Friday, April 14, 2006

Tentang Rumah Tangga

(Sekali ini aku bicara kepada kalian tentang lembaga yang menjadi pangkal. Mulai kehidupan umat manusia: keluarga! Payung yang melindungii keturunan manusia daripada hujan dan terik pergaulan hidup. Titik permulaan di mana tiap suami dan isteri mendapat atau tidak kebahagiaan.

Aku telah banyak mengenal keluarga dengan mencari hakikat hakikat yang ada padanya, orang lebih gampang mengerti apakah lembaga kehidupan salah pasang ataukah telah bergeser dari tempatnya yang semestinya. Demikianlah pada suatu ketika telah aku perhatikan suatu keluarga yang sebenarnya banyak terdapat dalam lingkungan kita, banyak juga terdapat antara kawan kawan kita sendiri, dan banyak terdapat antara tetanga kita sendiri – dari Lembaga Kehidupan Telah Hancur Sebuah Lagi karya P.A.T)



Dua paragraph pembuka tersbut menghentikan kerja pemaknaan isi rangkaian kalimat yang selalu dahsyat menghasut nurani untuk mencocokkanya dengan fikiran sendiri, menggantinya kepada mode kontemplasi. Berhenti dan menelaah diri, hidup sendiri sebagai kehidupan yang paling dekat bagi si yang menjalani. Tulisan Pram yang diterbitkan Majalah Roman No. 5 Th. III, Mei 1956 tersebut seketika mengakibatkan pemadaman aliran listrik PLN dirumah otak yang tadinya terang benderang karena terangsang bacaan kesukaan; anything Pramoedya Ananta Toer.

Sebermula pendapat Pram yang luar biasa tentang nilai rumah tangga tersebut memang telah tercetak dalam hati, meskipun tak sanggup untuk diuraikan seperti cara Pram menamparkanya ke pembacanya. Menggunakan bahasa salah kaprah jaman sekarang bisa diekspresikan dengan kata kata “sangat setuju sekali”, terlepas dari benar dan tidaknya setiap orang menyikapinya.

Dan…
Rumah tangga sebagai investasi sosial, dimana sesuatu tercipta dari ketiadaan atas upaya bersama, komitmen dua individu laki laki perempuan untuk memasuki satu penjara peradaban, sepakat melepaskan kebebasan atas banyak sekali hak pribadi atas nama cinta. Haih…cinta ini, begitu sempurna sebagai alasan atas hampir semua keadaan. Cinta juga yang mula mula membutakan logika ego, yang bergerak bebas seperti tanpa garis ruang maupun halangan. Dan tetap cinta juga yang memberi kekuatan atas permaafan, bahkan sebagai zat mematikan untuk membunuh seseorang, baik pembunuhan secara karakter maupun pembunuhan atas kuasa aktualisasi diri.

Perkawinan mempertaruhkan nilai wanita yang disimbolkan dengan citra, dengan nilai laki laki yang disimbolkan dengan wibawa, dan cinta melaksanakan tugasnya dengan sempurna memberi hutang harapan yang dikemudian hari bisa berkembang menjadi rentenir bagi batin. Pada saatnya ego yang buta akan sembuh. Terlepas dari delik apapun yang terjadi menyangkut hubungan beda kelamin ini, si ego-lah yang memprakarsai kekacauan. Ketersinggungan ego menggeserkan fungsi sosial gender serta menciptakan status quo dalam rumah tangga.

Hukum sebab akibat kerap menjadi peluru peluru pembelaan dan penyerangan dua ego yang bertempur, melilit mencari cari. Memunculkan indikasi indikasi dini bahwa perkawinan yang bahagia yang menjadi landasan pacu ketika memutuskan untuk menikah dulu jaraknya semakin melenceng menjauh dari jangkauan. Perlu kerja keras ekstra untuk membetulkan letak kemudi agar arah haluan tepat sasaran tujuan awal perkawinan; kebhagiaan suami isteri!

Demi kebahagiaan terkadang justru menimbulkan konflik berkepanjangan, mendapatkan hasil kebalikan dari apa yang diidamkan. Meskipun (dan semoga) happy marriage juga terjadi dikawasan bumi manapun, termasuk dilingkungan kita, sukur sukur terjadi pada kita sendiri. Memang setiap investasi apapun selalu memiliki dua hasil akhir antara bekembang makmur atau bangkrut pailit. Kalau sudah sebegini gawat dimana cinta sebagai alasan dasar dari pembentukan lembaga keluarga tinggal samar terlihat, maka sudah menjadi kesemestian bagi suami untuk kembali mengenakan jubah kodrat dan demikian juga bagi si istri. Suami kembali menjadi sepantasnya lelaki dan istri menjadi sepantasnya istri dengan keharusan keharusan yang menyertainya.

Memang seharusnya, laki laki yang memiliki power lebih dibanding wanita menggunakan power itu secara tepat guna serta bijaksana untuk mengayomi dan sekaligus mengawal laju perjalanan sejarah sebuah rumah tangga.

Gempol, 060414