Luka adalah sejarah yang tercatat dengan tinta darah. Dan
sudah menjadi aturan dunia bahwa segala yang tampak nyata tidak akan sedalam
apa yang terasa dan tidak terlihat mata. Namanya darah, proses tereksposenya
kepada dunia luar memerlukan sebuah ritual yang menyakitkan dan tentu saja
menyita banyak energi dan kekuatan. Luka bukan hanya akan meninggalkan bekas dan menyebabkan perih terasa. Setiap luka pada manusia selalu menyajikan cerita panjang tentang pergaulan, tentang interaksi antar manusia yang berisi takaran takaran perasaan.
Luka yang tampak oleh mata akan menghadirkan perih yang tak
terasa, dan hanya waktu yang bisa menguraikan perihnya. Sayatan pada kulit
badan akan membekas menjadi prasasti pengingat peristiwa, meskiupun perlahan
akan memudar dan oleh kuasa waktu akan tinggal menjadi bekas penanda. Dari
luarnya saja orang akan bisa memperkirakan nyeri dan perihnya, dan ekspresi
kesakitan dari yang terluka akan menambah dramatisasi dari empati yang
terbangun. Luka yang disengaja tidak akan datang bersama efek kejut yang yang
tidak diharapkan. Sudah diantisipasi sedemikian rupa sehingga ketika luka
disengaja tercipta, sakitnya sudah
mendahului ke otak untuk berjaga jaga.
Luka yang tak kasat mata lebih mengerikan. Ia menghantam
tepat ke poros kehidupan dan jika tidak pandai mengelolanya akan menyebabkan
keruntuhan nilai nilai ideal dalam kehidupan bahkan mempengaruhi kewarasan.
Jiwa yang terluka, hati yang terkoyak dan perasaan yang tersinggung akan
meninggalkan luka yang akan tetap menaganga dalam batin. Luka ini biasanya
disebabkan oleh laku durjana dari orang yang kita percaya yang menyebabkan
kekecewaan yang teramat parah. Luka ini tidak berdarah, tetapi perihnya ratusan
kali lipat dari sekedar luka kulit yang tergores benda tajam.
Lukanya jiwa berbentuk abstrak. Luka sebagai akibat dari
laku khianat, sebuah perbuatan yang terstruktur dan disengaja akan menimbulkan
kerusakan yang lebih massive. Sayangnya, lagi lagi kerusakan dan luka itu tidak
akan tampak oleh mata, dan akan menjadi properti perasaan paling pribadi bagi
si korban. Sebuah pengalaman empiris yang akan menimbulkan banyak sekali bahan
perenungan dan kesadaran kesadaran baru betapa selama ini keyakinan banyak yang
salah dan tidak sesuai kenyataan yang diharapkan. Lagi lagi, orang terdekat dan
terakrab kita yang kepadanya kita bisa membagi apapun dalam menjalani kehidupan
sehari hari bisa tiba tiba berubah menjadi musuh paling mengerikan dan perkasa.
Alasnya jelas, bahwa musuh kita yang perkasa itu tahu persis kelemahan kita ada
dimana, terutama jika ia pernah menyaksikan kita terluka sebelumnya; atau
bahkan ia juga yang kita serahi kepercayaan untuk membantu menyembuhkan luka di
masa lalu.
Jika penyebab luka fisik adalah karena ketidak sengajaan yang menyebabkan kecelakaan dan kesengajaan orang lain atau diri sendiri untuk
membuat luka, maka lukanya jiwa akan selalu datang dari orang lain untuk kita.
Kekecewaan lahir dari penyalahgunaan kepercayaan kepada orang lain. Orang yang
kita percaya tentu bukan sembarang orang, melainkan memang orang orang yang kita
titipkan kepercayaan untuk menjaga hati dan perasaan kita dari kesakitan dan
membantu menghindarkan kita dari kesulitan kesulitan atas dasar etika
kemanusiaan. Tetapi dalam cerita drama manusia, penghianatan memang terjadi
berulang ulang. Seseorang yang menemani langkah kita dengan tangan yang kita
gandeng sepanjang naik turun dan tikungan perjalananpun terkadang bisa begitu
saja menyembunyikan pisau di belakang pinggang untuk dituskkan ke punggung
kita. Orang yang kita percaya sebegitu hebat bisa dengan sekali tebas saja
memperlakukan kita seperti sampah.
Tragisnya lagi, si korban tidak akan memiliki kesempatan
untuk menghindar ataupun melawan. Menerima dan menjalani semua kejadian menjadi satu satunya pilihan. Lalu
si korban akan sekarat sendirian, sekujur tubuh bergetar menahan luapan emosi
yang tidak bisa dicerna dengan akal pikiran yang umum dan sederhana. Kejadian
yang menghancurkan sendi kehidapan seperti itu akan berdampak panjang dan luas
kepada kehidupan disekitar korban, terutama yang menjadi tanggungan dan
tanggung jawab si korban selama kehidupan.
Dalam hubungan laki laki dan perempuan mungkin jamak
mengalami hal demikian; dikhianati oleh orang yang disayang. Akan tetapi selalu
ada pengecualian dalam setiap cerita manusia di dunia. Pengecualian itu akan
menentukan kualitas penghianatan yang bisa ditandai dengan keparahan rusak yang
ditimbulkan. Toh tetap saja, rasa bahagia dan menderita adalah domain paling
rahasia setiap manusia. Kebahagiaan yang terasa tertularkan melalui berjalannya
kehidupan disekitar dengan baik baik saja, sedangkan penderitaan pribadi bisa
mempengaruhi timbulnya mendung muram di bumi. Dan bagi orang luar, si korban
tak lebih hanya bermain watak; play victim!
Cara belajar paling baik berempati pada orang adalah dengan
mengalami menjadi korban.
Karawang, 190813