Wednesday, August 22, 2012

Matinya Pak Urip


Ini kisah dunia biasa, proses alam yang menjadi kendalinya. Bahwa segala yang hidup akan mati, bahwa niscaya semua yang bermula akan berakhir di dunia ini. Dari kisah cinta yang menggebu hingga berubah menjadi debu, dari masa muda yang gemilang menjadi hari tua yang suram dan kesepian. Kejadian demi kejadian adalah rangkaian proses dari metamorfosa kehidupan, sedangkan perasaan hati sebenarnya adalah pewarna hari hari; agar hidup tidak melulu berwarna sephia.

Suatu ketika Pak Urip adalah lelaki gagah perkasa, yang begitu kokoh menjadi sandaran jiwa dan gantungan hati bagi si pemuja. Di dalam setiap geraknya menimbulkan birahi, dan utas demi utas kalimatnya menjadi cahaya. Pak Urip adalah malaikat tanpa sayap bagi seorang bidadari yang terbuang diluar sangkar emasnya. Terlunta lunta dan tersesat sendirian diburu oleh pendendam. Di ketiak Pak Urip semua luka dapat disemayamkan, sedangkan luas hatinya laksana telaga sejuk yang tak pernah kering walau kemarau berlangsung ribuan tahun. Disana pula segala resah dialamatkan.

Dia yang membangun keikhlasan dari kehancuran atas kebanggaan pribadinya sebagai lelaki. Tak perlu diceritakan kepada dunia, sebab ia tersembunyi di kuburan hati, tersimpan pada bilik sunyi setelah melewati lorong panjang labirin kerahasiaan. Bahkan seorang pemujapun bisa palsu. Luka imitasi yang hanya dipergunakan selama menguntungkan, selama menyenangkan. Kiranya memang jalan hidup harus demikian, Pak Urip mengikhlaskan hatinya dijadikan alas kesetan; material pembersih dari gedibal tengik yang menempel di telapak kaki.

Kiranya harta juga ikut mengendalikan manusia. Menjadi salah satu faktor penentu perilaku antar sesama. Harta jugalah yang sanggup memodifikasi romantisme kenang kenangan menjadi sekedar masalalu tanpa sejarah. Oleh karena ketersediaannya yang semakin terpangkas oleh kewajiban usia, pak Urip perlahan menjadi benda mati yang usang didalam hati. Sesosok manusia tawar tanpa cahaya, tidak lagi bedaya pikat; membeku seperti self portrait di dinding ruang sembahyang. Kebersamaannya telah ditebus dengan angka demi angka, tualang demi tualang jiwa raga diantara gang dan selokan rimba beton. Itu lebih dari cukup, bagi pak Urip yang bukan apa apa.

Di dalam hidupnya, pak Urip dimatikan dari arti keberadaan. Senar senar pengantar suara telah putus, rantas oleh datangnya kekaguman baru atas sesuatu yang lebih berwarna, lebih baru dan memesona. Untuknya, telinga telinga dipatri mati, mata mata dibutakan bahkan hati sendiri dapat ditipui. Derai tawa yang meletupkan birahi mejadi pengganti photo profile; agar seluruh dunia tahu hati sedang berbahagia. Agar seluruh dunia tahu, bahwa kecongkakan diijinkan bagi yang mampu. Agar seluruh dunia tahu tentang kehebatannya melalui status statusnya; biksu karbitan baru berjubah musang.

Bagi penipu, Pak Urip tak ubahnya nisan kayu yang akan segera lapuk dimakan waktu. Lalu hilang dari pandangan bahkan dari ingatan. Dia telah mati, dimatikan dengan perlahan, lalu dikubur di bawah dipan. Tak layak dirindukan, apalagi dipikirkan. Sebab, dunia tak berhutang kenang kenangan atas hidupnya.

Bambuapus 120822

Monday, August 20, 2012

Mudik


Kehilangan momentum bertubi tubi ternyata bisa membuat orang frustrasi. Seseorang yang tidak lagi merasa punya kampung halaman sama halnya telah kehilangan akarnya, kehilangan rumah sejatinya, dimana segala persoalan bermuara, diamana semua jenis kebahagiaanpun menyegara. Rumah dimana setiap pengembaraan berakhir dengan cerita kisah kisah tempat yang jauh dan menyenangkan. Dan kehilangan kepemilikan secara batiniah terhadap rumah menjadikan jiwa seolah yatim piatu, bocah lola yang tidak memiliki tempat sebgaimana mestinya.

Kampung halaman yang sering dilewatkan tanpa kehadiran pada moment moment hari raya, moment istimewa, sejatinya tetap berada dalam kalbu, menjadi penaung dan pengingat semua ajaran tentang kesederhanaan dan budi pekerti. Manakala kampung halaman itu kemudian kehilangan bobot karena habisnya masa pakai, rontok satu demi satu dimakan zaman dan digantikan dengan cerita cerita baru yang dianggap lebih seru, maka pulang kampung hanya akan menjadi acara seremonial penyemarak ritual tahunan.

Ketika jutaan orang berbondong menuju timur, kaki akan melangkah ke selatan, beda tujuan. Menyaksikan orang begitu bergembira menyambut hari raya, paling tidak ada juga terbersit kegembiraan yang tak perlu dikatakan. Sebuah kegembiraan yang maha sunyi, empati diam diam sambil membenamkan keinginan. Toh jika kita kembali kepada kesahajaan, hari raya hanya akan berlangsung paling lama dua hari. Kedua duanya pun sama, berasal dari siklus waktu yang berulang tak henti itu; antara Seinin hingga Minggu. Ada baiknya juga mengistimewakannya, pertanda memberi hormat kepada warna peradaban. Mudik adalah ritual ziarah kenangan masa kecil, satu bab tentang awal muasal kehidupan manusia.

Wajah wajah lelah terslemurkan oleh ceria, harapan berlimpah akan datangnya saat bertemu dan berbagi cerita dengan sanak saudara, handai taulan yang lama tidak dijumpa. Jalalnan menjadi riuh oleh para musafir, kegembiraan meluap kemana mana disepanjang jalan. Dan sebagian lagi menyaksikan ingar bingarnya dengan diam diam, dengan perasaan nelangsa yang ditekan sedemikian rupa sehingga tidak terlihat di permukaan. Dunia berjalan dalam sunyi, senyap yang menyergap. Segalanya berjalan dalam diam, angan angan dan keinginan semua dibenamkan dalam percakapan monolog tentang lebaran.


Di jalanan, jutaan orang hilir mudik mengangkuti rindu yang menjadi energi langkah melaju, menziarahi masa lalu. Sejenak mempecundangi bumi perantauan dengan lagak dan gaya sebagai orang baru.

Tasikmalaya 120816


Sunday, August 19, 2012

Lebaran

Akhirnya euphoria lebaran datang lagi. Kali ini seperti tahun sebelumnya, dimulai dengan ketidak pastian oleh pajabat negeri. Pejabat di negeri ini memang semakin gemar membuat bingung rakyatnya. Semakin tidak bermutu. Dulu dulu, hari lebaran itu sudah bisa diketahui setahun sebelumnya, hingga dalam setahun itu semua orang bersiap siap untuk merayakannya hingga hari H.

Semangatnya sama, kegembiraan dan ritual fenomenalnya sama. Yang membedakan ada beberapa, diantaranya prestise dan rasa kewajiban untuk memberi kegembiraan. Sedangkan dulu sewaktu kecil moment lebaran adalah keadaan yang paling menggembirakan, datang dengan sendiirinya. Rupanya kebahagiaan anak anak itu disokong oleh para orang yang dewasa. Pakaian baru dan uang saku berrlimpah adalah identitas lebaran masa kecil, dan sekarang dirubah persepsinya menjadi sebaliknya; penyedia pakaian baru dan uang fitrah lebaran.

Diumumkan di tivi maupun tidak, lebaran tetap harus terjadi. Ritual pulang kampung para perantau sudah dimulai dua minggu sebelum hari lebaran sesuai dalam calendar. Ucapan ucapan selamat dan permaafan menjadi nuansa yang mendamaikan. Permintaan maaf dilahirkan dalam lafal kata kata serta diucapkan  didalam batin serta ditujukan untuk satu pribadi secara spesifik. Zaman berubah, orang sekarang lebih gemar menyebar pesan broadcast permintaan maaf secara massal dan di rapel dalam satu kali klik tombol send. Ucapan selamat dan permintaan maaf yang dilahirkan dari text di gadget menjadi kehilangan bobot makna. Hanya seremonial, tidak ada pendekatan secara up close and personal.  Jadi hambar rasanya.

Ini lafal lebaran yang diajarkan dari tahun ke tahun di masa kecil dulu:
Suasana kalal bikalal begitu sacral. Yang muda mendatangi yang tua secara berkelompok, dan yang tua membuka diri untuk yang muda. Si muda dengan sikap taklim akan menjabat tangan si tua dengan kedua tangan, dan menunduk (pantang menatap mata senior). Si muda lalu berucap “ngaturaken sugeng riyadi, nyuwun pangapunten sedoyo kalepatan lair lan batos”suaranya harus lirih, khidmat seolah dengan segenap perasaan ucapan selamat dan permohonan maaf disampaikan.  Harus tertib, berurutan satu persatu. Si tua dengan santun dan berwibawa akan menjawab runtut :”Iyo, podo podo, semono ugo aku, wong tuwo akeh lupute mugo dilebur ing dino rioyo iki”. Ketika semua sudah selesai sungkeman, maka pecahlah suasana menjadi ceria. Si tuan rumah mempersilahkan tamu tamunya mencicipi hidangan. Dari rengginang, permen, kacang, tape, roti maupun kue kue aneka rupa.

Idealnya semangat seperti itu dipertahankan meskipun dengan cara yang jauh lebih modern. Pesan massal itu ibaratnya menempelkan secarik kertas berisi tulisan, ditujukan kepada siapapun yang membacanya. Sungguh tidak ada hormatnya. Akan sangat berarti jika pesan itu disampaikan seperti halnya pesan pribadi, ditujukan untuk pribadi si penerima. Indikasinya adalah panggilan atau nama si penerima disebutkan.

Diluar dari itu semua, lebaran selalu menghadirkan wajah wajah gembira penuh sukacita. Masing masing orang melewati dengan keadaan dan caranya sendiri sendiri. Sebagian besar berbagi bahagia bersama keluarga, kerabat dan sanak famili; pokoknya orang orang tercinta. Sebagian lagi melewatkan hari raya dengan tetap berada ditempatnya bekerja seolah lebaran tidak lewat di pos jaga. Yang lebih mengenaskan lagi adalah mereka yang mlewatkan hari raya di dalam penjara atau tergolek sakit di pembaringan. Tetapi lebaran tetap terjadi, menghadirkan kesan dan suka dukanya sendiri, untuk diperbandingkan dengan lebaran tahun mendatang. Itupun jika Tuhan masih mengizinkan kita ikut dalam peryaan lebaran tahun depan.

Selamat Idul Fitri 1433, semoga semua mahluk selalu berbahagia. Saling memaafkan tulus dari jiwa.


Bambuapus 120819



Tuesday, August 14, 2012

Kota Mati


Gedung gedung kusam itu tampak membatu.  Pepohonan dan pagar pagar rumah dikuasai debu yang membungkam kehidupan. Kemegahan masalalu menjadi runcing oleh peperangan dalam kenang kenangan. Nyatanya iblis memang tidak pernah mati meskipun zaman menelantarkan sebegitu lama. Memenjaranya dalam kuburan waktu sendirian.

Luka yang mati suri memprovokasi damai dalam hati. Bahkan pada saat malam malam riuh oleh khayalan. Aku meminta maaf kepada batu yang telah tergores oleh kisah dan menjadi prasasti, benda mati yang tak mungkin tergeser dalam hati. Lukisan di dinding sejarah mengandung bekas bercak darah, oleh hati ungu yang terseblak kasih salah kisah. Barangkali nanti kuasa waktu akan mengangkuti butir butir debu yang tersangkut di ranting ranting prasangka.

Sewaktu matahari kuning meredup di tepi bumi, semua luka datang menghiba hiba. Mempertontonkan rekaman demi rekaman memar  yang terperangkap oleh cahaya; kisah suatu masa pada enam tahun berlalu. Pada angin tinggeng di kota mati, pikiran terbelah oleh perih dari pedang bermata ganda. Antara ketakutan akan tragedi laten dan takjub atas keajaiban misteri kehidupan. Perebutan dominasi atas masa lalu dan masa depan; mengesampingkan hari ini. Menapakkan kaki di kota mati ternyata bukan sekedar ziarah ketiadaan, tetapi juga mencicipi kembali beling masa lalu yang menempel di telapak kaki dan sela jari jari.


Pada waktu malam turun mengurung kota mati, jiwa jiwa menari dalam gelapnya.  Tidak lagi menjadi soal siapa yang ada dalam genggaman, sebab ternyata kegelapan telah membutakan mata dari cahaya. Di dalam hitam maha luas, pikiran mengayun mengikuti irama nostalgi; kiranya hanya perih melulu yang muncul kembali.  Rupanya di dalam gelap hanya ada pedang bermata dua, yang melahirkan keragan tak kira kira. Nyanyian angin, nyenyanyian bulan dan bintang bintang telah turut mati bersama sonyaruri. Tinggal angin udara bediding yang tersesat disela palawija, bingung mencari selimut yang tersembunyi di rumah rumah batu.

Ah, kota mati tidak ubahnya gunung batu yang menjulang menghalangi jarak pandang. Mendakinyapun hanya bisa dengan angan angan. Sedangkan pada tebing tebih jurang dan hamparan lembah tandus itulah seretan jejak jejak kaki membekas sewaktu perkelahian tidak mendatangkan pahlawan untuk mengadu. Catatan dendam terbawa berkeliling dunia, memetiki buah buah pengalaman yang kemudian kita sembunyikan. Sebagiannya menjadi penawar sempurna sehingga tak patut untuk diberitakan. Luka itu begitu sempurna, sehingga tidak ada satupun penawar atas perihnya.

Sedangkan aku, telah kutetapkan arah laju perahu, meninggalkan kota mati dan melangkah mengikuti garis langit. Ia akan menjadi catatan masa lalu yang tersimpan rapi di rak kenangan. Tidak ada kuasa dan daya untuk menghapusnya, kecuali melihatnya sebagai fragmen fragmen masa yang tak lagi punya nafas dan tunas. Kepada rumah pelangi layar terkembang memuja angin. 

Rupanya perang telah menyisakan biji bijian yang terabaikan, hingga tumbuh menjadi monumen pengingat bahwa di pematang ladang itu cinta pernah lahir prematur dan kemudian mati suri. Kita pernah membangun mimpi di rumah kayu di kota itu, yang kemudian hancur menjadi beling beling tajam yang mejauhkan dari rabaan tangan.

Kota mati kota kenangan, berisi benda benda mati serta zombie yang tak henti bergentayangan meneror mimpi mimpi yang baru saja terbangun kembali di kejauhan.

Bambuapus 120814 

Monday, August 06, 2012

Buku Wajah


Sungguhlah tidak bijaksana mengukur kualitas sebuah buku hanya dari melihat dan membaca judul di sampulanya. Sebab inti sebuah buku terletak pada susunan huruf demi huruf yang tercantum pada lembar demi lembar halamannya. Dan, sebuah karya tulis yang hebat dan bermutu hanya bisa lahir dari penulis yang rajin mebaca buku. Mungkin sekedar referensi, atau bisa jadi sumber inspirasi. Dan selamanya esensi sebuah buku akan tetap menjadi misteri manakala lembar demi lembar halamannya tidak dibaca.

Berbeda dengan buku wajah, yang kemudian menjadi habitat dari hampir satu miliar manusia di dunia. Buku wajah menjadi panggung sandiwara raksasa dimana setiap orang bebas mengambil peran untuk berpura pura ataupun bersungguh sungguh menampilkan jatidirinya. Kepalsuan dan ketulusan dibatasi hanya oleh garis tipis yang mengaburkan warna antara dua abu abu; dunia bayang bayang dan alam wujud. Itulah sebabnya, sampul sampul dari buku wajah seluruhnya berisi suatu pertontonan dan keluhan. Kedua duanya memiliki makna magnetik pada simpati, dan simpati dapat ditunjukkan tanpa harus merasa bersimpati. Cukup icon gambar jempol.

Selebihnya dari dua macam model sampul buku tadi adalah tuntunan moral. Tuntunan moral yang lahir dari jiwa yang (bisa jadi) brengsek di dunia wujud, dengan serta merta menjadi filsuf maha bijak melebihi pertapa yang selama puluhan tahun hanya menghambakan diri kepada kemuliaan laku. Jelas bahwa sampul sampul dalam buku wajah tidak semuanya mewakili esensi atau isi yang terkandung didalam lembar demi lembar kisah sejarah, pengalaman bahkan tautan moralitas pemilik atau penulisnya. Seorang brengsek bisa tampil palsu menjadi ksatria alim, seperti halnya predator yang mengenakan jubah dan topeng pahlawan si buku wajah.

Semua orang bebas menipu dirinya sendiri sebab aturan peradaban yang dipergunakan hanya tertulis di dinding dinding awan tempat segala sesuatu berkelebat cepat hilang. Dinding awan itu mengambang dalam sanubari setiap orang, yang tidak memiliki sanksi memaksa kecuali rasa malu yang pada akhir akhir ini orang semakin kebal. Sungguh tidak ada penipu yang lebih hebat dari orang yang sanggup menipu dirinya sendiri. Kita layak untuk bersimpati kepada orang orang seperti ini, yang hidup jauh dari sejuk tanah, hanya kakinya menjuntai tinggi di tepi kabut kenyataan. Kita patut bersimpati atas mereka karena mereka sebenarnya terbutakan oleh kebanggan menjadi bukan dirinya sendiri sementara mesin waktu terus mengurai usia. Pasa saatnya nanti mereka tersadar, mereka telah terjebak dalam kubangan kesemuan itu yang mengantarkan mereka pada ketertinggalan yang tak termaafkan.

Maka akan lebih bijaksana lagi jika kita menilai sebuah buku dari tulisan yang terkandung didalamnya, syukur syukur tulisan tulisan yang lahir dari perenungan tanpa tendensi, yang memiliki bobot pemikiran realistik layaknya manusia hidup di lama kasunyatan. Hampir satu miliar sampul buku wajah memainkan magnet simpati. Hanya kebijaksanaan yang didapat dari pemahaman tentang nilai hidup yang bisa dengan bijaksana menentukan buku mana yang layak dijadikan elemen pengait pengetahuan tentang cara menjalani hidup agar tercipta harmoni. Sebab tidak semua sampul buku wajah berisi maklumat palsu.


Gempol 120521