Wednesday, January 23, 2008

Farewell

:n

Teriring kata maaf, atas luka yang merobek hatimu, luka dari erupsi gunung anakan yang kau ciptakan hampir empat tahun lalu, udara berisi kawah beling tempat iblis berkubang dendam. Selama itu pula susah payah diri bertahan, memendam sakit, menimbun perih sendirian, mengerang dan menangisi kekalahan tanpa terdengarkan. Nyatanya waktu tak cukup menyembuhkan, luka bakar yang parah disekujur badan. Merubah bentuk jadi monster mengerikan, mahluk menjijikkan yang tak lagi beridentitas. Hilang semua sifat baik sebagai manusia, sebagai lelaki pelindung dunia.

Duka mengambang, bercampur perih dari tikaman penyesalan. Betapa telah sia sianya seluruh kekuatan yang dicadangkan, jika akhirnya runtuh dan rubuh tembok pertahanan, pelindung nyawa bocah yang hanya tahu tugasnya mengenal dunia. Dialah inti kebersamaan, yang kemudian kau manfaatkan sebagai senjata dan sekaligus tameng pelindung. Menganiaya batinya, meninggalkanku dalam ketidak berdayaan; hanya duka yang menggenang. Suara bergetar bagaikan gempa, mata perih karena selaputnya koyak oleh air mata yang mendesak muntah. Keprihatinanku melebihi udara yang mengitari diri.

Inilah adat dunia, sebagian kita diperintahkan oleh keadaan untuk menerima dan menghayati rasa. Tidak berdaya menghindar, tidak kuasa menolak apalagi mengelak. Pilihan satu satunya adalah menerima, apapun rasa dan bentuknya. Seperti halnya sakit hati yang terbikin, yang membuat hari menjadi rusak, budipekertipun ikutan lasak. Hampior empat tahun tangis tertahan dan perih tertelan, menjaga titisan tetap dalam lindungan. Nyatanya hanya murka jadi balasan. Dan tangis yang terkurung dalam rapuh tahanan perasaan. Udara dan badan halus mengandungkan pedih dalam setiap keping kenangan yang tersisa. Hampir empat tahun saja siksa dahsyat menerpa, hingga hati mati untuk durjana.

Titisan bukanlah benda, ia manusia yang dititipkan kepada kita untuk menjaga dan membahagiakannya. Memanfaatkannya demi nafsu tak terbatasmu sungguh aib yang melebihi aib. Kuterima kejadian dunia sebagai penghianatan kesekian, sebelum perlahan akan kubalut luka, kususun langkah mencari pijar nyala asa yang kau padamkan dengan semena mena. Betapa aku telah salah menempuh jalan dalam gelap ciptaanmu, wahai setan betina.

Telah kukemas masalalu, terkumpul dalam kardus kardus kenangan, teronggok diruang ingatan bersama sampah dan makanan basi. Inilah sumbangsih terakhirku bagi hidupmu, penyokong akan niatmu pergi mempecundangi diri. Dan kukubur masalalu tanpa nisan, disepanjang jalanku setapak terang benderang...



(…harus tabah menjalani, dan jangan lelah hidup – demikian pesanmu yang jadi pemanduku, dik...Dan dik, ingatlah selalu pesanku padamu, betapa aku selalu sangat menyayangimu sepenuh hatiku, selamanya…)

Ciracas, 0801122