Monday, April 24, 2006

Nyanyian hujan

Titik air yang menghempas dijendela kaca meleleh turun, sisanya menterjemahkan rindu yang menghambur bersama angin bingung yang mempermainkan serpihan mendung. Siang ini rindu menghujam jantung sedang sapamu menggoda goda menimang keberanian untuk menghingkari dunia peradaban. Hanya langit yang abu abu di padang pandangan berbatas kalbu yang lemas.

Gemuruh tanpa warna memaparkan kisah sejuk pekuburan kenangan yang mencambah oleh waktu. Bilur bilur kebahagiaan dikabarkan oleh camar yang berkelebatan membelah rintik hujan. Ah, hujan siang ini begitu tandas menikam palung angan angan, mengantarkan kekosongan dari wajah yang terpaku disisi jendela kaca dengan fikiran menjilati pedih kehampaan.

Hujan melukis wajahmu, sepotong pesan terkirim lewat beku udara, berisi tentang kerinduan akan kaki yang mengejang. Ah, gelap ini begitu kokoh mengurung, dengan udara sebagai dinding kaca. Kebekuan meronta ronta oleh setiap titik air yang meluncur dan menancap. Sisa kemeranaan semalam tertinggal menempel pada setiap inci kulit ari, pedih adanya.

Setitik kehangatan muncul di wajah keruh, melata dalam dan menyisakan dingin meraja. Oh, air mata…betapa rapuhnya kebahagiaan ketika dermaga hati telah porak poranda dipermainkan musim dan iblis yang riang berpesta.

Hujan, gemuruhnya, bau wangi tanah, sejuk yang melumuri, dan kenangan yang membanjir dalam hati, menyajikan keindahan atas dramatisasi keperihan; menu makan siang kali ini…

Cubicle, 060424