Monday, March 27, 2006

Cinta Azas Kasihan

Sebuah perbuatan yang timbul dari rasa kasihan adalah bentuk kepedulian yang paling hakiki. Empati, panggilan nurani untuk berbuat sesuatu diluar kepentingan diri pribadi. Rasa iba, yang mengetuk jiwa untuk kemudian menggerakkan niat dalam satu bentuk entah melibatkan materi ataupun tidak, tetaplah sebuah bahasa purba kodrat manusia.

Idealnya rasa sayangpun atas azas kasihan, bukan pemujaan terhadap satu pribadi. Rasa sayang yang berazaskan kasihan jauh lebih murni ketimbang ketertarikan badaniah, atau bahkan ketertarikan non badaniah. Azas kasihan tentu akan mengabaikan hukum materi, sebab ia lahir dari perasaan paling murni. Bukankah iba itu hakekatnya menempatkan rasa kasihan secara proporsional terhadap sesama, dan menyayangi adalah efek kembar dari mengasihi?

Orang tentu punya persepsi yang berbeda beda tentang ukuran kasihan ini. Ketika kita melihat anak kecil dijalanan yang mengetuk kaca jendela mobil dan mengharap kepingan uang receh berpindah ke tangannya, belum tentu menghadirkan rasa iba itu. Kesanggupan seseorang untuk menterjemahkan pandangan mata dan bahasa tubuhlah yang bisa menterjemahkan makna yang sesungguhnya. Pada skala yang berbeda rasa kasihan dijabarkan melalui banyak cara dengan menghasilkan banyak reaksi berbeda beda. Dan salah salah, orang yang memiliki sense of empathy yang rendah secara impulsif akan menilainya sebagai suatu pribadi yang pathetic; mengasihani diri.

Rasa kasihan yang timbul karena penderitaan, karena kadaan orang lain secara otomatis menimbulkan rasa yang kuat untuk ingin terlibat, ingin peduli dan ingin berbuat. Perbuatan atas azas kasihan sepenuhnya didasari pada tuntunan moral tanpa menghitung untung rugi apalagi kepentingan diri. Diatas semua itu, sebuah perbuatan yang didasari azas kasihan melahirkan efek kedamaian, kebahagiaan dan yang pasti rasa bersyukur bahwa diri lebih beruntung ketimbang orang lain. Impact positifnya adalah bahwa si yang terkasihani secara bertanggung jawab akan mengemban perasaan agung itu dalam sikap berterimakasih, bukan terbebani dengan hutang budi. Pembalasan dengan terimkasih memiliki standar penghormatan tinggi, imbal balik dari ketulusan dari dua rasa dasar manusia; iba dan bereterimakasih.

Adakah lalu cinta yang berazaskan kasihan? Kebanyakan orang merasa harga dirinya terendahkan ketika orang memandang dengan kasihan, menganggap diri lemah tak berdaya dalam pandangan penuh iba, terlunta lunta dan sebagainya. Cinta yang timbul dari rasa kasihan adalah ketulusan yang sebenarnya. Sebab azas kasihan menempatkan cinta pada sudut yang paling tepat dimana rasa iba atau kasihan melingkupi keinginan untuk berbuat selalu baik dan selalu menolong. Itulah makna cinta yang sejatinya, dimana kemudian orang menyimpulkan dalam tali perkawinan dengan harapan bahwa cinta akan membuat seseorang menjadi teman hidup yang sejati. Kebanyakan cinta datang dari rasa memuja, rasa mengagumi dan menginginkan, kemudian menggunakan topeng kasih sayang sebagai lambang, bukan atas azas kasihan.

Biarkan rasa kasihan menguasai diri dan bekembang menjadi rasa sayang, sebab dengan begitu kata ‘perceraian’ sungguh tak diperlukan, dimana perkawinan hanya menjadi formalitas bagi sebuah komitmen main main untuk menentukan seseorang menjadi teman hidup. Memilih teman hidup atas dasar kekaguman dan pemujaan hanya akan menuai kekecewaan ketika kadar kekaguman dan pemujaan itu aus digerus laju sang waktu. Lebih parah lagi jika keausan itu dipelintir sedemikian rupa menjadi sebuah alasan untuk berselingkuh, membentuk dunia baru diluar lingkaran dunia yang fungsinya hanya satu; menghancurkan. Sungguh, cinta seperti itu samasekali tak mengenal istilah azas kasihan. Ironis bukan, cinta yang mengatas namakan kasih dan sayang justru mengabaikan maknanya yang paling sederhana.

Sejenak kita berfikir, kapan terakhir kita merasa kasihan terhadap teman dalam hidup kita, kemudian orang orang sekitar kita? Azas kasihan, akan membuat dunia hanya melulu berisi kedamaian…


Gempol, 060327