Tuesday, August 13, 2019

Filsafat Luka


Luka adalah sejarah yang tercatat dengan tinta darah. Dan sudah menjadi aturan dunia bahwa segala yang tampak nyata tidak akan sedalam apa yang terasa dan tidak terlihat mata. Namanya darah, proses tereksposenya kepada dunia luar memerlukan sebuah ritual yang menyakitkan dan tentu saja menyita banyak energi dan kekuatan. Luka bukan hanya akan meninggalkan bekas dan menyebabkan perih terasa. Setiap luka pada manusia selalu menyajikan cerita panjang tentang pergaulan, tentang interaksi antar manusia yang berisi takaran takaran perasaan.


Luka yang tampak oleh mata akan menghadirkan perih yang tak terasa, dan hanya waktu yang bisa menguraikan perihnya. Sayatan pada kulit badan akan membekas menjadi prasasti pengingat peristiwa, meskiupun perlahan akan memudar dan oleh kuasa waktu akan tinggal menjadi bekas penanda. Dari luarnya saja orang akan bisa memperkirakan nyeri dan perihnya, dan ekspresi kesakitan dari yang terluka akan menambah dramatisasi dari empati yang terbangun. Luka yang disengaja tidak akan datang bersama efek kejut yang yang tidak diharapkan. Sudah diantisipasi sedemikian rupa sehingga ketika luka disengaja tercipta, sakitnya  sudah mendahului ke otak untuk berjaga jaga.
Luka yang tak kasat mata lebih mengerikan. Ia menghantam tepat ke poros kehidupan dan jika tidak pandai mengelolanya akan menyebabkan keruntuhan nilai nilai ideal dalam kehidupan bahkan mempengaruhi kewarasan. Jiwa yang terluka, hati yang terkoyak dan perasaan yang tersinggung akan meninggalkan luka yang akan tetap menaganga dalam batin. Luka ini biasanya disebabkan oleh laku durjana dari orang yang kita percaya yang menyebabkan kekecewaan yang teramat parah. Luka ini tidak berdarah, tetapi perihnya ratusan kali lipat dari sekedar luka kulit yang tergores benda tajam.
Lukanya jiwa berbentuk abstrak. Luka sebagai akibat dari laku khianat, sebuah perbuatan yang terstruktur dan disengaja akan menimbulkan kerusakan yang lebih massive. Sayangnya, lagi lagi kerusakan dan luka itu tidak akan tampak oleh mata, dan akan menjadi properti perasaan paling pribadi bagi si korban. Sebuah pengalaman empiris yang akan menimbulkan banyak sekali bahan perenungan dan kesadaran kesadaran baru betapa selama ini keyakinan banyak yang salah dan tidak sesuai kenyataan yang diharapkan. Lagi lagi, orang terdekat dan terakrab kita yang kepadanya kita bisa membagi apapun dalam menjalani kehidupan sehari hari bisa tiba tiba berubah menjadi musuh paling mengerikan dan perkasa. Alasnya jelas, bahwa musuh kita yang perkasa itu tahu persis kelemahan kita ada dimana, terutama jika ia pernah menyaksikan kita terluka sebelumnya; atau bahkan ia juga yang kita serahi kepercayaan untuk membantu menyembuhkan luka di masa lalu. 
Jika penyebab luka fisik adalah karena ketidak sengajaan yang menyebabkan kecelakaan dan kesengajaan orang lain atau diri sendiri untuk membuat luka, maka lukanya jiwa akan selalu datang dari orang lain untuk kita. Kekecewaan lahir dari penyalahgunaan kepercayaan kepada orang lain. Orang yang kita percaya tentu bukan sembarang orang, melainkan memang orang orang yang kita titipkan kepercayaan untuk menjaga hati dan perasaan kita dari kesakitan dan membantu menghindarkan kita dari kesulitan kesulitan atas dasar etika kemanusiaan. Tetapi dalam cerita drama manusia, penghianatan memang terjadi berulang ulang. Seseorang yang menemani langkah kita dengan tangan yang kita gandeng sepanjang naik turun dan tikungan perjalananpun terkadang bisa begitu saja menyembunyikan pisau di belakang pinggang untuk dituskkan ke punggung kita. Orang yang kita percaya sebegitu hebat bisa dengan sekali tebas saja memperlakukan kita seperti sampah.
Tragisnya lagi, si korban tidak akan memiliki kesempatan untuk menghindar ataupun melawan. Menerima dan menjalani semua  kejadian menjadi satu satunya pilihan. Lalu si korban akan sekarat sendirian, sekujur tubuh bergetar menahan luapan emosi yang tidak bisa dicerna dengan akal pikiran yang umum dan sederhana. Kejadian yang menghancurkan sendi kehidapan seperti itu akan berdampak panjang dan luas kepada kehidupan disekitar korban, terutama yang menjadi tanggungan dan tanggung jawab si korban selama kehidupan.
Dalam hubungan laki laki dan perempuan mungkin jamak mengalami hal demikian; dikhianati oleh orang yang disayang. Akan tetapi selalu ada pengecualian dalam setiap cerita manusia di dunia. Pengecualian itu akan menentukan kualitas penghianatan yang bisa ditandai dengan keparahan rusak yang ditimbulkan. Toh tetap saja, rasa bahagia dan menderita adalah domain paling rahasia setiap manusia. Kebahagiaan yang terasa tertularkan melalui berjalannya kehidupan disekitar dengan baik baik saja, sedangkan penderitaan pribadi bisa mempengaruhi timbulnya mendung muram di bumi. Dan bagi orang luar, si korban tak lebih hanya bermain watak; play victim!
Cara belajar paling baik berempati pada orang adalah dengan mengalami menjadi korban.

Karawang, 190813