Thursday, December 03, 2009

Wetboek van Strafrecht

Bahasa Belanda yang susah diucapkan dengan lidah Indonesia yang menjadi judul tulisan ini artinya dalam bahasa indonesia sangat tegas; Kitab Undang Undang Hukum Pidana. Jadi berisi tata aturan yang secara eksplisit menjelaskan jika sebuah perbuatan melawan apa yang diamanatkan sang kitab, maka didalamnya juga diatur lebih eksplisit mengenai konskwensi yang diancamkan kepada pelaku pelanggaran yang secara umum ganjarannya adalah penjara. Penjara sendiri berasal dari kata ‘pen-jera’, suatu alat yang diharapkan akan bisa membuat orang terdampak efek jera berbuat melawan hukum. Maka sifat penjara dimanapun dimuka bumi ini sebenarnya adalah sudut paling suram bagi kemuliaan manusia dalam menjalani hidup di negeri yang merdeka dan bardaulat. Dan Wetboek van Stracfech memiliki kuasa absolut untuk memaksa setiap warga negara untuk tunduk mematuhinya sebagai aturan pelindung hak privacy tiap warga negara.

Dan KUHP hari ini di negeriku tercinta laksana pilar tua yang menjadi suar bagi benar dan salahnya sebuah perbuatan yang melibatkan orang lain. KUHP juga adalah pedang tajam yang maha dahsyat, yang bisa mendatangkan celaka luar biasa hebatnya bagi yang mengalaminya; bersinggungan dengan konskwensi dari perbuatan melawan hukum pidana! Supaya orang tidak bersinggungan dan kemudian masuk dalam golongan orang yang didefinisikan sebagai kriminal, maka KUHP disosialisasikan ke semua orang yang tinggal di negeri ini melalui seni cetak yang pekoleh pula. Hanya saja, kitab penting itu jarang dipahami orang, apalagi dibaca dan dijadikan rambu perilaku bagi tiap individu. Padahal hakikatnya KUHP dimaksudkan sebagai induk peraturan hukum pidana positif, KUHP untuk melindungi nilai nilai positif yang berlaku dalam hidup berpergaulan.

Maka, ketika nama Mbah Minah, Besar dan Kholil, Romin dan Yanto, Manisih dan Suratmi atau nama nama lainnya yang didakwa dan terbukti melawan apa yang diamanatkan oleh KUHP, nurani siapapun akan terhenyak dan protes diam diam. Mereka, yang oleh nilai material dan latar belakang perbuatanya secara manusiawi tidak pantas untuk dilakukan proses peradilan pidana, terkalahkan oleh cadas dan perkasanya KUHP. Sebagian kita lebih cenderung melimpahkan pikiran negatif kita kepada para penegak hukum pelaksana KUHP, yang seolah olah telah mengabaikan hati nurani dengan menjatuhkan sanksi pidana kepada si lemah yang terdakwa. Menganggap salah pejabat pemangku tegaknya hukum lebih mudah karena yang menjadi ukuran penilaian hanyalah prasangka semata, apriori semata.

Toh KUHP yang disokong oleh KUHAP juga memberikan kesempatan seluas luasnya bagi siapapaun yang disangka atau didakwa melakukan pelanggaran pidana untuk mempersiapkan pembelaan diri sebaik baiknya. Dan ketika para pencuri kelas teri itu oleh hakim di pengadilan dinyatakan terbukti secara sah melakukan perbuatan melawan hukum yaitu melanggar salah satu pasal dalam BAB XXII Kitab Undang Undang Hukum Pidana tentang pencurian, maka ganjarannyapun didasarkan dari bab dan pasal yang sama juga. Vonis hakim sebagai penentu status seseorang sebagai kriminal atau bukan penjahat sangat ditentukan oleh faktualnya alat bukti dan pernyataan saksi saksi yang dipaparkan di dalam ruang persidangan oleh dua pihak yang berperkara; korban dan terdakwa, penuntut dan pembela. Dan pencuri tiga buah kakao, sebutir buah semangka, sekilo getah karet ,beberapa buah randu, beberapa batang rokok atau benda sekecil apapun tetaplah dikategorikan sebagai pencuri dalam definisi hukum seperti yang ditulis dengan tegas dalam pasal 362 KUHP yang berbunyi: “ Barang siapa mengambil barang sesutu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”

Efek sosiologis dari saklek-nya penegakan hukum sebenarnya menempatkan para aparat penegak hukum (yang tidak korup – pasti masih ada) berada dalam posisi yang ambigius sekaligus rapuh. Mereka harus berdiri tegak sebagai wali hukum sementara nurani sendiri tertikam perih oleh kenyataan pilu, bahwa hukum tidak boleh pandang bulu. Maka kita tidak pantas menumpahkan pikiran negatif kita kepada para aparat penegak hukum (yang tidak korup – pasti masih ada) karena mereka memang kita beri kehormatan untuk mengawal berjalannya hukum demi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Zaman melaju pesat, kehidupan bergerak cepat, keadaan berubah laksana kilat, sedangkan KUHP tetap berdiri tegak dengan konstruksi kunonya. Barangkali memang sudah waktunya para pintar negeri ini untuk menyusun rencana renovasi pilar hukum di negeri indah makmur ini agar dapat menjadi payung pelindung dan wadah penampung bagi kemanusiaan yang adil dan beradab dan sanggup mengakomodir keseimbangan antara faktor sosial, tradisi, budaya serta segala perbedaan umum masyarakat kita.

Sementara kita menunggu para pintar negeri ini sadar, saya hendak menghimbau kepada saudara; janganlah saudara melanggar hukum, janganlah saudara menjadi maling!

Bambuapus - 091203