Friday, May 04, 2007

Penjaga Gudang Pangan

(cerita dari jakarta - 4)
Bang Ali Sadikin waktu jadi gubernur DKI meyakini bahwa Jakarta adalah kampung raksasa, kampung yang sangat besar. Orang orang yang tinggal di dalamnyapun otomatis adalah sekumpulan orang kampung juga. Persaingan hidup yang ketat dan keras, membuat banyak orang didalamnya dihinggapi penyakit kampung besar bernama ; kampungan. Bukan menyoal tata peradaban maupun tata sosial, tapi lebih kepada endemi penyakit mental yang perlahan menjangkit menjadi budaya baru, budaya kampungan. Krisis rasa malu, krisis toleransi dan krisis krisis budi pekerti lainya.

Kampung identik dengan ketenangan, kesahajaan, persaudaraan, gotong royong dan nilai peradaban yang tinggi, tetapi akrab dengan kesulitan demi kesulitan. Kampung adalah tempat dimana anak anak dilahirkan, dibesarkan dan diperkenalkan dengan alam, sedangkan Jakarta menampung sekian juta individu yang berdatangan dari kampung kampung di seluruh negeri. Masing masing kampung memiliki spesifikasi tradisi sendiri sendiri, dan ketika tradisi itu dibawa ikut serta ke Jakarta maka akan terjadi transformasi budaya baru lengkap dengan tradisi barunya. Budaya baru itu bisa berupa bentuk kebudayaan neo kapitalisme dan segala hal yang bersifat materialistic. Uang, barang, kasta, bentuk rupa, gengsi, kekuasaan dan segala jenis warna indah dunia ada disana.

Korupsi meskipun sudah berumur ribuan tahun, tetap mengalami pertumbuhanya sesuai dengan irama zaman. Jakarta tentu tidak luput dari giliran dihuni oleh para penggemar korupsi ini, yang baragam bentuk serta berbagai modus operandi. Korupsi bukan sekedar kata akta yang akrab kita dengar setiap hari namun juga bisa kita lihat di sekitar kita, atau bahkan barangkali tanpa sadar kita sendiri ikut ambil bagian dalam melaksanakan dan melestarikan kegiatan nista ini. Seorang bekas pejabat tinggi era Pak Harto yang pernah sekantor suatu saat bilang, bahwa korupsi itu seperti kejahatan legal bagi siapapun yang memiliki kemampuan. Wewenang dan kekuasaan mempermudah terjadinya hal ini, diselewengkan demi kepentingan diri sendiri yang umumnya adalah memperkaya diri.

Penegakan hukum yang loyo serta lemahnya komitment pelaku birokrasi atau penyelenggara negara ibarat oksigen bagi titik api yang tersembunyi. Menipisnya budaya malu dan tahu diri membuat banyak pejabat menjadi begitu tenar di media massa, ketenaran karena menilep uang negara yang notabene uang rakyat juga. Rakyat pasti gemas ketika menyaksikan orang yang berwenang ngurusin kesejahteraan pangan rakyat ternyata kelimpungan sendiri, kekenyangan uang dari hasi tilepan. Ibarat tikus mati di lumbung padi, si pejabat memperlihatkan aksi serakahnya dengan membagi bagikan uang yang hanya beberap miliar rupiah kepada sanak saudara dan anggota keluarganya, yang lainnya disimpan di dalam ember kamar mandi dan dimanapun sesuka hati.

Sang penjaga gudang makanan tidak akan lucu jika ia mati kekenyangan. Pikiran kotor dan serakah menyeret keinginan manusiawi yang sulit dicari batasnya. Barangkali otak pintarnya telah terkooptasi dengan stigma tentang budaya kerja penjaga gudang makanan, karena memang sejarahnya mengatakan demikian. Soal rasa malu, tahu diri apalagi pengabdian sebagai pengemban sebuah amanah rakyat jelata, sudah dilupakan sehari setelah pelantikan. Itu hanya slogan, hanya landasan filsafat yang mandul. Moralnya bangkrut digerus nafsu duniawi semata. Kesadaran intelektualnya telah mengijinkan dirinya sendiri untuk menjadi maling dengan suka dan rela membunuh martabatnya sendiri. Uang, semakin banyak memang semakin enak rasanya dan tidak ada yang bisa membantah itu di Jakarta…

Mari saudara, kita pelihara budaya malu dan tahu diri dalam pribadi kita masing masing…

(ditulis sebagai renungan akhir pekan, bukan sebagai penghakiman tetapi pengingat kepada nurani kita sendiri bahwa ada yang jauh lebih berharga daripada uang dan kesenangan dalam hidup; integritas diri)


nutricia 070504