Tuesday, January 31, 2006

Bye Bye Kost...


(20 Juli 2005 – 30 January 2006)
Enam bulan kamar kost menjadi dunia senyap yang semula mengerikan dan kemudian berbah menjadi indah, karena improvisasi atas sunyi dan keperihan memanjang ketika hati menjadi serpihan luluh lantak oleh bengis penghianatan. enam bulan menjadi warna kepasrahan dan kebangrutan setelah sepuluh bulan yang melumpuhkan.

Kamar kost Bu Parmi menjadi singgasana, dilantai dua dan berjejer berdua saja dengan kamar mandi diluar kamar. Ia menjadi singgasana bagi sebuah hati yagn dihancurkan lalu ditelantarkan untuk kemudian dipungut dan dilemparkan legi kejurang kesengsaraan bathin yang lebih dalam. Dan jadi kebisaan sesudahnya.

Kini hidup bagaikan siput tanpa cangkangnya, remuk terinjak kaki sang durjana, terjepit diantara sederet karang kewajiban, terikat dengan tali temali kawat kepatutan. Kenangan kamar kost berisi begitu banyak cerita tentang sunyi kebahagiaan ditengah hamparan kemunafikan. Sunyinya melahirkan filsafat filsafat bijak, perenungan panjang atas makna hidup yang tak bisa berhenti untuk dipertanyakan. Didindingnya tercatata peperangan demi peperangan antara hati dan logika sepanjang masa yang menenggelamkan kesendirian.

Akan kurindukan indahnya hujan di jendela ketika matahari ternggelam di peraduan, akan kurindukan percakapan percakapan panjang yang menghiasi malam malam yang hitam. Dan pasti kukenangkan betapa diri pernah merasa menjadi pemenang karena merasa sanggup menaklukan ego hingga menyerah diantara ikhlas dan mengalah sambil berharap nurani masih tersisa di jiwa yang durjana; sang penganiaya.

Sekarang mohon diri, kaki melangkah meninggalkan catatan enam bulan menjauhi pintu untuk menuju pintu lain lagi yang penuh berisi iblis. Entah untuk berapa lama lagi menjadi nomanden, mengapung diantara keraguan dan sakit hati.

Bye bye kost….terimakasih telah membantuku tetap hidup dan tetap sebagai manusia…


Simatupang, 060131



Jika engkau harus pergi

Jika memang engkau harus pergi wahai secuil hatiku, berjalanlah menjauh dengan kepala tegak dan dagu terangkat pasti menuju tempat teduh yagn kau tuju.

Engkaupun tahu, aku tengah berada di tumpukan badai yang mengamuk bertubi tubi tanpa engkau sanggup menyentuhnya. Badai ini telah dirancang khusus buatku, buat menceraikan damai dan harapan jiwaku. Aku melihatmu, berdiri menggigil diluar lingkaran api yang mengurungku.

Jika memang engkau harus pergi, tolong jangan lupakan jabat tanganku untuk malaikat kecil yang selalu menyertaimu. Nanti bagilah cerita pencerahan tentang makna kepasrahan, ceritakan bahwa dulu pernah ada seorang manusia yang berjuang menjadikan diri manusia dengan bentuk yang tak karuan karena benturan berulang ulang. Ceritakanlah tentang rumah indah yang sempat dibangunya, dengan atap, dinding dan lantai terbuat dari kesementaraan kabut.

Jikapun engkau harus pergi, dipenjara apiku bau nafasmu tak pernah surut, kuhirup menjadi pemandu langkah sampai badai ini usai, atau setidaknya akan kusimpan jadi mantra penyejuk kalbu yang hangus merana.

Jika engkau harus pergi, engkaupun tahu telah kupilih jalan cadas ini, menggendong tanggung jawab di ransel kodrat sebagai manusia. Ya, hanya sebagai manusia yang bodoh dan hina dimata Sang Pencipta.

Jika memang engkau harus pergi, biarkan ruhku selalu mengiringimu dan doa dari isi semesta memohon agar dijaga engkau dari segala bencana yang menghancurkan nilai.

Gempol 060131

Dunia Baru

Sebuah hari baru menyeret diri menjadi satu satunya bagian dari dunia yang baru termasuki. Asing. Sekeliling hanya asing, bahkan dengan perwujudan diri sendiripun begitu asing. Inikah bikini bottom? Inikah dunia dasar laut yang senyap tanpa suara? Ya, senyap tanpa suara, hanya ribuan peristiwa terkenang dikepala.

Jiwa yang kerdil terus menengadah, mengharap ego untuk melipat lutut dan bersideku menanti dengan pasrah apa yang bakal dibawa oelh masadepan yang akan datang. Pengharapan berubah menjadi kemewahan yang memilukan dengan janji kekecewaan yagn mengmbrio pada keyakinan gamang.

Iblis telah menjauhkan diri dari segala yang tercintai, bahkan merampas semua yang pernah tercipta, tinggal tersisa duka lara memanjang tanda kehidupan terus berjalan. Terali kokoh telah dibangun dibalik kesejatian fikiran mengurung petaka sebagai hadiah yang datang bertubi tubi tanpa ampun apalagi belas kasihan. Sebegitu perkasanyakah keculasan memperdayai nurani? Atau diri yang tak tahu cara mengaduh saja jadi begini?

Dan maka, diantara lumpur yang menghambur membutakan pandangan dimana hanya gelap dan tanpa mata angina satupun berjalan diam diam. Meninggalkan stasiun stasiun pemberhentian kenangan menyusuri track track baru yang terkadang mengharuskan diri berhenti sejenak untuk mengukur letih yang membandul dikedua kaki. Tak ada peluh juga keluh yang pantas diutarakan. Semua berjalan, berjalan dengan bimbang.

Ya, hidup hanya berjalan, pelan pelan dan kadang diam, mencari kematian dimana segala cerita kepahlawanan ataupun keculasan akan berujung. Sebuah perjalanan singkat saja, dari ujung gelap keujung gelap lainya yang harus melewati terang benderang bernama; adat dunia!

Gempol, 060131