Thursday, January 17, 2008

Senja di Kalisari

Jam lima tigapuluh sore, terbang diantara pepohonan dan kering jalan Binamarga, merasakan hanya membawa badan kosong membelah udara sore diatas roda. Perjalanan dari kosong ke kosong. Sepi menikam jantung, detak darah mengikuti irama sendu; sebuah kesedihan yang tidak terjabarkan.

Ibunda memenuhi angan angan. Ah, rembulan yang tidak pernah padam itu, malaikat yang selalu mendamaikan. Siang tadi dalam tidur yang gelisah, mimpi serentak menghaduirkan sosok ibunda, juga seorang istiemewa dimasa lalu. Sendiri diatas pucuk pucuk bukit gundul, hanya berisi tonggak tonggak besar bekas dari pokok pohon raksasa yang tumbang dibunuh orang bertahun tahun silam. Bukit yang hijau, tempat yang tinggi, sungguh amatlah menenangkan. Ada ibunda disana, tidak berkata apa apa dan hanya ada disana karena memang demikian kemauan pencipta mimpi.

Udara sore mengundang muda mudi berkeliaran di jalanan. Para lelaki muda menggambarkan dirinya sebagai tunas muda yang kokoh dan terus berkembang, menjadi gagah menjulang seperti profil lelaki idola dalam sinetron sinetron di tivi, dan yang wanita mudanya membawa diri sebagai bidadari yang selalu bisa memikat perhatian. Jalanan tenang, sore yang tenang, dan pikiran yang tak berhenti beterbangan terus berjalan, seperti kehendak kehidupan, kehendak alam. Senja ini rumah hati tampak suram, cahaya matahari yang redup mempertajamnya pelan pelan.

Menikmati senja yang turun diatap rumah panjang Kalisari seusai menyantap nasi, di tepi sungai yang seperti kehilangan arah. Senja turun berwarna kuning keperakan, memerah saga lalu perlahan tanpa sadar gelap mengurung diri. Gelap disekeliling redup, sepi didalam hati yang takjub.

Keengganan datang seperti kawan, menyapa lalu mengakrabi diri seperti layaknya sahabat lama. Kerinduan kepada masa masa manis dalam hidup datang menyapa. Rindu pada damainya rasa mencintai…

Senja di Kalisari, menorehkan catatan pilu tentang lelaki yang ditikam kenangannya sendiri…

Warteg Sampurna Jaya - 080117