Tuesday, January 15, 2008

Perkawainan, Perceraian dan Anak

Hakikat perkawinan adalah penyatuan dua orang asing beda kelamin, legalisasi untuk seks bagi umat manusia. Perkawinan adalah investasi sosial seumur hidup, membangun satu partikel kecil didalam kungkungan partikel partikel lainya bernama masyarakat. Perkawinan adalah ikatan tanggung jawab terhadap Tuhan, dan itu berarti tanggung jawab terhadap nurani diri sendiri. Perkawinan dan menghasilkan anak adalah kontrak mati terhadap nyawa anak sebagai manusia. Tanggung jawab dua orang yang membuatnya.

Katanya, didalam kekuatan yang besar mengandung tanggung jawab besar. Dikodratkan lelaki sebagai figur yang lebih kuat, dengan demikian memiliki tanggung jawab yang lebih besar juga. Sedangkan, kualitas seseorang diukur dari kesanggupannya memikul tanggung jawab.

Perceraian tidak bedanya saling menarik ke arah yang berlawanan dua tangan anak yang dihasilkan hingga terputus, terbelah menjadi dua bagian sesuai kekuatan suami dan isteri. Perceraian dalam bentuk apapun adalah pencacatan terhadap pribadi sang anak, yang akan dibebani dengan perasaan ‘selalu ada yang kurang’ dalam hidup, terasa hanya sebelah dan sebagainya. Anak kecil yang seharusnya dalam tahap pembelajaran awal tentang hidup, mencicipi hal hal baru setiap hari akan dipaksa menelan kepahitan dan perihnya ketidak pedulian bapak dan ibunya. Si anak hanya akan bisa menerima, tidak punya kuasa dan daya untuk memberontak dari keadaan itu. Betapa tidak teganya membayangkan si kecil yang merupakan larutan dari darah, daging dan cinta suami isteri harus dibebani dengan kenyataan seperti itu. Betapa teganya orang tua yang melakukan itu demi egonya sendiri. Betapa tidak beradabnya, betapa rendahnya kualitas sebagai manusia, sebagai lelaki terutama. Dipermalukan dan dikhianati berulang ulang memang menyakitkan, tetapi membiarkan anak menjadi korban adalah kesalahan yang tidak termaafkan.

Sebagai laki laki, barangkali memang semestinya lebih tegar, lebih kuat dan lebih memiliki daya cipta. Itu digunakan untuk melindungi dan menghidupi istri dan anak yang menjadi tanggung jawabnya secara hukum dan kewajiban. Jadi perkawinan yang menghasilkan anak bukan lagi sekedar ikatan hukum, melainkan bakti atau integritas seorang lelaki terhadap perkawinan, terutama anak sebagai konskwensi dari perkawinan itu. Sungguh tidak ada yang pantas dibanggakan dari menganiaya seorang anak dengan mengatasnamakan ego.

Ada kalanya seseorang diberkahi dengan kekuatan berlipat lipat untuk memberontak dari keadaan. Kekuatan hati dan juga kekuatan materi. Tetapi hanya sedikit orang yagn samasekali tidak punya kekuatan untuk melawan panggilan nurani sendiri. Tanggung jawab kepada anak bukan hanya sekedar menyediakan makan, pendidikan, pakaian, dan kesenangan, tetapi lebih dari itu, merasa bertanggung jawab atas perkembangan mental serta pertumbuhan psikis sang anak yang nantinya akan membentuk karakternysa sebagai pribadi yang dewasa kekak. Orang tua adalah contoh pertama bagi si anak untuk ditiru. Itulah pelajaran pertama yang berkesan abadi bagi setiap orang.

Terbelah karena kematian masih lebih bisa diterima daripada terbelah karena perceraian. Melahirkan keturunan baru, sama artinya dengan kontrak tanggung jawab sampai akhir hayat terhadapnya. Dunia anak akan merekam pengalaman empiris yang dialaminya sendiri, dan membentuk karakter si anak dikemudian hari. Menjadi orang tua bagi anak anak adalah mempersembahkan hidup bagi si anak, memberikan yang terbaik mencintai dengan cara yang terbaik. Prinsip mencintai adalah saling menyenangkan dan teikat secara emosional.

Bagaimana orang tua yang dengan dalih lebih mencintai anak maka memilih cerai? Itu alasan pembenar yang bertolak belakang dari keadaan yang ada. Memang ada perkecualian, tergantung dari seberapa parah kerusakan hubungan ayah ibu si anak menyebabkan bahaya ataupun berpotensi menimbulkan kerugian yang lebih fatal. Diluar dari kasus diatas, maka sepenuhnya perceraian adalah wujud anarkisme terhadap anak, hukum dan komitmen diri. Sumpah diucapkan bukan untuk dilanggar, janji di ikrarkan hanya untuk ditepati. Tidak ada opsi lain.

Setiap orang dari kita selalau memiliki ‘teman’ tak terlihat yang selalu mengawasi apapun yang kita lakukan dalam hidup, bahkan teman istimewa ini punya kemampuan untuk ikut bermain dalam alam fikiran. Ketika melakukan keculasan, ketika melakukan kebaikan, si teman ini tidak luput dari mengecam dan memuji. Kepada si teman itulah kita merasa harus mempertanggung jawabkan setiap keputusan yang kita ambil meskipun berat dan sebagian melemahkan kekutan secara diam diam dari dalam. Keyakinan keyakinan tentang hubungan antar manusia menjadi bergeser ke pengertian pengertian baru. Tetapi pemahaman terhadap perkawinan, peceraian dan tanggung jawab moral yang terkandung didalamnya tetap harus ditaati.

Demikian juga dengan konskwensi mempertahankan perkawinan sambil memendam dendam serta ribuan perasaan negative terhadap pasangan, ibu dari sang anak yang bermetamorfosa menjadi sebentuk tanggung jawab mulia berupa perkembangan si anak secara lahir dan batin. Siksa atas sakit hati, kekecewaan yang membebani, penyesalan yang terus saja menjadi batu muatan di tas punggung, serta ketidak mampuan membendung setiap siksaan yang datang menghampiri, semua menciptakan suasana yang tidak layak bagi sebuah hubungan suami istri. Perkawinan kehilangan intisari maknanya, tinggal ikatan pembungkus kewajiban hukum semata.

Bahkan pengertian awal bahwa perkawinan merupakan produk budaya yang membuat dua orang dianggap ‘boleh’ melakukan hubungan seks semaunya atas dasar suka sama suka, itupun perlahan bergeser makna. Seks adalah hal yang layak dinikmati meskipun syarat ijin melakukannya harus dengan landasan penghayatan atas perasaan serta keterikatan emosi. Rumah tangga yang tak punya jiwa tinggal rumah kosong tanpa penghuninya. Cita cita dan rencana ikut mati, menikmati saja umur mencabuti tiang penyangga hak hidup kita satu persatu dengan tanpa terasa.

Itu konskwensi yang harus terjadi dengan mengambil keputusan mempertahankan perkawinan sambil membopong luka menganga di dada kanan. Dan suami atau istri harus tetap hidup, sebab sebagian besar dari hidup si anak adalah tanggung jawab suami istri. Anak adalah amanah, mengecewakan atau membuatnya bersusah adalah aib yang susah dicari pengampunannya. Waktu akan menyembuhkan luka hati, kenanangan buruk akan berubah menjadi sejarah diri, serta hidayah datang menganugerahkan kedamaian bagi hati yang terasa gersang berlama lama. Yang namanya waktu terkadang menyimpan keajaiban, membawa pengobatan dan juga memberikan kesembuhan bagi apapun yang sakit maupun rusak. Ya, waktu memang mengandung banyak rahasia, terkadang tragedy, terkadang keajaiban yang datang.

Segala hasil yang baik membutuhkan kekuatan hati dalam proses penciptaanya. Siapa yang menaburkan benih kebaikan disetiap detik kehidupan, kelak akan memanen kemuliaan…

Gempol, 080112