Wednesday, August 10, 2005

Surat Kepada Teman Baru

Teman baruku,
Angin lembab kota Manado perlahan membawa embun turun luruh ke atap atap rumah yang membisu. Perlahan menyelimutinya; syahdu. Kota ini mulai tertidur ditimpahi satu dua lalulintas sisa kebisingan seharian penuh. Suara yang mengiring malam melangkah melewati setengah perjalanan menuju pagi.

Di tv masih ada tinju, salah satu tontonan kesukaanku selain warta berita. Discourse kita tentang anak di sms sudah terhenti, dan asumsiku, kita setuju bahwa jiwa seorang anak adalah guru filsafat yang luar biasa bagi orang dewasa. Kesederhanaanya adalah tauladan perilaku bagi orang dewasa, seharusnya. Demikian juga anakku, Kartika Mumpuni namanya, Tika panggilanya. Hampir setiap hari aku menelponya, dan hampir setiap hari pula kata kataku tersumbat di tenggorokan, terganjal pasir yang keluar dari perasaan haru. Sedih. Hampir selalu aku menangis setiap kali selesai menelpon. Pernah suatu ketika ditelepon dia bilang tentang mimpinya semalam, dan dengan polosnya dia bilang:” andaikan bapak bisa masuk lewat telepon, kita bisa ketemu sekarang. Dik Tika kangen bapak...” dan kata kata itu langsung mencabuti otot dan tulang belulang dalam tubuhku. Begitu sederhana, dan begitu mengena.

Bagiku, berteman yang sebenarnya berteman adalah ketika hati merasa nyaman untuk berkomunikasi, bertenggang rasa. Aku sendiri memiliki teman teman dekat yang masih hidup dalam alam bathin itu, masih menjaga komunikasi meskipun mungkin belum tentu satu tahun sekali kami bertemu. Bahkan seorang sahabatku aku tak pernah mengenalnya secara fisik, tetapi aku hampir mengenal seluruh kehidupan dan cara berfikirnya. Tidak jarang juga aku ketemu dengan orang yang pada akhirnya bukan malah menjadi teman, melainkan berhenti diperkenalan dan hilang ditelan arus sang waktu. Seorang temanku, aku mengenalnya sepuluh tahun yang lalu, dan kami menjadi sahabat hati sampai sekarang. Intensitas komunikasipun tidak terlalu terpentingkan karena kami tahu masing masing kami punya kehidupan sosial yang terbentengi oleh aturan kepantasan dan tatanan peradaban. Tetapi nilai seorang sahabat tidaklah luntur, dia hidup dalam alam bathin dan selalu ada ketika bathin membutuhkan. Kedekatan semu seperti itu terkadang justru menciptakan satu komunikasi bathin yang bd anggap sebagai telepati tanpa sadar. Ya, komunikasi bawah alam sadar. Terkadang seorang sahabat tiba tiba berkirim email setelah sekian bulan atau bahkan tahun menghilang, berkirim kabar ketika hati gundah menanyakan bagaimana kabarnya. Tak jarang pula justru aku yang mengirim email dan si sahabat bilang kalau sebenarnya dia memikirkan bd beberapa hari sebelum dia terima emailku. Ya, dan itu menumbuhkan keyakinan bahwa aku masih tetap hidup dalam kehidupan bathin beberapa orang. That is true!

Tentang aku,
Hmm...tak ada sesuatu yang istimewa rasanya yang ada padaku. Dalam komunikasi aku lebih suka dipanggil bd, pharse bd mewakili sebuah jiwa, sebuah pribadi yang kalis dari keharusan peradaban dan budaya, dia memiliki nilai yang mandiri sebagai pribadi. Bagiku, menjalani hidup terkadang adalah memunguti buah buah pengalaman pada setiap detik yang terlewati, dan menulis adalah memanivestasikan pengalaman itu sendiri. Mungkin menjadi kenangan, mungkin menjadi pelajaran, tetapi selalu punya makna. Menulis adalah pelepasan atas apa yang tersimpan dihati, dan bagiku tulisan haruslah jujur seperti apa yang dialirkan oleh hati ke otak dan otak memerintahkan syaraf2 untuk menggerakkan jari diatas keyboard atau membentuk serangkaian huruf huruf ketika tangan menggenggam pena. Aku lebih suka menikmatinya sendiri dan kalaupun menulis atas permintaan, aku anggap sebagai keingin tahuan orang lain tentang bagaimana aku memandang sesuatu. Karena itu pandangan, maka sifatnya adalah opini yang kesimpulanya terserah kepada siapapun yang bersinggungan dengan opini itu.

Teman baruku,
Bagiku bertemu seseorang adalah ibarat membaca sebuah buku, dan aku sendiri adalah sebuah buku bagi orang lain. Tak pernah aku menitipkan standar dalam berkenalan. Siapapun, seperti apapun dia adalah jiwa, adalah pribadi. Setiap orang memiliki kekhasanya pengalamanya sendiri sendiri, seperti bukupun memiliki bibliografi tersendiri yang menentukan ruh kehidupan temanya. Kamu boleh saja tidak setuju dan aku akan tetap menghargai ketidak setujuanmu itu.


Singkil – Manado 09 Agustus 2005

Manado Dalam Kelebat

Kota ini sedang membangun, a rapid growing. Tetapi kota ini sendiri dalam pandanganku memiliki kejayaan dimasa silam. Penduduknya memiliki kebanggaan yang membanggakan sebagai satu komunitas. Ekonomi kota ini berjalan cepat dan dalam pusaran yang kuat. Keramaianya bisa melebihi Yogya kalau siang hari, bahkan pada malam minggu seluruh kota bisa menjadi seperti hari raya. Kesan yang belum hilang sampai hari ini adalah semrawutnya. Kesemrawutan yang dibumbui dengan perilaku “aneh” dari banyak sopir angkot (mikro) yang memasang pengeras suara dimobil mereka, memutar musik kencang kencang sampai terdengar sampai radius ratusan meter. Kencang sekali karena memang keluar dari corong loudspeaker. Disisi lain, kota ini bagi laki laki adalah kolam besar untuk cuci mata. Mayoritas wanita wanita muda berpakaian sensual, seksi, kebanyakan berkulit bersih dan.....ehemmm..cantik. Beberapa orang kenalanku juga bilang kalau tidak sulit untuk mengencani wanita disini. Kabarnya disini (maaf) free sex bukan hal yang begitu tabu. Tentang kebenarnya aku tidak pernah berusaha membuktikan.

Manado, sekali lagi memang kota yang menurutku memiliki eksotisme tinggi. Pola hidup penduduknya konsumtif, tetapi religius. Ya, religius selalu membawa ketenteraman tersendiri. Sayangnya aku belum sempat datang ke museum, sebab biasanya aku selalu menyempatkan diri datang ke musemu atau makam tua apabila berada disatu kota.

Singkil – Manado 09 Agustus 2005