Friday, March 10, 2006

Petinju Lucu = tontonan yang mengesalkan

Menyaksikan pertandingan tinju antara Apolos Inury dan Anwar Solihin dikelas walter yunior 63, 5kg menyisakan kedongkolan setelah delapan ronde yang seharusnya menjadi tontonan yang penuh excitement setelah ditunggu selama satu minggu itu menjadi sesuatu yang menyebalkan. Judulnya saja tinju professional, semestinya menampilkan profesionalisme sang petinju dan para second men yang mendampinginya, tetapi yang tertayang adalah kekuatan emosi, perkelahian yang miskin dengan tehnik bertinju yang baik, bahkan jauh dari memadai. Kedua petinju lebih banyak terlibat dalam rangkulan, dorongan, dan gerakan gerakan seperti perkelahian jalanan umumnya. Maka yang tampak dilayar tv adalah adu nyali antara dua orang petinju diatas ring! Kedua petinju menyuguhkan tontonan seni beladiri yang semestinya dikelola dengan keras dan manis menjadi tontonan “lucu” tanpa tendensi untuk melawak dengan wardrobe tinju; konyol memalukan, menimbulkan kekesalan belaka bagi penonton seni bertinju.

Menonton pertandingan tinju adalah mengikuti sensasi ketegangan rivalitas dua individu, dua orang diatas ring yang mengadu kekuatan, nyali, stamina, strategi, intelegensia dan tentu keberuntungan. Tinju adalah tontonan yang seharusnya bisa mendikte adrenalin penontonya ketika kedua orang diatas ring diadu satu lawan satu dengan sederet aturan ketat yang sama sama difahami dan dikawal oleh seorang wasit. Tehnik bertinju yang baik bukan hanya soal kuat memukul, tetapi juga pintar menggunakan tehnik yang benar, pintar dalam memilih momen momen memukul, pintar dalam mengatur mengontrol dan membelanjakan stamina, dan tidak kalah penting adalah pintar membaca strategi lawan, membaca kekuatan lawan, mengantisipasi serangan lawan dan menemukan solusi jitu dan cepat untuk menetralisir serangan lawan sambil menyusun taktik serangan pada saat yang bersamaan.

Tinju professional adalah pertandingan beladiri dengan bayaran, sebuah bisnis entertainment yang memerlukan pengelolaan secara professional dari setiap elemen yang terlibat mulai dari penyelenggara pertandingan, promotor, pelatih, sampai ke hal hal kecil dari si petinju sendiri. Tetapi yang tidak kalah menonjol dari pertandingan tinju adalah sportifitas karena basis filosofisnya adalah sportif sebagai landasan dasar dari sebuah pertandingan olah raga. Semakin professional para pelaku “bisnis berantem” ini maka semakin berkelas pulalah sebagai tontonan, ketika penonton disuguhi perebutan prestise diatas ring oleh dua orang dengan cara perkelahian yang gentleman.

Bisa dibayangkan betapa tidak mudahnya seorang petinju diatas ring yang pada saat bell dibunyikan tanda perkelahian dimulai diharuskan mampu untuk menjaga emosi tetap stabil antara marah, nafsu ingin mengalahkan, nafsu ingin menyakiti badan lawan dan lain sebagainya, pada saat yang bersama harus juga menjaga agar tidak terkalahkan dalam persaingan itu. Sepanjang tiga menit ronde berlangsung baku hantam itu harus mengikuti koridor aturan yang sangat ketat; hanya boleh memukul dengan kepalan tangan yang sudah dibungkus sarung tinju pada target target yang sudah ditentukan, menghindari serangan dan melindungi anggota badan dari pukulan lawan. Padahal untuk menjatuhkan musuh dalam perkelahian (seperti dalam mix martial art) banyak anggota badan mulai dari kaki sampai kepala bisa dijadikan senjata untuk meruntuhkan keperkasaan sang lawan.

Pertandingan tinju yang menarik untuk ditonton adalah ketika petinju diatas ring memegang teguh disiplin bertinju, dengan tehnik tehnik sesuai text book yang diaplikasikan dalam kombinasi antara kekuatan fisik dan kecerdasan. Pertandingan tinju menjadi berbobot oleh karena ketatnya persaingan kedua unsur tersebut dengan kedisiplinan yang terbaca dari gaya bertinju, melambangkan ketekunan si petinju dalam berlatih keras dan terus mengembangkan andalan yang dimiliki sebagai senjata diatas ring. Chris John adalah satu dari sangat sedikit petinju Indonesia yang memiliki dedikasi dan disiplin dalam bertinju, melengkapi diri secara maksimal untuk menduduki posisi elite dalam peta tinju nasional yang secara otomatis membuka pintu peluang bagi eksistensinya di ring internasional. Chris John mengukir prestasinya dengan gemilang karena dedikasi dan intergritasnya di dunia tinju sebagai profesi yang dipilihnya sepenuh hati. Dia pantas menyandang gelar juara dunia WBA saat ini.

Bagi penonton, yang menang dan yang kalah tidaklah menjadi soal yang penting ketika pertandingan tinju terasa enak untuk ditonton, bahkan ketika petinju yang “diinginkan” untuk menangpun akhirnya kalah, rasa hormat, salut kepada si pemenang akan muncul dari penonton yang juga harus mengikuti aturan permainan sebagai penonton yang professional. Bahkan sekalipun petinjug yang diandalkan diam diam terpukul knock out oleh sebuah lucky blow lawan. Apalagi bagi si petinju, ketika bell dari ronde terakhir usai dibunyikan atau ketika wasit mengehentikan pertandingan karena salah satu terpukul jatuh dan tak sanggup melanjutkan pertandingan, si menang dan si kalah akan berpelukan sesudah saling memukul selama pertandingan, saling memuji, menerima kemenangan dengan rendah hati dan juga menerima kekalahan dengan besar hati, untuk kemudian berlatih lagi siap untuk bertanding lagi, menguji lagi hasil latihan diatas ring.

Jadi memang tinju professional tidaklah pantas dijadikan arena perkelahian yang “gemlelengan”, minim disiplin dan persiapan hanya bermodal nyali dan kekuatan fisik, sebab hanya akan menjadi tontonan dua badut yang berkelahi diatas ring, saling takut kena pukul dan kebingungan cara memukul lawan. Lucu yang tak mengundang tawa, kecuali kekesalan bagi penonton professional yang mengharap sebuah tontonan seni beladiri professional, dedikasi terhadap pilihan hidup sebagai petarung.

(sebagai bayar hutang untuk seseorang yang mempertanyakan kapan akan menulis topik ini – Engkau tak pernah pergi jauh dari hidupku…)
Belakang TMII, 060310