bagi seorang manusia baik lelaki maupun perempuan adalah komposisi yang proporsional antara tulang, daging, dan kulit yang membentuk paras menjadi berbeda antara satu dan lainya. Keadaan ideal atau sedap dipandang itu kerap dinamakan cantik bagi perempuan atau tampan bagi lelaki. Sebutan cakep mungkin lebih afdol, karena bersifat lintas gender, tidak peduli wanita maupun lelaki. Jika sudah begini, maka yang menjadi tolok pembeda adalah bentuk, ukuran dan keselarasan pandangan semata.

Wajah yang elok, paras yang membuat rasa selalu ingin memandang terkadang menjadi topeng yang sempurna bagi kebusukan jiwa maupun keganasan siksa yang disembunyikan dibalik tampangnya. Katanya kecantikan seseorang terpancar dari kepribadiannya, yang meskipun tidak tampak tetapi lebih berkuasa. Tetapi toh korban ketertipuan atas penampilan fisik ini juga berjatuhan setiap hari.

Bagi sebagian kita yang pernah secara empiric mengalaminya sendiri betapa si rupawan sebenarnya mengandung racun yang lebih mematikan ketimbang si biasa yang tidak begitu rupawan. Pembedaan penampilan adalah hal vulgar yang kerap memerangkap seseorang dalam pikiran impulsive yang menyesatkan, bahwa penampilan yang tidak menarik tidak menimbulkan daya magnet perhatian. Ho ho ho…jangan salah, sebagai pelengkap cerita dunia, pada sebuah kejadian justru si rupawan menemukan kerupawanan yang lebih dalam dari kepribadian dan jalan pikiran si penampilan kurang tadi.

Kita tidak bisa mengukur apapun dari hanya penampilan saja. Coba kita umpamakan, penampilan air yang setiap melintas dalam pikiran kita terbayang kesejukan, kesegaran dan kehidupan induk dari segala keindahan, dibalik itu ia juga berfungsi ganda sebagai alap alap pencabut nyawa. “Don’t judge the book by its cover” bisa fatal! Tetapi tetap saja air tidak bisa berubah menjadi hal yang patut untuk dipersalahkan, apalagi hanya karena penampilanya sebagai air. Iapun diterima dalam kehidupan sebagai air. Demikianlah pula si non-rupawan, ia akan diterima sebagaimana adanya sebab dibalik penampilannya ia memelihara kehidupan.

Sesungguhnya, semakin usang hidup kita, maka semakin arif kita melihat bahwa kecantikan budi pekerti jauh lebih bermakna daripada kecantikan fisik. Para malang yang pernah menjadi korban si rupawan tentu akan cepat menyetujui teori ini. Meskipun, penampilan fisik tentulah juga masuk dalam salah satu criteria yang tidak diutamakan. Tidak ada hal apapun yang bisa menandingi kesempurnaa hasil karya Tuhan; kehidupan. Bersyukurlah diri yang merasa tidak memiliki cukup karakteristik untuk disebut sebagai si rupawan, paling tidak atas dasar penilaian subyektif yang diproduksi dari pantulan kaca cermin.

… lalu kenapa semakin rupawan seseorang, maka semakin beresiko akan mendatangkan malapetaka kesakitan hati?

Renungan super kilat ini mungkin bisa sedikit mengurai, karena; semakin rupawan seseorang, maka semakin tajam duri duri yang menyelimuti tubuhnya. Susah dipegang! Kita mengakui kerupawananya yang juga berarti mengakui ketidak rupawanan kita sendiri. Sebuah proses monolog yang melibatkan fihak ketiga sebagai biang keladinya. Karena kerupawanannya pula maka kita tahu kalau persaingannya akan menjadi semakin ketat. Keunggulan rupa itu membuat kita sebenarnya tidak rela ditinggalkan, bahkan hanya diacuhkan saja. Tetapi jika ternyata kelakuannyapun lebih bangis dari iblis, maka keelokan rupa itu akan menjadi bias, kecantikan yang menjijikkan dan tidak mengundang semangat untuk memandang. Hina dina dalam pandangan diam.

Beruntunglah sebagian dari kita, yang menemukan pribadi pribadi cantik dan terbungkus oleh penampilan yang rupawan. Lelakinya tampan dan baik hati, dan jika perempuan tentu cantik dan baik hati juga. Kebaikan hati diukur dari kemampuan memberikan penghargaan yang wajar atas kehidupan orang lain, pemikiran orang lain dan taat kepada azas azas tenggang rasa. Menghormati orang dengan memperlakukannya dengan sebaik mungkin dan sebagainya. Siapa tertantang untuk menjadi seperti itu? Mungkin sebagian dari nafsu kita mengatakan “aku orangnya seperti itu”, tetapi juga akan ada counter opini dari nurani yang mengatakan “ oh, ideal sekali, aku belum bisa seperti itu tapi aku ingin seperti itu” . Terkembali kepada cara kita menjalani hidup, taat pada nurani atau manja dibuai nafsu. Tinggal pilih, hidup itu bebas memilih, dan boleh memilih apa saja tanpa takut salah.

Sebab saudara, orang yang berpenampilan menarik tetapi berkelakuan tengik, tidak ubahnya tubuh tanpa ruh yang tinggal menunggu keriput, lalu ketika mati tidak meninggalkan kebanggaan apa apa. Sedangkan orang yang berpenampilan kurang menarik dan berhati tengik, ialah yang selalu menjadi pemenang didunia. Orang yang berpenampilan kurang menarik tetapi berhati baik, biasanya mengenakan jubah pahlawan. Kalau penampilanya cantik serta hatinya baik…Belum ada!


Gempol 071219
* tertulis sebagai saksi betapa kecantikan memiliki racun yang menghancurkan, tidak mematikan.