Monday, September 10, 2007

Belasungkawa

(Sebuah ungkapan duka, kepada semua yang menyimpan kenangan atas Susiawan Wijaya - 1 Maret 1975 – 2 September 2007 - )

Dan ketika duka datang sekuat cinta yang terhalang, lepaskan semua pikiran ke udara, ke langit tanpa bunga. Memang disanalah tempatnya pikiran bersinggasana, berpermaisuri duka dan sukacita. Hidup penuhlah kejutan, dan tidak ada yang terlalu cepat datang kecuali kita menyesali perpisahan yang tiba tiba. Selebihnya, hanyalah tentang bagaimana menjalani hidup, tentang bagaimana kedewasaan diukur dari cara menyikapi prahara yang datang seketika.

Sewaktu tubuh melumpuh, syaraf berhenti bekerja dan yang tersisa hanya kelenjar air mata, menulislah dengan air mata, tentang kepedihan dalam rangkaian kata yang indah. Akan menjadi monumen pengingat masa depan, dimana kekuatan dan pesona hidup selalu terpupuk setiap kali kita menoleh mengenangnya. Selamat mencicipi satu dari miliaran rasa hidup, kejutan yang tidak menyenangkan yang datang seolah hanya gurauan. Batas antara harapan dan kenyataan cuma setebal selaput mata, sedangkan tidak ada cara lain kecuali menerimannya.

Mata yang sembab perlambang dari hati yang tersayat luka oleh goresan duka. Kenyataan telah mematahkan semua bentuk keyakinan dan ketidak percayaan. Dan dengan cara apapun duka dipadamkan, tetap akan menggiring pengakuan kepada kejujuran terakhir bahwa kenyataan pahit adalah harta milik hidup manusia dan kesakitan yang diakibatkan olehnya hanya bisa disembuhkan oleh sang waktu. Janganlah dilawan sedih yang menghimpit, sebab akan sia sia belaka jika terus diingkari. Biarkan tangis pecah diudara, mengalirlah bersama nada protes yang kita tahu akan percuma.

Kelopak mata yang menggenang akan dikeringkan oleh waktu, dan hati yang berlubang akan tertutup pula oleh masa dan peristiwa kehidupan. Matahari yang datang setiap pagi tanpa terlambat sedetikpun akan setia menjadi teman, penumbuh segala yang mati dalam ingatan dan penguak segala yang tersembunyi di kegelapan. Dan hidup tetaplah menjadi sumber ilmu pelajaran tertinggi, sedangkan mereka yang tinggal dalam hati akan tetap hidup mengabadi.

Doa doa dihamburkan ke udara, lewat hati dan juga rasa. Tangisan kehilangan dan rintihan kesedihan hanya ekspresi mengasihani diri karena harus menerima apa yang tidak diharapkan untuk diterima. Kepala kepala tertunduk mengiringi kepergian sang pengisi hati, kepergian untuk menjelajah ke kehidupan yang jauh lebih panjang dari sekarang. Karangan bunga ungkapkan belasungkawa, menghiasi kereta yang mengantar sang pahlawan pulang ke rumah sang Pencipta. Langit yang hitam, mendung kelam dan hati yang bungkam akan berganti oleh datangnya matahari yang setia menghangatkan.

Dia yang pergi, akan tetap tinggal dan hidup di palung hati, menempati ruang istimewa laksana raja maya bagi permaisuri, menunggu sang penduka tersenyum bangga mengenang hidup atasnya…


Gempol, 070908