Tuesday, August 22, 2006

Ode dari langit


air mata sebutir jatuh dari angkasa tak berwarna
tercecer dari pigura jiwa yang koyak oleh pedang para perompak di palagan maha luas peradaban.
Seseorang telah menjadi korban dari kebiadaban,
anak korban dari korban kebiadaban lain lagi
yang menjadi adat bagi isi bumi.
lalu ia adalah laki laki, suatu ketika anak emas para dewa dewi….
dikehampaan langit kini terbuang sendiri,
sedangkan malaikat dan bidadari jauh terdampar di muka bumi. dikesendirianya ia bersahabat dengan gelap,
warna hitam yang kadang membias jadi kelabu tanpa tepi
; warna terjemahan hati dan jiwanya yang mati.
Gelap telah menyembunyikan perwujudan materinya,
menguburkan bunyi peperangan dari serbuan musuh yang tak mau berhenti bersama musim pada musim yang datang sesuka hati.
berabad ia berperang dengan arwah jiwanya sendiri.
Cinta pada gelembung udara lah yang telah menjerumuskanya melambung mengikuti terbangnya
lalu tersesat jauh dari permukaan bumi.
keyakinanya bahwa cinta adalah muara kehidupan telah memberinya restu dulu,
kini melenyap bersama datang gelap yang panjang.
Ia tertipu cintanya pada gelembung udara yang dipujanya.
Lumpuh layu kehilangan makna hidup ketika akar jiwanya direnggutkan paksa. Cinta yang menghela telah pergi dan mati.
Sejak itu gelaplah semata yang mengerumuni, dan sesenggukan ditengah sunyi menjadi cara meratapi kehilanganya.
Hanya jiwannya yang tinggal hidup,
mengembara dari batu penyesalan ke batu penyesalan lainnya.
Sakit hati dan kekecewaanya hanyalah kutu rambut semata,
juga dendam dan kebencian hanyalah ngengat biasa.
Laki laki kekasih para dewa dewi,
kini kehilangan arti mati dan hidup.
ia hannya berjalan membawa mimpi membeban akan ditemukanya muara kehidupanya
yang sempat menghilang diterkam angin buas penghianatan.
Dalam gelap segalanya hambar,
kecuali rasa semata yang ter-raba
sebagai tanda bahwa hatinya masih hidup berdegup.
Terkapar lara,
ia menangis mengasihani diri…

Gempol, 060822