Saturday, February 25, 2006

Hikayat Pendusta

Maka dari mulutnya mengalir cerita demi cerita bohong melulu. Sampai tangis dan sikapnyapun hanya imitasi belaka, menjejalkan dongengan untuk dipercaya bahwa dirinya bersih, kalis dari segala dosa. Sedangkan kenyataan begitu gampangnya dinalar dengan logika bahwa perbuatanya menghancurkan sendi kehidupan dari kaki sampai kepala. Bahkan si dungupun dengan gampang menterjemahkan dirinya sebagai pendosa.

Diniliainya orang lain tidak akan siap dengan kenyataan karena kenyataan itu sendiri jauh menyimpang dari jalur norma, melenceng meninggalkan tatanan peradaban dan aturan kepantasan. Dia tidak sanggup jujur bahkan kepada dirinya sendiri, ego dan kesombongan diri telah mengalahkan nurnainya, mati sia sia.

Si penghianat adalah pengecut sempurna, bagi dirinya sendiri dan bagi dunia. Dipandangnya segala dengan mudah, padahal kesulitan melilit langkah. Nurani plastiknya membutakan pengertian akan terimakasih dan rasa bersyukur apalagi balas budi. Yang ada dikepalanya hanya dirinya sendiri yang lebih tinggi dan lebih mulia dari apapun yang ada dimuka bumi. Sungguh kebodohan yang sempurnya yang pada saatnya akan membenturkan kesadaranya bahwa hidup bukanlah sekehendak keinginan belaka, bahwa orang lainpun akan sanggup menciptakan kehidupan yang harus dijalaninya, dan akan diterimanya dengan kesombongan sebagai beban, sebagai penghimpit nafas disetiap detik yang dilalui.

Dari mulutnya mengalir nyanyian tentang penghianatan yang dianggap sebagai ketidak mengertian, sebagai perbuatan lumrah, bahkan sebagai nilai. Dari mulutnya yang busuk mengalir segala sumpah serapah sebagai pembelaan bahkan semburan ludah sebagai benteng pertahanan akan aib yang dibuatnya yang terkoyak oleh kenyataan. Seluruh penampilan fisik dan bathinya hanyalah tinggal bangkai, yang akan menebarkan bau busuk bagi siapa saja, bagi dunia yang ditinggalinya.

Si penghianat hidup dalam kurungan dunia buatanya sendiri, karanganya sendiri dan memaksa siapapun untuk tinggal didalamnya, menghirup busuknya dan beranak pinak dalam kebejatan moralnya. Tak disadarinya bahwa satu persatu nilai duniawinya meninggalkan dirinya, hingga pada garis terakhir pertahanannya pelampung keselamatan bagi dirinyapun dimunafikinya sebagai suatu yang barharga. Harga diri yang diobral habis tetap dipegang teguh sebagai harga, tak sadar bahwa hampa semata yang dimilikinya.

Maka sebentar lagi, nyanyian sang penghianat hanya akan menemukan sunyi, melolong lolong tanpa seorangpun sudi mendengar, ketika dijualnya diri dan kehormatan untuk ditukarkan dengan semenit demi semenit tempatnya meniti hidup, pun tanpa sesal maupun pelajaran yang sanggup diserap oleh fikiranya yang buta. Dia telah menjadi penghianat bagi nuraninya sendiri…

Gempol 060225