Tuesday, December 18, 2007

Gerungan di persimpangan

Api berkobar dimatanya sore itu, ketika matahari mengendap endap meninggalkan bumi. Sorot mata yang liar mengandung ribuan beling dan racun bagi pikiran, milik singa yang terluka, memberontak atas penganiayaan sia sia. Kemarahan menjauhkannya dari cinta. Dan murka telah menjelmakan musuh musuh baru disepanjang perjalanan nafas. Jangan tatap matanya atau engkau kan terluka oleh karena tajamnya. Mata yang sanggup merobek dan mengoyak apapun dan siapapun yang tak sanggup melampaui titik didih sebuah dendam. Betapa ia telah terciptakan sebagai visualisasi dari mahluk bengis tak mengenal belas kasihan bahkan terhadap bayi orok sekalipun. Permaafaan dan ampun menjadi retorika yang hanya dikumandangkan sebagai penghibur rasa perih belaka.

Iblis tak cuma menggeliat di setiap sel otak yang berulat. Tingkahnya mempereteli setiap mili keyakinan yang dibangun susah payah; pencitraan diri. Arus kebencian begitu perkasa memporak porandakan keteguhan yang dibangun diatas nisan nisan kenangan. Angin sore Binamarga yang biasanya membawa harum bunga mahonipun berubah berisi uap api neraka, melahirkan gerungan penyebab muka sepucat warna mayat. Seribu penjuru angin menyiksanya, mengusirnya pergi dari dunia ramai tempat tawa dan cinta dipamerkan di setiap etalase jalan raya dan jalan sepi.

Hujan air mata dari mendung simpati tak mampu meredam amuk panas sang murka, bahkan ketika hati yang melepuh bersimpuh memohon agar kekasih lekaslah sembuh. Telinga dan hati disediakan bagi penggerutu dan pemaki kehidupan pilihannya sendiri. Manusia dan manusia, selamanya menciptakan konflik batin berjajar memanjang dari ujung bumi ke ujung satunya. Penjajahan baru atas jiwa yang merdeka telah mengakibatkan kerdilnya nilai luhur sebuah investasi sosial. Menerbangkan si jiwa lemah jauh ke angkasa dimana ia lepas kepemilikan, menjadi butiran debu yang tersesat dan kepayahan.

Sore yang tenang telah berganti jadi desingan dendam dan makian sepanjang jalan, mematikan percintaan. Ia telah begitu tidak bijaksana diperdaya oleh aniaya yang tanpa sadar telah menjadi bagian dari ruh dan daging tubuhnya. Betapa perkasanya ia yang berjuang sendirian melawan penyesalan yang membatu, membandul bagai tumor di mata kaki, menyertai setiap langkah yang tak boleh berhenti. Kematian dibicarakan seperti harapan yang tak bertemu kenyataan, layaknya mimpi yang hanya menyisakan busuk air liur di pembaringan. Ia telah mati sebagian dan bermimpi tentang penguburan yang tenang dimana tak akan dijumpai kehidupan manusia setelah ia terlempar dari satu permainan ke permainan lainya. Kekagumannya pada pesona telah membuahkan luka yang menganga, mengundang apapun untuk dikeluhkan sebagai bentuk pemberontakannya yang diam.

Lalu ia menyusuri malam mengemudikan angin di kegelapan, berharap bertemu titik embun yang dulu setia menyapa wajahnya yang menyembunyikan tangis sangat diam diam. Ia terus melolong tanpa seorangpun patut mendengarkan hingga ia terdampar linglung di persimpangan moral.

Binamarga 071217