Monday, May 01, 2006

Seni Imajinasi malam Jakarta

Malam luruh di Jakarta. Ribuan lampu mercury mengingkari gelap, sia sia mencoba menandingi matahari. Di gemuruh jalanan aku meluncur laju, berselancar diatas aspal, menari dalam iringan senandung malaikat pengendali nyawa yang hanya seutas. Membunuh satu demi satu jentik masa depan dan meniadakan pertanyaan atas kemungkinan kemungkinan yang mencemaskan. Dijalanan, setan dan malaikat bermusyarwarah dalam jutaan transmisi komunikasi kasat mata.

Diantaraku, ribuan gelembung kehidupan berjalan dengan harapan dan kecemasanya masing masing, tersembunyi dalam tembok yang dibangunya tinggi tinggi, kemunafikan dengan masing masing jubah dan topengnya. Dalam bentuk masing masing, busuk dan memabukkan sekaligus. Disetiap rimbun gelapnya sudut pandangan, kebudayaan terkubur menjadi monumen penegas keberadaan, kerdil dan mengecil.

Jakarta, kampung besar ini begitu kaya dengan segala cerita kebosanan. Dan iklan, mengajarkan penghuninya untuk menjadi budak, mengerjakan sesuatu yang tidak disuka supaya bisa membeli hal hal yang tidak menjadi kebutuhan, melainkan keinginan. Melulu manusia disetiap lorong dan sisi kampung ini, tak ada yang saling mengenal kecuali dalam kelompoknya dalam selera tawa oligarki masing masing pribadi.

Udara malam menimbun karbondioksida begitu indah dicerna paru paru yang makin tua, memompakan oksigen ke dalam metabolisme tubuh dan merubahnya menjadi semangat plastik metropolitan. Jakarta menjadi panggung raksasa, seni imajinasi bagi setiap penghuninya. Lampu dipasang disetiap kepala bagi menyinari kepentingan diri mengontrol laju dunia. Peradaban telah melupakan apa menu sarapan pagi tadi, berganti menjadi apapun yang ada di meja hidangan untuk disantap dengan kecemasan.

Disepanjang jalan malam Jakarta, di kepala kunyanyikan lagu duka seperti yang digariskan dalam cerita sang Sutradara…

Simatupang – Gempol 060501