Thursday, April 04, 2013

Maros Nostalgi

Gerbang stasiun perlahan tertutup, seiring lampu lampu peron yang perlahan meredup. Senja turun mengikat satu demi satu cahaya. Sepasang sepasang orang terbuang berkerumun di tepi kali, bersiap melintasi malam sialan sekali lagi. Mata mata waspada, ketika iblis menggeliat disepanjang trotoar dan balik rimbun bunga liar. Tinggallah dingin yang membelah tulang! Gedung gedung megah menjulang menyimpan kemewahan menjadi penghias langit belaka bagi siklus kehidupan sisa sisa disepanjang rel kereta dan pintu air Jagir. Nyala lilin seolah melantunkan lagu lagu pilu tentang masa silam dan orang orang dalam kenangan. Tiba saatnya sadar, bahwa ternyata masa lalu tertimbun jauh lebih banyak ketimbang jumlah masa depan. Tiba tiba hidup menjadi terasa usang.

Bangku kayu panjang kedai kopi beratap terpal, menjadi terminal pikiran bagi setiap pejalan. Sesekali angin membawa debu bercampur asap knalpot, beraroma air kencing basi yang tertimbun kencing lain lagi di pojok parkir stasiun. Inilah dasar dari sebuah peradaban kota, ampas dari  cita cita perjalanan masa muda. Mimpi mimpi terdapar pada lapak lapak dekil Pasar Maling, yang memberi nafas pada kehidupan malam di sebuah lorong kota metropolitan. Orang orang begitu kesepian, dengan wajah wajah gelisah seolah takut sendirian. Sungguh, sebenarnya setiap orang selalu sendirian, meskipun ditengah keriuhan. Sungguh sebenarnya setiap manusia adalah invididu yang membawa dunianya sendiri sendiri, hidupnya sendiri sendiri dengan cara yang paling rahasia.

Segelas kopi menunggu arloji. Berteman gumpalan gorengan dan rupa rupa jajanan. Bangku kayu ini oase sederhana ditengah gurun karbondioksida. Seolah memberikan panorama kehidupan dunia yang berjalan ibarat gerbong berbong kereta yang melaju meninggalkan waktu. Cerita demi cerita diri sendiri, rahasia demi rahasia diri sendiri dan juga rahasia milik setiap orang. Hidup begitu keras, toh tidak harus diperlihatkan sebagai sesuatu yang buas. Kemiskinan yang perih ternyata juga hanya salah satu kisah yang hanya tnggal harus dijalani. Semua kisah ada masanya, ada tempo dan iramanya. Dan semuanya berjalan tak berjeda. Waktu telah menjadi belenggu tak kasat mata, rantai gaib yang menggandengkan antara kejadian masa silam dengan kemungkinan di masa yang akan datang. Sedangkan, di bangku kayu kedai kopi tepi jalan, kenang kenangan menggenang bersama nelangsa yang menikam diam diam.

Sepotong maros yang hampir terasa hambar adalah gerbang masuk miliaran nostalgi masa kecil. Masa kanak kanak yang tumbuh remaja dimana manusia belajar membedakan diri dari binatang. Kemiskinan memberikan banyak dispensasi moralitas, oleh karena idealisme yang harus takluk oleh keperkasaan sang lapar. Dan kemiskinanlah sesungguhnya guru paling bijaksana bagi setiap umat manusia kota. Oleh sebab daripadanya, manusia diajarkan untuk tidak melimbahkan apapun dalam hidup. Kemiskinan juga motivator yang alim, sebab daripadanya lahir mimpi mimpi besar, harapan harapan lebar. Yang diperlukan hanya kekuatan untuk menjalaninya. Itu saja. Ketika dogma dijejalkan sebagai surga dan neraka yang sama sama tak ada di muka bumi, maka hidup memberi kebijaksanaan tinggi atas ajaran mulia itu sebagai nilai penenang hati.

Lunak gumpalan maros membawa runcing tajamnya kenangan masa silam, ketika sekeluarga petani tanpa suami hidup pada suatu masa. Lima bocah dan satu ibu, bersama ketidak mengertian dan ribuan makian yang disembunyikan. Keluarga compang camping yang tidak memiliki banyak pilihan, dan hanya memiliki terlalu banya keinginan. Dunia seolah olah lahir dengan ketidak berdayaan, dan anak anak lahir dari krisis yang tak berujung dan tak berpangkal. Setiap hari terjadi perebutan kekuatan, antara harapan dan keputus asaan. Keajaiban ditunggu tunggu setiap bangun dari tidur di pagi hari, bahwa dunia akan memberikan kemuliaan sepenuhnya dengan tiba tiba. Berpuluh puluh tahun terjalani, dan rupanya memang semuanya harus seperti yang terjadi. Suka cita bisa datang dengan berbagai sarana dan cara, meskipun kemelaratan mengepung dari enambelas penjuru angin.

Suapan terakhir maros di tangan  menghadirkan sensasi kenangan akan masa silam yang jauh dari dimensi ruang dan waktu. Ketika sekeluarga petani tanpa suami, lima bocah satu ibu membagi segumpal darah ayam kental goreng; darah dari ayam jago yang disembelih untuk kenduri, mengirim doa bagi para leluhur dan para wali. Ayam jago ayam piaraan, yang terlalu berharga untuk dilimbahkan oleh keluarga yang kelaparan. Mereka mungkin menawar perintah Tuhan, tetapi sungguh mereka tak hendak mencelakakan sesama. Sesungguhnya, mereka hanya mensyukuri setiap nikmat yang diberikan oleh kehidupan, tanpa banyak bertanya.

Terimakasih ibu, atas jasamu mengajari kebijaksanaan hidup yang tak ada di dalam buku.  

Pasar Maling – Wonokromo 130403