Sunday, July 30, 2006

... rembulan seujung kuku...

Rembulan seujung kuku menggantung ragu dilangit hitam, pucuk dahan pohon pohon raksasa di hutan lebat seperti menggapainya, mengajaknya turun ke bumi dan bercengkerama bersama satwa malam yang rajin menyenandungkan nyanyi pujian. Malam masih begini muda, rembulan condong ke barat tak sabar ingin beristirahat dibalik gegunung yang hanya tampak jadi bayangan. Di langit tinggi mendung berkejaran ke selatan, melintasi rembulan dan terkadang mengaburkan keberadaanya dari pandangan. Tak ada kerlip bintang yang menemani, sang bulan diam dalam kesendirianya, menjalani kodratnya dalam ruang yang itu itu juga mengitari bumi, berkembang dan membagi sinar redup kepada gelap yang tak lagi membutuhkan kehadiranya malam ini; lampu lampu merkuri telah mendurhakai sinarnya yang abadi.

Sepotong salam terkirimkan, menanyakan apa yang sedang bergumul dalam fikiran. Jarak yang jauh telah melahirkan rindu yang tak berhenti bergemuruh, mengundang pengandaian pengandaian yang meracuni kemustahilan dengan perlahan. Kepala dipenuhi oleh ilusi manis tentang kebersamaan, mengisi sisa hidup dengan kedamaian, menimbun bekas bekas luka yang menganga dengan cinta yang membanjiri setiap sudut ruangan rumah kecil di lereng bukit.

“Jangan kau pergi dari hidupku, jangan jauh jauh dariku, aku ingin kamu tetap ada didalam hatiku. Aku ingin meleburkan rindu yang membelenggu ini, mempersembahkan seluruh kasih sayangku yang terasa hanya padamu” ucapku pada selembar daun yang gugur dari luar pagar kompartmmentku, dan hanya angin beku yang mengangkutinya pergi kelangit, ke telinga sebelah hati nun jauh ditempatnya berada.

Satu dunia kehilangan kefanaanya terbentuk hanya dari ceceran demi ceceran kesia siaan masa lalu, mempertemukan dua debu di angkasa maya dalam ketidak mengertian arus nasib. Dan malam datang menyempurnakan kegundahan akan seribu satu pertanyaan tentang rasa yang menyelubungi kepalsuan yang harus dijalani sebagai bentuk tunggal dari kewajiban. Keterpaksaan telah melahirkan dunia baru yang tak kasat mata bagi pemandangan alam duniawi, rapi tersembunyi dalam bilik bathin dan perlahan kokoh menjadi raja pengisi kehampaan yang sempurna.

Perih terlalu lama menjadi pengisi tas pengalaman, diri letih sudah menggendongnya sendirian kesana kemari mengitari bumi. Perih yang menyemaikan keluhan demi keluhan yang memuakkan, pun masih berisi tangis dan kegilaan setiap kecutnya memelintir ingatan. Mencoba berhenti untuk tidak meladeni perihnya atau sekedar bungkam menyembunyikannya ternyata bukanlah perkara mudah. Segala daya kekuatan telah dihamburkan untuk menanggulangi setiap potong beling yang datang dan bebas meneracap kedalam jantung karatan. Diri tak kuasa melindungi kepentingan hati ketika iblis terus memburu sampai jauh kelorong setiap sudut mimpi sekalipun.

Inikah pengingkaran yang sering dibicarakan? Ataukah perlawanan atas nama kebahagiaan hakiki? Entahlah, saat ini aku hanya ingin menghamburkan kepalaku di pangkuanmu, mengadukan kekecewaanku dalam tangis panjang di hangat kasihmu, dengan jarimu rajin mencabuti potong demi potong beling yang menghiasi sekujur tubuhku…

“aku sayang kamu…” ucapmu mengantar tidurku, menjemput iblis yang siap menunggu di negeri bawah sadarku.

Porta camp – 38 Papua 060730