Wednesday, October 12, 2005

Kastanisasi Diri

Bahkan dikehidupan maya cyberspace-pun, watak watak dasar yang mencerminkan landasan sikap kepribadian tidak sulit untuk dijumpai. Di cyberspace orang dengan mudah mengaburkan atau menyesatkan nama, alamat, umur, dan detail detail lainya. Penyediaan informasi yang manipulatif seperti itu aku nilai sebagai itikad untuk mengaburkan identitas, dimana bagi sebagian peculas adalah satu langkah kemenangan untuk menentukan golongan mana yang akan dan ingin digauli. Pengkaburan identitas (baca profile) juga didentifikasi sebagai langkah menutup diri dan melihat lebih jelas kepada orang lain atau profil lain yang dijumpai di cyber.

Pernah pada sebuah perkenalan di chatroom, sapaan sopan seperti “ hello selamat sore…” atau semacamnya mendapat jawaban “ mau apa?” atau yang lebih sering adalah “ siapa?”. Dan itu terterjemahkan dengan ekspresi ketus. Bahkan sorang yang pernah mengobrol di chatroom sehari sebelumnya pernah menjawab sapaan itu dengan “I will appreciate if you don’t talk to me again”. Puih! Rasanya ingin menonjok layar monitor, tapi akhirnya hanya senyuman yang tertempel dibibir. Orang orang ini memiliki karakter arogan, aku yakin mereka memiliki pemahaman yang kaku terhadap pergaulan, apriori terhadap keberadaan dunia gender. Orang orang seperti ini yang menderita kemiskinan humanisme, krisis kepekaan terhadap sopan santun dan budaya tenggang rasa. Memprihatinkan! Padahal, sudah pada sepantasnya orang orang yang bermain dengan perangkat tehnologi seperti itu dan menyediakan diri untuk “mengendarainya” adalah orang orang yang notabene berpendidikan cukup dan berpergaulan cukup, minimal bisa baca tulisan dan membuat tulisan; sedikit tahu tentang adat kesopanan.

Hakekatnya, pergaulan di cyberspace adalah pergaulan yang tak dibatasi oleh pematang pematang peradaban seperti umur, pekerjaan, profesi, jumlah kekayaan dan sebagainya. Cyber adalah tempat bertemunya jiwa jiwa yang lepas dari keterkungkungan hukum kebudayaan. Masing masing jiwa selayaknya terbekali dengan ajaran nurani dan yang lebih baku adalah ajaran tentang sopan santun dan menghargai sesama. Dalam dunia cyber, individu user diwakili oleh cara berfikir dan tatakrama kesopanan, ditunjukkan dengan sikap tahu diri dan tentu keterbukaan komunikasi. Jiwa jiwa itu ibarat gelembung udara dan cyber adalah angkasa sebagai media kebebasan gelembung gelembung itu mengembara. Akan tetapi sudah menjadi perwatakan umum bahwa dunia cyber diibaratkan sama dengan alam sesungguhnya, dimana segala bentuk antonim kebendaan menjadi hukum pengkastaan diri.

Jika pada jaman purba orang menciptakan kasta, tinggi rendah golongan yang terbedakan dari garis keturunan maupun jabatan kedudukan, bahkan kadang jumlah kepemilikan hartabenda, hal itu jelas jelas telah menjadi kesepakatan baku yang dimahfumi dan diterima sebagai sebuah tradisi luhur. Pada perkembanganya, pengkotakan golongan tingkat derajat manusia itu luntur dalam literatur literatur sejarah, berganti menjadi sebuah istilah membingungkan seperti liberal, demokrat, sosial dan sebagainya. Otomatis pengkastaan secara harfiah tidak lagi memiliki makna penentu satu golongan. Menurut Pramoedya Ananta Toer, dunia selalu berubah sedangkan manusia tidak. Selamnya seperti itu itu juga. demikian halnya dengan feodalisme, dengan penggolongan ukuran derajat manusia yang umurnya sepadan dengan pelacuran dan perjudian. Sejak manusia diciptakan!

Penggolongan jenis manusia pada zaman serba elektronik dan mobile ini, secara ekstrim ditunjukkan dengan kastanisasi pribadi, sebuah pengingkaran terhadap kesetaraan dan ruh humanisme secara universal. Kastanisasi itu dimulai dengan pembatasan komunitas pergaulan berdasarkan kesetaraan eksistensi diri dalam masyarakat umum. Sangat mengenaskan bahwa kastanisasi itu dimunafiki dengan slogan slogan humanisme, kepedulian dan sebagainya sedangkan pada prakteknya jelas jelas menyimpang dari teori teori yang didengungkan. Komunitas komunitas berdasarkan pengkastaan pribadi yang disamarkan menjamur lengkap dengan tradisi dan budaya modern dalam konteks yang dangkal yang kerap dinamakan trend. Komunitas itu berada diruang ruang labirin dengan dinding tebal dari kaca, memiliki batas batas nilai tersendiri, seperti ceceran minyak dalam air.

Komunitas itu lahir dari pendalaman akal dan pengetahuan setiap pribadi yang tanpa sadar menciptakan ruang khusus bagi dunia yang diartikan ideal. Perbedaan perbedaan lahiriah menjadi bible yang malu malu disembunyikan. Kepedulian akan kesetaraan dan kesamaan dengan impulsif diterjemahkan dengan laku charity; memberi amal materi. Pengkastaan diri pun menjalari dunia cyber, virtual community dimana idealnya adalah dunia tanpa hukum materi, dunia jiwa jiwa, nurani nurani tanpa dimensi lahiriah, sebuah utopia dimana setiap orang saling menilai dan mengukur berdasarkan jalan fikiran dan kepribadian.

Kastanisasi dalam formatnya yang baru adalah penciptaan kelas berdasarkan perhitungan lahiriah pergaulan; pemimpin dengan pemimpin, pengikut dengan pengikut, penonton dengan penonton, pemain dengan pemain, penggembira dengan penggembira, dan interaksi diantara kelaspun dibatasi pada garis garis baku yang tak tampak mata; hanya hati. Sebuah kemunduran peradaban berjubah kemajuan akal!

Simatupang, 11 Oktober 2005