Thursday, November 27, 2008

Ziarah

Pedang tajam anganku menebas angin, hampa membahana dikurung mendung yang menggantung mengelilingi langit Balikpapan.

Jejak sang waktu telah meninggalkan alam fikiran, menyisakan batu batu nisan pekuburan sejarah. Lengang semata sejauh hati mengembara. Mendudah kenangan yang terkubur, ternyata masalalu telah mati menjadi udara. Bahkan jejak kaki dalam hati kini terhapus oleh timbunan debu dan rimbun semak semak baru. Hari hari dulu telah tenggelam dalam keabadian yang bisu. Rumah rumah kayu diam menggigil dipermainkan usia, danau dan sungai dari anak anak rindu telah kering ditinggalkan musim. Anak anak ikan menjelempah jadi bangkai tak berguna.

Sebuah nama menggamang, tinggal menjadi kesia siaan angin, diterbangkan kian kemari oleh harapan jumpa setelah bertahun menabung tanya “kapan cinta yang tercerai akan dipertemukan?”. Kiranya hanya kabar kebohongan sebagai jawaban, tersembunyi dibalik keengganan untuk lebur dalam kesejatian. Mengundang masalalu kedalam detik pernafasan, terkadang seperti menjaring asap di angin yang lewat.

Gerutupun tak ada guna, hanya menggarami luka yang seolah olah ada. Terkadang membiarkan kenangan lewat seperti bongkah kayu yang hanyut terbawa arus Mahakam, mengayun dan diam dalam kematian, lalu menghilang entah ke dunia mana lagi mesti mengembara. Diri menjadi asing di tempat yang pernah jadi medan kekipu dengan harapan dan mimpi mimpi, dimana malam malam berisi jeritan dan nasehat penguat hati. Tempat tempat nan bersahaja kini memalingkan muka, menolak keberadaan badan semata wayang yeng memburu kenangan sampai ke ujungnya malam.

Usia oh usia, yang memenjara kisah dalam sekat sekat peristiwa, tak sanggup mengembalikan cerita karena zaman telah menelannya. Sungguh kita tak bisa mencipatkan masa depan dari bangkai masalalu yang berserakan. Memungutinya kembalipun tak akan memberikan ruh bagi catatan. Waktu telah menceraikan cerita, ujar renungan disepanjang jalan pulang, bersama gerimis yang menenggelamkan lamunan. Biar saja jejak kaki tertinggal dipermukaan lumpur dan pasir kwarsa, biar saja jejak cinta tertinggal dalam hati, nanti waktu juga yang akan menghapuskannya, menumpas semua kisah menjadi sekedar cerita yang terpapar di dinding ingatan, penghias masa muda yang telah pergi terbawa usia.

Dan, jika kelak akan terulang sejarah yang diimpikan, biarkan saja semua terjadi dalam mimpi kosong siang hari. Sementar biarkan sepi menjadi raja tanpa singgasana.

Samarinda – Balikpapan, 081127

Saturday, November 01, 2008

Ultah

: NK

Sebatang pohon tumbuh di permukaan bumi, berdiri riang diantara rimbun belantara kehidupan. Batangnya meninggi, rantingnya melebar, daunnya merimbun, seluruh jalinan kehidupannya mengembangkan pupus pupus baru. Sejuk embun pagi yang memupuk semangatnya, hangat butiran sinar matahari yang menuntun keyakinannya. Dari setiap inti sel zat yang diserapnya, tersimpan pengalaman yang menguatkan. Ia menjadi bagian sejarah penuh kisah oleh zaman yang terlintasi setiap hari.

Pada setiap awal bulan November pucuk2 rantingnya mengembangkan putik putik bunga nan elok rupawan, menyerbakkan wangi pada dunia. Putiknya merekah, menjajikan buah. Buah buah pengetahuan dari serbuk pengalaman yang terserap bersama berkurangnya jatah waktu yang berlalu ketika hitungan usia bertambah. Buah buah itu mengandungkan intisari biji yang menjanjikan benih kehidupan baru. Lingkaran kehidupan akan bermula dari benih yang diberkati dengan hidup, didalamnya terkandung intisari kisah peradaban.

Setiap awal bulan November, bunga nan elok rupawan bermekaran di setiap ranting dahannya, melahirkan harapan masadepan dan membekali akar untuk lebih dalam menembus bumi, menganugerahi batang agar lebih kokoh berdiri menyongsong hari hari baru yang penuh teka teki. Dan wangi yang merebak menyemaikan keyakinan bahwa hidup adalah hal terindah...

Selamat ulang tahun, mbak Nova....


RS Dr. Sukanto 081101

Sunday, September 28, 2008

Pesan dari Bunda

Anakku,
Aku tetap berharap engkau akan turut pulang dalam rombongan, setia seperti matahari yang selalu tenggelam menjelang malam. Pulang ke tanah tempatmu terlahir, dimana darahku tumpah di bumi yang menyaksikan tangis pertamamu pecah. Burung burung Prenjak sudah kejek riuh di pohon mangga depan rumah kita, burung burung yang dulu sering kau sapa gembira sebab mereka mempertandakan seseorang akan datang dari perjalanan menyambangi kita yang terjebak dalam gurun kemiskinan. Seharusnya engkau pulang anakku, sedangkan sejauh bangau terbangpun pasti akan kembali ke sarang.

Wahai buah air susuku,
Aku teringat, hanya doa yang dapat ku bekalkan ketika kaki mungilmu melangkahi batas pagar halaman menuju dunia luas dengan bergegas. Mimpimu menumpuk di angan angan pemberontakan kecil atas tali miskin yang menjerat leher kita dari generasi ke generasi sebelum dan sesudahnya. Mata lugumu mengisyaratkan tempat tempat nun jauh yang bahkan tak pernah terbacakan dalam cerita dongeng pengantar tidur yang aku bacakan untukmu. Dan bulan bulan awal kepergianmu kutangisi malam malam sepi dengan doa dan permohonan agar anak lelakiku dikuatkan dalam pengembaraan, agar selalu dimudahkan menemukan dalam pencarian.

Anakku,
Kabar yang engkau kirimkan lewat angin menggambarkan tanah tanah pijakan yang jauh dan sendirian, tak terbaca olehku kelaparan dan luka lukamu, bahkan telapak tanganmu yang kapalanpun tak kau kabarkan. Semuanya berjalan baik baik saja, dan anakku kini jadi lelaki entah di negeri mana. Selamanya lelaki selalu pergi dari rumah ini, rumah tempat mimpi mimpi mudamu tersusun bersama ketakutan yang kau sembunyikan diam diam dibalik tembolok yang selalu tak terisi penuh oleh cadangan makanan.

Ah, anakku..
Semestinya engkau pulang lebaran ini. Lihatlah teman teman sebayamu pada berdatangan dari perantauan jua. Mereka membawa kisah kisah yang membanggakan tentang hidup mereka di negeri orang, mengusung kekufuran dengan perbendaharaan benda dan bahkan dialek bicaranyapun sudah susah aku kenali lagi. Anakku pasti tidak akan seperti itu. Pahalawanku akan tetap menjadi lelaki dusun yang rendah hati dan sopan santun, tidak membawa sampah perantauan ke desa untuk dipamerkan dalam imitasi kehidupan kota. Cerita tentangmu ramai dibicarakan, anakku yang tertambat oleh kewajiban dan tak bisa meninggalkan tanah rantauan. Ah, demikian kejamnyakah kota yang merenggutkan anak lelakiku dari ibunda yang merindukannya?

Tak mengapa anakku,
Sepenuhnya aku mengerti seperti dulu pernah kuajarkan lewat sikapku untuk mnerima dan menyerahkannya kepada kedewasaan, memilih dan menjalani kehidupan. Dulu waktu kecil aku sering mengomelimu ketika pulang bermain dan menangis karena berkelahi, sebab bagiku lebih baik tak usah berkelahi daripada pulang membawa tangisan. Dari dulu kita memang tidak punya pembela, anakku.


Anakku anak naga,
Ketika takbir berkumandang memenuhi angkasa, ketika seluruh jalanan kampung kita penuh warna warni baju baru dan wewangian macam macam, aku akan menunggumu disini, di ruang tengah rumah purba kita dimana engkau akan sungkem mencium lututku, menyembah kedalam hatiku dan memohon ampun atas segala yang tak berkenan dimasa lalu. Dan aku akan menumpahkan seluruh kerinduan serta sukacita kebanggaanku atas anak emasku yang pulang dari menjelajahi langit dan bumi. Aku akan menunggumu disini, di rumah tempatmu dibentuk jadi laki laki…


Selamat hari raya Idul Fitri, Ibunda….


Tertulis dengan air mata – SCBD 080928

Kisah Sebuah Buka Puasa

Suatu hari, menjelang sore ditengah bulan Ramadhan. Dari pagi terkungkung pekerjaan, sebentar lagi tiba waktunya pulang. Janji bertemu di tempat parkiran, dimana nanti motor tebengan diberangkatkan. Lalu bebarengan meliuk dikubangan kemacetan sepanjang Tendean hingga Cawang, bermanufer diantara padat kendaraan dan berjejalnya kepentingan. Cerita mengalir sepanjang jalan, membius bising knalpot dan klakson kendaraan yang mengintimidasi kesabaran. Kadang pecah tawa, kadang pula pikiran sibuk mengulum udara.

Waktu matahari perlahan tersesat diantara gedung di barat daya, seluruh isi kota bergegas menjelang buka puasa tiba. Rumah adalah tempat dimana hati berada, dan bebuka dirumah sungguhlah cita2 mereka yang bepuasa. Kesemrawutan lalulintas yang seusia dengan ukuran kecerdasan pejabat pengelolanya memberi jaminan pasti bahwa tepi jalan adalah tempat berbuka puasa massal; rela tidak rela. Kekusutan tata kelola lalu lintas Jakarta sungguh tidak perlu diragukan lagi. Kondisi genting setiap hari seperti itu sudah puluhan tahun dipertahankan dengan sukses oleh Jakarta. Pengguna (yang tidak punya akses kemana mana dikawal forerider tentunya) hanya punya satu hak; menerima keadaan! Dijalanan manusia bisa dengan mudah bermimikri menjadi mahluk buas atas sesamanya. Pantat pedas, mesin panas, isi kepalapun mudah tertular virus ganas bernama angkara murka!

Gambar baginda sang penguasa kota terpampang raksasa ditepi jalan, tersenyum lebar bebaju gamis, seolah siap berangkat tarawih, sedangkan bedug magribpun belumlah tiba waktunya. "Selamat menunaikan ibadah puasa" demikian pesan sang baginda. Ah, negeriku tercinta, bahkan para pemimpinpun bisa melucu di bulan puasa. Sayang, lucuannya tak lucu! Atau barangkali poster baginda memang salah satu bentuk propaganda supaya mereka sepersaudaraan korban kemacetan dapat lebih melatih kesabarannya selama menjalankan puasa? Hmm, poster yang menggoda untuk membatalkan puasa dengan mengumpat! Dengan banyolan wagu itu pula pemimpin kota ini memprovokasi pengguna jalan untuk lebih bersabar menghadapi ironi kota praja. Pameo ‘bukan Jakarta kalau tidak macet’ melambangkan betapa terbelakangnya pola pemikiran yang seperti antisolusi itu. Maka inilah jalanan Jakarta kita, an organized chaos it is!!

Ketika bedug bertalu, kemacetan telah berlalu. Matahari telah benar benar pergi dari sudut mata, laju roda perlahan menepi mencari tempat akan berhenti. Warteg dekat pemakaman jadi pilihan, teh manis hangat jadi ta'jil andalan dengan bumbu penyedap keramahan sang pelayan. Dua gelas teh manis hangat dan dua batang rokok lesap sebagai hadiah kemenangan hari ini. Dua puluh lima ribu rupiah terakhir di saku celana menenangkan pikiran atas tagihan berdua. Sungguh amat membahagiakan, berbuka puasa dengan kesederhanaan; teh manis hangat warteg jamuan perayaan kemenangan bersama seorang teman seperjalanan, di ruas jalan kehidupan yang sunyi.

Rasa lapar dipertahankan, sebagai imbalan bagi mereka yang dirumah, yang telah dengan segala upaya menyiapkan hidangan untuk jamuan nanti jika yang seharian bekerja pada pulang. Jarak masih setengah perjalanan, sampai ke nanti kita berpisah sehabis pertigaan.

Hari ini kita telah menang dengan tenang tenang, ...


Halim kira kira 080912

Tuesday, September 23, 2008

Catatan Kaki Senja



... Aku ingin rebah
Di sejuk tanah berdebu
Latri sisa hujan musim lalu
Di bawah rindang rumpun bambu
Di tepi kampung halamanku...


Tulisan ini lahir dari fikiran kanak kanak yang nakal namun penurut terhadap ibunya yang adalah nurani sendiri. Seorang kanak kanak yang terperangkap dalam tubuh lelaki berusia hampir setengah baya. Seperti lazimnya aturan adat, usia memberkahi manusia dengan kebijakan setelah masa muda yang melulu berisi pemberontakan. Kebijaksanaan adalah praktek dari kepatuhan terhadap ibunda nurani. Catatan dalam pengalaman batin mengalamatkan bahwa waktu dan tempat yang diberikanNya cuma cuma berupa kegiatan kehidupan bisa berakhir kapan saja, dan selalu tanpa bisa seorangpun menduga kapan dan bagaimana proses kejadiannya. Sang kanak kanak yang abadi terperangkap akan mentertawakan diri karena telah lahir di tahun yang salah.

Usia pakai badan wadagpun berkurang nilai praktis maupun ekonomisnya. Sensor2 motorik syaraf menumpul, otot melemah kulit menhgendur tulang merapuh pandangan mengabur dan telinga menuli. Sebagiannya telah rusak sebelum habis masa pakai, rontok atau hilang aus selama perjalanan umur. Zaman telah meninggalkan keberpihakannya, manis masa muda telah lewat dan jadi sejarah belaka. Sungguh tiap tiap manusia berhak merasa kesepian dalam beberapa saat di hidupnya.

Dari siklus edar sang matahari kita diajar banyak tentang kehidupan yang dimulai dengan panen pengharapan ketika embun beranjak musnah di pagi hari, lalu panas sengangar tanpa tandingan di tengah hari dan ditutup dengan udara hangat sebelum senja lalu selebihnya perenungan dalam gelap ketika bersendirian. Demikianlah siklus nyawa yang dalam pengembaraanya mengandungkan nilai nilai historis riwayat diri, jadi mahkota bahkan belenggu bagi yang salah memanfaatkanya. Perjalanan usia akhirnya melahirkan bayi jiwa baru sebagai produksi dari intisari pengalaman. Di dalam gelap dan sendirian, segala yang ada di fikiran menjadi demikian terang untuk dijabarkan.

Oleh sebab tidak adanya panduan menjadi tua, maka setiap diri menjalani hakekat ketuaanya secara otodidak, alami semata dan hanya berdasarkan pengalaman empiris yang pernah dilalui. Usia juga menghasilkan sampah sampah penyesalan sebagai dinamika riwayat hidup; kematian dan kelahiran silih berganti tak ada henti sampai akhirnya tiba giliran kita dipendam dalam bumi, mati tak berguna meninggalkan dunia.

Menyaksikan batang2 rumput berbunga dimana serangga merubung bak pesta pora, hasrat membuncah menggigil sendirian ditikam pengandaian pengandaian yang berbau mustahil. Lebih baik perlahan membangun mimpi kedua, menyingkir dari ramai adat dunia dan menemukan kehidupan baru diantara desau cemara dimana kedamaian perasaan berhembus dalam kesunyian rumah kayu. Kebun2 rahasia yang terbangun untuk kekasih hati, kerabat bidadari terawat rapi di rumah kayu. Orang orang yang pernah singgah dan menghuni hati akan mengenangkannya diam diam, menyimpan perasaan diam2 sebagai catatan rahasia yang punya andil mewarnai kisah dengan tawa bahkan derai air mata; semuanya serba diam diam.

Menghitung sisa umur, menghitung mundur jatah usia yang kita punya, seperti mengayak butiran2 sejarah yang menjadi cermin bagi nurani yang akan mengejawantahkan siapa diri. Dari sanalah kebenaran hakiki muncul, terkandung rapi dan diam dalam diary jujur, ketika polah manusia menjadi usang karena diri merasa ditinggalkan dan terkucil sendirian. Tinggal rumah kayu penunggu setia mimpi senja...

Fatmawati, 080922

Sunday, September 07, 2008

Menuai Usia

Usia menua, meninggalkan catatan dan kenangan yang bagai lukisan dilorong masalalu; tinggal keindahan. Ribuan orang sudah datang dan pergi menyinggahi hati, sebagian meninggalkan tahi, sebagian menabur benih melati. Segala yang baik dan buruk jadi menghidupi, pengalaman pengalaman yang bertabur menjadi penghias dan pengingat jalanya cerita kehidupan. Hidup adalah lorong sempit berliku liku, mendebarkan sekaligus mengokohkan harapan. Jarak tempuhan seterjal apa lagi yang bakal ada didepan, telah diperingatkan oleh apa yang terjadi di masa lalu. Hidup bisa penuh kejutan, mengandung kebosanan, dan memiliki keindahan yang tak bisa terjabarkan. Sepenuhnya berisi cerita cinta antar manusia, kadang jadi pelaku, terkadang jadi korban, bahkan terkadang jadi saksi saja.

Jauh sudah kaki berjalan, memburu cita di titian mimpi. Dan Tuhan selalu berada disisi. Jauh sudah jarak tempuhan, terkadang di padang gersang terkadang di lumpur kebosanan. Dan selalu tersedia kebun rahasia, tempat segala keluh kesah bermuara dimana sejuk embun pagi selalu setia membasuh dan jadi pupuk penguat diri melangkah lagi merangkai hari demi hari dalam gugusan cerita dunia. Manusia dan manusia menciptakan rangkaian panjang sejarah peradaban, dan cinta selalu menjadi tema utamanya.

Setiap orang adalah pahlawan, dan darinyalah dilahirkan jejak jejak perjalanan supaya anak cucu tidak kehilangan arah. Niat sederhana dan menjadi terbaik bagi diri sendiri masih terlalu jauh dari begitu banyak rahasia yang tersimpan dalam pikiran, rahasia yang menjadi tentangan bagi kata bijak hati nurani. Jika keberuntungan adalah hikmat bagi mereka yang keras berusaha, maka mimpi yang terpetik tanpa sengaja adalah anugerah yang tak ada bandingannya.

Menuai usia, ketika otot tak lagi kekar, tulang belulang tak lagi kukuh dan keriput menyapai kulit ari, menghantamkan kesadaran kepada nurani bahwa hidup semestinya bersimpuh tanpa daya dibawah kehendakNya. Penderitaan telah menjadi pelajaran yang menghadirkan kepasrahan, setelah protes panjang membentur altar langit tanpa jawaban. Sedangkan karunia terkadang terlupakan oleh gemuruh kota besar yang menjauhkan kepribadian dari sifat sahaja.

Rumah kayu dilereng bukit berdinding ketenangan dan beratapkan tulisan sejarah masa silam, beralaskan renungan panjang atas segala peristiwa dan kenakalan menanti di ujung sana, tempat dimana ujung hidup akan berpulang terpahat dalam tulisan panjang, sejarah seorang manusia biasa.

Setan dan bidadari berlarian datang dan pergi, meninggalkan catatan yang manguatkan dan melemahkan. Keindahan selalu pergi terlalu dini, sedang penderitaan bercokol rapi di alam fikiran, terbawa dalam perjalanan panjang ke masa depan. Dan adat hidup selamanya tetap sama; bahwa masa lalu dan masa depan sama sama nisbi adanya. Hari ini, saat ini adalah hadiah terindah dari Tuhan bagi diri dan mahluk hidup penghuni bumi. Sebab, semegah apapun isi kehidupan, kematian tetaplah jawaban pasti.

Selamat ulang tahun, buderfly…Think again! Life is just awesome!
Kebumen, 080907

Sunday, August 24, 2008

Manusia baru

Catatan kecil untuk Abby

Tanpa sekehendakmu, engkau lahir ketika usiaku merambat tua. Dengan niatan telah tertitip lewat ubun ubunmu harapan dan pesan kelakuan, setidaknya ruh yang menghembus dikala engkau gelisah dalam rahim bidadari, ibu kandungmu membacakan kisah kepahlawanan manusia manusia utama, nun jauh di tempat yang hanya terdapat dalamm cerita buku.

Dalam naungan cinta berlimpahan tubuh mungilmu mengisi ramai dunia, terlahir dari tetes embun sejuk milik sang zaman. Lewat ibundamu kutitipkan cinta yang kental, cinta yang tak mengenal segala acara dunia. Kelak kau mungkin tak akan mengerti bahwa di dunia yang kacau ini selalu ada duni tak bertuan yang menyumberkan kedamaian seperti keabadian.

Kakimu akan perkasa menjejaki langit, seluas pikiranmu menangkapi ilmu dan menggendong jadi bekal pengalaman. Nanti engkau akan mengerti jua, bahwa hangat matahari dan sejuknya pagi selalu berisi energi yang mengembalikanmu pada pengakuan atas keagungan Tuhan, sang penciptamu.

Ketika genangan ketuban mengering, engkau telah resmi menjadi manusia baru tanpa upacara. Dan kewajibanmu, wahai manusia baru adalah menjadi manusia, membanggakan ayahnda pengukir raga dan mendamaikan ibunda yang selama sembilan bulan menggendongmu tanpa lelah.

Jika mata mungilmu terbuka kelak, segala rahasia alam akan terhampar dihadapanmu untuk engkau punguti jadikan perhiasan riwayat kehidupan. Dan dari telingamu segala ilmu pengetahuan akan tersimpan dalam ingatan, menjadikanmu sebagai manusia unggul yang cerdas memaknai kehidupan; seperti ayahandamu juga seperti ibundamu.

Selamat datang ke dunia wahai manusia baru, hiruplah udara dan penuhi paru parumu dengan udara yang penuh akan karunia. Bawalah pesan damai yang dulu sempat kutiupkan di rahim ibundamu...


Gempol 080824

Tuesday, August 19, 2008

DTB – a hidden story.

:
Rasanya tidak ada lagi apapun yang diperlukan, tidak ada lagi keperluan yang dibutuhkan selama kepalamu bersandar pasrah didadaku, dengan rambut hitam lurusmu terurai memenuhi bidang sandaranmu, seperuh tubuhmu dalam dekapan erat. Mata kita terpejam, kata kata kehilangan makna. Hati berbicara jauh lebih banyak dari apa yang bias disimpulkan oleh kata kata. Tangan kiriku merangkul, melingkari lehermu dengan jari jemariku mempermainkan daun telinga mungil itu. Tidak ada lagi yang perlu dirisaukan, tidak ada yang patut untuk dicemaskan. Hanya nafas memburu yang perlahan menjadi pelan, dan peluh menitik di setiap pori di kulit ari.

Dalam buaian tepi surga, tubuh kita melayang layang diangkasa, diterbangkan oleh gelombang lembut pasca ledakan sensasi bersama, laksana gunung berapi semburkan lahar bagi yang pertama. Diam, kesunyian menjadi begitu indah, musik mengalir dari detak jantung yang perlahan berhenti berburuan berkejaran, mengiring deru nafas yang memudar. Tubuh mungilmu dalam dekapan, dan kita larut dalam buaian. Bibir mungilmu menyembunyikan senyum, tenggelam dalam sonyaruri. Semua diam, tenang.

Di dalam pikiranku pengembaraan jauh melanglang negeri, melewati pulau pulau dan samudera hingga nun jauh ke dusun dimana masa kecilmu bersinar ceria. Kaki mungilmu menapak diantara hamparan buah cengkeh yang terjemur di halaman depan, angin yang beraroma cengkeh mempermainkan rambutmu ketika berlari mengejari kupu kupu kuning yang terbang genit diantar semak. Mata sipitmu mengernyit diciumi hangat udara pagi, dan kulit putihmu semburat dipermainkan oleh sinar matahari yang menerobos diantara daun daun mangga di halaman belakang rumahmu. Aku menjadi matahari, saksi atas sukacitamu pagi itu, berlarian sambil bernyanyi berrsama alam yang menenteramkan, memberi janji janji akan tempat tempat jauh yang kaya akan ilmu pengetahuan. Aku menjadi matahari yang menyaksikan tangismu pecah ketika kelinci kesayanganmu tersesat di tepi hutan.

Di dalam pikiranmu, badan terbang tanpa sayap menjelajahi langit, timbul tenggelam dalam kesadaran. Lalu menemukan lelakimu menjadi pahlawan bagi dirinya sendiri, pahlawan yang lengan kirinya kini melingkar di leher dan mempermainkan cuping telinga dengan mesra. Lelaki ini muncul bersama dengan kemunculan hari hari biasa, kemudian menjulang diantara angan dan keinginan hati yang terbentengi oleh aturan kepatutan, compliance blanket, dan tatanan peradaban. Tetapi dia tetaplah lelaki pahlawan, yang memberikan nilai tak tertakarkan atas keberadaannya sebagai wanita. Otak memvisualisasikan seribu cerita tentang perjalanan panjang dan sendirian yang sempat terekam lalu diperdengarkan dalam kisah sepanjang malam, yang kini membuai dalam badai pertanyaan betapa mengesankan kisah kehidupan. Lelaki itu, lengannya kukuh merengkuh hati, membiarkan dirinya hampa di titik nisbi dengan angan yang bebas menjelajah pergi meninggalkan raga. Damai tentram semata yang terasa.

“ yuuuk…”

Suaramu membunuh lamunanku….


SCBD - 080819

Friday, August 08, 2008

Mengenangi Pertemuan

: HF


Hangat hawa kotamu menyergap dalam pencarianku diantara gelap. Jejak jejak kaki kutemui, jejak jejak kakiku senidri di masalalu. Seakan bayangmupun senyap dibungkam sunyi hati. Bukit bukit yang menyembul diantara jalanan raya mengantarku pada khayal sejarah yang terputar dalam utas pita kenangan. Menghayati kerinduan ketika senja mulai mengurung simpang Enggal, warnanya sayu dipermainkan teka teki malam nanti dan realita tadi pagi dalam bayang bayang patung gajah berpayung susun.

Bertemu lagi dengan tatapan matamu, yang setiap kerling mengandung beling yang menusuk kalbu, mematikan ego, rasanya seperti menapak nyata di alam mimpi. Bising menjadi sunyi dan sunyi berubah girang menjadi kepenuhan kata kata, semua bercerita tentang apa yang terjadi semenjak pergi. Tawa yang pecah di pantai lautan kisah telah membunuh ragu atas keberadaan tubuh dan hati permaisuri sang naga. Diri tersedia menjadi budak atas perasaan senang berlebihan yang berulang setiap kali pandangan menyilang.

Seseorang pernah membius dalam drama percintaan terbaik sepanjang zaman suatu ketika, menebarkan daya magis dengan kekuatan magnet yang tak terbayangkan. Lelaki manapun takkan sanggup melawan, kekuatan akan daya tarik kasih sayang. Menerabas gelap, merenangi hujan, menyusuri khayalan, membelah lautan dan menempuh perjalanan yang tak terbayangkan kini, untuk setetes embun bagi gersangnya hati. Embun yang tidak pernah pergi dari hati, hingga siang kembali ke pagi lagi. Bahkan ketika rumput rumput harapan menghijaukan gurun kesengsaraan, buah dari drama penghianatan.

Kota ini tak pernah menjadi asing meskipun lama tak disambangi dan hanya sekali dikunjungi. Setiap ruas jalan dan bidang bangunan adalah jejak memanjang yang menceritakan tentang pertemuan rahasia yang terjadi di dunia tersembunyi; dunia tak bertuan. Tiap sudutnya menyimpan tatapan mata dan raut wajah ayunya, bahkan suara lembutnya bergema memenuhi langit fikiran. Bahkan tepian lapangan Siburai masih menyisakan tetes air matamu abad lalu, ketika kita harus berpisahan, menceraikan dua manusia beda warna yang mengikut hati setelah rampung melunaskan kerinduan. Ya, hanya mengikutkan kerinduan hati.

Kini dinding kaca pun berterali, menegaskan jarak yang bisa dibuat oleh kebudayaan manusia bernama adat kepantasan yang mengatur tatanan kesusilaan. Tetapi hati tak mengenal terali dan dinding kaca, ia bebas menembus segala bentuk dimensi ruang dan waktu, menghilangkan perbedaan warna hitam dan warna putih. Demikianlah hidup harus berrjalan, seperti yang pernah jadi perkiraan pada awal mula perjumpaan. Dan memang hidup terus berjalan, membawa perubahan dan perkembangan baru, bibit bibit masa depan yang baru dan terus bertumbuhan dipupuk pengalaman masa lalu.

Mengenangkan pertemuan, keindahan yang terkandung dalam setiap elemen keberadaannya, mengantarkan tidur dalam mimpi teramat indah dalam pelukan sepi kotamu...


Bandar Lampung 080808

Tuesday, August 05, 2008

Bukan saya

Rekaman audio di cockpit pesawat Adam air DHI 574 yang hilang di perairan Majene Sulawesi Barat pada hari pertama tahun lalu tiba tiba beredar dan populer melebihi popularitas album baru band anak muda. “ Allahuakbar…Allahuakbar….” lalu senyap bersama lenyapnya seratus dua orang manusia yang ada didalamnya, meninggalkan luka dalam bagi ribuan orang sanak keluarga korban. Isi rekamannya tetap sama, itu itu juga beredar melalui transaksi informasi nir kabel. Bukti bahwa teknologi informasi secara perlahan lahan menelanjangi cerita kemanusiaan yang terjadi sebena benarnya.

Yang lebih meriah justru cerita cerita sangkalan para pejabat instansi negara yang tadinya berkewajiban menyimpan dan memelihara jawaban teka teki kecelakaan pesawat paling tragis abad ini. Berlagak seoalah tidak kebakaran jenggotl KNKT menaburkan bibit bibit opini yang keseluruhannya mendoktrin publik untuk mendukung kebohongannya menjadi kebenaran. Hal yang sedemikian sederhana di orak arik menjadi susah dicerna. Kisah bau kentutpun di seluruh dunia tetap sama rumusnya, yaitu yang pertama keluar dari mulut dari bau celaka itu adalah “bukan saya pelakunya”, yang sebenarnya bermakna sebuah upaya mengalihkan kesalahan kepada hantu; pembodohan publik!

Di tivi, si ganteng pemandu acara mewawancarai seorang pejabat tinggi di KNKT. Lelaki tua dengan tiga perempat wajahnya dilapisi kaca mata berwarna grey transparan; dan begitu peduli dengan jas serta intonasi suaranya memperjelas situasi pikirannya yang dihinggapi deja vu sepanjang waktu. Rekaman suara bencana celaka itu diperdengarkan lagi, merobek ribuan hati sanak waris para korban, juga jutaan manusia atas nama kemanusiaan. Bebasnya pemberitaan di media tivi bagai mata cangkul tajam yang mengoyak hati keluarga korban yang sedang belajar sangat keras dan berat untuk bekompromi dengan keikhlasan. Rekaman percakapan yang bocor itulah sebenarnya bencana lebih parah bagi kebangsaan dan kemanusiaan, sebuah pertunjukan peradaban betapa miskinnya bangsa ini dengan empati. Adat sopan santun ketimuran, menguap menjadi sejarah. Vulgarnya pemberitaan adalah anarkisme terhadap bathin keluarga korban, dan selamanya penderitaan sungguh tidak bisa digambarkan seperti apa rasanya. Hanya bisa merasakannya sebagai iblis jahat yang hidup didalam aliran darah disekujur tubuh kasar kita, itupun hanya bisa dirasakan oleh mereka yang tertimpa derita.

Bocornya rekaman keramat itu ke telinga umum juga adalah sebuah cermin betapa pemikiran tentang pengamanan bagi pejabat sepenting itu sungguh bisa diduga; sangat memprihatinkan. Mestinya, upaya pencegahan terhadap terjadinya kebocoran informasi mutlak menjadi prioritas pengamanan KNKT dari ancaman operasi intelijen partikelir, pencurian, sabotase ataupun kemungkinan terburuk lainnya. Metode metode pengamanan elektronik sampai pengamanan tehnology informasi mutlak harus ada. Dibutuhkan sebuah team pengamanan yang efektif sebagai pendukung sistem sistem yang terbangun dalam melaksanakan pengamanan fisik, serta melakukan pemetaan konsentrasi area kritis dengan sistem administrasi serta prosedur standar operacional yang jelas. Kesadaran para pemangku kedudukan (apalagi pejabat publik) kita masih sangat rendah terhadap pentingnya pengamanan. Penghargaan terhadap profesi petugas keamanan memang sudah banyak kemajuan meskipun masih jauh dari harapan yang wajar. Akibatnya profesionalisme individual seorang petugas pengamanan sering kali pas pasan, sama halnya dengan pendapatan mereka yang juga pas pasan.

Sementara pejabat yang pura pura tidak kebakaran jenggot sibuk mengembang biakkan opini, marilah tunduk kepala kita sejenak. Mengheningkan cipta dan memohon kepada yang maha kuasa, semoga arwah para korban tenang diterima disisiNya, serta keluarga yang ditinggalkan diberiNya kekuatan untuk melanjutkan hidup dan menyingkap keajaiban keajaiban lainnya dalam kehidupan dan juga semoga para pemimpin negeri ini segera disadarkan dari kemabukan duniawi.

Dan, kebenaran yang tak terbantahkan adalah makna dari kata terakhir yang terperdengarkan dalam rekaman masyhur itu..” Allahuakbar….Allahuakbar…..Allah maha besar..! Itulah kebenaran hakiki dari cerita setiap manusia, tidak peduli bagaimana KNKT akan berkilah menutupi aibnya .


Gempol – Bambu Apus 080805

Sunday, July 13, 2008

Mozaik buram masa silam

: TS

Malam luruh, sinar bulan menjuntai ditimpa gemuruh tetabuhan dan pekik sorak sorai. Sunyi semata menyelinap dalam dada justru ketika semua suara tumpah ruah dalam pesta akbar di kota purba. Bau kotoran burung layang layang yang berbaris rapi di kabel listrik mengurai kembali kepingan kepingan sejarah diri, memaksa ingatan menengok akan kenangan yang telah lama terkubur waktu. Jalan jalan berisi bayangan, suara suara yang datang dari masa silam.

Satu slide kenangan datang menikam, berisi keperihan akan sepotong hati yang tak sengaja tergores terlalu dalam. Mempersembahkan dosa yang kelak jadi penyesalan peneman pikiran sepanjang jalan. Seseoarang telah menghilang, meninggalkan tangis dalam keabadian. Canda tawa dan tatapan berpengharapan telah buram digilas cerita penutup yang tiada berkesimbangan. Ada sebuah hati yang merana sia sia, datang dari masa lalu dan mencabik senyum jadi sebentuk garis vertical di wajah mengkusam. Asmara yang membuncah kala itu sungguh tak tertipukan hanya dengan lima tahun tanpa berita.

Waktu berjalan, bumi berputar dan cerita penghuni jagad terus saja berganti gantian. Tak ada yang bisa menentukan. Mereka yang datang dari masa lalu menyempatkan menebus lunas pertemuan, melulu berisi cerita kepahlawanan. Telinga hanya mendengar kekosongan sebab hati mencari yang diinginkan, dan yang diinginkan telah memutuskan pita suara, hilang dari pendengaran kabar berita. Kenangan cinta selamanya berisi pedih perih mengabaikan petuah bahwa selamanya kisah manusia adalah cerita hidup biasa.

Uh, kota ini berisi siksa yang memperkosa ketenangan fikiran, menghadirkan isak tangis yang menggenang oleh hati yang tercabik kenyataan. Lima tahun berlalu, dan sedu sedan itu masih mengisi tiap butiran angin yang mengembara disetiap lorong dan atap bangunan. Setiap helaan nafas menyedot kenangan, dan mengunduh lara yang tersemaikan di jejak perjalanan dulu, dan kota ini menyempurnakan kepedihannya.

Wahai kau penduka, penghuni belahan bumi masa lalu. Dalam danau nurani telah tertampung hujan air mata milikmu jua. Disana telah hidup beranak pinak penyesalan dan pohon pohon ampunan, atas masa lalu yang mendukakan. Meski mungkin takkan pernah terbaca olehmu, kutulis jua dengan tinta air mata, kisah panjang atas kekhilafan, tertebus hukuman bagi diri yang tak memuliakanmu seperti pengharapan. Lewat seluruh angin yang mengisi kotamu malam ini, kutitip salam dan setanggi penyesalan atas apa yang pernah merejam hati kita dimasa silam.

Aku turut berbahagia, masa depan ada dalam genggaman tanganmu yang basah oleh air mata …


Soundrenaline - Pekanbaru 080713

Thursday, July 10, 2008

Filsafat Duka

: Afni Salmi

(terbisik lewat deru para pejalan , bagimu yang menandangkan duka lara)

Hidup tidak selamanya mulus, juga tidak selamanya mudah. Ibarat langit mencurahkan air hujan dan angin topan ketika engkau tengah di perjalanan, maka kaki tetap harus mengayun. Akan lebih berat dan makin terjal jalan tempuhan, licin dan menjebak dalam kebingungan. Gelap yang mengurung ketika matahari padam hanya memprovokasi hati untuk berhenti dan sembunyi. Itu berarti bahwa pengingkaran terhadap kodrat kehidupan sedang terjadi. Jalani saja, tinggalkan jejak menjadi sejarah dan terabas deras pusingan air dan angin liar yang seolah membutakan arah, sebab seberat apapun langkah, kaki harus tetap bergerak pertanda hidup yang terus berderak derak, membawa perubahan dan pengalaman pengalaman baru untuk memperkaya sikapmu jadi dewasa.

Saat ini mungkin engkau merasa sendiri, sebab deru penyesalan dan guyuran air mata duka membentengi pandanganmu dari cahaya hati orang orang disekitarmu. Percayalah, engkau tidak lagi sendirian. Jangan cemaskan, sebab engkau ada dan hidup di hati orang orang disekitarmu, yang hanya mampu berempati atas apa yang menimpa; tak sepenuhnya bisa menyekutu jiwa untuk merasakan gemuruh kegalauan yang mengamuk didadamu.

Temanku,
Selamannya penawar bagi perih sakit hati yang koyak tercerabut dari akar kenyataan adalah dengan berkontemplasi, merenungkan keagungan dan kekuasaan sang pencipta hidup, sebab Dia pula yang mencipta kematian atas segala yang dikodratkan untuk hidup. Berhentilah sejenak dari langkahmu yang gontai, dan biarkan alam mengajarimu tentang hikmah malapetaka. Waktu akan menyerap air matamu yang menggenang, dan kelak pagi akan datang bersama cicit burung dan hangat matahari kemerahan, lukamu akan terbasuh oleh sejuk embun yang tersangkut di setiap ujung batang daun rerumputan. Biarkan kakimu telanjang menyongsong apapun yang akan disuguhkan oleh kejadian pada hari itu sebab semuanya hanya akan tinggal menjadi sejarah belaka akhirnya.

Engkau berharap, peristiwa akan menunda catatan kelam bagimu, tetapi sungguh tiada yang kuasa menghentikan kehendak sang waktu. Usah kau hitungi goresan demi goresan atas penyesalan yang kemudian menggunung dipundak fikiran. Selamanya tidak akan membuatmu bangun kecuali satu kenyataan bahwa engkau telah kehilangan sebagian dari masadepanmu, kehilangan sebagian gumpalan dari gemunung mimpi yang pernah lahir dari rahim rahim harapan. Bukan pula kejam jika kemudian tiba tiba mimpimu terenggutkan, sebab tiada yang nyata antara kemarin dan esok hari; kecuali hari ini sebagai anugerah semata.

Percayalah, kehilanganmu bukan untuk melumpuhkan bibit kehidupanmu tetapi semata hanya pupuk penguat bagi kokoh kakimu menapaki berderet anak tangga yang tak akan sanggup kau duga rasanya; itulah hidup hari ini.

Dari lubuk hatiku yang seperti kaca, kukirim simpatiku bersama doa yang menggaung memenuhi rongga dada…Semoga dia diterima disisiNya…

MET cafe Juanda Airport - Surabaya 080709

Tuesday, July 08, 2008

Catatan Mesin Ketik

(cerita dari Jakarta VIII)

Klak.. tik.. tlak ..tik.. tak ..tik….

Suara ketukan nyaring memecah sunyi malam di gang sempit yang kadang gelap kalau rumah petak paling kanan yang juga keluarga anak landlord rumah kontrakan itu lupa menyalakan bohlam penerang emperan. Pada sisi masing masing pintunya dibangun tembok tipis setinggi enam puluh senti sebagai pembatas antar rumah tangga; antar para pengontraknya, keluarga keluarga perantau yang juga harta kekayaan Jakarta. Masing masing pintu menyimpan rahasianya sendiri sendiri, menyimpan juga masa lalu dan impiannya sendiri sendiri.

Pada pintu ujung sebelah kiri berdiam keluarga suku batak, dengan dua orang anak dan sepeda motor agak tua tapi tidak juga terlalu tua. Kesan sederhana mewakili seluruh penampilannya. Dibalik pintu itulah keluarga Madelin berdiam, dan dari balik pintu itulah nyaring suara mesin ketik berdenting tengah malam begini. Papanya Madelin pasti sedang menuangkan isi fikirannya ke selembar kertas, mencetaknya dalam tulisan yang bisa mengulang isi perasaan persis seperti ketika isi otak dituangkan, kapanpun mau. Begitulah barangkali penulis. Mamanya Madelin, Imelda adalah seorang pegawai negeri, guru bahasa inggris di sebuah sekolah menengah umum negeri.

Mesin ketik dari besi, tak lekang digerus zaman, dilindas teknologi nir kabel dan kedap suara. Dari ketukannya mengalir butir butir pemikiran, menterjemahkan kegelisahan hati seorang lelaki perantauan. Bercerita panjang tentang sejarah yang tercipta ketika jarum arloji melewati angka dua belas. Suaranya nyaring menerbangkan angan angan, menjauh dari langit kemudahan dan mengajari nurani untuk menginjak bumi kenyataan. Bahwa hidup telah terbagi atas para pelakonnya dimuka bumi, atas perbedaan dan ketidak samaan semuanya berdiri diatas kesamaan. Simpati mengalir bersama bisu malam yang menggenang, mengenangkan ketika lampu minyak menjadi teman memeras fikiran, di halaman rumah diatas sejuk rumput teki, dan bulan seujung kuku yang malu malu digauli awan abu abu.

Huruf demi huruf berbaris melalui ketukan, lambat laun menyuarakan lolongan hati yang menangis sambil bernyanyi. Iramanya membeberkan makna dari setiap simpul hati gundah gulana, tentang besok lusa untuk kedua anak tercinta. Rumah petak berdaun pintu triplek, berhimpitan bergelimang keinginan. Menunggu angin malam ini datang dari utara, membawa kabar tentang ibunda tercinta. Berharap embun setetes datangkan damai, seperti dulu sewaktu malam hari tak dibatasi pagi.

Mesin ketik tua dari Pasar Rumput, menemani lelaki menjelajahi malam, dengan pikiran dan bercak bercak kegalauan. Mencatat sejarah tak tercatat, dari hidup nyata di kota Jakarta. Didalamnya, terpendam miliaran kisah hati penghuninya, tak terlahir dalam kata kata. Hanya tulisan penjabar kenangan yang timbul tenggelam dipermainkan nasib dan harapan…


Gempol, 080708

Wednesday, July 02, 2008

Pupuk Bawang

Siapa itu duduk di sudut tenggara? Murah senyum seperti sakit gila?!

Atas nama basa basi, pantat tertancap di sebuah kursi. Berharap arloji melaju lari, ternyata udarapun mati tak menghasilkan gagasan apa apa. Arwah meniggalkan badan, terbanting di keras batu granit berlapis karpet di “Diamond Room”. Menjelempah menjadi kepingan kepingan yang tidak membentuk sebuah identitas. Jasad bahkan tak mengenali lagi siapa diri, dan kenapa bisa terjebak sampai kemari. Dentam musik dan gelak tawa, menjadi symbol atas keramaian pesta raya. Sebidang ruangan menjelma menjadi planet asing yang mengkerdilkan nyali. Tersesat pencarian hati, bahkan tak menemukan jalan pulang.

Ruangan ini menghadirkan kerinduan pada kesunyian. Ketika fikiran menjadi raja atas badan, dan alam semesta hidup dalam harmoni, dimana diri menjadi renik hidup sebagai bagian dari stakeholder jagad raya. Sunyi menegaskan bahwa hidup adalah keindahan seni itu sendiri. Keindahan yang memanjakan fikiran, mengesampingkan perbedaan dan ketidak samaan. Menerima keadaan diruangan ini sama halnya dengan menyuntikkan racun pada syaraf syaraf kesadaran yang selalu setia menegaskan jati diri. Menunggu hingga riuh berhentipun rasanya hanya semakin bodoh membodohi diri sendiri. Kerling mata indah yang semestinya menggoda iman lelaki, kali hanya tatapan sekilas atas nama ketidak sengajaan belaka.

Begini rupanya tata adat pergaulan Jakarta. Boneka boneka cantik bukan kepalang, tidak menyisakan celah sedikitpun untuk melihat alam pikirannya. Masa lalu dan pengalaman seperti apa yang menjadi harta kekayaan mereka, dan mengertikah mereka bahwa mereka bisa terpesona jika melihat alam pikiran si penanya. Reputasi ternyata tidak diakui berlaku disini. Benar kata Pramnoedya, bahwa setiap orang Jakarta membangun tembok tinggi disekeliling individunya, hanya menyisakan jendela jendela untuk mengintip, tak sepenuhnya membaur larut dalam hidup pribadi. Hanya sederet atas nama, lalu pekerejaan, pengetahuan, daya pesona dan ujung ujungnnya pasti uang. Demikianlah harapannya.

Sangkakan diri adalah berarti, ternyata kosong belaka buah harapan mimpi. Bahkan menjadi runner up, sekalipun masih terlalu jauh dari bumi kenyataan. Rasa malu melemparkan badan keluar ruanngan, melaju dalam deru angin setelah sekian jam hidup menjadi sia sia, kembali menjadi manusia dengan nama dan wujud yang sejatinya. Sebuah pelajaran hidup mendewasakan diri hari ini, cermin raksasa yang menyodorkan kenyataan sampai ke balik retina mata. Menjadi nomor dua bisa jadi adalah prestasi pribadi, tetapi menjadi nomor dua dari belakang tidak ubahnya karakter yang mati kaku ditelan peradaban.

Aku rindu kembali kepada sunyi…duniaku yang sejati.

Jakarta - Surabaya, 080630

Thursday, June 26, 2008

Sampah

Detik ini, sebentar lagi tinggal hanya menjadi masa lalu, dan masa lalu semsetinya kita perlakukan seperti sampah, dibuang baik baik dengan prosedur yang benar. Seperti sampah juga, jika kita meletakkan masalalu secara sembarangan, maka kita juga harus bersiap untuk memanen berbagai kesulitan, bahkan terkadang tata kelola sampah yang salah bisa menyebabkan sebuah tragedi, bencana celaka. Semestinyalah kita tetap memperrlakukan masa lalu dengan hormat, sebab ia memberi kita jalan menuju apa yang terjadi pada detik kita menyadari bahwa nyawa masih dikandung badan. Betapa beruntungnya kita diberi kesempatan seperti itu. Apapun namanya sampah, sudah kodrat bahwa ia tercipta dari apa yang tidak kita perlukan lagi, tidak kita butuhkan. Masalalu adalah onggokan waktu yang tidak lagi member manfaat langsung untuk saat ini.

Maka dari itu saudara, mari kita lebih berhati hati lagi dalam memproduksi sampah. Selain tata kelolanya harus arif bijaksana, bahan bahan yang kita konsumsi manfaatnya lalu kita sepah menjadi ampas itupun punya andil luar biasa dengan output bermacam macam sampah. Sampah makanan atau daging akan menjadi busuk, sampah biji bijian ada kemungkinan tumbuh menjadi batang pohon, serta banyak karakter sampah lain lagi. Sebagian membekas tak mau musnah oleh waktu. Perilaku yang baik akan mengahasilkan sampah menjadi, simpati, kebahagiaan, kedamaian dan kebaikan pula. Kebaikan, sebagai masalalu ia akan dikenang menjadi sesuatu yang membanggakan bagi kehidupan. Sedangkan perilaku yang buruk akan menebar kemudharatan kemana mana, melahirkan keburukan keburukan baru yang beranak pinak, menebar permusuhan, petaka dan macam macam bencana peradaban, tragedy umat manusia sebagai akibat buruk dari keburukan yang dikonsumsi.

Sampah, masalalu adalah jejak dari cara kita menjalani kehidupan. Dan jejak itu permanen membekas di permukaan bumi, berbaur dengan miliaran jejak lainya yang membentuk satu kesatuan cerita peradaban umat manusia. Kebijaksanaan hati yang tercermin dalam perbuatan dan perkataan selalu bisa menjadi nutrisi penyejuk dari gersangnya ladang budi pekerti dai kebun jiwa banyak orang. Sikap taklim, berdisiplin dan murah hati, rendah hati sejak zaman pewayanganpun sering ditaklukan oleh angkara, nafsu durjana. Kebaikan akan terlihat seperti kalah, tetapi sebenarnya kebaikan tidak mengenal istilah kalah dan menang. Hati yang bijak dan baik tidak menempatkan diri lebih tinggi atau lebih rendah dari umat manusia lainnya, tetapi sejajar dengan penuh rasa hormat dan tenggang rasa, menghargai perbedaan sebagai sebuah keragaman, melestarikan keragaman sebagai asset kekayaan umat manusia sekaligus media belajar lebih banyak lagi tentang kehidupan. Kebaikan hanya menjalani kehidupan seperti yang diamanatkan dan kita sepakati sebalum kita dilahirkan di dunia. Perilaku yang baik adalah semata cerminan dari hati yang baik pula. Dan hati yang baik adalah keaslian yang terjaga dari arus manis dan indah duniawi beracun.

Sebaliknya dalam keburukan sifat, tabiat maupun niat, implikasinya harus negative. Orang lain yang negative, dan menggunakan segala macam cara untuk menciptakan opini umum bahwa diri sendiri adalah positive alias baik. Orang baik tidak melakukan itu, tetapi orang buruk selalu menggunakan itu. Bahan buruk yang yang selesai masa produksinya akan menghasilkan sampah toxid yang bisa merusak kamuradan (tatanan kehidupan – red). Si sampah akan beranak pinak dengan keburukan keburukan baru yang makin tumbuh mengembang dengan pesatnya. Pada akhir masanya, maka seluruh isi kepribadian bagi orang yang membekaskan jejak keburukan adalah keburukan itu sendiri, kerendahan kualitasnya sebagai insan manusia. Dalam hidupnya orang seperti ini akan mendewakan hukum materi, memperdalam ilmu berkilah, menjadi master dalam bidang berbohong secara ilmiah. Akibat dari tingginya ilmu berdusta yang dipraktekkan, maka esensi tentang “tuntunan dasar berperilaku baik” menjadi seolah olah lelucon.

Barangkali ada yang salah dalam pembinaan mental bangsa kita ini. "Agama sebetulnya bisa jadi salah satu filter untuk mencegah kita berbuat buruk. Apapun agamanya, saya yakin jika setiap orang mau menjalankan ajaran agama masing2 dengan baik, tindakan2 dan kejadian2 buruk di negara ini dapat diminimalisir. Sayangnya masih ada saja yang tega menggunakan agama sebagai alat untuk mencapai tujuan pribadi ataupun golongan. Dengan dalih agama, orang bisa seenaknya menghancurkan orang lain, atau dengan dalih kebebasan beragama orang bisa seenaknya merasa tidak menistakan agama tertentu. Kalau sudah begini...jadi terlihat bahwa agama baru sebatas tampilan fisik, urusan dengan Tuhan hanya sebatas ritual doa...sedangkan untuk hal lain, agama dipinggirkan dan baru akan di pakai ketika dibutuhkan. Lihat para koruptor...ketika mengambil uang rakyat tidak ingat akan ajaran bahwa mencuri itu dosa, tapi ketika tertangkap dan menjalani proses peradilan...tampilan berubah, begitu agamis. Ah, begitu banyak contoh sampai saya muak sendiri". (dikutip dari opini dahsyatnya Miss Cowet, RI-2 wannabe).

Lalu jika seseorang berperilaku buruk, mungkin karena dulu waktu diperkenalkan kepadanya, agama adalah dogma hitam putih baik dan buruk, dosa dan pahala, surga dan neraka saja. Orang yang baik dan rajin beribadah akan masuk surga, sedangkan orang yang jahat dan berdosa akan masuk neraka. Titik. Sedangkan saudara, surga dan neraka itu konon tidak ada dalam kehidupan di dunia, nanti setelah kita mati dan melewati proses pengadilan akbar di hari kiamat, dimana segala amal perbuatan kita semasa hidup harus kitat pertanggung jawabkan. Jarak antara kehidupan dunia dan akherat tergantung dari tebal tipis keyakinan kita kepada Tuhan Sang Maha Kuasa. Jadi agama adalah urusan manusia dengan Tuhan saja. Oh, ini dia yang salah ternyata! Pemahaman yang tidak menyentuh akar rumput tentang fungsi agama sebagai acuan nilai nilai moral dalam berhubungan dengan segala isi dunia.

Setuju dengan Miss Cowet, wakil presiden republik titik titik, bahwa jika setiap orang mau menjalankan ajaran agamanya masing masing dengan baik, maka hal buruk akan bisa diminimalisir. Sesungguhnya agama diturunkan di dunia sebagai SOP (Standard Operating Prosedure) supaya perilaku manusia lebih tertata dan teratur, intinya agar manusia menjadi baik. Tidak ada agama yang mengajarkan keburukan. Nah, karena agama sebagai produk budaya paling tinggi ini keberadaannya diperuntukkan bagi kemaslahatan manusia, mungkin kita perlu merubah pola kaderisasi generasi baru bangsa ini, bahwa agama tidak semata soal surga dan neraka, tetapi implikasi dan dampak dari pelanggaran dan ketaatan terhadapnya bagi kehidupan umat manusia yang jika kita runutkan adalah semua saudara kita sendiri.

Alangkah indah jika utopia itu menjadi fakta, dimana sampah masalalu setiap manusia tidak menjadikan polusi, apalagi iritasi sebab agama telah berfungsi maksimal sebagai pengendali nafsu duniawi, menjadi guideline agar setiap manusia menjunjung tinggi nilai nilai budi pekerti, perdamaian dan solidaritas tanpa pandang bulu.


Gempol, 080626

Saturday, June 21, 2008

Obat Bagi Bangsa

Bangsa ini sedang sakit, hatinya yang sakit. Maka satu satunya obat bagi yang berhati sakit adalah tawakal. Tawakal dalam menerima hal hal yang tidak disukai dan tawakal dalam menerima hal hal yang disukai. Hati yang sakit mengakibatkan jiwa yang terganggu, mengidap gejala gila yang kemudian dimakmumkan menjadi sebuah ajaran modern dari hal yang paling tradisional sekalipun. Kegilaan semacam itu sangat mudah ditemukan dalam berita berita media massa setiap harinya. Orang lupa dengan jatidiri, bahkan Tuhan dikomoditikan menjadi kendaraan taktis. Ya! Tuhan! Bahkan perkumpulan ulama yang seharusnya mengedapankan factor dakwah dan control terhadap budi pekerti pemeluk agama justru tercebur ke selokan hukum materi yang terkadang lebih busuk dari selokan aslinya. Selokan itu berisi peraturan peraturan buatan manusia, kebebasan untuk menentukan siapa yang tidak benar dan – tentu saja – diri sendiri selalu benar.

Neo jahilliahisme adalah sebuah paham jahat yang merusak bayi bayi tatakrama. Paham itu ada tetapi kita tidak sadar keberadaanya. Kebanyakan orang yang bersuara lantang biasanya menentukan hanya apa yang tidak benar, tentu saja menurut penalaran si empunya kata kata. Sakit bangsa ini sungguh akut, seperti tumor yang menjalar pelan pelan, mencengkeram pangkal pangkal syaraf dan aliran darah, menjanjikan sebuah kematian mengenaskan yang bisa datang kapan saja. Kekerasan telah menjadi kebiasaan, hukum menjadi alat permainan tingkat tinggi dengan takaran uang, dan masyaallaaah….jabatan dipandang sebagai sebuah kesempatan untuk memperkaya diri. Tentu tidak semuanya, sebab jika keadaan itu menyeluruh, tentunya bangsa ini sudah tidak ada lagi. Indonesia sudah tidak ada lagi, kembali menjadi kerajaan kerajaan kecil yang dipimpin oleh dictator dictator kecil berejubah superhero, bertopeng malaikat dan mengenakan make up tebal bernama kepalsuan.

Sebab sebuah bangsa terdiri dari individu individu, maka individu individu itu pulalah yang semesetinya bisa memotivasi diri untuk menyembuhkan penyakit celaka yang memelintir bangsa. Zaman yang kata orang serba susah, hanya sebatas di perkataan saja. Jika ibaratnya badan yang biasa dimanja, maka kesakitan akan menjadi siksa. Akan tetapi bangsa kita bukan semacam itu, bangsa kita adalah bangsa yang tangguh, innovatif, menjunjung tinggi tenggang rasa, gotong royong dan persaudaraan. Bhinneka Tunggal Ika, semboyannya. Berbeda beda tetapi tetap satu! Perbedaan perbedaan itu semestinya diterima dengan penuh rasa syukur karena dengan banyaknya perbedaan justru kita adalah bangsa yang kaya, kaya dari semua seginya.

Begitu banyak dan besarnya kekuatan energi bangsa ini, pasti bisa dipakai untuk berhenti berambisi sejenak, dan mendefiniskan kembali keadaan Indonesia secara jujur, lalu menerimanya sebagai sebuah rasa malu. Itulah tawakalnya bangsa. Membangun sebuah bangsa haruslah bermula dari individu yang menghuninya sendiri. Ketaatan terhadap falsafah bangsa dan mengedepankan kepentingan Negara diatas segalanya, belajar percaya kepada pimpinan supaya tidak terjadi multiple dualisme kepemimpinan, dalam segala bidang dan yang didapat dengan segala cara. Kebanyakan dari kita menempatkan diri sebagai raja kecil, atau paling tidak berambisi menjadi raja kecil (bahkan ke tingkat yang paling tidak umum). Jika diteruskan maka akan muncul kekuatan kolompok kelompok kecil yang mengedepankan kegarangan kata kata dan kelihaian berdiplomasi yang bisa mencekoki pemahaman warga terpencil yang tidak tersentuh oleh lezatnya enampuluh tiga tahun kemerdekaan. Raja raja kecil ini begitu nakal dan ambisius, sehingga harus membuktikan kekuatan massanya, membuktikan kegarangannya didepan kelompok yang lain, raja kecil yang lain.

Memulai dari sendiri sangatlah tidak susah, saudara. Belajar untuk tetap setia kepada nurani dan memberikan penghargaan yang wajar bagi ajaran ajaran perilaku seperti agama, meletakkannya sebagai compliance blanket bagi setiap kalbu, setiap hati dan jiwa, maka yang tercipta adalah sebuah colored pink coutry, sebuah Negara penuh cinta dan kasih sayang. Agama ditempatkan bukan dikepala, apalagi diukur dengan undang undang buatan manusia. Tuhan bisa murka kepada bangsa kita yang mempermainkan namaNya dalam pernyataan pernyataan pembohongan publik oleh pejabat, Tuhan juga bisa murka dengan cara sebagian orang dari bangsa kita mengajarkan kebenaran Tuhan melalui kebencian dan kekerasan, penghujatan dan penghianatatan nilai. Tuhan akan sangat murka kepada kita jika kita terus beranggapan bahwa setiap orang berhak menjadi Tuhan dibalik baju gamis hasil upeti.

Tumor gila seperti itu hanya bisa dilawan dengan tekat kuat dan bulat untuk sembuh, dan memang berupaya keras untuk sembuh. Jika masing masing dari individu kita rajin bercermin pada nurani masing masing, pastilah Negara yang kaya lagi subur makmur ini bisa menjadi raksasa baru di Asia, bahkan kita bisa menjadi salah satu pilar kekuatan berlangsungnya kehidupan alam semesta, sebuah Negara gemah ripah loh jinawi yang dihuni oleh warga bangsanya yang bersemangat untuk ramah, sopan santun, cerdas dan berbudi pekerti luhur. Alat pemerintahannya berfungsi maksimal dalam melayani kepentingan warga bangsa, para pengemban tugas jabatannya menghayati jabatan sebagai sebuah amanah dan ibadah. Kelompok kelompok organisasi yang ada benar benar punya semangat profesionalisme, dalam ikut mengontrol jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap pernyataan dikeluarkan dengan sangat hati hati dan arif, jauh dari provokasi dan pembenaran diri, serta konsisten menjaga misi organisasi.

Mari, agama kita tempatkan dalam hati, dalam nurani sebagai penuntun perilaku, bukan di batok kepala konsumtif sebagai komoditi kelompok saja. Dan Tuhan adalah dzat yang tak terbantahkan, tak terdebatkan. Serta yang pasti saudara, semangat patriotisme demi keagungan nama Indonesia.


RI 1 – wannabe.

JGF Karawang, 080620

Friday, June 13, 2008

Penduka

: ex-lucifer

(Tertulis risalah ini padamu, individu mulia yang tersia siakan oleh cinta yang durjana… )

Ketika malammu luruh menjadi gelap, pengap dan mati, pembaringan lakasana sabana kosmos maya, luas tanpa tepi tempat segala khayal dan sesal silih berganti tertayang di langit langit remang yang lalu menyisakan raungan, gemelatak gigi diperdaya amarah membuncah, seolah menyobek dada, memprotes atas kebahagiaan cinta yang tidak berpihak padamu. Bahkan cicak dan serangga seolah mengejek, tertawa terkekeh tak sanggup berhenti, mentertawakan kemalangan nasibmu. Tawanya tersambung tangisan, tangis sedih atas nasibmu yang tak lebih beruntung dari mereka yang melata di dinding ruangan.

Tangismu pecah sepanjang malam, tetapi sekelilingmu hanya keleluasaan sunyi yang mengurung. Badai nasib membutakan mata hatimu, hingga yang terasa hanya pedih ke pedih, hampa ke hampa seperti tak pernah berujung padahal engkau sendiri tak mengerti kapan bencana dimulai, apalagi kapan akan selesainya. Engkau lelah mengurai sebab musabab terjadinya bah air mata, bahkan keyakinanmu sendiripun perlahan tak sanggup kau fahami. Tak kau mengerti penyebab petaka datang tak mau pergi pergi. Di tidurmu yang tersingkat, semua kenangan menjadi beban, dan harapan tinggal tulang belulang ditingkahi kenyataan pahit meremukkan impian. Matahari datang dan pergi sekedar lewat dan mencatat hari hari yang terbunuh mati seolah tinggal menunggu kiamat, tinggal menunggu semuanya pulang kepada keabadian yang misterius.

Berdoalah wahai sahabatku, berdoalah dari dukamu yang paling diam. Mintalah agar sebelah hatimu yang hilang dikembalikan dari ketersesatan. Kembali menjadi pelengkap dari perbedaan yang menciptakan kesamaan. Tumpahkan airmatamu dalam tangis permohonan, agar uap uap udara mengusungnya ke Yang Maha Mendengar. Yakinlah bahwa Diapun Maha Tahu dan menampung semua sedu sedanmu.

Sahabatku,
Sungguhlah nyata bahwa tak ada cerita yang tak sama. Sepanjang sejarah bumi hanyalah melulu kisah peradaban yang terhimpun dari hubungan manusia dengan manusia. Dan nyatalah bahwa waktu akan sanggup membalut lukamu, menyembuhkanmu dan memberikanmu makna makna baru tentang masa lalu, kekinian dan masa depan. Bertahanlah, badai pasti kan berlalu dari hatimu…

Palembang, 080613

Thursday, May 22, 2008

Rindu Buta Tuli

Aku rindu pada perempuan itu, yang pernah mengigit pundak dan mencubit pahaku, meremas hati. Yang pernah membagi setiap helaan nafas dengan oksigen yang sama, menelusuri sifat dan menjelajahi persekutuan asing yang menyenangkan dalam debaran jantung kencang. Matanya menatap harap, seolah menemukan separoh dari langit yang melingkupi duniannya. Harapan yang menempatkan di singgasana paling rahasia dalam hati dan hari harinya. Menempatkanku sebagai laki laki bagi keperempuanannya.

Tiga abad tak bertemu, hatiku tertimbun rindu. Rindu yang beranak pinak memenuhi setiap lorong di rongga dada hingga kepala. Pada tatapmu yang teduh merayu sempat menjadi titipan serpihan hatiku yang hancur berantakan kala itu. Menyediakan panic button dan; piranti komunikasi istimewa yang hanya kita berdua memahami cara menggunakannya. Begitu pribadi dan berlumur tawa bahagia.

Aku rindu cerita tentang ketidak mengertianmu atas hidup yang berjalan misterius, terkadang melenceng dari garis harapan. Pada hari hari yang sunyi, kita pernah saling menemukan diri. Aneh! Justru di kesunyian itu kita bertemu di halte tempat kita biasanya setia menunggu. Dunia yang sepi, tempat kita berteman dengan iblis dan matahari, kedua duanya jauh dari jangkauan kendali kita. Kecil dan berpelangi, tempat kita tak pernah berjanji, hanya bertemu dan kemudian bertemu kembali. Apakah kita memang berputar putar dalam selasar yang sama di bidang labirin bernama nasib?

Di peraduanmu yang sunyi dan maha luas, tubuh ringkihmu kau serahkan pada malam. Jutaan bintang nun jauh di atas atap rumahku menyambangimu, di tempat yang jauh tak terjangkau oleh hangatnya jemariku yang ditelikung rasa merindu atasmu.

Ah, perempuan indahku…aku rindu, sungguh sungguh merindukanmu…

(simpanlah rindumu untukku, agar dihamburkan nanti ketika kita bertemu suatu hari…di taman hati…)

SCBD - 080521

Thursday, May 08, 2008

Ranting Patah Si Pohon Rindang

: sahabat hati

Sangkakan rinai gerimis selimutkan sejuk kesegaran, rupanya yang datang curah hujan sekepalan sekepalan tangan. Bagaimana lagi mesti menghormat ketika kepala telah merunduk serendah mata kaki, merelakan arogansi ego merontok oleh pengharapan akan sebuah penghargaan. Telah menyengaja kokoh menjadi penjaga hati rapuh laksana sebutir telur, menyembunyikan air mata kepasrahan di setiap jamban singgahan. Aku telah begitu keji membunuh egoku sendiri sebagai bukti tertinggi nilai cintaku padamu dan apa yang telah terbangun sepanjang usia perkawinan.

Lama lama aku menjadi budak yang bertuankan ketaatan kepada nilai nilai sesuai aturan kepantasan, tatanan perdaban. Aku rela memperbudakkan diriku padamu, itupun sebagai bukti betapa aku mencintai dan menghormatimu. Aku menyembunyikan sedihku atas ketidak mampuanku mengurai simpul simpul kemacetan di dalam sindroma demotivasi laki laki yang terjadi di dunia batinmu, kekasihku.

Hari ini ada kesedihan datang, hati perih terinjak injak oleh sikapmu yang seperti layang layang kehilangan kekang. Sebaik baiknya kewajiban telah terbayar tunai sejak subuh hingga petang, memanfaatkan keberuntungan yang langka di kehidupan. Andai aku bisa memberi pasti engkaulah orang pertama yang akan kubagi. Tetapi Tuhan memberikan apa yang tak bisa terbagi dengan individu lain. Tuhan menganugerahi kita dengan property intelektual yang kini menjadi pupuk penyubur yang memberi kehidupan atas dunia kecil; perkawinan kita. Tetapi bahkan pupukpun telah sengaja kau pilih untuk menjadi kambing hitam si penerima kesalahan ketika usia merongrong perlahan.

Pohon rindang, peneduh segala kesenangan, surga kecil ditengah ganas gurun tak bertuan, rantingnya patah tertebas tajam pedang atas nama dominasi gender. Patah melayu, getahnya meleleh menyusuri lekuk lekuk dan pori pori kenangan dan penyesalan. Kekecewaan memproduksi rasa sakit hati sebagai akibat dari pengharapan yang menemui pepesan kosong, bertepuk sebelah tangan, kecele yang menyedihkan. Luka parah sampai ke ujung darah hingga tabib satu satunya yang paling sakti hanyalah sang waktu. Waktu akan rajin memberi asupan gizi pengalaman pengalaman baru, hingga sampai pada satu moment yang mengamini ketika bathin merasa bahwa hati yang pecah, ranting yang patah hanyalah satu dari cerita kejadian yang harus terjadi, harus dialami. Sang waktu akan dengan sendirinya meracik obat sakit hati dan memberikan kesembuhan. Dan setiap kesembuhan melahirkan rasa syukur yang amat mendalam, betapa kesulitan telah memberi kemudahan untuk melintas di jalan kehidupan yang makin terjal.

Bertahanlah sahabat hatiku, di setiap tepi mendung tebal selalu ada garis keperakan, pertanda kecerahan tetap ada di balik gelapnya dukamu saat ini. Biarkan sang waktu menjalankan tugasnya, mencatat setiap kejadian yang dialami bathin manusia, lalu menorehkannya pada dinding zaman sebagai cerita manusia, para pelakon sandiwara bernama kehidupan dunia.

SCBD - 080507

Wednesday, April 30, 2008

Duabelas Tahun Kemudian

: Lucifer

Penanggalan di pendulum ingatan menghilang bersama pagi yang membelah mimpi. Hari ini entah hari keberapa lagi harus kuhitung detik demi detik yang akan membawa pergi terbang berlari menyusuri kenangan demi kenagan purba, melintasi awan dan melayang diketinggian, mempermainkan jarak dalam hitungan jari tangan.

Menghirup nafas bekas hembusanmu di pagi sejuk ketika embun bermalas di pucuk bambu hias, diri kehilangan kesadaran akan kekinian. Betapa bersyukurnya kita atas keberuntungan, menemukan lagi dalam percakapan panjang pembias makna. Duabelas tahunkah kita mengingkari pohon cinta dalam ingatan, yang kini menyembul menguasai kepala dan ubun ubun kita yang menua? Oo…Waktu berjalan demikian cepat, duabelas tahun melompat tanpa cacat. Rintih dan perih siksa cinta kita paparkan, berharap malam malam akan berisi nyanyian puja bagi hati yang terluka.

Ribuan ton beban di pundak kanan yang kita bawa sepanjang jalan sejarah, tumpas sudah oleh pertemuan sederhana, sesederhana kehendak hati yang saling menginginkan. Jejak jejak karatan kita bersihkan, memandanginya dan memamerkan betapa kita menghayati setiap langkah ketika kita sama sama menjauh dari kebersamaan. Tangismu menyaru tawa bahagia, ketika matamu yang redup lindap di sudut dadaku, diantara celah ketiak yang menjadi tempat paling menenteramkan katamu. Sebuah sentuhan dengan miliaran keraguan telah mencairkan gunung batu sepanjang zaman, yang kita simpan jadi kenangan entah hidup entah mati. Dan mimpi mengetuk ngetuk pintu untuk ikut lahir dalam kenyataan malam itu.

Lalu kepatutan dan aturan kepantasan membayangi, ketika tiba tiba hujan jatuh berwarna abu abu. Ragu menikam hatimu, berbisik parau tentang hal yang semestinya dan tidak semestinya seperti ratusan tahun diajarkan kepadamu secara turun temurun, dalam lingkup kemapanan moral yang membentukmu jadi rapuh. Angan diam tak bergeming mengecupi kebimbangan hatimu yang datang bersama angin pancaroba musim ini. Air mata yang tumpah di puting dada menumbuhkan empati sukarela atas beban derita dari pilihan hidupmu yang ternyata keliru. I have been there, diterkam oleh keadaan dan dicabik cabik lantak oleh kenyataan. Toh waktu juga yang menyembuhkan segala bentuk luka dan menumbuhkan tunas tunas senyum yang sempat meranggas gersang.

Dua belas tahun yang panjang menunggu sebuah pelukan, bisik kalimat pengakuan dan tumpahan pandang penuh perasaan sayang lunas sudah hanya dalam beberapa butir perkataan, perkataan yang diucapkan oleh hati yang tak pernah letih mencintai dan mengistimewakan dalam cinta platonik panjang. Cintaku padamu, duabelas tahun lalu…

Nighty night…sleep tight…mind the bugs don’t bite…


Yogyakarta, 080410

Friday, April 18, 2008

Si Lucky

Namannya Lucky, profesinya sopir mobil charter dari Surabaya yang ditugaskan mengantar kliennya mulai dari menjemput di bandara Adi Sumarmo Solo sampai kemanapun si klien memintannya. Kebetulan kali ini ke Purwokerto, untuk urusan pekerjaan tentu saja. Boleh mampir dimana saja, terserah apa kata tamu yang dibawanya. Puluhan kilometer jarak tempuhan, diiring musik cadas Van Hallen tahun delapanpuluhan atau musik sederhana dari Koe Ploes tahun yang lebih tuaan. Mengingatkan zaman bahwa diamasa lalupun kehidupan berjalan sama seperti hari ini dan kemarin, ada tragedi dan kegembiraan, ada hidup yang hidup dalam setiap hati manusia penjalan hidup.

Malam dingin luruh menusuk tulang belulang, mengantarkan bulan menelusup diatap rumah rumah tua di kota kecil Purworkerto. Hujan sesore tadi membasahi rumput di halaman kamar dimana mobil sewaan terparkir siap mengantar kemanapun dan kapanpun atas kendali Lucky, atas kuasa klien.

Hal demikian menciptakan gunung tebal pemisah antara klien dan sopirnya, hanya terbatas oleh dinding tipis kamar hotel tempat si klien menginap. Didalamnya sebuah ranjang ukuran nomor dua, selimut lembut tebal dalam lingkupan hawa sejuk pengatur suhu ruangan, dengan segala kemewahan hotel menjadi hak mutlak sang klien, sedangkan Lucky harus melingkerkan tubuhnya yang letih setelah mengemudi sesiangan di dalam mobil yang notabene bukan mobilnya sendiri pula.

Manusian menciptakan aturan, menentukan batasan dan hal demikian sudah wajar dalam budaya kapitalisme dimana uang menentukan status, keterpaksaan bahkan standar kenyamanan. Terkadang menjadi ambigu sendiri ketika privacy menjadi terganggu hanya oleh rasa iba, namun demikian tetaplah berjalan sesuai kehendak sang malam. Tubuh melunglai oleh letih yang membelai, dan embunpun mengurung mobil sewaan dengan tubuh sang sopir tinggal raga dengan ruh mengembara nun jauh ke tanah kelahiran.

Lucky mungkin tidak sesuai dengan namannya. Keberuntungannya menjauh oleh sebab profesi yang dipilihnya, pilihan yang mungkin bukan kesukaannya. Idealisme dan kecanggihan penalaran tak mampu menolongnya untuk keluar dari kungkungan nasib, menerima pasrah pada kehendak hidup dan menjalani setiap menit kehidupan dengan berusaha terus bersyukur dan menrimannya sebagai sebuah keberuntungan sesuai dengan nama yang disandangnya, hadiah dari ayah ibunya.

Hati sang klien mungkin tak semulia malaikat dalam buku cerita, namun ia tetaplah manusia yang memiliki nurani yang bersuara, menggugat logika yang membatasi hak kenyamanan. Kedua duannya sama sama hanyalah menjalankan pekerjaannya, berupaya bertahan hidup dalam persaingan yang kian hari kian mengetat jua. Lepas dari itu semua, dua duannya menjadi lelaki yang menjadi pahlawan bagi siapapun yang ada didalam hatinya.

Lucky di luar kamar, di dalam mobil dan sang klien si orang penting didalam kamar dalam kenyamanan yang membentangkan jarak antara kebersamaan seharian. Dan diantara sekian banyaknya kesamaan, hanya nasiblah yang membedakan.

Apa hendak dikata, kehidupan dunia memang penuh dengan aturan budaya produk manusia…

Marlboro Rocks Purwokerto 18 April 2008

Monday, April 07, 2008

Jejak pincang ditepi malam

Bintang gemintang berkerlipan di titian kabel sepanjang lapangan Merdeka mereinkarnasikan kenangan masalalu yang berhamburan dalam pencarian semu. Melesat angan pergi jauh tingalkan jasad yang dikurungi sunyi dalam gaduh malam birahi. Isi hati menyelinap pergi diantara liku bentor karatan dan kompleks makam sepanjang jalan, mencari penganan bagi dialog jiwa yang kelaparan.

Betapa mahalnya harga sebuah pertemuan yang bisa melahirkan kebersamaan, ketika jarak berkongsi dengan waktu menganiaya batin yang mengigil asing di tanah yang jauh. Telah terbiarkan diri mengecap rasa pengetahuan yang datang dari segala penjuru arah oleh mulut mulut sepanjang jalan dan kesimpulan yang menjadi property intelektual individu. Sebagian menyangkut hampa di lampion merah merah atau tercecer di baliho reobek pengiklan tirani, atau menggantung ragu bersama bintang gemintang di titian kabel membentang.

Mimpipun tan kunjung tiba ketika waktu hanya berisi realita. Duniapun pasti tahu bahwa hidup tidaklah hanya berisi keinginan dan ketidak inginan semata. Wangi parfum dan kerlingan mata mata genit hanyalah piranti biasa ketika senja beranjak pegi di tepi kota Binjai dan matahari mengerdip bersama ribuan naman dan wajah baru yang hanya melintas sesaat di teras hati.

Dewa dewa perawat nasib menyambut para penjamja selera yang menghitung rugi sebagian menimbang laba di sudut kuil tua di Kampung Keling. Orang asing menangisi jalan yang kehilangan trotoar, meraup semua pengertian dari ketidak tahuan akal.

Diantar deru kota Medan, 7 April 2008

Wednesday, March 12, 2008

Tentang makna kehidupan








Apa makna kehidupan menurutmu, sh?

Masih dalam pencarian. Semua aktifitas yang kita jalani setiap hari adalah proses pencarian makna itu, dengan menjalani dan mencoba mengambil intisari pelajaran filsafat atas persitiwa dan pengalaman yang terekam. Tetapi yang pasti, hidup adalah karunia terindah yang wajib disyukuri dan patut dinikmati. Selalu ada pelajaran setiap detiknya, selalu ada kejutan di setiap kesempatannya. Kita bisa mengambil hikmah dari setiap peristiwa disekitar kita atau yang menimpa kita, baik dan buruknya.

Sepanjang hidup kita diperkenankan menyaksikan matahari terbit dan tenggeleam dalam siklus yang nyaris terabaikan, yang menentukan cerita isi dunia. Memperkenankan kita untuk belajar tentang makna hidup, berguru pada butir embun, tunas rumput bahkan kepada bangkai seekor lalat. Semuanya memberikan kejadian adalah symbol dari kekuatan alam dan kekuasaan Tuhan atas segala hal yang hidup dan mati dumuka bumi. Kita sering tidak memperhatikan matahari terbit dan tenggelam, kita juga sering menaruh harapan besar bahwa jika nanti matahari mulai meninggi, kehidupan akan berjalan baik seperti keinginan. Kadangkala hal itu tidak menjadi kenyataan, menimbulkan kekecewaan yang beranakkan kekhawatiran.

Matahari pagi mengajarkan kepada kita makna konsistensi dan optimisme, matahari yang tenggelam mengajarkan kepada kita tentang pentingnya introspeksi kedalam diri senidri atas apa yang telah dilalui hari ini, mempersiapkan koreksi bagi kesalahan sikap dan pikiran. Butir embun mengajarkan kita kepada cikal bakal kehidupan yang sekali lagi adalah karunia termewah, memberi semangat untuk memlihara dengan bersyukur dan menikmatinya. Rumput dan pepohonan mengajarkan kita banyak filsafat tentang menerima apa yang pantas kita terima tanpa mengharap lebih dari apa yang bisa kita dapatkan, mengkonsumsi isi kehidupan secukupnya untuk dikembalikan lagi kepada kepentingan lebih luas bagi kehidupan sebagai imbal balik. Imbal balik yang lebih besar dan baik dari apa yang diterima. Kemudian bangkai lalatpun memberi pelajaran betapa pada prinsipnya kita yang juga mahluk hidup bisa mati kapan saja dan mengakhiri sejarah diri disitu dengan sebab yang tidak terduga. Semestinyalah hidup kita mampu memberi warna dan makna bagi kehidupan yang kita tinggalkan ketika kita akhirnya mati. Bangkai lalat dan bangkai manusia tidak ada bedanya, tidak ada artinya apa apa lagi, tidak bisa memberi kontribusi kepada alam semesta lagi. Dari sanalah semestinya kapal penjelajah alam fikiran kita diberangkatkan, dari kesadaran bahwa kita hanya memiliki ketiadaan, terlalu kecil dan lemah jika untuk menuntut hak atas manfaat diri bagi kehidupan.

Kehidupan seperti lautan kesempatan, kadang bisa menenggelamkan dan kadang bisa menghilangkan kesadaran. Tak tertebak dan rapuh, demikianlah menggambarkannya. Kita yang menjalani kehidupan semacam itu akan dituntut untuk memiliki kekuatan yang memang dibekalkan cuma cuma sejak kita lahir, dan terus kita bangun dan pelihara kekuatan itu sehingga syaraf dan otot motorik kita aus dimakan usia kelak. Belajar dari kesalahan dan terus berupaya meningkatkan kualitas diri dan memperkaya pemahaman kita tentang tenggang rasa adalah pilihan bijaksana ketimbang membiarkan hidup yang mengendalikan kita sesukannya. Memang, ada kondisi kondisi dimana terkadang kita tidak diberi banyak pilihan selain menjalani, atau menjalani pilihan pilihan yang sama sama tidak mengenakkan.

Kita juga perlu hasrat yang kuat untuk mengisi kekosongan demi kekosongan diri kita atas pengetahuan yang hanya kulitnya saja kita mengerti. Ambisi dan nafsu manusiawi kita harus benar benar kita control supaya tidak menimbulkan kerusakan maupun kerugian terhadap peradaban. Nurani sebagai wasit dalam pikiran harus terus tetap terjaga supaya keseimbangan antara hati dan logika tetap terpelihara. Berusaha dan terus berusaha menjadi baik, menjadi orang baik dan berbuat baik tanpa bercampur tangan menentukan hasil pencapaian. Semau upaya pemeliharaan lestarinya kehidupan bagi seluruh mahluk hidup adalah kewajiban yang telah kita sanggupi sejak menit pertama kita dilahirkan. Demikianlah penghormatan yang ideal bagi hidup sepanjang kita menjalankan dan mengambil manfaat tak terbatas atasnya.

Memelihara kebaikan dalam diri kita adalah wujud penghormatan atas karunia termewah bernama hidup…

Ciracas, 080312

Tuesday, March 11, 2008

Risalah Perpisahan










: Orang orang Nutricia

Sudah jadi adat dunia, bahwa pertemuan selalu membawa konskuensi kebalikan: perpisahan. Siang dan malam, lelaki dan perempuan, suka dan duka, kebaikan dan keburukan, dan lainnya. Semua tidak bisa berdiri sendiri sendiri, dan dalam interaksinya memerlukan sinergi, keseimbangan dalam menjalaninya. Tidak akan ada hulu jika tak ada hilir, tidak akan ada kegembiraan jika kita tidak pernah mengalami apa itu kesedihan. Sebab hidup sebenarnya hanyalah perjalanan dari dua titik, antara kelahiran dan kematian belaka. Lain tidak. Sebuah konsep besar yang mewakili keseluruhan kejadian dalam kehidupan. Kisah manusia adalah kisah pengembaraan diantara kedua titik tersebut.

Sebuah pertemuan yang menggembirakan, bisa jadi akan berakhir dalam perpisahan yang merobekkan hati, merontokkan keteguhan diri. Atau sebuah pertemuan yang meragukan akan bisa juga berakhir dengan sebuah perpisahan yang penuh keyakinan, tanpa beban.Tangis dan tawa hanya warna dunia musik pengiring seperti halnya udara dan hujan.

Apabila dalam sebuah kisah sejarah, kita pernah mengalami satu lintasan dalam tempuhan yang sama, atau sekedar berpapasan saja, maka milik kesementaraan sematalah hal itu akan terjadi. Singkat atau lambat, ujung dari kisah cerita akan bermuara kepada satu kepastian yang tak bisa ditolak oleh siapapun. Lalu kita hanya akan menjadi butiran debu yang dipermainkan angin dan musim, mengembara dari tempat asing ke tempat asing lainnya. Semestinya demikianlah hidup dimaknakan, supaya terkikis ketamakan dan sifat binatang yang biasa dimanjakan.

Isi dunia digambarkan dalam sebuah stasiun kereta dimana perpisahan dan pertemuan terjadi setiap hari. Diantara perpisahan dan pertemuan akan terurai kisah kisah perjalanan yang penuh berisi pengalaman, disimpan dalam saku ingatan dan dibawa ke perjalanan lain lagi. Masing masing kita memiliki cara tersendiri menyimpulkan kisah biografi, menjadi peredup dan penerang langit perasaan. Penghormatan kepada pribadi pribadi yang singgah dalam sanubari akan berupa kenangan dan ingatan, berjubah pengaharapan dan terkadang hasrat untuk melupakan. Sikap bersahaja mengajarkan kewajaran, menghormat bagi mereka yang menghormat, mengabaikan bagi mereka membanggakan kerendahan budi.

Simpul simpul kematian yang menentukan rute tempuhan perjalanan liar di bumi tanpa marka ini mungkin akan mempertemukan lagi masalalu dengan masa depan. Segala kemungkinan mutlak menjadi milik alam semesta, miliaran kemungkinan dan hanya akan ada satu yang dapat dibuahi menjadi kenyataan. Itupun masih dalam bungkus misteri yang tak tertebak dengan cara apapun. Jalani saja, ayun langkah ke depan. Integritas akan menuntun kepada kelapangan hidup, lapang dalam menerima yang kita suka dan menolak apa yang kita takuti; lapang menerima kesempatan yang menyambangi keberuntungan nasib, maupun kemalangan yang mungkin akan menguatkan.

Jika perpisahan melahirkan sesal, mari jadikan pelajaran betapa kebersamaan adalah sebuah karunia yang tidak bisa begitu saja diproduksi hanya dengan ketidak sengajaan. Semuanya mengandung makna, pembelajaran sebagai bekal melangkah di titian kalender selembar demi selembar. Sungguh hanya jejak kaki yang tersisa bagi waktu yang telah merampas usia kita.

Mari memberi yang terbaik bagi kehdiupan tanpa ikut campur dalam menentukan hasil pencapaian. Biar saja hukum alam yang akan memutuskan, pahala dan siksa serupa apa yang layak atas apa yang kita perbuat di hari kemarin dan masalalu. Setidaknya, satu pelajaran berharga tentang hidup telah terangkum di sanubari, memberi peringatan dan penguat bagi aral dan anugerah yang bakal datang.

Jika pertemuan melahirkan perpisahan, maka perpisahanpun berpotensi menciptakan pertemuan, entah dimana, entah kapan…sebab kita hanyalah pengembara di bumi tanpa marka.

Ciracas, 080311

Monday, March 10, 2008

Forbidden past







: tet

Bisikmu mengetuk gelisah tidur malam, menyeruak dalam mimpi panjang. Mata bertemu mata, hati bertemu hati setelah sekian abad dipisahkan oleh jarak dan tembok pengetahuan yang mengurung. Hidup terus berjalan dan jejak jejak masalalu membekas dalam ingatan, semakin nyata justru ketika usia merampas keinginan muda.

Malam tadi hadirmu menyisakan tangis menyesak sampai ke ujung pagi, ketika semburat jingga menjadi penguasa di atap atap rumah di timur jauh. Lelaki kecilmu, telah tumbuh dan mengadopsi sikap sikapku yang kau kenal dulu. Justru setelah sungai, laut, gunung dan lembah telah lunas tersusuri mengikuti jejakmu yang selalu saja seratus langkah didepanku.

Sepi menjadi milikmu, jauh dari segala yang kau sangka mampu kau jalani penuh hati dulu. Sepi kali ini sepi lain lagi setelah puluhan tahun kau lewati penuh keikhlasan. Menyesali masalalu yang seolah mengabaikanmu sebagai anugerah indah bagi hidupku.

Semestinya tidak ada aral apapun yang sanggup menghalangi laju angan, mencapai kalbu bekumu dan merengkuhnya dalam hangat rasa yang mengalahkan segala aturan peradaban, namun kau jauh, entah dimana. Hanya sisa bau nafas dan kefanaan tubuhmu yang mengabadi dalam ingatan, melahirkan harapan demi harapan yang makin jauh dari gapaian.

Mimpi panjang tentangmu, merubah malam menjadi mati ditinggalkan kekinian. Menyeret dan menyesatkan dalam pusaran ingatan yang melulu berisi tentangmu. Air mata meleleh menyusuri pipi, menyadarkan diri bahwa hidup masih berjalan dalam putaran nasib yang penuh misteri. Barangkali saja Tuhan telah merencanakan masadepan dengan pertemuan, biarpun hanya sekedar menatap lagi sorot matamu yang penuh makna, atau memandang lagi matamu yang menyempit menahan kantuk; menggajah begitu dulu pernah aku menamaimu.

Mimpi malam tadi, mengusung rindu segunung yang menimpa menjadi kepedihan tersendiri, bercakap dengan masalalu yang tak sempat selesai hanya dengan kata kata. Kini, dimanapun engkau berada, aku tahu bahwa hidupmu bahagia dan aku ada didalam sana menjadi fosil bagi sejarah indah di kehidupanmu. Dari musim ke musim, kubawa kenangan tentangmu mengikuti arus hidup dalam keindahannya.

Subuh ini, rinduku padamu mencincang hati…

Ciracas, 080310

Wednesday, January 23, 2008

Farewell

:n

Teriring kata maaf, atas luka yang merobek hatimu, luka dari erupsi gunung anakan yang kau ciptakan hampir empat tahun lalu, udara berisi kawah beling tempat iblis berkubang dendam. Selama itu pula susah payah diri bertahan, memendam sakit, menimbun perih sendirian, mengerang dan menangisi kekalahan tanpa terdengarkan. Nyatanya waktu tak cukup menyembuhkan, luka bakar yang parah disekujur badan. Merubah bentuk jadi monster mengerikan, mahluk menjijikkan yang tak lagi beridentitas. Hilang semua sifat baik sebagai manusia, sebagai lelaki pelindung dunia.

Duka mengambang, bercampur perih dari tikaman penyesalan. Betapa telah sia sianya seluruh kekuatan yang dicadangkan, jika akhirnya runtuh dan rubuh tembok pertahanan, pelindung nyawa bocah yang hanya tahu tugasnya mengenal dunia. Dialah inti kebersamaan, yang kemudian kau manfaatkan sebagai senjata dan sekaligus tameng pelindung. Menganiaya batinya, meninggalkanku dalam ketidak berdayaan; hanya duka yang menggenang. Suara bergetar bagaikan gempa, mata perih karena selaputnya koyak oleh air mata yang mendesak muntah. Keprihatinanku melebihi udara yang mengitari diri.

Inilah adat dunia, sebagian kita diperintahkan oleh keadaan untuk menerima dan menghayati rasa. Tidak berdaya menghindar, tidak kuasa menolak apalagi mengelak. Pilihan satu satunya adalah menerima, apapun rasa dan bentuknya. Seperti halnya sakit hati yang terbikin, yang membuat hari menjadi rusak, budipekertipun ikutan lasak. Hampior empat tahun tangis tertahan dan perih tertelan, menjaga titisan tetap dalam lindungan. Nyatanya hanya murka jadi balasan. Dan tangis yang terkurung dalam rapuh tahanan perasaan. Udara dan badan halus mengandungkan pedih dalam setiap keping kenangan yang tersisa. Hampir empat tahun saja siksa dahsyat menerpa, hingga hati mati untuk durjana.

Titisan bukanlah benda, ia manusia yang dititipkan kepada kita untuk menjaga dan membahagiakannya. Memanfaatkannya demi nafsu tak terbatasmu sungguh aib yang melebihi aib. Kuterima kejadian dunia sebagai penghianatan kesekian, sebelum perlahan akan kubalut luka, kususun langkah mencari pijar nyala asa yang kau padamkan dengan semena mena. Betapa aku telah salah menempuh jalan dalam gelap ciptaanmu, wahai setan betina.

Telah kukemas masalalu, terkumpul dalam kardus kardus kenangan, teronggok diruang ingatan bersama sampah dan makanan basi. Inilah sumbangsih terakhirku bagi hidupmu, penyokong akan niatmu pergi mempecundangi diri. Dan kukubur masalalu tanpa nisan, disepanjang jalanku setapak terang benderang...



(…harus tabah menjalani, dan jangan lelah hidup – demikian pesanmu yang jadi pemanduku, dik...Dan dik, ingatlah selalu pesanku padamu, betapa aku selalu sangat menyayangimu sepenuh hatiku, selamanya…)

Ciracas, 0801122

Thursday, January 17, 2008

Senja di Kalisari

Jam lima tigapuluh sore, terbang diantara pepohonan dan kering jalan Binamarga, merasakan hanya membawa badan kosong membelah udara sore diatas roda. Perjalanan dari kosong ke kosong. Sepi menikam jantung, detak darah mengikuti irama sendu; sebuah kesedihan yang tidak terjabarkan.

Ibunda memenuhi angan angan. Ah, rembulan yang tidak pernah padam itu, malaikat yang selalu mendamaikan. Siang tadi dalam tidur yang gelisah, mimpi serentak menghaduirkan sosok ibunda, juga seorang istiemewa dimasa lalu. Sendiri diatas pucuk pucuk bukit gundul, hanya berisi tonggak tonggak besar bekas dari pokok pohon raksasa yang tumbang dibunuh orang bertahun tahun silam. Bukit yang hijau, tempat yang tinggi, sungguh amatlah menenangkan. Ada ibunda disana, tidak berkata apa apa dan hanya ada disana karena memang demikian kemauan pencipta mimpi.

Udara sore mengundang muda mudi berkeliaran di jalanan. Para lelaki muda menggambarkan dirinya sebagai tunas muda yang kokoh dan terus berkembang, menjadi gagah menjulang seperti profil lelaki idola dalam sinetron sinetron di tivi, dan yang wanita mudanya membawa diri sebagai bidadari yang selalu bisa memikat perhatian. Jalanan tenang, sore yang tenang, dan pikiran yang tak berhenti beterbangan terus berjalan, seperti kehendak kehidupan, kehendak alam. Senja ini rumah hati tampak suram, cahaya matahari yang redup mempertajamnya pelan pelan.

Menikmati senja yang turun diatap rumah panjang Kalisari seusai menyantap nasi, di tepi sungai yang seperti kehilangan arah. Senja turun berwarna kuning keperakan, memerah saga lalu perlahan tanpa sadar gelap mengurung diri. Gelap disekeliling redup, sepi didalam hati yang takjub.

Keengganan datang seperti kawan, menyapa lalu mengakrabi diri seperti layaknya sahabat lama. Kerinduan kepada masa masa manis dalam hidup datang menyapa. Rindu pada damainya rasa mencintai…

Senja di Kalisari, menorehkan catatan pilu tentang lelaki yang ditikam kenangannya sendiri…

Warteg Sampurna Jaya - 080117