Friday, December 09, 2011

Pelangi Tak Berwarna

Pelangi abadi tanpa warna mengimbangi kegetiran dan kecemasan alam fakta. Dunia temaram, tempat bersemayam kegaiban dan keajaiban dimana tak ada batas oleh dimensi ruang dan dimensi waktu Sepanjang dindingnya yang terbuat dari angin adalah lorong lorong petualangan yang tak terpetakan dan selalu menantang. Sebuah pengembaraan disepanjang ruang kubus yang terbungkus dalam rahasia yang pekat. Semua yang terasa hanya tinggal di rasa, tak menyisakan jejak sejarah sebagaimana layaknya sebuah risalah yang majemuk.


Ketika waktu merampasi hak untuk mampu, bersamanya samar tertampak gundukan demi gundukan kuburan masa silam. Didalamnya tertanam jasad jasad gambaran, keindahan tak bertara yang dianggap mati dalam hidup bekunya. Sungguh sebuah hadiah indah untuk bisa sekedar bernostalgia bersama catatan rahasia yang lama dikaburkan dari sejarah kehidupan. Dunia rasa dunia dengan pelangi tak berwarna, menyajikan pentas raksasa kepada jiwa jiwa petualang yang bermutan dari laku durjana.


Diujung horizon, dikaki pelangi tak berwarna kabut menggupal laksana peri. Jelmaan dari sesuatu yang menjadi pujaan, dan mengambang tak menginjak bumi. Ia menjadi sumber keindahan rapat dibekap misteri. Sepenuhnya berisi tentang petulangan petulangan sunyi antara dua hati, menjelajahi negeri negeri tempat pelangi memiliki warna. Kabut itu tetap menjadi keindahan nisbiah yang tak direstui oleh peradaban. Disembunyikan kepedihan dari tatapan orang, menembusi awan dan langit tak bertuan dengan tangis yang tertahankan diam diam.


Betapa tipis batas antara khayalan dan harapan. Dan pada salah satu keping ingatan yang berlubang, disana ada cerita cinta. Ingatan seperti berjalan dilorong temaram, dengan potongan potongan cermin disepanjang dinding. Dan tangan tangan yang kehilangan genggaman, dingin beku diterlantarkan perpisahan. Sesutu yang mati tiba tiba. Kenapa setiap nama membangkitkan kenangan indah. Kesedihan kesedihan yang membahagiakan itu. Dan pengalaman terus saja melahirkan sangkalan. Biarkan cerita tentang percintaan itu mengalir keluar bersama asap rokok. Cerita yang hanya berputar dan berpendar searah didalam kepala, melangkah ditempat yang sama sementara jejak terjarak di lantai masa.


Kata orang langit tempat pelangi tak berwarna itu tak berbatas. Membentang sepanjang kemauan hati dan bebas gravitasi.


Halim 111209

Friday, November 25, 2011

Demo Buruh di Hari Guru

Ukuran Kebutuhan Hidup Layaklah yang menjadi biang kerok kerusuhan berdarah demo buruh di Batam kemarin, akan menarik untuk dilihat agak bergeser memikir dan menyimpulkan apa yang sebenarnya terjadi. Yang pasti, peristiwa itu dipicu oleh suatu sikap pengabaian pejabat pemerintah terhadap tangung jawab moral terhadap rakyatnya, yaitu mensejahterakan. Sejahtera berarti aman sentausa dan makmur; selamat (terlepas dari segala macam gangguan).

Ketika banyak pejabat publik menjadi penipu dan pencuri uang negara bernilai miliaran, buruh menuntut revisi penghitungan nilai Kebutuhan Hidup Layak. Mereka merasa pemerintah yang diwakili pejabatnya telah salah memperkirakan kebutuhan layak para buruh yang dianggap tidak sebanding dengan tingginya tiap individu mengkonsumsi gaji. Secara teknis, penentuan Kebutuhan Hidup Layak memang dilakukan oleh pejabat mewakili kekuasaan negara, kemudian perwakilan buruh sebagai end user, dan organisasi pengusaha yang nantinya wajib membayar nominal minimal dari Upah Minimal yang ditetapkan. Besaran upah inilah yang dianggap layak oleh pemerintah dan dianggap tidak layak oleh buruh.

Mari sinis. Masuk akal jika angka yang ditentukan konsorsium tiga kepentingan tersbut kemudian diprotes oleh buruh yang menghitung kebutuhan hidup layak mereka dengan cara yang berbeda. Pejabat pemerintah sebagai regulator yang melegitimasi upah buruh menggunakan rasio matematis dari hasi survey sehingga tidak klop dengan kondisi nyata di masyarakat. Rasanya hampir (?) tidak ada pejabat negara yang tidak hidup makmur. Itulah makanya kepekaan terhadap kebutuhan kebutuhan dasar hidup dalam masyarakat biasa menjadi tumpul. Intinya, orang kaya tidak tahu dan tidak ingin tahu bagaimana rasanya menjadi orang miskin, sedangkan orang miskinpun tidak akan sanggup menyentuh angka angka ongkos yang dihabiskan untuk kebutuhan hidup layak bagi golongan kaya.


Tidak sesederhana itu, saudara. Upah Minimum yang ditetapkan oleh pejabat pemerintah tentunya telah melewati tahapan tahapan perbandingan, bahasan bahasan mengenai kelayakan serta pertimbangan yang matang. Kepentingan pengusaha sebagai majikan yang memberi upah kepada buruhpun harus diamankan, karena dari kegiatan usaha itulah pundi pundi pendapatan daerah ikut membiayai ongkos managerial birokrsi pemerintahan dalam mengelola wilayahnya. Efek kegiatan usaha itulah yang menggerakkan roda ekonimi diwilayah yang dipimpinnya. Dilihat dari mekanisme yang dipakai dalam menentukan besaran angka, upah minimum sebenarnya adalah kesepakatan antara perwakilan buruh dan perwakilan majikan. Pengertian seperti itu tidak semua buruh dapat memahami; tetapi mereka tahu bahwa angka itu tidak sepadan dengan ongkos hidup. Bagi buruh, angka angka itu memang vital, lebih dari sekedar periuk nasi. Kebutuhan hidup layak tidak hanya makan, tempat tinggal, dan sandangan layak.

Ada tiga faktor inti yang menjadi pemantik pertikaian buruh di Batam; Pertama, zaman telah banyak merubah barang barang yang dulunya dianggap mewah menjadi biasa. Sementara ongkos kehidupan dan biaya pergaulan turut menanjak naik seiring membengkaknya volume komunitas mereka. Kedua, gaya hidup hedonis pejabat negara yang jauh dari kesederhanaan diam diam menjadi racun moral bagi masyarakat awam menengah, yang kemudian disimpulkan sebagai sebuah sikap tidak adil yang dipertontonkan. Ketiga, teknologi informasi yang sedemikian pesat ikut menyeret hampir sebagian masyarakat kepada dunia konsumtif dan imitatif.

Kaum buruh, sebagai komponen manual dari alat alat industri banyak direpresentasikan secara statistik dan menomor duakan aspek sosialnya. Sambil terus bekerja mereka menanggungkan beban mental atas rasa ketidak adilan majikan pemberi kerja, dan mencoba mengadu kepada pemerintah sebagai pemomongnya. Ketidak adilan dan ketidak bijaksanaan yang menjadi biang dari kekerasan. Tindakan represeif petugas Polisi beralasan juga karena mengemban kepentingan tugas sekaligus melindungi harga diri mereka sebagai petugas. Sayangnya, demo yang tujuannya mulia itu akhirnya berakhir dengan anarkisme, tidak ada konklusi, dan merugikan semua pihak; bahkan pihak yang tidak ikut ikutan dalam aksi itu.


Batam masih tegang, sementara nusantara memperingati Hari Guru Nasional, berbarengan lagi dengan pawiwahan agung kepala negara yang ngrabekke anaknya. Segitiga psikoligis; terliakan lapar, krisis tauladan, dan pembororosan seperti berebut perhatian dari rakyat Indonesia dewasa ini. Rakyat Indonesia yang tak berhenti berharap akan terciptannya negeri gemah ripah loh jinawi, aman, toto, titi, tentrem dan kerto raharjo. Barangkali, cita cita itu akan cepat terwujud jika setiap manusia lebih banyak bersyukur atas hidup hingga hari ini.


Selamat berjuang para buruh!
Selamat berulang tahun Bapak dan Ibu Guru!
Selamat ngrabekke pak SBY!

Gempol 111125

Monday, November 14, 2011

Bingkai Cinta

Cinta itu bisa membuat orang menjadi bertingkah aneh. Yang hari ini cinta setengah mati, besok bisa dicekik atau mencekik mati gara gara cinta yang setengah mati itu. Ketika orang lelaki perempuan diperkenalkan kemudian seolah merasa ditakdirkan sebagai jodoh, maka perkawinan kemudian dijadikan legitimasi atas hubungan dua orang tersebut. Tujuannya samar samar jelas; demi terciptanya kebahagiaan lahir batin. Kesejahteraan jiwa raga dan kenyamanan akal dan pikiran. Perkawinan adalah bingkai yang meruangi hubungan cinta itu dalam lingkaran penuh rambu dan aturan. Pelanggaran terhadapnya bisa disebut sebagai penyimpangan sosial dan menistakan sakralnya makna perkawinan yang diagung agungkan. Dan bagi pelanggaran akut, maka perkawinan tinggal bermakna sebagai ikatan hukum antara dua orang yang penyelesaiannyapun melalui jalur hukum negara, kembali kepada syarat syahnya hubungan perasaan yang terwakili dalam tulisan diatas kertas. Disini cinta tak lagi dibicarakan.


Perkawinan menghasilkan rumah tangga, dan rumah tangga memunculkan banyak dinamika. Kuasa waktu kemudian membawa setiap cerita perkawinan dengan kisah kisah luarbiasa, kebahagiaan tertinggi tetapi juga penderitaan bathin terbaik bagi sebagian orang. Dalam perkawinan membujur garis pembatas yang memagari dimana jika semakin dilanggar akan semakin pudar hingga lama lama tak lagi terasa ada pembatas itu. Garis pembatas yang memisahkan antara dunia maya dan dunia nyata. Dunia maya tak terbatas daya jelajahnya, sedangkan dunia nyata hanya berisi simbol simbol peradaban yang ideal yang harus ditaati.


Pengalaman beberapa orang menunjukkan bahwa faktor lahiriah hanya punya andil kecil dalam mengenali orang lain. Kenal yang sebenar benarnya kenal adalah memahami latar belakang alasan atas setiap langkah pikiran yang dibuat orang yang kita kenal. Perbedaan perbedaan fisik seperti usia, maupun hal lainnya tidak cukup kuat intuk menyokong sebuah kesimpulan pengenal seseorang. Cara pikiran melangkah, cara otak mencerna dan sesudah diolah oleh nurani diubah menjadi energi budaya atau kepribadian adalah hal fundamental yang menentukan apakah seseorang berpotensi untuk membuat sebuah hubungan (apapun jenis bentuk dan sifatnya) menjadi nyaman untuk dijalani. Rasa nyaman yang lahir alami dan menjadi ruh sebuah hubungan sesungguhnya adalah intisari tujuan dari setiap perhubungan antara manusia. Rasa nyaman yang kemudian dikurung dalam bingkai hubungan suami istri, dengan keyakinan bahwa rasa nyaman itu tidak akan melewati garis bingkai yang mengkandangkan harap dan tujuan berdua. Abadi selama lamanya!


Tapi waktu punya kuasa. Garis maya pembatas mengikat sekaligus penuntun hati untuk patuh terhadap aturan main kadang tersamarkan oleh kilau dunia, kilau hal hal baru yang menawarkan petualangan lebih seru. Praktek perilaku tidak adil menciptakan kekacauan, dimana kemudian perkawinan berubah bentuk menjadi tirani kecil dengan sel sel penjara yang mengekang. Ikatan hak dan kewajiban dalam suami istri acap kali memunculkan raja raja kecil bermahkota arogansi di singgasana rumah tangga rintisan berdua yang diklaim sebagai ciptaan salahsatunya sendiri. Slogan slogan mulia dalam janji perkawinan perlahan kehilangan makna dan bingkai maya itu mejadi tandus oleh cinta yang sejak semula menjadi penyebab terjadinya. Dihuni oleh para hati yang gersang cinta, dengan bilur bilur luka disekujur permukaannya. Jiwa jiwa malang yang penuh cinta kepada pasanganya perlahan merana, diperlakukan culas tanpa bisa berdaya. Dan hanya dunia diluar bingkai semata tersedia penawar perihnya derita cinta. Hanya disana tersisa bahagia dari cinta yang terlarang.


Tinggallah kenangan cinta masamuda yang tersisa, teronggok menjadi barang mati tak bisa terulang kembali. Waktu bisa merubah orang, dan sebagian yang menundukkan diri pada cinta setengah matipun pada akhirnya terjebak dan terjepit dalam feodalisme suami istri. Ketidak adilan dan kesewenang wenangan akhirnya membuahkan ketidak adilan dan kesewenang wenangan baru yang terjustifikasi. Disinilah kemudian rasa cinta bertransformasi menjadi hitung hitungan matematis semata. Lex talionis, balas dendam dengan perbuatan yang sama tanpa berniat menyakiti demi menghormati rumah tangga. Ketika hukum balas dendam dianggap sebagai rambu baru dalam lingkaran bingkai cinta, maka rumah tangga sebetulnya telah kehilangan esensinya. Makna yang sesungguhnya tentang itu kemudian menjadi aus terganti ego yang menjulang. Kebahagiaan dicari dari luar bingkai ketika apa yang ada dalam bingkai hanya api dalam sekam, ibarat pasukan rayap yang telah melapukkan semua pilar pilar cinta penyangga perkawinan dari dalam. Tak jarang, pada saat badai datang, sang bingkai akan terhempas ke bumi dan hancur berantakan.


Hubungan antara manusia memang rumit, dan terlalu banyak hati yang baik menjadi sakit karenanya. Terlalu banyak kisah indah perkawinan yang berubah bentuk menjadi tragedi kehidupan pada akhirnya.




Gempol 111114

Thursday, October 06, 2011

Perkabungan

: Bue (13 Agustus 1942 - 06 Oktober 2011)


Kepada rindang pohon trengguli tertitip jasad ibunda yang terlelap dalam tidur panjang penuh kedamaian tanpa mimpi. Selimutnya bumi bertabur bunga setaman dan doa doa kami yang kehilangan. Isak tangis disembunyikan dibalik wajah wajah lusuh penuh duka cita. Kuning terang bunga trengguli, bergoyang pelan diatas makam. Kemarau yang membawa angin kering mengembara membawa kabar duka ke kota kota nan jauh. " pagi tadi ibunda telah pergi. . . "


Ibunda induk hidup, separuh akar dunia tercabut oleh karena kepergianya, pergi yang tak akan kembali lagi. Hati berlubang dilimuri puji ujian perkabungan bercampur kesedihan terhebat sepanjang hayat. Segala kenang kenangan atas indahnya masa kecil sepanjang perjalanan menggenang pada udara. Sejuk tanah merah menjadi peristirahatan terakhirnya, tanah yang sama ketika pertama mengenal dunia.

Ibunda ibu dunia, yang menitiskan ruh pada jiwa jiwa perkasa. cinta terbesar terbentuk oleh kisah kisah sepanjang masa. Kembang turi dan kecambah lamtoro memupuk anak anak panah yang melesat menjelajah angkasa tak bertuan, menejejaki bumi bumi nun jauh yang pernah teceritakan di temaram lampu tempel; atau dihamparan rumput teki ketika rembulan penuh menguasai langit dulu.

Ibunda cinta abadi, berpeluh kasih sayang mengalir sepanjang dan sepenuh nafasnya. Dari kedalaman batinnya bersumber cinta kasih, cikal bakal kehidupan yang menebar di lembah lembah dan bukit nasib dimana harapan disemaikan. Sejuknya menjadi jimat penyemangat ketika kaki kaki kecil kami belajar melangkah menapaki bumi, memungut setiap keping kenangan untuk dipersembahkan kembali kepadanya sebagai kebanggaan.

Ibunda yang terbaik hatinya. Bersama pergimu, separuh bumipun luruh jadi debu. Tinggal syahdu suara menggema di dinding jiwa, mengantarkan cerita dongeng tentang negeri yang jauh; mengantar kami ke alam mimpi masa kecil. Senyum ibunda menjadi mercusuar pengarah langkah setiap kali mata angin menyesatkan arah. Maka gugusan waktu akan mengaburkan hangat dari pelukan terakhir, lantunan doa yang mengalir melalui hatimu yang bening.


Ibunda Ibu surga, kepadamu segala cinta dan kebahagiaan berpalung. Yang menjadikan kita menjadi manusia, kemudian yang mengajarikan tentang tata tertib dunia, mengenalkan kepada hidup dengan caranya, menuntun sikap untuk selalu menuruti cahaya hati. Cintanya sebesar rongga antara bumi dan langit, sedangkan kasih sayangnya seluas ukuran dunia. Suci dan juga sepenuh hati. Tidak akan pernah ada cinta yang menyamai keagungan cinta ibunda yang bercita cita memuliakan anaknya dalam kehidupan dunia. Begitu besar cinta kasihnya sehingga ruhnya selalu tertitis kepada jiwa anak anak yang telah menjadi manusia. Tidak peduli hal apapun yang kita anggap sebagai hal buruk yang diberikan, maka ibunda tetaplah seorang malaikat utusan Tuhan untuk menjadi perantara keberadaan kita di dunia dalam keadaan hidup.

Hidup adalah anugerah terindah yang diberikan oleh Tuhan melalui tubuh ibunda. Tidak ada kemuliaan yang melebihi hal itu Untuk itu terhaturkan rasa terimakasih tak terhingga sebagai pengantar perjalanan baru menghadap Sang Pemilik hidup.


Sugeng tindak, bue...

Andong 111006

Wednesday, September 28, 2011

Sepanjang Jalan Buntu

Perjalanan penuh petualangan paling seru sedunia itu memang menuju jalan buntu. Pengetahuan tentang bagaimana mensiasati jalan yang akhirnya buntupun tidak diperlukan, serahkan pada hati untuk berimprovisasi jika nanti ujung jalan buntu sudah ketemu. Akhirnyapun journey itu akan membentur jalan buntu bersama sama dengan hati dan pikiran yang tiba tiba beku. Romansa perjalanan sepanjang jalan buntu itulah memang yang menjelma menjadi candu ajaib, mengalahkan kemungkinan buruk yang mungkin akan ditemui di ujung jalan buntu. Semua terhenti, kecuali cerita yang akan terus mengakar dan menjalar, mengandung getah getah pengalaman dan kenangan yang tidak akan bisa dihapus dari catatan di sel otak, dan di palung hati. Sebab, cerita petualangan itu sendiri sangatlah hebatnya. Nomor satu di dunia.

Memang demikianlah keadaanya. Tak perlu menyalahkan keputusan yang kita buat sewaktu langkah pertama bersama terjadi. Semuanya semata mata pilihan hati yang sama sama dikehendaki, bukan untuk menuju kepada sesuatu atau menjadi sesuatu, tetapi memang semata mata hanya mengarungi pelangi perasaan jiwa. Dan kita terbenam dalam catatan kental kisah kisah khayali yang benar terjadi dimuka bumi. Semua catatan perjalanan mari kita kemas diam diam, untuk kita simpan dalam lemari kenangan abadi masing masing. Ia akan tetap hidup dalam angan angan dan perasaan. Tempat tempat dan kota kota nun jauh akan menyimpan monumen tak kasat mata yang akan selalu membawa kenangan itu hidup kembali dalam bayang bayang, seolah jejak jejak usang itu baru saja kita ciptakan.

Pada akhirnya kita harus menerima bahwa jalan buntu tidak akan membawa kita kemana mana, kecuali menyusuri kembali rute sebelumnya, kali ini dengan langkah terpisah jauh dan jemari tangan yang berdiri sendiri, kita tak lagi saling bertautan. Ya, kita menapak tilas kisah kita sendiri sampai tuntas, sehingga waktu akan mengantar kita ke dunia baru masing masing yang masih tetap rahasia. Tetapi jalan buntu itu akan selalu ada, dengan relief kisah kisah suka duka disepanjang tepinya, mengisahkan tentang perjalanan hati yang tak terekam dalam deretan frame di pita usia. Sungguh seluruh gambar dan suaranya mengisahkan sepotong kisah drama dua manusia pada suatu ketika.

Meskipun dirasa lara, tetapi kita tunduk tak berdaya kepada kekuatan lain lagi yang mengharuskan kita melangkah menjauh dari keinginan sederhana; berjalan besama.

Gempol 110928

Friday, September 23, 2011

Salah Rasa

Perjodohan antara tuduhan dan pengakuan atas sebuah keadaan melahirkan perasaan salah yang wajar dan tulus, yang tidak memberikan hak apapun untuk mencari pembenaran apalagi mencari sesuatu yang lain untuk disalahkan. Perasaan bersalah adalah sesuatu yang benar karena ia jujur seperti apa kata nurani. Sedangkan kesalahan yang kemudian dimodifikasi dengan berbagai alasan supaya tidak terlihat sebagai sebuah kesalahan adalah suatu tindakan yang salah. Tindakan itu tidak lain hanya akan melahirkan bibit bibit kesalahan yang bisa tumbuh subur sehingga menyembunyikan hal yang benar dengan sempurnanya.


Pengakuan salah dalam hati dan dalam pikiran bukanlah sesuatu yang mudah untuk dijalani. Sebab rasa pengakuan itu diikuti oleh banyaknya tatanan norma bijaksana sebagai orang yang bersalah; pesakitan. Diam tenang lalu memasrahkan diri pada keadaan. Menempatkan kepentingan kepentingan ego nun jauh dibelakang kepentingan kepentingan lain yang bukan untuk diri sendiri. Atas nama kebaikan sematalah maka kemudian cerita menjadi berubah kelabu sebagai konskwensi dari benturan perbedaan persepsi. Setiap sikap ada akibatnya, dan setiap perbuatan akan memiliki nilai kebenaran dan kesalahan dalam tataran rasa jiwa.

Jiwa yang berani menanggung pengakuan rasa bersalah itulah yang sebenarnya memiliki kekuatan yang tidak dimiliki oleh para pendusta, yaitu mereka yang menyangkal kata hati sendiri. Dan sesungguhnya, perbuatan semacam itu tidak lebih dari membodohi diri sendiri dengan kebenaran palsu yang dikomunikasikan. Sebuah konstruksi keseolah olahan yang dibangun sangat megah, meskipun rapuh bersifat sampah.

Sikap terima salah terasa seperti mesin kapal yang tiba tiba mati, tak mampu dikendali lagi titik mata angin yang menjadi tujuan pertama ketika kapal menjejak dermaga. Terapung apung, dipermainkan oleh ketidak berdayaan atas keperkasaan angin dan ganasnya amuk ombak. Saat itulah langit mengajarkan kita akan kerendahan hati, betapa sesungguhnya nasib tiap mahluk sudah diatur dan dikendalikan olehNya. Maka sikap terima salah seperti itu akan menjadi penghargaan terbaik kepadaNya. Kesalahan harus diterima sebagai sebuah pelajaran berharga bagi mereka yang punya cita cita menjadi pribadi yang baik. Taat nurani.

Ketidak berdayaan atas tindakan melahirkan harapan harapan yang lama lama menjadi energi yang menguatkan hati . Bagaimanapun dengan lapang dada harus menerima apapun yang mungkin terjadi jika kapal mati itu bertemu daratan. Kehidupan dunia, kehidupan zonder khayali berisi rangkaian realita peradaban yang dipenuhi dengan dekorasi aturan kepatutan dan tatanan kepantasan sana sini. Sedangkan segala keinginan dan ketidak inginan domainnya ada di dunia khayali itu, bukan di muka planet bumi yang dikendalikan manusia dengan kemunafikan moral.

Rasa bersalah yang disikapi dengan benar sungguh terasa nyeri jika dihayati. Tetapi akan mematikan semua kesalahan lainnya yang merupakan ruh dari rangkaian keinginan dan ketidak inginan. Menyalahkan diri sendiri dengan bijaksana tanpa mengasihani diri menempatkan kita dalam situasi pengampunan dalam menjalani hukuman demi menebus kesalahan.

Semoga Tuhan Maha Kuasa senantiasa memelihara kesejahteraan orang orang yang menerima kesalahan tanpa mendendam, dan menolong mereka yang kurang tepat menterjemahkan makna sebuah kebahagiaan.

Gempol 110923

Tuesday, August 16, 2011

Perayaan

Hidup bisa jadi adalah rangkaian perayaan demi perayaan yang membentuk jalinan sejarah, catatan sambung menyambung yang menghubungkan masalalu dan masa depan. Semuanya masih hidup, berupa sel sel bersyaraf yang mengambil porsi peran masing masing dalam keseharian.

Ketika seseorang menguburkan janin iblis dibawah sekelompok batu pada masa lalu, maka janin janin itu sebagian mati kepanasan, sebagianya lagi tumbuh menjadi musuh laten yang tumbuh kekar di alam bawah sadar. Terkadang mimipi dalam tidur membawa diri kita kepada sekumpulan kisah masalalu. Dan sayangnya, didalam lingkaran kisah masalalu itu sang iblis tinggal beranak pinak. Tak jarang mereka tebawa pulang ke alam faktual, hingga tersisa iblis yang tetap meraja ketika pertama kali mata terbuka di pagi buta.

Jelas sekali bahwa dinding pembatas sebagai tembok pertahanan yang dibangun untuk menimbun kenangan buruk tak ubahnya lapisan kasar dipermukaan hati yang lembek. Kekuatan iblis yang tak terhitngkan tak ibarat pecahnya kepundan yang menyemburkan ribuan beling kenangan, beling kenangan yang terbentuk dari potongan potongan perlakuan buruk hasil muslihat dari orang yang dianggapnya hidup ekslusive didalam nafas hari harinya. Mereka tak ubahnya adalah sisi sisi tajam yang menginvasi kepala, langsung dari langit tanpa batas. Tak ada tempat untuk menghindar, tidak ada daya pula untuk mengalahkannya.

Maka diam menjadi pertahanan yang paling mendamaikan. Berdiam diri mendukung penuh upaya sang nurani untuk mengusirnya hingga cukup jauh. Gemuruh pertempuarannya menyerupai badai, kekuatan energinya laksana gunung api keramat yang tiba tiba menggeram memberi peringatan akan datangnya marabahaya. Niscaya pada setiap akhir dan sepanjang pertempuran itulah perayaan hidup digelar siang malam. Perang yang begitu dahsyat dan hanya terjadi dalam dunia ruh. Dan niscaya pada setiap perang selalu melahirkan korban cacat bagi mental manusia normal.

Dan korban perang bathin bagi manusian normal itulah yang di beri nama psycho atau kegilaan, sebuah perilaku diluar kendali akal waras; penjelmaan iblis yang tak lagi diakui oleh induk induknya, induk induk yang menamkan janin sang iblis di masalalu. Bagi para pembuatnya, aib acap kali terlalu mudah untuk dianggap cerita salah kisah, sudah expired dan tidak ada. Sayangnya, tidak demikian bagi mereka yang pernah mengampuninya dulu. Baginya yang berlaku adalah pertempuran ganas yang maha sunyi, yang hanya terjadi diam diam dalam hati sendiri. Sangat pribadi, hingga tak mungkin dapat terbagi hanya melalui telinga. Perlu hati untuk bisa mendengarkan intonasi yang lahir dari lenguhan nafas mempertahankan api mengamuk di dada dan kepala. Dan sayangnya, sambutan yang tanpa hati sama halnya dengan membuka dinding batu dimana ribuan iblis selama ini terkurung didalamnya.

Diadukanlah lelah kakinya kepada sang induk iblis, dan dijawab sambil lalu tanpa melewati saringan hati. Sang induk terlalu sibuk dengan perayaan lain lagi di dunia gegap gempitanya, perayaan demi perayaan penuh hasutan birahi. Akibatnya, sang iblis bagaikan direstui untuk berbuat sesukanya, mendatangkan lagi catatan catatan hitam yang menghalangi cahaya matahari yang menghidupkan hingga bumi menjadi muram. Nurani terkadang kewalahan, lalu diketahui kemudian bahwa ia tak mungkin mengalahkan iblis. Dan tidak ada yang kalah atau menang jika tidak ada pertempuran. Upaya kompromi dijalankan semstinya dalam dunia diam, di bikini bottom dimana tak ada manusia disana. Sebuah kompromi hanya untuk membujuk, agar iblis mau pergi menjauh dan kembali bersembunyi di kepundan ingatan yang menjelma gunung api ini.

Nyatanya memang, kedukaan seseorang bisa jadi hanya cerita harian dalam kehidupan. Apalagi bagi mereka yang mengartikannya tanpa hati. Maka dalam perang yang diam, segala bentuk perlawanan akan menggenang dalam diam, menjadi rahasia pribadi semata. Tapi perang itu memang ada!

Gempol 110816

Thursday, April 28, 2011

Tentang Sesuatu

Ia adalah seonggok tanah kering dari gundukan lumpur masa lalu. Tak berjiwa apalagi berhati. Ia benda mati yang bahkan tak tersentuh oleh jari jari. Tapi ia hidup, terbungkus oleh bayangan mendung serta gugusan embun. Dilewati hari harinya tanpa almanak, apalagi arloji menikmati kemutlakan atas kematiannya yang rahasia.

Dari dadanya yang retak mengalir air mata, membasah hingga ke lutut dan meresap kedalam tulang. Tapi ia tidak sedang berkabung atas kesalahan yang ditimpakan berulang ulang, di nisbikan makna atas nilai seorang pujaan hati dimasa lalu. Pujaan hati, perasaan cinta milik manusia yang mewakili kesejatian yang paling individual. Dan, status pujaan hati pada saatnyapun akan mangkrak menjadi dua gundukan tanah mati. Kehilangan rasa. Kehilangan kewajiban sebagai manusia.

Ia adalah seonggok tanah kering dari gundukan lumpur masa lalu, tersembunyi di rimbunnya kerinduan akan kedamaian yang pernah terjadi sekilatan petir lamanya. Tanah makam yang menyimpan beragam kisah prematur, putus ditengah jalan oleh kehendak kepatutan yang kemudian menjelma jadi kerangkeng kokoh pengurung harapan. Dalam persembunyiannya yang rapi, justru percintaan hidup dalam dunia angan angan. Bayang bayang yang berjodoh dengan bayang bayang, pikiran yang berpilin dengan pikiran. Semua tersembunyi dan diam, jauh di tengah rimba rindu yang menyesatkan.

Dari dua gumpal bayang bayang, maka akan lahirlah dunia baru, gelembung rapuh yang berdinding pelangi dan mengembara tanpa tujuan pasti. Gelembung kehidupan yang aman dan menentramkan, pun di tabukan.

Dari permukaan pandangan gelembung itu hanyalah seonggok kuburan masa lalu. Tak berjiwa apalagi berhati. Benda mati yang bisa jadi membebani, tapi tak bisa dilenyapkan dari tangkalan mata. Dan, ia tak punya pemilik lagi...




Gempol 110428

Monday, April 25, 2011

Makam

Gelembung udara berisi kehidupan mengambang, terbang mengembara pada hembusan angin masam. Maka telah tiba saatnya, dimana usia mencabuti hak istimewa, habis masa hidup si gelembung sebagai pengisi cerita dunia, lalu menghempas jatuh ke tanah dan menjadi hampa. Tinggal bercak bercak sesal yang menggenang dari pori ke pori bumi, mencari hati tempat mengadu yang tak ada lagi. Usia telah mewajibkan kaki untuk berdiri ketika badai beling menghantam dada, punggung dan telinga, menjadi cangkang bagi kehidupan lain yang lahir dan tumbuh oleh sebab persekutuan maksud. Pada saatnya, badai kambuhan yang rajin menyambangpun harus dihadapi sendiri, tak ada siapa siapa untuk bisa berbagi. Seseorang memandang dari balik gelap yang kekal; hanya dalam lingkaran angan angan.

Demikianlah kiranya hidup bersiklus, amarah dendam bahkan kesedihanpun perlahan akan membatu karang, mematikan rasa, bahkan menghambarkan siksa sang iblis. Ada kalanya ketidak berdayaan diterima sebagai sikap kukuh mengangkangi nasib, mengakui kedigjayaan aturan peradaban dan atau tatanan kepantasan sebagai kekuatan yang bisa juga menghancurkan dengan maskud baik yang terkandung didalamnya. Nyala pikiran yang tak berpola dan cenderung membabibuta di udara hampa hanyalah perusak gagasan akan masa depan gilang gemilang, masa depan seperti dicontohkan oleh garis darah keturunan. Meskipun yang terjadi bukanlah kisah rekaan, tetap saja semua tunduk pada aturan kehidupan dimana sang waktu menentukan segalanya.

Seperti gelembung udara yang tergantung pada senyawa oksigen dan asam, yang memberiknya kebebasan untuk menejelajah cerita demi cerita menyenangkan dan pada akhirnya akan musnah tak berbekas.Pada saatnya semua kisah hanya akan menjadi sejarah, sejarah indah ataupun penuh nanah. Kemegahan dunia yang memunculkan sisi sisi artistik dari setiap tempat dimana kaki dipijakkan hanya akan menjadi tanah makam kenangan, dengan ingatan berbagai rupa terkubur dibalik nisan dalam pandangan mata. Istana yang hampa hanya berisi patung patung bisu, menyaksikan waktu melaju mengabaikan rindu. Percakapan, pertanyaan dan jawaban akan terbungkam oleh sunyi yang meraja hingga semua hanya ada dalam alam pikiran seolah nyata.

Masing masing kita akan terus berlayar melanjuti kemana angin membawa biduk nasib, atau terus menjelajah kemana semak semak dan pohon raksasa menyeret langkah kita di belantara takdir. Sesekali menaiki gelembung dan lepas mumbul bersama tiupan angin surga, toh akan kembali lagi, terhempas ke perjalanan yang sejati. Masih baik, jika dalam pengembaraan yang gelap itu kita mengingat satu kilatan cahaya ketika kita dipertemukan di gelembung kehidupan, tempat cinta bersemai yang lalu membelantara. Dahulu ketika badai mengamuk ditengah kegelapan, dan kita tersesat tanpa tujuan. Sekilat cahaya dari persabungan petir di angkasa, cukuplah sebagai penanda kita saling mengenali luka di wajah yang menua.

Perpisahan usahlah diupacarakan, sebab selayaknya pertemuan, semuanya hanya lingkaran tanpa labirin, proses hidup yang tak direncana awal dan akhirnya. Bahkan ketika tiba waktunya kematian mengakhiri catatan biografi; laksana roda yang berhenti menggelindingkan cerita kehidupan semata. Kita tidak akan sanggup mengemudikan hidup sekehendak hati sendiri, maka kisah tentang perpisahan hanyalah penggalan episode panjang belaka. Sebentar saja arah akan menghilang, berganti muram mengurung langit pikiran. Nanti, bahak tawa masa muda dan canda ceria penuh birahi akan kembali mengisi hari hari; ketika sudah mahfum bahwa kita ada di dua dunia yang berbeda.






Halim 110425

Saturday, February 12, 2011

Kekerasan Beragama

“kesalahan orang pintar adalah menganggap orang lainnya bodoh, sedangkan kesalahan orang bodoh adalah menganggap semua orang selain dirinya sendiri adalah pintar” (PAT-Arus Balik)

Ini kisah di suatu negeri, dimana hukum tidak tegak tetapi doyong sana sini, dimana pengadilan menjadi tempat jual beli keadilan, dimana kebebasan bisa ditebus dengan aksi tipu tipu.

Ini kisah suatu negeri yang kacau, dimana penguasanya memperpintar diri memaling harta Negara, dan rakyatnya terperosok kembali pada budaya jahilliyah, mendewakan anarki; homo homini lupus. Memuja kebencian dengan mengatasnamakan ajaran cinta kasih sesama mahluk.

Hanya dalam satu minggu saja, dua amuk massa besar yang mengatasnamakan agama meletus, di Cikeusik Jawa Barat dan di Temanggung Jawa Tengah. Aksi barbar disertai teriakan takbir yang mengagungkan kebesaran Tuhan, dan pada saat yang sama melecehkan ajaran Tuhan yang diteriakkannya dalam aksi brutal diluar batas pri kemanusiaan. Di Cikeusik itu selain kerugian musnahnya harta benda, tiga orang akhirnya mati ditangan para kriminal yang berjamaah. Mereka mati demi keyakinan yang ada dalam kalbunya, keyakinan akan baktinya kepada Tuhan yang sama, Tuhan yang diteriakkan para pembunuhnya.
Aneh!
Ironis!
Tragis!

Kejadian di Temanggung berbeda lagi, kali ini masih dengan teriakan yang sama, masih dengan semangat ammar ma’ruf nahi munkar yang sama, masih dengan pemahaman tentang ajaran agama yang salah kaprah yang sama. Tiga gereja dan sekian banyak fasilitas umum hancur atau hangus oleh amuk para begundal yang merasa punya hak menjadi polisinya Tuhan.

Pada dua kejadian tragis itu, polisi kelihatan hanya menonton, masih mencoba melakukan pendekatan persusif pada saat massa sudah beringas dan mengancam keselamatan harta benda maupun nyawa orang. Orang disini adalah warga negara yang punya hak untuk dilindungi, dan petugas polisinya semestinya adalah alat negara yang punya kewajiban untuk melindnginya. Bukankah demikian tujuan dibentuknya negara?! Di video amatir yang kemudian muncul di Youtube, yang lalu juga disiarkan berulang ulang di tivi nasional, orang orang yang “mirip” polisi nampak terjepit kebingungan antara apa yang harus mereka lakukan dan ketakutan akan terluka atau bahkan kehilangan nyawa. Para lelaki berseragam mirip polisi itu membiarkan anarki, bahkan pembantaian terjadi diepan mata mereka. Tepat didepan mata.
Sungguh t e r l a l u.

Jika benar orang mirip polisi itu adalah polisi, sungguh penduduk negeri ini disajikan dengan tontonan kenyataan pahit betapa impoten akutnya para penegak hukum di negeri ini. Secara institusi mereka kehilangan wibawa, sedangkan secara individual, tandatanya tentang integritas tugas menempel di jidat dan di pantat mereka. Mereka yang bertugas di lapangan tak mengerti makna tanggung jawab, tetapi hanya keharusan berada di tempat itu sesuai plotingan. Persis sama dengan orang orang berseragam mirip polisi yang berderet sepanjang MT Haryono di pagi hari, yang penting tampil di trotoar, melambai lambaikan tangan mirip jablay, tak tahu persis apa esensi maupun fungsi keberadaanya disana; menonton kemacetan lalulintas di pagi hari!

"Sekedar pencitraan" demikian jika meminjam istilah yang digunakan oleh beberapa petinggi negeri yang gemar mencela presidennya.
Orang menjadi makin berani menggelapkan mata melakukan pelanggaran dan kejahatan terorganisir mengetahui aparat hukumnya tak ubahnya manequin yang tak punya kreasi. Sistem hukum dan bahkan konstitusi tak ubahnya hanya retorika pemantas sebagai syarat adanya sebuah negara. Permainan permainan kotor di elit birokrat diadopsi menjadi konflik SARA di level wong cilik cilik. Dan, ketika nama agama (otomatis nama Tuhan) dipakai sebagai motif melakukan anarkisme, maka sesungguhnya hal itu adalah kontradiksi dari hakekat ajaran agama apapun yang hanya mengajarkan kebaikan; bukan keburukan.Dan kekerasan atas nama agama merajalela. Sebagian orang pelakunya membusung dada dalam kebodohannya, sebagian orang korbanya harus menanggungkan penderitaan seumur hidupnya.

Sudah semestinya kita mengembalikan makna agama sebagai ajaran nurani untuk panutan tingkah laku akhlakul karimah, dan tidak lagi menempatkan agama sebagai sebuah logika di kepala. Sebab agama dan Tuhan letaknya ada di kalbu tiap manusia.

Serang – Sunter 110212

Sunday, February 06, 2011

I am Not Rappaport

· Nat: Hey, Rappaport! I haven't seen you in ages. How have you been?
· Midge: I'm not Rappaport.
· Nat: Rappaport, what happened to you? You used to be a short fat guy, and now you're a tall skinny guy.
· Midge: I'm not Rappaport.
· Nat: Rappaport, you used to be a young guy with a beard, and now you're an old guy with a mustache.
· Midge: I'm not Rappaport.
· Nat: Rappaport, how has this happened? You used to be a cowardly little white guy, and now you're a big imposing black guy.
· Midge: I'm not Rappaport.
· Nat: And you changed your name, too


Orang yang dipanggil Rappaport makin terheran heran karena si pemanggil keukeuh dengan keyakinannya bahwa dia adalah Rappaport, orang yang dikenalnya sejak lama dan sekarang sudah berubah sedemikian rupa. Rasanya tidak ada argumentasi apapun yang dapat dipergunakan untuk mematahkan keyakinan yang salah itu, oleh sebab keyakinannya yang sedemikian kuat hingga mengkooptasi pemikiran hingga ke pemahaman.

Cuplikan dialog itu sebenarnya inti dari semua hakekat komunikasi. Ketika semua piranti sudah dipergunakan dan semua cara sudah dilakukan dan hanya membentur pada ketidak mengertian, kehilangan korelasi antara maksud pesan dan kenyataan, maka kebingungan akan mematahkan langkah pikiran selanjutnya, bahkan menghentikan gerakan yang seharusnya dilakukan.

Sebagian orang cenderung mengandalkan waktu saja berlalu, supaya semua kejadian terkubur oleh tumpukan waktu, dengan demikian maka anggapan subyektif membenarkan bahwa tidak ada peristiwa yang membentuk kejadian hari ini, alias tidak ada hubungan kejadian sebelumnya dengan kejadian yang sekarang. Padahal, sudah menjadi rumus kehidupan bahwa keberadaan masa kini tidak lain terbentuk dari apa yang pernah terjadi sebelumnya. Tapi bagi sebagian orang memang tidak perlu merasa bersalah jika mengingkari kejadian masa lalu, apalagi jika itu kejadian yang tidak menyenangkan hati.

Langkah pikiran memang tidak berjejak, kecuali dilahirkan dalam kalimat dan disampaikan dengan maksud memberi pemahaman akan sebuah keadaan. Namun ketika keadaan yang disampaikan (yang sebenarnya adalah kenyataan berdasarkan kebijaksanaan nurani sebagai tanggung jawab usia) tidak memenuhi harapan, maka yang terjadi kemudian adalah aborsi niat, pengguguran tekad. Bahasa langit dan kalimat tinggi dipergunakan sebagai sarana untuk mengaburkan esensi, lalu menghilang meninggalkan rasa bersalah, seolah memanen gundukan sampah di muara sungai.

Terkadang kata cukup terasa tidak cukup ketika pertanyaan demi pertanyaan dibiarkan mengambang di awang awang, bagai segumpal tahi yang hanyut di bantaran kali, menunggu waktu sang lumpur menguburnya pura pura mati. Semua kepentingan diri diabaikan wahai demi laku kearifan yang terbentuk dari ketaatan terhadap rasa bersalah sebab kaki sebelah telah melanggar rambu larangan. Rasa yang nelangsa tak sepadan dengan makna mulia dibalik petuah bijak yang lahir dari mulut yang dihormat. Petuah yang tumbuh dari cermin diri, atas pengalaman bertahun tahun hidup tenteram dalam kemuliaan penuh kehormatan.

Jarak yang sengaja diciptakan tidak melahirkan darah sebab tidak ada hati yang terkoyak. Ada kalanya pertaruhan kehidupan dimenangkan oleh logika, dan mempecundangkan keinginan hati sendiri. Maka menanglah logika dengan seribu satu teori yang tak satupun membenarkan tali hati yang terlarang. Kenangan menyisakan jutaan kegundahan yang rapi tersembunyi dalam diam, menunggu hari hari baru datang membawa penghiburan sebuah pengharapan akan tempat tempat yang jauh dimana hanya ada langit dan tanah sebagai pijakan.



Bambuapus 110206

Tuesday, January 18, 2011

Dua Dunia

Inilah monumen sejarah, yang terbentuk dan terjaga kokohnya oleh tautan hati yang sahaja. Laksana istana Kaibon yang ditinggalkan kejayaan, merana, menganga nantikan peziarah taburkan bunga. Diatas pekuburan rasa yang dulu mengokupasi setiap celah udara. Sebuah monumen tak berwujud, tetapi terasa hingga pangkal jiwa.

Ketika iblis datang, pikiran hanya diam, menunggu luka membusuk dan berharap waktu akan menyembuhkannya; kiranya belatung memakan segalanya. Pikiran hanya diam, menyaksikan angin hampa mengangkuti bongkahan bongkahan penyesalan yang datang bertubi laksana banjir kemarau di gurun pasir. Menghapus setiap jejak peradaban, menenggelamkan setiap kejadian yang dulu pernah tercipta dengan kesengajaan hati. Pasrah pada grafitasi yang akan menyeret tubuh kita menuju pendamparan tanpa nama, tanpa rasa. Dan siapapun begitu tidak berdaya melawan keniscayaan, tidak sanggup menolak kedamaian yang berasa langka di setiap pertemuan . Tak terjabarkan dengan kata kata rasa itu.

Tangis dan tawa menjauh, sentuh dan sapa menguap ke udara, bersama keruh dan bising ibu kota. Sedangkan kisah kisah pejalan telah tersusun dalam lemari kenangan, terekam dalam tumpukan gambar gambar perangkap waktu. Konon segala yang hidup bakal mati, meskipun setiap kematian selalu datang terlalu dini. Pada saat itulah kisah kisah kejadian terhempas ke tembok waktu, beku menjadi goresan masa lalu. Sedangkan polah sang hati, sungguh tak akan mati. Ia hanya rebah menjelempah tak berdaya, dipecundangi oleh kekuatan peradaban manusia yang mengabaikan bahasa sunyi; perasaan yang hakiki.

Definisi telah membelah bumi, menjadi dua ruanga baru yang sama sama sunyi. Ranting kehidupan yang patah oleh badai tiba tiba telah melahirkan kehidupan baru yang asing lagi canggung. Menunggu waktu akan mengobati luka robeknya, menunggu masa akan memunculkan kembali matahari yang akan memberi kekuatan, bahwa hidup harus terus dipertahankan. Cita cita yang pernah tersemai bersama kini menjadi biji tunggal yang tumbuh di ladang ladang gersang dalam ruang baru.

Setumpuk cita cita dan segudang rencana akan berjalan dengan penopang kaki. Semua berhenti di angan angan, berharap akan harapan harapan baru yang tertabur bersama doa doa. Ikuti arah angin yang menjanjikan semua kebaikan. Abaikan saja rindu yang menidih dada, sebab ia hanya rasa biasa yang dari awal kita tahu bahwa waktunya akan tiba.

Sebentar lagi rindu akan jatuh merana, terepisah dua ruang dunia yang tak mungkin tertembus tanpa dosa. Keinginan yang membuncah harus bisa dikendalikan dalam skap pura pura, dan cerita cerita lama yang istimewa akan menjadi penghibur bagi batin setiap kali mengenangnya. Jemari tak akan lagi bersentuhan meskipun hati setia bergandengan. Dan percakapan kita hanya tersisa dalam susunan potong demi potong aksara dan angka angka; kembali menjadi teman di sabana kosmos maya tempat muasal segala kisah bermula.

Dua ruang baru itu ibarat gerbong waktu, dimana kita terpisah dan terus melaju, dalam gelembung dunia masing masing. Sesekali berbagi cerita, dan kebahagiaan yang mengharukan setiap kali yang muncul adalah kisah bahagia dari gerbong sebelah. Kereta akan semakin tua, melaju terlalu cepat hingga mengejutkan betapa telah banyak persinggahan dan kejadian teralami selama perjalanan kita menuju stasiun pemberhentitan terakhir, yang juga adalah ujung dari nafas dunia batin kita yang menyimpan monumen cinta paling indah di dunia. Kisah cinta yang pasti menjadi juara seandainya didunia ini ada kompetisi keindahan cinta manusia.

Di dua dunia yang berbeda itu, terdapat kedamaian yang tak pura pura…


Surabaya 110118