Wednesday, May 31, 2006

Seseorang yang memandang langit

Dibawah sepotong bulan anganya menggerayangi pekat jawaban teka teki masa silam. Segugus bintang Alpha Centaury diselatan mengabarkan duka, milik bersama umat manusia.
“Aku bisa merasakan lukamu meski hanya sedikit” berbisik angin yang lindap dari letih perjalanan sesiangan, mengitari matahari untuk mengumpulkan butir demi butir debu penagalaman.

Seseorang menatap langit ketika dunia mengucilkannya sendirian. Embun yang turun perlahan menjadi tirai yang mengelabuhi perih alam kenyataan. Lapar dan terbuang. Ditemukan dirinya sebatang kara menjelajah belantara, sebatang kara meskipun ketika telinga pekak oleh kerumunan; mahluk mahluk pencari mangsa. Ia tak memiliki lingkaran silsilah yang sering menjadi tanggul bagi rapuhnya kekuatan diri. Ia hanya milik dirinya sendiri, dengan rentetan kewajiban yang terbentang dari ujung ke ujung langit.

Ia menatap langit ketika sebiru lautan, tempatnya menyemaikan bunga khayali. Langit tempatnya bersembunyi dari kerdil diri. Nyanyian dan tangisan ia ceritakan kepada langit, tanpa bosan sebab hanya itu temanya melintasi gurun kehidupan. Keinginannya datang bersama ketidak inginan, melahirkan bayi bayi harapan yang kemudian jadi beban standar pencapaian. Maka iapun menjadi penghuni lazuardi, kadang melayang kadang menukik mengikuti irama angin. Berteman mentari dan bulan, ia menjelma menjadi kabut misteri.

Iapun jatuh cinta pada langit hampa, memuja biru yang kosong untuk disadur menjadi isi kepala; meminta diri untuk tidak berharap apapun dari apapun, kosong maha luas seperti langit. Harapan hanya akan memilin keinginan, sedangkan tidak berharap adalah menerima apapun yang harus diterima tanpa ekspresi. Ah, sungguh nyanyian indah yang sederhana dari segumpil mahluk berakal bernama manusia. Musykil adanya!

Ketika menatap langit malam ini, ia menemukan diri mengapung di samudera misteri yang mesti dijalani dalam gelap jawaban. Ia letih menyabung keyakinan dengan kenyataan…


Gempol, lewat tengah malam 060531