Tuesday, October 02, 2007

Republik Pengemis

Ceritera dari Jakarta – part VI

Lebaran segera datang. Perayaan nasional segera digelar. Ritualnya mulai dari nuansa islami kental selama sebulan penuh bernama Ramadhan, diikuti berita tentang transportasi pulang mudik, sembako, dan jangan lupa; THR. Setiap orang mempersiapkan diri tidak perduli suku, agama, pekerjaan, maupun segala jenis perbedaanya, yang penting manusia. Semua seperti melipat gandakan kuantitas pendapatan pada waktu yang bersamaan secara nasional. Akibatnya bujet belanja membengkak, dan berefek pada pemenuhan kebutuhan yang meledak. Tiap tiap rumah tangga mulai menghitung angka potensial pengeluaran serta menaksir naksir berapa pendapatan setelah ditambah bonus atau THR.

THR diberikan sebagai bonus untuk membantu menunjang pengeluaran yang berlipat ganda itu. Dan mau tidak mau sang majikan rela untuk mengalokasikan pengeluaran ekstra yang pasti besar, dua kali lipat dari anggaran normal. Menjelang lebaran THR menjadi dewa paling didambakan oleh umat pekerja, umat pengharap.

Kemudian makna tunjangan itu menjadi bias, melebar kesana kemari setelah ternyata di alam kenyataan hidup manusia ide Tunjangan Hari Raya itu berubah makna menjadi kesempatan mengemis dengan cara yang elegan. Dari orang berseragam hingga yang mengaku sebagai anu, ini dan itu, institusi anu, dinas ini, kesatuan itu, atau apapun yang pantas untuk ditonjolkan sebagai nama untuk meminta THR! Pola pengemisan yang lebih memalukan dari pengemis konvensional yang biasa menampilkan mimik menghiba hiba agar dikasihani. Untuk pengemis intelektual, justru kekuatan dan keperkasaan anu ini itu yang dijadikan pelindung rasa malu. Sebuah pemerasan musiman dengan mekanisme menyeluruh yang sangat rapi dan “dimaklumi”. Setahun sekali kita menjadi pengemis berjamaah. Stempel berbunyi ‘pelit’ dan ‘dermawan’ segera beredar dimasyarakat, dalam alam fikiran yang tidak bisa tampak oleh mata manusia saking tidak nyatanya. Harum semerbak ‘uang ketupat’ bertebaran di angkasa raya, menyebar sampai ke pelosok negeri. Aromanya membuat banyak orang mabuk, sehingga sengaja menjebakkan diri dalam praktek korupsi, pemerasan maupun sekali lagi pengemisan musiman.

Konsep mengemis adalah meminta minta kesukarelaan orang lain untuk memberi materi. Menciptakan image diri bahwa ia adalah orang yang layak untuk dikasihani. Penampilan memelas serta eksploitasi ketidak sempurnaan fisik kerap menjadi jurus jitu penakluk belas kasihan. Lalu berkembang lagi, anak kecil menjadi komoditi handal untuk bisnis belas kasihan ini. Paradigma mengemis juga berkembang mengikuti zaman. Majunya peradaban ikut pula merubah pola mengemis zaman sekarang yaitu dengan unsur paksaan sekedarnya. Praktek pengemisan ini menggunakan teori teori intimidatif mutahir, untuk menciptakan terror kecil kepada calon dermawan. Serang anak kecil di perempatan Pasar Rebo dengan membawa botol bekas Yakult berisi sejumput beras menyanyi tidak jelas sambil memukul mukulkan si botol plastic bekas ke sisi pahanya, seolah olah menjadi musik pengiring nyanyiannya. Si kecil adalah hasil eksperimen penggabungan unsur mengemis dan mengamen, unsur meminta minta dan menghibur orang. Bisa dijamin bahwa tidak ada seorangpun yang terhibur dengan caranya mengmen dan menampilkan diri.

Tradisi meminta minta otomatis juga melahirkan dermawan dermawan musiman. Terlepas dari perkara terpaksa atau sukarela, seorang pengemis juga pada gilirannya akan menjadi dermawan pada gelembung dunia berikutnya. Bahkan si dermawan yang mengabulkan pintanyapun sebenarnya adalah pengemis juga pada level dan gayanya tersendiri. Jadi membingungkan, apakah momen lebaran sebenarnya momen menjadi dermawan atau pengemis. Atas nama kemuliaan hidup, tentu kita akan menyebutnya sebagai momen menjadi dermawan saja. Lebih aman, tidak ada yang memprotes bahkan hati kecil kita sendiri sekalipun. Ini adalah momen untuk menjadikan diri kita sinterklas musiman yang baik hati.

Selamat lebaran, Jakarta,
Selamat lebaran, Indonesia…!

Gempol, 070902