Thursday, October 19, 2006

Tentang Poligami

Dalam antropologi sosial, poligami artinya adalah merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu istri atau suami sekaligus pada suatu saat. Dilihat dari ‘pelaku’nya, poligami kemudian dibagi lagi menjadi poligini untuk lelaki yang beristri lebih dari satu orang dan poliandri untuk wanita yang memiliki beberapa suami sekaligus.

Terlepas dari aturan nilai (ajaran agama) yang membolehkan praktik ini terjadi maupun undang undang yang dikeluarkan oleh negara sebagai landasan legalitas praktik poligami, secara sederhana poligami lebih dimaknai sebagai kehidupan yang mendua dari sebuah ikatan cinta dengan akta nikah sebagai pengikat hukum dan kewajiban yang terkandung di dalamnya. Poligami jika dilihat dari sisi ajaran nilai (agama) semata akan membentur pada sebuah pembenaran, mengesampingkan soal ‘rasa’ yang dialami bagi yang mengalaminya. Tidak peduli apakah azas kawin ganda itu diletakkan pada lantai rasa keadilan ataupun alasan apapun, rasanya tidak realistis untuk membentuk satu rumah tangga dengan beberapa orang sekaligus.

Sungguh naïf terdengar jika seseorang beranggapan bahwa memiliki pasangan hidup lebih dari satu (yang terikat dalam hubungan suami istri) adalah hak dan kebutuhan. Soal hak barangkali masih bisa ditoleransi, tapi kalau kebutuhan??? Bukankah alasan orang yang pertama menikah adalah karena cinta yang mengikatkan mereka dan kemudian berkembang menjadi satu keinginan untuk membentuk sebuah rumah tangga yang mewakili identitas mereka? Sedangkan sebuah rumah tangga atau keluarga adalah investasi sosial yang menjadi tempat bagi berkembangnya sebuah silsilah baru, pengisi ramai kehidupan peradaban dunia.

Kecenderungan poligami terjadi pada kalangan orang yang memiliki ‘kekuasaan’ entah secara material maupun secara sosial. Raja memiliki selir, pemimpin agama (maaf), pemimpin bandit, pemuka satu komunitas, bahkan orang biasa yang kebetulan memiliki kemampuan finansial. Kecenderungan praktek poligami di kalangan ‘pemuka’ ini jelas memberi inspirasi bagi siapapun yang ada dalam lingkaran kekuasaanya bahwa kawin ganda juga bermakna kemampuan sosial, predikat tersendiri dalam lingkungannya. Kaum lelaki memiliki keleluasaan yang lebih luas ketimbang kaum wanita dalam mempraktekkan kerakusan status seperti ini, dengan menggunakan ajaran agama dan hukum pemerintahan sebagai alat melanggengkan keinginan duniawinya. Bahkan sebagian orang lelaki picik malah memilih menggunakan hitung hitungan matematis dari masa reproduksi wanita sebagai salah satu kiat memilih istri istri.

Wanita yang dikodratkan lebih lemah dari kaum pria terkadang terjebak dalam situasi dimana mereka tidak bisa menolak atau melawan dari kehendak suaminya sendiri untuk mengambil istri baru. Ungkapan klise “ Perempuan mana sih yang sudi dimadu?” mengandung nada protes yang begitu tandas. Sebagian wanita memilih bercerai daripada hidup dalam permaduan, sedangkan sebagian lagi yang malang sungguh tidak bisa menolak dimadu karena ketergantunganya terhadap si pria. Ketergantungan secara ekonomi (nafkah), dan ketergantungan lainya yang membuat si wanita kemudian lebih memilih berkompromi dengan jeritan hati sendiri, menerima di madu selama masih mendapat jaminan keamanan sosial dan finansial dari si pria.

Apapun alasanya poligami tetap mencerminkan ketidak adilan dalam ukuran standar maknanya sendiri. Poligami bagaimanapun idealnya, tetap melambangkan sebuah keterpaksaan dari salah satu fihak yang merasa seharusnya tidak diperlakukan seperti yang tidak seharusnya. Keharusan inilah yang bagi setiap orang memiliki kelenturan alasanya sendiri sendiri. Poligami sedikit banyak mengandung unsur keterpaksaan di dalamnya, bukan kerelaan hati seikhlas ikhlasnya meskipun seringkali kemudian azas keadilan dijadikan alasan pembelaan terhadap ketidak adilan itu sendiri. Bukankah ada fihak yang begitu egois jika kita mau merenungkan sedikit hakekat poligami? Intinya, adilkah seorang membagi kewajiban untuk lebih dari satu orang sekaligus dalam ikatan rumah tangga, sedangkan idealnya sebuah rumah tangga terdiri dari satu istri satu suami dan anak anak yang dihasilkan sebagai buah cinta.

Jika kemudian ajaran agama maupun perilaku pemimpinya dijadikan alasan pembenaran praktek poligami, maka kita tidak beranjak dari peradaban purba dengan kondisi fisik dunia yang semakin maju seiring dengan pola pikir umat manusianya. Sebuah contoh tragis yang mungkin tidak bisa kita lupakan begitu saja adalah pembantaian dengan bom bunuh diri oleh beberapa orang yang menafsirkan sendiri secara individual tentang kepercayaan moral yang diyakini sebagai kebenaran baku. Kepercayaan yang fanatik terhadap ajaran nilai justru menodai bahkan menganiaya keluhuran nilai yang terkandung di dalamnya sendiri. Demikian pula halnya dengan poligami, bahwa semestinya kekuatan seseorang kalau ditara dari sisi nilainya, seharusnya dipergunakan untuk melindungi dan menguatkan fihak yang lemah, bukan kekuasaan untuk menjadikan individu lain alat pelengkap atribut kekuasaan sosial.

Banyak kita jumpai praktek poligami oleh kaum pria terjadi di sekitar kita, saudara. Masing masing memiliki alasanya sendiri sendiri, pembenaranya sendiri sendiri. Sebuah penjajahan dalam lingkaran yang sangat pribadi. Ketidak relaan yang terpaksa diterima sebagai takdir, yang melambangkan betapa lemahnya kemandirian kaum wanita. Wanita menerimanya juga dengan berbagai alasanya, berbagai keterpaksaanya. Anak anak sering dijadikan pertimbangan utama sang ibu untuk menerima rasa perih dan hancur sebagai istri yang di madu, dengan pesimisme bahwa si ibu tidak akan bisa memberi lebih baik dari ayahnya. Kisah perih poligami ini terkam dalam sebuah tulisan panjang yang mungkin suatu hari akan muncul di blog ini suatu hari nanti. Tetapi cerita panjang itu yang mendasari pandangan individual bahwa apapun bentuk dan alasanya, poligami tetap sebuah ketidak adilan yang menyebabkan kehancuran bagi sebagian harkat hidup, pun juga mempengaruhi pemahaman akan kehidupan bagi generasi generasi berikutnya yang dihasilkan dari praktek poligami ini.

Sebuah kepedihan panjang kerap menjadi ending story dari praktek poligami, apalagi jika alasan poligami hanyalah keserakahan nafsu semata. Kepedihan di depan mata itulah yang melandasi penolakan terhadap pembenaran terjadinya praktek poligami dengan alasan apapun bahkan iba hati, apalagi terhadap diri sendiri…


Cubicle, 061019
(on a quiet noon when your tiny eyes wont stop staring at me, undressing me like you always do when we were together)

Wednesday, October 18, 2006

Anatomi kecewa

Kekecewaan menghela hati untuk berjalan membelakangi masa depan dengan kaki menjuntai di angkasa dan darah yang serta merta menjebol ubun ubun kepala. Darah yang menggumpal dari timbunan sedimen waktu masalalu. Berharap penghianatan tidak pernah terjadi sungguh sama dengan berharap masalalu tidak pernah ada; sama sama mustahil. Semakin nampak jelas lukisan luka, semakin terasa pula perih yang meraja. Selebihnya menjadi kehidupan seolah olah, kehidupan seakan akan, dan tentu siksa yang semena mena dan amat pribadi.

Upaya apa lagi yang musti dicobakan jika kepala tak lagi berisi fikiran? Kehidupan terasa mengerucutkan keinginan dan ketidak inginan semakin melambung jauh meninggalkan alas pijakan tanah kenyataan dengan sayap sayap pengingkaran yang rajin memberontak dan berakhir dengan kesia siaan. Menerima adalah melepaskan apa yang disesali telah terjadi dan tercatat dalam buku harian riwayat diri. Mengobati luka hati punya caranya tersendiri untuk diekspresikan, yaitu dengan menyembunyikan punggung dari terpaan angin maupun hembusan udara, menyembunyikan dari terang sang matahari.

Belajar dari matahari pada jam sembilan pagi dimana embun menguap jadi misteri, adalah telaah filsafat basi bahwa hidup berjalan dalam siklus rutinnya sejak jutaan era yang telah terlampaui. Selamanya begitu begitu dan seterusnya begitu begitu saja. Sederhana. Sedangkan wujud perubahan hanya terjadi atas kuasa waktu. Menguasakan perubahan kepada jarum arloji yang berdetik pastipun selamanya membawa muatan harapan, permintaan atas rasa hati yang ideal, jauh dari aroma kekecewaan yang sama saja dengan menabur benih kekecewaan itu sendiri.

Kaki yang melangkah menjauh usahlah ditangisi, sebab tak ada satupun ayat yang bisa membuatnya berhenti menjauhi lagi. Bahkan jutaan tahunpun berisi kisah kisah yang sama juga, tentang pertemuan tentang perpisahan dan detail kejadian diantara kedua titiknya. Utamanya bagi mereka yang telah kehilangan air mata oleh sebab habis terkuras sepanjang perkelahiannya sendiri dengan sunyi setiap malamnya. Tak perlu lagi luka itu sebab sakit hanyalah soal dramatisasi rasa. Sedangkan rasa sakit selamanyapun sama. Bagitu begitu juga, begitu begitu saja, tidak berubah sejak dari sejarahnya. Kepastian yang baku tetaplah jadi misteri tanpa jawaban sampai akhirnya pengetahuan mengelupaskan kulit yang membalut kesejatian diri. Ialah jika kelak raga tergeletak tak berdaya di damai bumi bunda, disejuk tanah berdebu , dibawah rumpun bambu dimana butiran lumpur kering saling bercerita tentang kisah perjalanan menyusuri lereng bukit tanah merah, lumpur kering dari musim lalu…

Biar, lepas sudah jangkar menancap di terumbu karang, menyilakan jiwa semata wayang ditumbuhi ganggang dan menari di tempat dalam ayunan irama permainan angin harapan dan arus kekecewaan. Memang begitulah sejatinya hidup dilakonkan (?) dengan tanya yang perlahan padam. Sampai akhirnya kelak satu demi satu episode terbacakan bagi siapapun pejalan yang singgah hanya jika matahari mempecundangi gelap yang mengurung diam. Atau terlupakan begitu saja ditimbun waktu yang tak terukur dengan perkiraan...


Gempol menjelang fajar, 061018

Monday, October 16, 2006

Rumah bagi si sakit

Saudara, jika kita kebetulan miskin dan karena satu dan lain hal menderita sakit dan harus mendapatkan perawatan di rumah sakit, maka alternative ekonomisnya adalah rumah sakit pemerintah. Tetapi sebelum berangkat dari rumah, mohon di siapkan untuk satu tambahan lagi penyakit, hanya satu saja tambahan yakni sakit hati!

Memang Negara punya kewajiban untuk memelihara kesehatan warganya termasuk juga mengobati dan merawat mereka yang sakit. Untuk itulah ada anggaran kesehatan, merekrut orang orang yang berprofesi sebagai dokter, perawat, pegawai administrasi, sampai tukang kebun untuk menjalankan fungsi rumah sakit pemerintah. Jangan kecewa jika bayangan rumah sakit sebagai alat pemerintah adalah institusi yang mengemban fungsi sosial atas nama negara itu kemudian ternyata memiliki performance yang kurang baik alias buruk. Namanya pelayanan, memang selalu diharap untuk memberikan kesempurnaan setidaknya kepuasan bagi yang dilayani. Warga negara yang menderita sakit.

Calon pasien secara emosional menyandarkan harapan atas kesembuhan ataupun penanganan medis terhadap rumah sakit yang notabene dijalankan oleh elemen elemen individu yang ada di dalamnya yang di gaji oleh pemerintah. Calon pasien yang harus juga meyiapkan biaya pribadi atas jasa layanan tentu mengharap ‘hospitality’. Proses administrasi yang sederhana dan mudah juga layanan non medis berupa empati yang cukup dari setiap orang yang terlibat dalam berjalanya system rumah sakit sungguh diharapkan dari setiap pasien yang tidak selalu tidak bisa terbiasa dengan birokrasi administrasi rumah sakit pemerintah. Namanya juga sakit fisik, maka mentalpun ikutan merasakan sakit juga dengan mengharap perhatian dan kepedulian melebihi jatah biasanya, jatah orang sehat.

Kekecewaan calon pasien sudah resmi menjadi burden pertama yang akan menghambat proses kesembuhanya sendiri. Birokrasi (administrasi) yang berbelit belit, waktu tunggu yang seolah olah selamanya sampai jemu, sikap acuh dari para perawat dan staff dan juga dokter yang berseliweran membumbui sakit hati semakin sedap dirasa. Pada satu contoh kasus, si calon pasien sudah menunggu dokter selama dua jam lengkap dengan kebosanan dan sakit yang tertahankan. Ia harus rela menangguhkan rasa sakit berlama lama sedikit hanya karena dokternya belum ada di tempatnya alias belum datang, entah dimana rimbanya. Waktu menunggu dua jam itupun sebagai tebusan untuk sesi konsultasi selama delapan menit saja. Belum lagi jika dokter A merujuk ke poliklinik lain dan di jawab oleh staf bagian administrasi dengan jawaban ringan “ dokternya sudah pulang, silahkan kembali besok saja”. Maka “besok” itupun si calon pasien harus melewati birokasi administrasi yng mirip labirin bagi tikus percobaan.

Pendekatan pelayanan rumah sakit pemerintah adalah salah satu hal yang patut untuk di reformasi. Rumah sakit secara harafiah adalah rumah bagi si sakit dimana si sakit berharap menadapap perlindungan dan perawatan baik jasmani maupun rohani, mental dan fisiknya. Menempatkan calon pasien sebagai kambing congek yang tak tahu apa apa tentang seluk beluk pelayanan medis menjadikan para abdi masyarakat yang bergelantungan dari gaji subsidi pemerintah itu seenaknya melayani calon pasien dengan standar ala kadarnya. Calon dan pasien mengharapkan greget pengabdian, dedikasi terhadap aspek kemanusiaan maupaun sosial di terapkan terhadap mereka. Orang yang sakit menjadi super sensitive terhadap yang namanya kepedulian atau lebih lagi terhadap sentuhan rasa kasih sayang. Kecuali para pegawai rumah sakit pemerintah tersebut tidak pernah mengalami sakit, tentu lain lagi urusanya.

Saudara, mari membayangkan satu utopia, sebuah kondisi rumah sakit pemerintah yang mencerminkan makna ‘hospitality’ yang sesungguhnya. Calon pasien diperlakukan seperti tamu, seperti famili sendiri jika perlu, degna system manajemen yang memberikan kemudahan seluas luasnya serta kenyamanan sebesar besarnya. Pelayanan yang ept, dengan pendampingan yang bersifat individual bahkan calon pasien tidak harus menunggu berlama lama hanya untuk urusan administrasinya. Keramah tamahan dan juga sikap ‘merawat’ sejak pertama masuk pintu rumah sakit adalah setengah terapi yang mujarab bagi apapun penyakit yang kekeluhkan. Pelayananan yang seperti itu akan menimbulkan kecintaan terhadap institusi rumah sakit yang juga kebanggaan terhadap pemerintah, terhadap perasaan sebagai warga negara sendiri dan tentunya kepada negara.

Mohon maaf jika sekiranya tulisan ini sangat spesifik bagi calon pasien miskin yang mendambakan perawatan yang cepat, mudah dan murah dari negara (pemerintah sebagai pemomong, abdi warga negara) tanpa tambahan sakit hati. Anda tidak termasuk salah satu calon pasien seperti itu, bukan?

Gempol, 061016

(* Tertulis sebagai catatan atas proses panjang selama empat hari mengurus administrasi sebelum akhirnya KM bisa di operasi karena menderita Osteoma tibia dextra ujung proximal dibawah tulang sendi lutut kanannya. Tulisan ini juga sebagai ungkapan rasa terima kasih setinggi tingginya kepada perawat, staf, dokter dan siapapun yang membantu melayani kami. Semoga Tuhan yang maha pemurah membalas budi baik anda semua. Amin).

Thursday, October 12, 2006

Sebuah mimpi buruk

Syahdan di suatu kala. Di sebuah ladang dengan tetumbuhan kacang tanah yang sedang tanggung umurnya, ada seorang perempuan berjubah panjang berwarna hitam, rambutnya panjang tergerai dipermainkan angin. Ia berteriak menyanyi dan menari membinasakan tetanaman kacang tanah yang sejuk di kaki jadi pijakan. Ia bernyanyi dan menari tanda kegirangan. Perempuan itu adalah sahabat kita yang kita kenal entah kapan entah dimana, bahkan aku lupa siapa namanya. Tapi wajah dan penampilan fisiknya begitu familiar buat kita. Perempuan itu terus bernyanyi dengan suara kencang, dari mulutnya menyembur nyemburkan nyala api merah kekuningan. Engkau tergesa gesa menusulnya, aku mengikutimu dari belakang dengan kecemasan yang kusembunyikan. Di wajahmu menampak kesal bersungut sungut. Ketika sampai di ladang kacang itu engkau terdiam, menangis di ujung pematang menyaksikan sahabat kita terus menari dan menyanyi kesetanan. Jelas engkau prihatin atas apa yang terjadi di pemandangan. Sedangkan aku, melompat riang ke tangah satu petak ladang dimana sejuk lembar tetumbuhan menyapa telapak kakiku. Aku ikut bernyanyi dan bermain lidah api bersama perempuan itu.

Ada gubuk kecil disana, seorang lelaki tua bertelanjang dada dan anak kecil yang juga bertelanjang dada di sebelahnya. Keduanya diam tanpa ekspresi, kulitnya hitam, matanya merah. Sorot mata keruhnya tajam, tak berkedip memandang aku dan perempuan itu menari dan menyanyi histeris. Aku terus melompat mengikuti nyanyian sahabat kita. Dua orang bertelanjang dada itu terus mengawasi, sinar matanya menelanjangi pengetahuan tentang diriku sendiri. Di ujung pematang tempatmu berada memuja rasa kini hampa. Engkau pergi lantaran kecewa. Perempuan berjubah hitam berambut panjang itu kini gembira mendapatkan teman menyanyi dan bermain lidah api. Tiba tiba api di mulutnya tak menyala lagi. Suara gemuruhnya tak ada lagi.

Nyanyian terhenti, tetarianpun diam. Bumi kembali sunyi. Tiba tiba aku merasa ada sesuatu yang besar dan berat menubruk dan membekap punggungku dari belakang. Sepertinya seekor anjing. Ya, seekor anjing yang besar dan hitam telah mencengkeram tubuhku dari belakang. Kedua kaki depanya berubah menjadi lengan lengan kekar yang kuat memegangi muka dan kepalaku. Aku memberontak sebisanya memberontak, memberikan pemberontakan terbaik sekuat tenagaku melawan rengkuhanya yang mengerikan. Terbayang gigi gigi tajamnya siap menghujam tengkuk, dan aku berkelahi sejadi jadinya melawan. Binatang itu tak berhenti menggeram marah. Suaranya menggemuruh memenuhi rongga pendengaran mas. Aku mulai cemas akan tergigit dengan kekuatanya yang aku rasa begitu perkasa. Aku bantingkan badan ke tanah, menarik kedua tangan binatang itu agar menyingkir dari tubuhku. Tetapi cengkeramanya begitu kuat. Aku gagal pada usaha pertamaku.

Pada satu detik aku memutar badanku, menyiku ulu hati binatang itu yang membuatnya menjerit kesakitan padahal aku tidak merasakan terjadi benturan. Sedetik kemudian aku hujani binatang itu dengan pukulan sekuat tenagaku, dan setiap kali menghujam tanpa benturan binatang itu surut mengendurkan cengkeramanya di tubuhku. Setiap pukulan membuat binatang itu berganti bentuk, yang perlahan berubah menjadi sosok manusia berwajah aneh, dengan pakaian serba putih. Wajahnya benar benar aneh, tidak punya ketetapan bentuk pasti. Warna kulitnya putih pucat seperti mayat. Wajah mengerikanya tampak murka oleh pukulan yang aku hujankan ke tubunya.

Inilah kesempatanku untuk lari menjauh dari monster yang kepayahan itu. Aku berlari menyusuri lorong sempit dengan tembok tinggi disamping kanan dan juga kiri mengarah ke luar dari areal perladangan. Rasa takut, letih dan cemas menggelayut disetiap langkah yang aku ayun cepat. Mahluk putih itu mengejar dan mengikutiku berlari, bayangan keganasanya menyerimpung langkah ringanku sepanjang lorong. Dibelakangku kini tampak anak kecil tak berbaju, mukanya merah karena marah dan ditanganya menenteng senapan laras panjang. Ia ikut mengejarku sekarang. Pada sebuah cabang lorong sempit itu, aku sembunyi menyambut pengejarku. Pengganggu pengganggu ini harus selesai di tikungan ini, pikirku. Ketika aku mengintip dari sudut tembok, anak kecil bermata merah itu ternyata telah siap membidikkan senapanya tepat ke arah bola mataku dari jarak sekitar satu meter. Serta merta kuhamburkan sangkar burung yang ada di samping kiriku untuk memecah konsentrasi bocah celaka itu. Anak kecil itu terganggu, dan sekali tendang maka selesailah perlawanan bocah sok jagoan itu, pikirku. Aku keliru. Ternyata anak kecil itu lihai menggunakan senjatanya. Badanya yang kecil lincah kesana kemari menghindari serangan kaki dan tanganku.

Tiba tiba aku ingat, aku harus kembali ke ladang itu. Tika ada disana, tadi ikut serta dalam perjalanan kita. Dia pasti tidak punya pikiran lain selain menungguku menjemputnya. Sungguh anak yang polos dan baru mengerti sedikit tentang permainan hidup orang dewasa. Sejurus kemudian bocah hitam itu telah berubah bentuk menjadi seekor anjing besar berbulu hitam yang semula menyerang. Aku berkelahi lagi sejadi jadinya, kepayahan kehabisan tenaga. Tapi aku yakin aku akan bisa mengalahkan mahluk celaka itu. Sat ketika aku jatuh tertelungkup melawan seranganya yang membabi buta, dan terbangun dengan nafas memburu, tersengal sengal dengan kedua tanganku mengepal, tersentak seketika duduk dari tidurku. Satu jam tidur yang mengerikan terbawa sampai kaki menapak alam kenyataan,. Iblis iblis itu ada disekitar kita, hidup di belantara mimpi. Mereka bersembunyi menunggu saat aku tertidur lagi entah kapan, untuk menyerbu dan memaksaku berkelahi lagi…


Gempol, subuh 061012

Monday, October 09, 2006

Penjahat

Trend kejahatan menjelang tiga minggu menjelang lebaran semakin gila gilaan! Membunuh bagi perampok adalah hal yang lumrah sebab bagi mereka merampok adalah menjalankan operasi dengan misi yang jelas dan sadar akan resiko yang amat tinggi. Merampok menjadi pilihan profesi ketika menjadi maling kelas teri justru resikonya tidak sebanding dengan kuantitas penghasilan yang ditargetkan. Jambret HP sampai maling ayam atau maling sandal jika ketahuan dan ketangkap massa akab bisa mengakibatkan muka memar, kepala benjol benjol, tulang patah patah, gigi rontok bahkan bisa bisa nyawa di badanpun raib dihakimi (dihukum) beramai ramai.

Ini negeri penjahat, dimana bagi yang mampu bisa melegitimasi aksi kejahatan dengan sistematis yang sering dinamakan korupsi. Artinya sama saja; maling!. Maka bagi penjahat jalanan yang berpikiran maju dengan nyali yang mencukupi, merampok menjadi alternative pilihan yang menggiurkan. 3 miliar bisa diarup dalam satu aksi, atau paling tidak uang tunai puluhan bahkan ratusan juta rupiah bisa berpindah hak kepemilikan dalam satu gebrakan yang direncanakan matang. Tak peduli siapa yang menjadi korban, sebab dalam terminology penjahat mereka adalah target yang sudah di peta dalam perencanaan matang dengan scenario yang detail, bukan asal asalan. Mungkin ibaratnya tebang pilih dalam menentukan siapa menjadi korban. Sungguh sebuah daya kuasa yang amat besar berada di tangan para penjahat terorganisir spt ini.

Tentu hati miris setiap kita mengetahui aksi biadab para penjahat yang dengan semena mena mencabut nyawa orang yang sedang mencari nafkah bagi keluarganya, dengan sefihak mengambil alih kepemilikan atas sejumlah materi dengan paksa. Sama saja, sang penjahat juga punya dalihnya tersendiri dalam menjalankan aksinya, yakni mencari penghidupan bagi keluarga yang menggantungkan harapan kepadanya. Inilah jalur ‘formal’ bagi mereka yang memiliki nafsu material besar denga kesempatan mendapatkan secara halal sangat terbatas. Kita masih ingat nama nama yang menyeramkan dari masa lalu seperti Kusni Kasdut dari Solo, Toyib dari Palembang, Johny Indo yang kabur dari Nusakambangan, Anton Medan yang kesohor mengusai dunia hitam dst dst. Tokoh tokoh itu begitu menyemarakkan dunia perpenjahatan kita dimasa lalu. Bedanya, mereka melakukan aksi mereka dengan elegan, dengan cara yang lebih sopan meskipun tetap saja penjahat, tapi penjahat elite di masanya.

Di masa reformasi, kenapa penjahat penjahat ini begitu brutal dan main dar der dor di jalanan bak film laga buatan Hollywood yang sering kita tonton di tivi tivi?

Pertama, karena memang mereka ‘pintar’ membaca peluang dari kelengahan sang korban. Si korban sering termakan dengan anggapanya sendiri bahwa siang bolong, keramaian adalah perisai anti penjahat yang mumpuni. Sungguh naïf pemikiran seperti itu. Ah, itu hanya berlaku bagi penjahat yang pemalu, saudara! Security awareness masyarakat kita masih sangat rendah dengan menyepelekan scenario terburuk yang mungkin terjadi dengan diri kita sendiri. Padahal, di siang bolong, di kerumunan maupun di kesunyian penjahat selalu ada, mereka beraksi tanpa membedakan dimensi waktu dan ruangan. Penjahat ada dimana mana dan tidak satupun dari mereka yang bisa kita kenali sebelam kita menjadi korbanya, bahkan sesudah kita celingukan gusar menjadi korban.

Kedua, karena gampangnya memeperoleh senjata api di negeri ini. Regulasi pemerintah tentang kepemilikan senjata api yang menetapkan pajak dan perijinan dengan harga tinggi itu jusru menjadi pupuk penyubur bagi keberadaan pasar gelap senpi illegal. Negeri kita menjadi pasar raksasa yang potensial bagi banyak benda ilegal, juga sebagai surga bagi kegiatan penyelundupan. Angka pengangguran yang mencapai 10,4% baik pengangguran terbuka dan pengangguran terselubung menciptakan kondisi tingginya permintaan pasar akan ‘alat’ bekerja seperti senpi yang bisa mengahsilkan beratus kali lipat dari modal awal (jika bernasib mujur. Kebanyakan sih, mujur!). Di sisi lain ‘oknum’ aparat Negara yang memang dibekali dengan senjata pembunuh sebgai kelengkapan mengabdi kepada negeri ada juga yang kurang dilengkapi dengan bekal moral yang cukup dalam mengaktualisasikan diri sebgai pengemban kedaulatan tatanan Negara. Para oknum ini acap kali dengan ikhlas rela ‘meminjamkan’ atau menyewakan alat pembunuhnya kepada para penjahat atau bahkan terjun langsung mempraktekkan keahlian mereka memainkan senjata api dan juga membangun strategi serangan.

Ketiga, adalah abrasi budaya. Sifat ketimuran kita yang rahmah tamah sering dimanfaaatkan oleh orang berhati licik (kelak disebut sebgai sang penjahat) untuk justru mengambil keuntungan. Tatanan kehidupan yang ‘friendly’ menjadi tinggal semacam simbol, sementara dengan mudahnya kita temukan sample sample tentang kekerasan disekitar kita. Lihat saja di seinetron sinetron yang juga di tonton oleh anak anak usia ‘pencarian’ identitas diri, begitu akrab dengan kekerasan, konflik, intrik, bahkan senjata apipun telah menjadi benda yang bukan keramat lagi sebagai alat kekerasan dalam tontonan bertajuk hiburan tersebut. Abrasi budaya yang demikian parah telah mengambil jatah kendali terhadap pola pikir dan gaya hidup yang juga mengajarkan orang untuk mencintai harta apapun caranya. Kesenjangan sosial di eksploitir sedemikian rupa sehingga tanpa sadar semakin memperparah abrasi terhadap budaya kesopanan kita. Kondisi hidup yang serba kompetitif dan ketat tercipta dari abrasi budaya baru ini dan dengan alami mencari solusi pemenuhan. Akhirnya jalan pintas muncul sebagai alternatif meskipun itu dengan cara merampok, merampas menguasai hak orang lain dengan cara paksa atau kekerasan.

Nah, saudara! Buka mata, buka telinga untuk setiap inci dinamika disekitar kita. Satu hal kecil yang diluar kebiasaan bisa menjadi indikasi akan terjadinya sebuah kejahatan besar yang mungkin saja menimpa kita atau orang orang disekitar kita. Lindungi diri dan keluarga kita dari kejahatan dengan selalu mengedepankan logika pencegahan, sebab kita tidak pernah akan sadar bahwa kita telah kecolongan sebelum kita menjadi korban, dan para penjahat tidak dapat kita kenali sebelum bahkan sesudah kejadian menimpa kita. Tapi mereka ada disekeliling kita, diantara kita dan menunggu peluang untuk memilih kita menjadi target operasinya.

Ingat, kejahatan terjadi karena adanya niat, kesempatan dan kemampuan!
Waspadalah…Waspadalah…!!!!

PS. Ditulis sebagai batu pengingat atas maraknya perampokan brutal bersenjata api tiga minggu menjelang lebaran 2006.


Gempol, menjelang subuh 061009