Tuesday, September 18, 2007

Laten

Topan dendam tiba tiba datang, mengoyak kebisuan yang tercipta sebagai perlindungan selama ini. Lima bulan yang tenang, setelah luka tenggelam dalam kabut yang mengkamuflasekan sesal. Prasangka menyeret diri ke tubir jurang, dan satu pemicu saja menghempaskan diri terpelanting, jatuh ke lubang jurang, gelap tanpa dasar.

Tiba tiba iblis mengelilingi dengan seringai dan tatapan mata merah semerah api membara. Masa lalu telah menarik dan mengikat ingatan menjadi kejadian yang sebenarnya. Titik didih yang selama ini diabaikan telah menjelma menjadi nafas dan butiran darah, membentur dinding, membentur lantai, membentur langit langit dan membentur jiwa. Kerdil seketika, lemah lunglai tak berdaya. Ribuan tali diikatkan pada setiap otot yang bekerja dan yang mati. Lumpuh diri bagaikan hari hari gelap berbadai kembali.

Ternyata luka hati tidak pernah selamanya sembuh. Selalu saja ada pemicu untuk bisa kambuh. Ketika sakit yang dipura purai dan ditutupi dengan kulit tipis penipu pandang tertusuk oleh pedang berkarat milik masalalu yang ditakutkan, sakitnya sungguh seribu kali sakit yang pertama datang. Dibawah permukaan kulit tipis yang nampak mengering pertanda kebaikan, nanah dan darah terus bergumul memperebutkan kuasa atas segumpal hati yang compang camping disana sini.

Tangisanpun tak mengentikan sesal yang meraja, demikian juga makian tak akan bisa meredam perih yang meradang. Ingatan dikelabui sana sini hanya dengan jawaban yang sama setiap kali gundah melahirkan tanya. Isi kepala yang pecah terbawa menyusur jalanan di pagi buta, berharap menemukan pintu batu dimana didalamnya tersedia ruang tempat bagi diri untuk bersembunyi dari dunia, bersembunyi dari diri sendiri. Air mata yang meleleh enggan berhenti menadai batin yang belah oleh penghianatan. Diam menjadi pilihan, sebagai symbol pelindung bagi sesiapapun yang memiliki perkataan. Diam tidak akan melukai siapapun, dan diam hanya memutar mutar potongan kaca disekitar dada sendiri saja.

Betapa rapuhnya hati manusia, ketika kelam masalalu datang menyerbu, meruntuhkan setiap pilar penyangga sementara dari keretakan oleh datangnya prahara. Sakit hati sebenarnya tidak pernah mati, ia ada mengintip setiap celah untuk saatnya mengeksploitasi diri. Gunung Berapi, demikian seseorang pernah menamai dahulu. Indah dari kejauhan, sensasional untuk didaki dan menyimpan kawah penghancur setiap aspek alam, mematikan yang hidup dan menhancurkan yang mati. Gunung berapi yang berkawah hanya didalam angan angan, menjadi property ekslusif dari si pengangan sendiri, tidak terbagi dengan siapapun meski seseorang akan selalu mengirimkan ekspresi keprihatinan dalam konsep empati.

Kiranya waktu bisa menyembuhkan luka, perlahan dan sangat berkala. Rupanya sekali kambuh, segala jeda rasa sakit menghablur menjadi satu jelujur kesakitan yang panjang, keperihan yang sungguh kan mengabadi. Luka telah dipersembahkan kepada hati yang rapuh, maka ia akan menjadi warna bagi si rapuh, sepintar apapun sanggup tertutupi hanya dengan sikap maupun kepura puraan kuat. Pembusukan hanya dirasakan oleh mereka yang mengalami, tak terbagi. Satu satunya kehendak adalah menemukan sebuah hati untuk teduhan, sekedar menyandarkan kepala yang bergetar tanpa kendali, kehilangan segala yang dikumpulkan diam diam; kekuatan.

(Dimana engkau ketika pintumu kuketuk pagi buta tadi?
Lihatlah…untuk kesekian kali diri tebunuh oleh tajamnya masa lalu…)


Sepanjang jalan aspal Jakarta, pada weekend 070916