Wednesday, May 10, 2006

Burung dalam sangkar

Sebuah pesan tentang pengakuan merontokkan teguh keyakinan akan keberadaan nilai ‘istimewa’ sanggup mematahkan keluhan. Denyut kehidupan nadi sebuah hati terperangkap dalam sangkar emas bernama rumah tangga, sebuah lembaga yang memayungi umat manusia dari terik panas peradaban dunia (dari PAT).

Benarkah sangkar emas itu memang ada diciptakan bagi si burung yang elok rupa? Ataukah si burung elok rupa sendiri yang menciptakan burden burden tak kasat mata yang karena keyakinan apriori terbentuk menjadi terali yang menghalangi kepak sayap dan merdu suaranya? Barangkali saja sangkar emas itu sebagai hadiah bagi keindahan yang di klaim sebagai kepemilikan dan sekaligus kebanggaan, dan si burung elok rupa sendiri menjadi familiar dengan keberadaan sangkarnya yang gemerlapan, dengan segala yang tersedia untuk dipergunakan sebatas parameter pengekangan.

Kejadian disekitar memberikan gambar bahwa sebagian burung nan elok itu memang menciptakan sendiri garis garis batas yang dikemudian hari ternyata mengurangi kenyamanan dalam mengepakkan pemikiran dan keinginan. Keinginanlah yang terpenjara dalam sangkar emas, berbatas aturan kepantasan dan tatanan peradaban. Sebagian penghuni sangkar dengan pintar menggandakan kunci gembok pintu kecilnya, dan menyembunyikanya rapat dibalik sayap. Sesekali dunia lengah dan sang burung dengan kunci duplikatnya bebas terbang tanpa merusak apapun, untuk kemudian pulang lagi menjadi burung elok rupa di sangkar emas.

Sangkar emas yang megah berkilauanpun sering menjadi simbol kesuksesan material bagi si pemiliknya. Didalamnya terpelihara dengan sentausa kehidupan yang menajadi tanggung jawabnya, dengan sangkar emas melindungi burung nan elok berkicau didalamnya. Kesempurnaan hidup hanya terasa bagi pemandangan diluar garis sang sangkar, sendangkan pandangan penghuninya tetap bebas menerabas awan, dan menyimpulkan dalam pemikiran perihal kebebsan yang terpenjarakan. Sang pemilik sangkar emas dengan impulsive menempatkan kemegahan sangkar sebagai sekaligus pertanda eksklusifitas pribadi bentukan dari jerih payah tanganya yang paling murni, menjadikanya simbol kebanggaan sebagai penguasa sekerjap terang kehidupan dunia.

Sebagian burung kemudian menganggap diri terperangkap pada penjara peradaban yang dulu dilakukan sebagai kesengajaan sebab kemilaunya menawarkan propaganda sebagai tempat yang tepat dan terhormat bagi si burung. Betapa perubahan dunia selalu bermula dari keinginan, dari alam fikiran. Dari pemandanganya diterjemahkan cerita demi cerita kebebasan bintang diangkasa yang menjadi milik jagad raya dimana setiap kornea mata mahluk hidup berhak memilikinya. Dan pemberontakan dahsyat atas keinginan dibalik dimanya…


Gempol, 060510