Tuesday, August 28, 2007

Bediding

All of sudden I feel so lonely…
Tatapan mata yang terakhir membekas dalam ke selaput hati, sampai menghilangkan jeda seratus tahun perpisahan ketika kita harus terseret oleh arus kehidupan masing masing. Mata itu mengingatkan betapa pernah kita begitu bahagia dulu. Kesadaran mematikan bebunyian dalam rasa, menyadarkan diri betapa sepinya hati…

Getir pengalaman mengajarkan untuk tidak menyesali dan apalagi mengutuki masalalu, sebab akan percuma saja hasilnya. Masa lalu itu hanya batu fosil bekas kehidupan dan masa depan adalah misteri permainan teka teki nasib. Tetapi tatapan mata dan senyummu meruntuhkan kokoh keyakinan itu. Ternyata kita telah berjalan menjauh untuk waktu yang sangat lama dari tempat dimana hati kita pertama bertemu, tempat dimana mata kita biasa bertatapan. Tempat dimana deburan hati seperti mempermainkan setiap cc darah yang terpompa liar setiap kali pertemuan.

Terlalu banyak kosa kata ‘if only’ berjubal di dalam kepala, menyembul tak beraturan menjadi ratapan terhadap ketidak bahagiaan dari sebelah badan. Ketiadaan yang datang justru dari cara yang kita pilih dan membuat kita tak lagi bersama dulu. Kesadaran selalu datang terlambat bersama penyesalan, betapa indah kehangatan yang tercipta dahulu, betapa jauh jarak telah kita tempuhi sepanjang jalan kita masing masing.

Ketika angin dingin yang kering membekukan tulang, sinar rembulan menyembunyikan debu dari pelataran kesunyian yang merajai hati. Menghadirkan keindahan atas kenangan masasilam; masa kanak kanak. Dulu kita sering membicarakan hal yang sama, tempat yang sama di awang awang sana. Masih ada rumah kayu dengan ladang di pekarangannya, dengan huma dibawah teduh pokok mangganya. Semua jadi gersang dengan ilalang disana sini. Rayap usia pun siap merubuhkan tiang tiangnya. Dan kebun strawberry hampir musnah dilindas musim, tinggal akar belukar tanpa dedaunan. Pemiliknya telah pergi lama, entah kapan kembali, atau mungkin hanya pemimpi yang menunggu ragu di sana

Renungan melahirkan kesadaran, barangkali memang hanya perbedaan harta diri sekarang. Hal hal yang dulu terlihat bersama tidak tampak lagi sebab kita ada di alam fikiran dan dua dunia yang berbeda. Angan akan terus menari dengan rasa sendiri. Dan jikapun indah tidak akan pernah kembali, tetaplah sama saja, kenangan tetap hidup dan menjadi bunga bagi langit hati disana…di tempat paling tersembunyi di muka bumi…

(Dan aku tinggal punya kenangan atasnya. Ya, aku sendiri, bukan untukmu karena engkau jauh terbang tinggi diantara sela warna pelangi. Aku tidak, aku tetap di bumiku, dengan debu dan matahariku …)

Ciracas, 070828

Amarah

Siang. Matahari yang membakar bumi. Api yang maya menyambar kepala, menghanguskan segala pencapaian dan cita cita dalam bentuk amarah terpenjara yang sangat diam. Wajah menjadi panas, kata kata berjubal disela gigi. Seluruhnya kata kata makian atas kekecewaan terhadap diri sendiri. Seolah ingin menyembur keluar mewakili kemurkaan yang merajalela.

Semua orang pergi menjauh, pergi tertawa membawa suka citanya. Sebuah pesan terkirim bagaikan timpukan seember air cabai kemuka dan kepala. Menggeledah simpanan luka membiru yang selama ini tersembunyi rapi, pura pura mati. Tempat ini siang ini terbakar hangus jadi neraka, menyisakan abu dan jelaga, debu dan murka.
“Aku kesakitan...” bisik seonggok hati yang melelehkan nanah diam diam.

Dan segerombolan iblis menyeringai berkeliling, dengan segala hal yang tak pantas untuk diucapkan bahkan untuk diperlihatkan. Belatung dan beling dari masalalu menyembul menganiaya batin, membutakan matahari dan mematikan jalan fikiran. Sekeping demi sekeping pilar kemunduran yang pernah terpatahkan hanya dengan kompromi perlahan mengumpul menjadi kekuatan baru yang mengerikan. Menawarkan kesakitan yang tak terobati hanya dengan keikhlasan hati.

Selamanya kekecewaan adalah buah dari harapan yang berlebihan, memang. Dan selamanya kekecewaan melemahkan syaraf logika, melumpuhkan barisan kata kata. Semestinya hari lekas usai dan berganti sunyi, tetapi matahari yang tiada pernah akan terlambat mengabdi hanya melata mengikuti jalur yang selama jutaan tahun dikenalnya. Hujan tak akan sanggup kita hentikan, dan kemarahan hanya satu dari sekian banyak ilustrasi emosi sebagai pertanda hidup memang sedang terjadi. Ya, kemarahan sama halnya dengan sukacita dan kesedihan.

Dan tersadar tiba tiba, dendam tetap hidup dan ada didalam jiwa, terbawa sampai kan mati kelak…

Keparat kau iblisku!!

Ciracas, 070828

Tuesday, August 21, 2007

Kampung Kolongtol

(Ceritera dari Jakarta V)

7 Agustus lalu lebih dari 200 ‘rumah’ ‘milik’ sekitar 6.000 kepala keluarga yang dihuni sekitar 14.000 nyawa manusia terbakar ludes di ruas sepanjang 13 kilometer kolong tol Wiyoto Wiyono atau gampangnya tol Jembatan Tiga interchange Pluit. Sepanjang kolong jalan tol itu memang telah disulap jadi kampung kumuh berdasarkan ijin dari Dinas Pemukiman dan Prasarana Wilayah Republik Indonesia tahun 2002 lalu, meskipun ijin tersebut konon sudah dicabut pada tahun 2006.

Kebakaran itu menyisakan selain abu dan arang secara harfiah juga menyuguhkan persoalan sosial yang teramat pelik bagi pemerintah kecamatan Pluit. Dari total sebanyak itu warga, hanya 24% yang memiliki KTP dan selebihnya illegal lias penduduk liar. Masih ada sisa 76% dari warga kampung Kolongtol yang akan menghadapi ‘deportasi’ ke kampung halamannya masing masing meskipun jika dilihat dari adat kebiasaan kota Jakarta, mereka yang semestinya pulang kampung itu hanya akan pindah ke satu lahan kosong ke lahan nanggur lainya. Begitu dan seterusnya.

Tidak heran kalau angka dari jumlah manusia yang tinggal di kolong tol Jembatan Tiga mencengangkan siapapun yang tidak pernah memperhatikannya, karena dari hari ke minggu, kemudian ke bulan dan tahun, mereka beranak pinak dan berkembang biak di tempat itu atas ‘restu’ dari abdi negara yang semestinya mengedepankan aturan dan kepentingan Jakarta secara luas. Upeti memberikan akses bagi kehidupan layaknya rumah normal dengan tata cara maupun budaya yang dibuat sedemikian rupa legal. Pola hidup konsumtif Jakarta tak urung memberi dampak langsung terhadap keberadaan para penghuni kolong tol.

Jakarta memang semrawut, dan mental Jakarta juga yang membuat kesemrawutan itu bisa menjadi lahan rezeki bagi sebagian orang. Apalagi jika sebagian orang oportunis tersebut memiliki seragam yang menunjukkan kepemilikan atas kewenangan mengatur dan menjaga, maka soal tanggung jawab tugas bisa dengan gampang saja digadaikan di Jakarta ini untuk tujuan pengkayaan pribadi. Belum sampai ke level kaya barangkali, sekedar pemenuhan dari keinginan sebagai dampak langsung dari budaya konsumtif Jakarta yang mahal. Tumpang tindih pungli dan pungutan ditengah kesemrawutan membuat lahan kolong tol menjadi ajang pendpatan yang menggiurkan bagi banyak fihak, termasuk Satpol PP, Kampraswil, maupun BPN.

Sekarang nasi sudah menjadi bubur, kolongtol tumbuh subur menjadi kampung bernama kampung Kolongtol. Daerah daerah seperti Pluit, Penjaringan, Warakas, Tanjung Priok dan banyak lagi lainnya seperti invisible bagi mereka yang berkewajiban menjalankan pengelolaan sistim tata kota, atau lebih parah lagi justru dijadikan bahan obyekan penghasilan tambahan. Sebuah ‘kemajuan’ yang sebenarnya sangat mudah diprediksi untuk bisa dicarikan solusinya sejak awal apabila pegawai dan pejabat berseragam bisa membwa diri mereka sebagai pengemban amanah, pemomong dan pengayom masyarakat serta pelaku berjalannya hukum dan peraturan. Pendekatan sosial saja belumlah cukup untuk bisa mengatasi permasalahan sosial yang terjadi di kampung besar Jakarta. Ketegasan pelaksanaan hukum, pemberlakuan sanksi serta aplikasi tata tertib secara murni dan terkontrol dibutuhkan demi kepentingan semua fihak.

Ketidak pedulian pelaksana pemerintahan maupun tumpang tindih wewenang sering kali menjadi pusat konflik panjang yang juga sekaligus menjadi ajang pencucian tangan tangan yang kotor. Kebakaran hebat kolong tol Jembatan Tiga tidak urung menimbulkan kerugian miliaran bagi pengelola si jalan tol yang nota bene adalah atap kampung Kolongtol dan juga tentunya para penghuni yang menjadi korbannya juga. Meskipun dalam 2 tahun terakhir saja sudah 5 kali terjadi kebakaran di kolong tol, namun nampaknya tidak ada upaya serius untuk pencegahan.

Setiap sudut, lorong maupun inci tanah di Jakarta adalah ajang mencari makan bagi siapapun yang tinggal di kota ini. Sebagian besar pendatang membawa mimpi manis untuk dikonfirmasi dengan kenyataan kota ini, sebagian lagi berjibaku dengan nasib saja cukup. Sebagian besar orang beruntung bertahan dan berkembang menjadi manusia yang pulang kampung dengan dialek dan penampilan berbeda dibandingkan dengan pada saat berangkat dulu, dan sebagian lagi menghitung hari demi hari dengan mengumpulkan mimpi mimpi yang berantakan.

Di kolong tol interchange pluit Jembatan Tiga kontradiksi Jakarta terlihat nyata. Sebagian kita lewat di atap rumah mereka sepulang dari berterbangan atau hendak berangkat terbang melaluai Jakarta International Airport Soekarno Hatta.
Dan…Jakarta masih menyimpan jutaan cerita manusia sebagai catatan dari sejarah zamannya…


Ciracas, 070821

Thursday, August 16, 2007

Mimpi Buruk

(Mimpi adalah cara otak menterjemahkan kejadian yang membingungkan pikiran – Spacetoon)

Entah dari mana datangnya, mimpi buruk merajam, mimpi yang dulu pernah rajin hadir di malam malam ketika tertidur maupun terjaga. Mimpi itu sebenarnya hanya repetasi dari kejadian yang teramat buruk dimasa lalu, dan mendamparkan pada situasi yang sangat tidak berdaya, sangat tidak beruntung. Mungkin lebih tepat dinamakan mimpi buruk untuk hal hal yang bersangkutan dengan masa lalu, sedangkan untuk hal hal masa depan adalah mimpi manis (?)

Mimpi buruk menempatkan diri ditempat yang paling tidak mengenakkan bagi hidup, dimana dulu pernah ada disana untuk waktu yang cukup lama, cukup lama dalam ukuran normal untuk merontokkan semangat maupun keyakinan bahwa hidup masih terus berjalan dan akan berubah entah kapan. Sebuah situasi dimana diri terperangkap dalam lubang hitam yang sangat pekat, kehilangan cahaya dan hanya bisa meratap sendirian. Seperti anak ayam yang terjebak di lubang kakus.

Mimpi buruk membawa seluruh muatan emosi, pengalaman rasa hati. Pertengkaran, muslihat, penghianatan, penghinaan, ucapan, dan segala hal yang memang pernah terjadi dalam rangkaian cerita masa lalu. Mimpi buruk seperti benda busuk masa lalu yang disuguhkan ke meja makan untuk menu sarapan. Nutrisinya menjalar menjadi energi yang menggerakkan segala sikap yang berawal dari pikiran, menjadi racun yang meneggelamkan optimisme sang matahari. Mimpi buruk membajak tidur dan merubah haluan menjadi sumpah serapah yang hanya terpendam sendirian. Amarah yang membuncah kadang meledak tanpa kesadaran, juga kesedihan yang tesisa sesudahnya menjadikan tidur adalam momok yang menakutkan. Seperti dulu dulu, pergi tidur hampir sama dengan menyerahkan badan dan fikiran kepada iblis yang akan menjadikan setiap serpihan diri sebagai pelengkap pesta mereka. Tanpa berdaya…

Apakah ada kontribusi ekternal yang membuat mimpi buruk itu hidup kembali setelah mati suri beberapa bulan ini? Sungguh tidak ada korelasinya samasekali. Tetapi keyakinan bahwa memang hidup setiap manusia terbagi atas ceritanya masing masing, berjalan dan berkembang sesuai dengan catatan takdir. Dan rasa menggumpal seperti itu sama saja membuka pintu lebar lebar bagi iblis, mengundangnya untuk masuk dan menguasai alam bawah sadar. Hidup jadi tampak semua serba salah, serba mengecewakan diri sendiri. Rasanya tidak ada alasan samasekali untuk memelihara optimisme bahwa masa depan itu ada untuk ditanami dengan pohon pohon harapan sebab semua akan berakhir percuma saja.

Tidak akan ada yang mampu mencegahnya, tidak ada yang sanggup merubahnya. Mimpi buruk hanyalah visualisasi dari kejadian buruk masa lalu yang hadir tiba tiba setelah sekian lama terkubur dangkal dalam ingatan. Tidak ada jeda pembeda waktu antara kejadian sebenarnya dan bayangan yang hadir disebabkan oleh betapa parahnya dampak yang ditimbulkan oleh peristiwa tragis masa lalu. Dan masa lalu tetaplah sebongkah batu yang menggelinding liar menggilas kekinian di kadang kala, menjelma dalam mimpi buruk yang meremukkan rasa. Dalam keadaan terjaga, mungkin saja mimpi buruk bisa dilawan dengan pemikiran lainnya yang memenangkan ego, tetapi dalam keadaan tertidur, sungguh merupakan siksa tanpa daya.

Sebagai perenungan, mimpi buruk adalah anak anak dari peristiwa buruk masa lalu dimana diri terlalu banyak berharap kepada orang yang menyebabkan kerusakan itu, berharap bahwa dia akan memiliki kebijaksanaan hati yang cukup untuk menunjukkan itikad memperbaiki, atau setidaknya menunjukkan tanggung jawab atas perbuatannya. Dan ketika harapan harapan itu pupus, muncullah pengertian baru bahwa tidak seharusnya berharap apapun dari apapaun supaya juga tidak kecewa.

Bahwa tidak ada yang bisa merubahnya lagi karena masa lalu menjadi property individu yang sangat pribadi, dan dimana mana masa lalu hanyalah sebongkah batu yang tidak bisa kita rubah menjadi sesuatu yang bukan batu. Ia ada menjadi prasasti bagi hidup, catatan belaka. Hal yang bisa meringankan adalah berkompromi dengan hati sendiri, dengan pikiran sendiri. Berhenti berharap, berhenti menghujat dan menumbuhkan pandangan pandangan baru tentang hidup.

Ciracas, 070816

Monday, August 13, 2007

Hidup masing masing

(…sepeninggalmu aku bagai terhempas kembali ke permukaan bumi…)

Jarak telah menyeret langkah untuk saling menjauh dan waktu mengurung dalam keangkuhanya yang tidak tertembus oleh hasrat yang terus menyala nyala. Ribuan ton beban di mata kaki, memaksa hati untuk tinggal dalam hangat pelukan kasih sayang di ruang persembunyian. Tetapi tidak, pintu pintu telah menawarkan marka jalan untuk dilalui, dilewati dan ditinggalkan dalam diam yang meradang ketika ribuan kata kata menjadi prematur di tenggorokan. Tinggal pandangan mata mengabur ditenggelamkan keharuan, dan kepala yang berat dibanduli kehilangan yang tiba tiba.

Pertemuan dan perpisahan mengiris iris kenangan, menempelkan siluet kesedihan dan sukacita dalam bingkai dunia, dunia tak bertuan yang hanya berisi dua kupu kupu melanglang sekejap dari gerbong panjang kehidupan masing masing. Air mata tertabur sepanjang jalan, menyaru bagaikan embun yang luruh menampar muka setelah berjibaku dengan debu kota dini hari. Betapa rapuh dan sunyinya kesedihan yang menghuni pikiran oleh sebab tertikam perpisahan…

Stasiun tua yang itu itu juga membeku dalam penantiannya, menghitung berapa banyak hati diceraikan dan dipenggal dari kekasihnya. Arloji usang di dinding betonnya masih bekerja, menebar kecemasan bagi sesiapa saja yang tinggal dan menunggu datangnya kereta pengangkut jutaan rasa. Ciuman terakhir, sentuhan terakhir dan bisikan terakhir, sepertinya menjadi akhir sebuah cerita. Entah kapan ada perjumpaan lagi di mayapada. Diatas rakit peradaban, hidup menghanyut mengikti aturannya. Waktu membuatnya terus bergerak, berkembang dan hidup menumbuh, melahirkan cerita baru, sejarah baru dan harapan yang baru juga tragedi tragedi baru.

Sudah jadi adat bumi untuk terus bergerak, serasa mustahil berada di satu titik ketetapan dan statis dalam pemikiran. Kita hanya mengalir, menumpang diatas rakit dari jalinan pengalaman mengikuti arus yang memberi banyak ajaran tentang hidup dan cara merasakannya. Hari esok bukanlah janji, hanya satu medan waktu yang berisi teka teki. Betapa labil hidup manusia, berubah dan berkembang sebgai ekses hidup yang dikendalikan oleh dua warna kontras; hitam dan putih yang melambangkan keinginan dan ketidak inginan. Dan semua mendaur dalam satu konsep bernama alam kenyataan, buah dari harapan yang terkadang beracun penuh duri.

Inilah hidup, dengan hati sebagai pengemudinya. Berjalan, mengalir, melayang, terhempas dan mengapung lagi dalam kisaran masa yang tak tertebak. Inilah rasa, bukti bahwa hidup sangatlah berharga untuk disia siakan dalam kurungan citra…

Ciracas, 070813