Tuesday, December 28, 2010

Surabaya Suatu Ketika

Dari balkon lantai tiga angin memempermainkan pucuk pucuk angsoka, menghembus menejelajah wajah sepi. Padahal malam masih juga belia.

Langkah kaki menyusuri pematang beton berliku, diantara kebun hijau berumput rapi.Kebun ini ditumbuhi warna warni bunga kamboja, batang pohonnya meliuk kekar diterangi lampu2 berwarna merah kekuningan laksana taman istana sang raja.

Pagar batas yang digaris dengan pohon bambu bambuan, menyususri malam, menyususri sepi, dunia tanpa suara. Pada saat itulah rindu yang sangat membekukan kalbu; rinduku padamu. Akhirnya badan sampai di restoran, satu lantai dibawah lobby. Rindu membagi moment surga denganmu.

Duduk di bangku kayu meja kayu berpayung kain terpal warna biru. Menghadap ke kolam renang, dengan bising mesin pompa sebagai iringan. Lalu gerimis kecil kecil, kopi sudah datang, tinggal nunggu kentang goreng disajikan. Di kolam renang dua remaja laki2 berenang. Badanya gendut gendut, mereka berpacu renang.

Kentang goreng sudah datang, pelayan melayani tamu ibarat seorang juara. Berdiri sambil setengah berteriak dipinggir kolam, bapak bapak sekitar 50an bertingkah seorang pelatih. " Dik...dik..! Gaya dada dik! Begini lho, tangannya kedepan, kebelakang teratur jangan begini begini" katanya sambil memperagakan gerakan berenang yang salah, sambil berjalan mengikuti laju renang dua bocah gendut yang jelas megap megap menggapai tepi kolam yang licin dengan sisa kekuatannya yang menipis. Seolah bertemu malaikat penyelamatlah ketika jari tangannya menyentuh porselen permukaan kolam. Keduanya mangap mangap merampas oksigen yang dibutuhkan oleh tubuh mereka.

Setelah gaya bernafas ekstrim perlahan tenang, selebihnya adalah suara kecipak air, keduanya tidak lagi beradu balap renang lagi, dengan orang aneh yang tiba tiba menjadi pelatihnya berteriak teriak memerintah dan menyalahkan. No way!

Kolam semakin sepi, ketika bapak pelatih tadi tampak datang lagi (padahal tidak jelas kapan bapak itu perginya, tapi tahu tahu dia datang lagi), kali ini membawa kamera pocket warna silver, dan bersiap memotret sudah sejak dari kejauhan. " Papa...papa.....foto pa!” Rupanya masih ada kehidupan, dari dalam kolam renang. Salah satu dari 10 pohon palem dari yang mengelilingi kolam memang menghalangi pandangan. Rupanya pelatih itu bapak perenang kita, dan perenang kita adalah anak dari orang aneh ditepi kolam.

Kali ini si bapak diikuti seorang wanita paruh baya yang nampaknya adalah istri si aneh, ibu dari anak anak gendut di kolam. Sekarang si bapak sibuk menjadi fotografer dengan kaidah yang benar, terutama jika dilihat dari posisi posisi badannya pada saat mengambil gambar. Mulutnya sesekali mangap, memberi instruksi kepada obyek fotografinya yaitu anak2 gendut di kolam. Kedua bocah gendutpun tidak kalah berisiknya, bersahutan meminta perhatian sang tukang foto. Bapak itu semangatnya menggelora. Gaya tubuhnya sekarang lebih menggila, miring kanan, miring kiri, maju mundur penuh ekspresi.

Istrinya menempel ketat sang suami, berusaha turut andil dalam mengintip display dan me-review hasil jepretan suami tercinta. Si bapak berjongkok rendah, istrinya berdiri tepat dibelakangnya, setengah membungkuk turut menikmati sensasi fotografi bersama suami dan anak2nya. Posisinya singguh membahayakan dirinya, sebab jika sang suami tiba2 berdiri tak ayal akan membentur dada istrinya. Naaah! Kejadian juga! Dada busung si istri terbentur kepala si suami yang tiba tiba berdiri.

Formasi keduanya sekonyong konyong berubah, sama sama sempoyongan dan saling menyalahkan. Kata katanya pendek dan tegas, setengah menyentak dalam bahasa Jawa! Hanya sekejap kejadian itu kemudian si ibu menjauh kembali ke dalam bangunan, lalu proses memotret terus berjalan. Kilatan lampu blitz dari kamera pocket warna silver terus menyentak nyentak mata, seolah beradu dengan kilat di langit penanda cuaca. Gerimis perlahan turun semakin serius, butiran airnya seolah lenyap terbentur payung terpal warna biru.

Ya, gerimis turun dan kolam renang kembali sunyi, sesepi hati malam ini.


Surabaya 101228

Friday, December 24, 2010

Sendal

Jika diantara dua orang, yang satu tunagrahita dan calon yang satunya tunanetra, maka manakah yang akan lebih bijaksana dalam memimpin?

Dalam menjalankan fungsi kekuasaanya, penguasa tunanetra seharusnya lebih bisa bijaksana dibandingkan dengan penguasa tunagrahita. Sebabnya, ketunanetraanya adalah berkah untuk tidak melihat isi dunia yang terkadang menyilaukan mata dan bisa merubah perilaku orang. Ia mendengar dan memahami keadaan disekelilingnya dengan penginderaan bathin, dengan merasakannya sebagai pengalaman empiris yang menempatkan diri pribadinya adalah bagian dari sebuah sistem masyarakat yang memiliki hak dan kewajiban, serta cita cita politik yang sama. Penguasa tunanetra mendasari keputusan keputusan yang dibuatnya dari apa yang ia rasakan dan ideal menurut parameter nuraninya.

Sedangkan dalam fungsi yang sama, pemi mpin yang tunagrahita memiliki kendala besar dalam mendengar dan menangkap suara suara yang timbul disekitarnya. Ia tidak bisa membedakan mana jerit kelaparan dan mana makian kemarahan. Penguasaan dan pemahaman atas alam kawula yang mendambakan kebijaksanaanya sudah melalui saringan saringan, individu individu penterjemah yang terkadang menginterprestasikan aspirasi kepada boss tunagrahita sesuai pesanan sponsor yang memberinya penghasilan sampingan. Keputusan penguasa tunagrahita cenderung tidak tepat sasaran, karena selain mengupayakan berfungsinya alat pendengarannya, kemegahan dunia telah mengurungnya dalam tembok tirani kekuasaan lewat bagaimana dia memandang orang membungkuk terhadapnya, tersenyum dan seolah olah selalu antusias untuk bertemu dengannya. Pandangan matanya dihiasi dengan kembang kembang plastik dan hal hal manis atribut penguasa. Karena ia mampu melihat, maka yang dinomorsatukan tidak lain adalah priviledge-nya sendiri. Karena dia penguasa, bukan karena dia tunagrahita. Sudah menjadi pembawaan alamnya, penguasa tunagrahita selalu pasti tamak sifatnya.

Bagi kawula, memang tidak ada pilihan lain kecuali menjadi kawula. Menjadi bagian kecil yang seolah olah diluar sistem kekuasaan yang hingar bingar. Porsi sikap dan kewajiban yang dimiliki adalah civil obedience. Ketaatan terhadap aturan aturan yang dibuat untuk menciptakan ketertiban, yang juga dikelola oleh penguasa atas tegak dan berlakunya peraturan itu berbasis rasa adil. Intinya, kawula tidak mempersoalkan penguasa yang tuli ataupun penguasa yang tunanetra selama penguasa dapat juga memenuhi kewajibanya sebagai pengayom dan pelayan kawula. Itu amanah mulia, bukan semata mata mata pencaharian, yang idealnya dapat memberikan rasa keadilan dan perlindungan bagi semua kaum kawula. Rasa adil harus menjadi jaminan untuk perlakuan yang sama sesuai porsinya. Jika penguasa baik yang tunanetra maupun yang tunagrahita tidak memiliki kepekaan terhadap rasa itu, maka doa kawula yang merasa terzalimi lambat laun akan dikabulkan Tuhan juga.

Tetapi penguasa tunagrahita maupun tunanetra tak jarang melahirkan tipe penguasa yang baru, yaitu penguasa tipe sendal. Ia belajar menjadi penguasan berbasiskan filsafat sendal jepit. Gaya kepemimpinan yang memanfaatkan anak buahnya ibarat sendal, alas kaki yang dipakai untuk keperluan2 remeh temeh dan receh, sebab jika keperluan penting tentunya orang menggunakan sepatu. Penguasa model ini membawa dirinya berdasarkan pandangan dan kepentingan pribadinya saja, dimana urusan performa organisasi atau kelompok menjadi bukan prioritas; apalagi bicara soal bakti negara.

Pada prakteknya, penguasa seperti ini sangat gemar memerintah dan sedikit memberi contoh, maka sulit juga dirinya dijadikan contoh bagi bawahannya. Bahkan hal sepele untuk keperluan pribadinya jika perlu harus menyuruh bawahannya. Lebih besar lagi, ia akan melimpahkan tanggung jawab yang berkenaan dengan citra dirinya kepada orang lain agar dia aman dari pandangan orang akan kekurangannya. Sifat egois yang menjadi pandangan hidupnya mengabaikan akibat akibat negatif yang terjadi pada kelompok yang dipimpinnya. Ia suka memberi perintah tanpa menjelaskan latar belakang perintah itu serta dengan mudah menungarahkan jari telunjuk kepada bawahannya jika sesuatu hal yang tidak dikehendaki terjadi. Penguasa sendal adalah type manusia yang gemar mengoleksi kambing hitam.

Idealnya seorang penguasa harus bisa menjadi contoh, bukan sekedar bisa memberi contoh. Agar maklum, penyandangan tunanetra dan tunagrahita disini yang dimaksud adalah nuraninya.

Selamat Natal,
Tuhan memberkati.

Jembatan Item 101224