Saturday, November 20, 2010

Indonesia Tertib

Kota purwokerto pada sembilanbelas november duaribu sepuluh pukul tujuh lewat empatpuluh dua menit malam menjadi seperti utopia mininy Indonesia. Jalan jalanan mulus melengang, berkendara bagaikan mengambang diatas genangan angan angan malam. Ketika semua orang ber deja vu dengan sepotong sepotong mozaik terbaik dalam hidup masing masing. Cinta dan orang lainlah yang membuatnya jadi terbaik, dan semua menjadi hak intelektualitas setiap individu. Kota ini menjadi bebas distorsi. Kota kecil yang sejuk dan makmur, dengan keakraban warganya layaknya tinggal di sebuah desa raksasa. Pengamen, pengemis, tukang pakir, pemulung, PKL dan pelanggar lalu lintas tentu ada, menjadi warna dinamika sebuah kota. Dan alun alunnya tetap menjalankan fungsi pokok setiap alun alun di setiap kota; tempat terbuka umum yang bebas diakses oleh siapapun dengan membawa sopan santun sebagai identitas sebagai orang yang berhak atas fasilitas komunal gratis; diatas hamparan rumput hijau sejuk, dibawah taburan sinar lampu berwarna biru muda serta kerdipan bintang yang menebarkan kegenitan. Sepasang sepasang manusia bedalingan diantara sela sela kegelapan, membagi hati membagi kehidupan.

Rumah rumah tua sisa peninggalan kejayaan Belanda berdiri kaku, menjadi saksi bisu atas arus zaman yang perlahan menggerogoti dinding dinding kearifan tanah Jawa. Gedung gedung batu selayak tanah makam tanpa pepohonan, menyembunyikan miliaran kisah hidup yang tertimbun oleh gundukan sang waktu. Dan diantara gang gangnya, nafas alam berliukan menukar siklus sejarah dalam catatan diam. Kehidupan kota ini datang dan pergi mengikuti adat dunia, selayaknya terwakili oleh stasiun tua bagaikan sungai baja yang mengangkuti kecemasan dan kebahagiaan yang datang dan pergi dalam kehidupan. Rasanya tak ada satupun orang yang akan sanggup menafikan eksotisme kota purwokerto di waktu malam. Terlalu sayang jika tak dilewatkan bersama pasangan. Cinta antar manusia telah memelihara kota kecil ini dari ganasnya globalisasi. Laksana oase ditengah carut marut dan semrawutnya ketertiban dan ketenteraman hidup di negeri subur makmur Indonesia.

Dewasa ini banyak pejabat negri menjadi maling, banyak mayat bayi terbuang di WC umum, banyak selebriti hamil nganggur, banyak kelompok menjadi jahilliyah homo homini lupus yang haus darah saudaranya sendiri. Mereka yang miskin dan bercita cita, terpaksa menjual diri menjadi babu di negeri orang., banyak sarjana berijazah tanpa menguasai ilmu pengetahuan. Negeri kita ini saudaraku, ibarat seonggok bangkai gajah yang dekerubuti ratusan juta belatung yang rakus akan kekuasaan dan harta benda. Aturan hukum yang menjamin ketertiban umum perlahan lahan menjadi retorika pemanis tujuan negara. Sesungguhnya tidak satupun kita merelakan jika aturan dan undang undang dihinakan dengan perbuatan laknat, dilecehkan dengan mengkomoditikan hukum menjadi barang dagangan yang dijual murah bagi mereka yang berkelimpahan jabatan. Sedangkan segalanya, bahkan Tuhan sekalipun seringnya dikalahkan demi kepentingan tahta dan harta oleh beberapa orang saja. Mereka menciptakan sejarah kelam, sebuah degradasi peradaban yang kelak akan diwariskan kepada anak keturunan. Generasi yang akan datang akan menjadi bentuk improvisasi dari kondisi integritas moral bangsa hari ini.

Bagi kita yang mungkin lupa akan bentuk kepribadian sebagai bangsa timur yang santun dan beradab, pengalah lagi relijius. Kondisi kejiwaan bangsa saat ini sudah semestinya menjadi alarm peringatan akan datangnya bencana politik yang akan dapat meluluh lantakkan citra bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Produk hukum bukan sekedar permainan tebak tafsir, tetapi harus kembali menjadi panglima bijaksana. Taat aturan serta tata tertib dimanapun bisa menjadi sebuah kampanye sikap perilaku dan obat mujarab bagi sakitnya bangsa. Kita sendiri yang harus mengupayakan kesembuhannya serta mengembalikanya menjadi sebuah negeri yang gemah ripah loh jinawi, disegani negara manapun karena kesatuan dan persatuannya yang solid. Jika kita sudah bisa tertib tunduk terhadap aturan dan rambu larangan, maka pada gilirannya mereka yang gemar melakukan pelanggaran akan kesepian, menjadi pemain tunggal seperti topeng monyet di pasar malam.

Sikap sikap utama sebagai ksatria yang beretika hanya bisa dihayati oleh mereka yang terpelajar sebagai kaum intelektual. Itulah sebabnya sekolahan diadakan secara massive, supaya setiap warga negara sadar dan paham betapa pentingnya turut menjaga kesatuan dan kesatuan bangsa dengan taat terhadap aturan hukum. Jika itu terjadi, Indonesia akan kembali menjadi surga dari timur. Setidaknya untuk anak cucu kita kelola kelak.

Pwt 101120