Tuesday, August 16, 2011

Perayaan

Hidup bisa jadi adalah rangkaian perayaan demi perayaan yang membentuk jalinan sejarah, catatan sambung menyambung yang menghubungkan masalalu dan masa depan. Semuanya masih hidup, berupa sel sel bersyaraf yang mengambil porsi peran masing masing dalam keseharian.

Ketika seseorang menguburkan janin iblis dibawah sekelompok batu pada masa lalu, maka janin janin itu sebagian mati kepanasan, sebagianya lagi tumbuh menjadi musuh laten yang tumbuh kekar di alam bawah sadar. Terkadang mimipi dalam tidur membawa diri kita kepada sekumpulan kisah masalalu. Dan sayangnya, didalam lingkaran kisah masalalu itu sang iblis tinggal beranak pinak. Tak jarang mereka tebawa pulang ke alam faktual, hingga tersisa iblis yang tetap meraja ketika pertama kali mata terbuka di pagi buta.

Jelas sekali bahwa dinding pembatas sebagai tembok pertahanan yang dibangun untuk menimbun kenangan buruk tak ubahnya lapisan kasar dipermukaan hati yang lembek. Kekuatan iblis yang tak terhitngkan tak ibarat pecahnya kepundan yang menyemburkan ribuan beling kenangan, beling kenangan yang terbentuk dari potongan potongan perlakuan buruk hasil muslihat dari orang yang dianggapnya hidup ekslusive didalam nafas hari harinya. Mereka tak ubahnya adalah sisi sisi tajam yang menginvasi kepala, langsung dari langit tanpa batas. Tak ada tempat untuk menghindar, tidak ada daya pula untuk mengalahkannya.

Maka diam menjadi pertahanan yang paling mendamaikan. Berdiam diri mendukung penuh upaya sang nurani untuk mengusirnya hingga cukup jauh. Gemuruh pertempuarannya menyerupai badai, kekuatan energinya laksana gunung api keramat yang tiba tiba menggeram memberi peringatan akan datangnya marabahaya. Niscaya pada setiap akhir dan sepanjang pertempuran itulah perayaan hidup digelar siang malam. Perang yang begitu dahsyat dan hanya terjadi dalam dunia ruh. Dan niscaya pada setiap perang selalu melahirkan korban cacat bagi mental manusia normal.

Dan korban perang bathin bagi manusian normal itulah yang di beri nama psycho atau kegilaan, sebuah perilaku diluar kendali akal waras; penjelmaan iblis yang tak lagi diakui oleh induk induknya, induk induk yang menamkan janin sang iblis di masalalu. Bagi para pembuatnya, aib acap kali terlalu mudah untuk dianggap cerita salah kisah, sudah expired dan tidak ada. Sayangnya, tidak demikian bagi mereka yang pernah mengampuninya dulu. Baginya yang berlaku adalah pertempuran ganas yang maha sunyi, yang hanya terjadi diam diam dalam hati sendiri. Sangat pribadi, hingga tak mungkin dapat terbagi hanya melalui telinga. Perlu hati untuk bisa mendengarkan intonasi yang lahir dari lenguhan nafas mempertahankan api mengamuk di dada dan kepala. Dan sayangnya, sambutan yang tanpa hati sama halnya dengan membuka dinding batu dimana ribuan iblis selama ini terkurung didalamnya.

Diadukanlah lelah kakinya kepada sang induk iblis, dan dijawab sambil lalu tanpa melewati saringan hati. Sang induk terlalu sibuk dengan perayaan lain lagi di dunia gegap gempitanya, perayaan demi perayaan penuh hasutan birahi. Akibatnya, sang iblis bagaikan direstui untuk berbuat sesukanya, mendatangkan lagi catatan catatan hitam yang menghalangi cahaya matahari yang menghidupkan hingga bumi menjadi muram. Nurani terkadang kewalahan, lalu diketahui kemudian bahwa ia tak mungkin mengalahkan iblis. Dan tidak ada yang kalah atau menang jika tidak ada pertempuran. Upaya kompromi dijalankan semstinya dalam dunia diam, di bikini bottom dimana tak ada manusia disana. Sebuah kompromi hanya untuk membujuk, agar iblis mau pergi menjauh dan kembali bersembunyi di kepundan ingatan yang menjelma gunung api ini.

Nyatanya memang, kedukaan seseorang bisa jadi hanya cerita harian dalam kehidupan. Apalagi bagi mereka yang mengartikannya tanpa hati. Maka dalam perang yang diam, segala bentuk perlawanan akan menggenang dalam diam, menjadi rahasia pribadi semata. Tapi perang itu memang ada!

Gempol 110816