Tuesday, October 02, 2018

Jakarta Dalam Logika





Akhirnya..…
Setelah lima tahun ditugaskan di Surabaya, dan kembali lagi ke Jakarta, kota tempat dulu pernah bercengkerama dan mengukir kisah kisah klasik perantau. Kota yang pernah menjadi bagian dari kisah hidup sekian panjang. Jakarta menyimpan keping keping kenangan tentang perjuangan dan romantisme perantauan di setiap sudutnya. 

Kini Jakarta menyambut dengan angkuh seperti biasanya. Diri merasa menjadi manusia asing yang menziarahi nisan nisan penanda cataan manis masa lalu. Ada perasaan nglangut, cenderung sedih dan hampa. Ada sesuatu tidak bisa lagi ditemukan lagi disini, tetapi tidak bisa dijelaskan apa sebenarnya yang hilang. Yang pasti ada lima tahun yang hilang, dimana selama lima tahun, kisah kehidupan dapat diceritakan menjadi film dokumenter dengan durasi putar sangat panjang oleh karena banyaknya kepingan kepingan cerita sehari hari yang terputus dan berpindah dimensi.  Kebingungan menyergap, ketika harus menyusun rencana untuk menjadi salah satu penghuni Jakarta lagi, dengan sesuatu yang benar benar nol. Ah, sungguh diri tidak punya apa apa di kota ini kecuali kenangan….

Rasanya perkembangan kota ini mengikut kepada perkembangan zaman secara global. Pembangunan infrastrukturnya begitu massive padahal baru lima tahun tertinggalkan. Kemajuan peradaban juga turut merubah wajah Jakarta. Sebagai magnet raksasa, Jakarta menyedot segala macam bentuk niat untuk datang dan mewujudkan mimpi; atau sekedar turut dalam daya hisapnya. Jalanan masih macet seperti sediakala, dan sekarang seolah olah kemacetan menjadi hal biasa yang tidak layak untuk dikeluhkan lagi. Proyek proyek infrastrukur jalan dengan aneka macam nama dengan tujuan sama yaitu mengendalikan arus lalu lintas kendaraan, menambah semrawut dan makin tersumbatnya jalur jalur pokok seperti Cawang, Mampang, Pancoran, dan banyak lagi. Logika pengguna kendaraan di Jakarta memang sudah sedemikian permisif terhadap ketidaknyamanan macet. Kondisi itu menjadi salah satu pemicu mengapa orang bisa demikian abai terhadap aturan dan etika berkendara, yang sebenarnya pelanggaran terhadap hak pengguna jalan lainnya. Golongan orang seperti itu dinamakan “ si Pa’ul”, mereka pengguna jalan yang menyandang predikat arogan yang kurang pintar; okol istilahnya.

Ada satu hal lagi yang tiba tiba membuat merasa menjadi penghuni lama Jakarta, yaitu ketika di jalan toll denging suara sirine disertai lampu biru tajam tiba tiba menyela dari belangan kerumunan macet, meminta orang lain mengalah dan meberikannya jalan. Motor atau mobil polisi membuka jalan untuk serang pejabat negara.  Dibelakan kendaraan polisi biasanya akan meluncur lancar mobil mewah entah siapa isinya. Betapa geregetannya dengan situasi seperti itu, karena si pejabat dalam mobil mewahnya begitu arogan hanya karena dia menjabat. Polisi pengawal dengan sirine mendenging atau menyalak nyalak seperti suara anak anjing, memaksa pengguna jalan lain yang dianggap tidak penting memberi jalan. Cuma kali ini, intensitas nguing nguing itu semakin sering dan semakin banyak. Terkadang ada juga kendaraan tentara melakukan hal yang sama. Meminta prioritas! Bahkan kendaraan kendaraan dinas berplat merah pertanda milik pemerintah. Penggunaan bahu jalan menjadi hal yang biasa dan seolah dibolehkan asal mereka adalah pejabat. Sungguh aneh dalam logika, sebuah kemunduran budi pekerti akibat dari kemajuan zaman itu.



Pejabat yang digaji oleh negara idealnya adalah abdi pelayan masyarakat. Mereka yang menjadi pejabat semestinya yang melayani kepentingan seluruh rakyat dan menempatkan rakyat sebagai prioritas. Logika ini kebalik dengan situasi nyata yang sebenarnya. Kebanyakan orang yang memiliki jabatan di pemerintahan cenderung songong atau arogan. Serba dilayani dan diistimewakan layaknya juragan. Sebagian besar pejabat menganggap diri mereka terlalu penting dan berharga dimata orang lainnya, sehingga layak untuk diperlakukan dengan istimewa. Meskipun dimaklumi karena Jakarta adalah ibu kota, dengan jumlah pejabat yang begitu banyaknya. Sangking banyaknya, maka hampir tiap menit akan lewat satu rangkaian arogansi minta keistimewaan di kemacetan jalan tol. Polisi pengawal itu ibaratnya adalah pengejawantahan dari cikal bakal kesatuan kepolisian di Indonesia, yaitu Jayengsekar.

Dahulu, pada masa tahun 1880an ketika Hindia Belanda dipimpin Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, orang orang kaya dan terhormat berhimpun untuk menyewa sepasukan orang terlatih untuk menjaga badan, harta dan kepentingan mereka. Perhimpunan itu diakomodir oleh pemerintah kolonial, dengan merekrut sekelompok orang professional dan dilatih kemiliteran, dengan tungganan kuda pilihan. Anggotanya kebanyakan diambil dari resimen pasukan khusus dari kraton Mataram, di rekrut dan dipekerjakan untuk kepentingan pemerintah kolonial. Maka terbentuklah Jayengsekar yang tugas pokoknya membela kepentingan sang juragan kaya dan terhormat tapi dibawah panji pemerintahan kolonial. Anggota pasukan Jayengsekar adalah lelaki pribumi gagah, berseragam beludru merah, dengan sepatu dan topi kulit, pedang dipinggang, bedil di sandang, menunggang kuda sehat dengan bulu punggungnya yang mengkilap. Pasti gagah sekali! Polisi nguing nguing di kemacetan jalan tol itu nampak sebagai agen agen Jayengsekar yang mengendarai kuda bermesin dengan gagahnya, dan menghardik siapa saja yang merintangi kemewahan tuannya.

Tetapi patut juga berterimakasih kepada pejabat dan polisinya yang menyela kemacetan, supaya tidak sepenuhnya merasa sebal dan mengumpat dalam hati. Berterimakasih karena sedikit banyak pengalaman dan endapan pemikiran itu membawa ke suatu persaan tidak asing dalam kepulangan ke Jakarta lagi. Itulah bagian dari kesemrawutan yang menjadi salah satu warna Jakarta sejak bertahun tahun silam.

Hm, Jakarta ini memang luar biasa istimewa, dimana banyak orang akan merasa tidak cocok untuk menjadi bagiannya.

-        To be continued –

Gempol 181002

Friday, August 31, 2018

Rechtsstaat

Jumat Legi Sore, Jam 15.30 WIB.
Jalan Raya yang dibangun Gubernur Jenderal Daendles 1808 silam yang terkenal dengan ruas jalan Anyer – Panarukan, atau juga Jalan Raya Pos, alias jalur Pantura, ruas Malang menuju Surabaya telah menjelma menjadi medan lalu lalang  sangat sibuknya kendaraan dan pengguna jalan lainnya. Kebetulan di KM 5.4 jalan tersebut kondisinya agak menurun, sehingga kebanyakan kendaraan yang lewat meluncur deras. Sore yang cerah, malam minggu dan baru tanggal 4, tanggal muda dan nampaknya semua orang bergembira menikmati proses hidup yang melewati malam Minggu.
 
Jalan itu adalah gerbang utama menuju pabrik, yang menghubungkan antara jalan masuk ke pabrik dengan jalan raya, jalan provinsi warisan colonial. Tiga orang petugas security berjaga, dan tugas utamanya adalah mengamankan para penyeberang jalan yang akan memasuki pabrik dan keluar dari area pabrik. Tugas mulia karena mereka menjaga keselamatan sebagian pengguna jalan dalam menyeberang arah, untuk melanjutkan proses kehidupan dengan rencana masing masing. Untuk menjalankan tugas itu bapak bapak petugas security menempatkan diri dalam resiko tinggi dari ancaman menjadi korban kecelakaan, tertabrak ataupun sengaja ditabrak oleh pengguna jalan yang merasa tidak senang hati karena merasa perjalanannya terganggu. Bukankah setiap pengendara saat ini merasa menjadi raja jalanan dan menganggap orang lain harus bisa memaklumi kekuasaanya atas jalanan? Ketidak sukaan kadang juga di lahirkan dalam bentuk umpatan bahkan maikian kepada petugas yang terpapar langsung dengan kepentingan public. Sungguh profesi yang mulia para security, yang mengesampingkan keselamatan diri sendiri untuk menjaga keselamatan orang lain.
 
 Jalan raya adalah jalan umum, dimana setiap orang memiliki hak yang sama untuk menggunakannya, dan semua harus patuh terhadap aturan maun yang diberkalukan agar semua menjadi tertib teratur. Aturan paling tinggi adalah etika, dan etika itulah yang saat ini mengalami degradasi di masyarakat. Pelanggaran banyak terjadi dan seolah dibiarkan, sehinggal lama lama orang menganggap itu bukan pelanggaran lagi. Tetapi secara etika, setiap manusia pasti menyadari perbuatan yang benar atau salah, yang patut atau yang tabu. Orang orang yang taat pada aturan umum dan etika sosial, adalah mereka adalah orang yang cerdas.
Pergantian shift pagi keshift siang baru saja terjadi. Petugas jaga baru menempati posnya dengan menyiapkan diri sebelumnya, mengikuti apel, mendapat pesan dan pengarahan lalu bertugas sampai delapan jam kedepan. Petugas jaga lama telah bersiap diri untuk balik kanan atau meninggalkan lokasi. Petugas jaga lama memberikan briefing singkat mengenai hal hal yang terjadi pada shift regunya, sedangkan petugas jaga baru menerima pesan estafet untuk tugas tugas yang harus menjadi perhatian sebagai kelanjutan dari tugas shift sebelumnya. Petugas jaga lama bergegas berkemas untuk meninggalkan pos dan kembali kepada kehidupan Pribadi masing masing, membaur menjadi anggota masyarakat biasa diluar penugasannya.
Tepat sebelum tiga orang anggot security besiap meninggalkan lokasi dengan sepeda motornya, keriuhan tiba tiba datang dari arah Malang. Seseorang bereriak keras, memperingatkan bahwa ada pencuri yang melarikan diri. Sontak saja enam petugas security yang masih berada disekitar pos melakukan penghadangan terhadap seorang pengendara sepeda motor yang diteriaki sebagai maling dan secara reflek membantu menangkap si pelarian. Senjata api terdengar diletuskan, sebelum tiga orang dengan pistol di tangan tiba tiba turut meringkus si pelarian dan mengambil kuasa dari tangan para petugas security yang menangkapnya. Kejadiannya di tengah jalan, dengan tidak memperdulikan arus lalu lintas ataupun hal lain yang terjadi disekitar tempat kejadian. Rupanya telah terjadi penangkapan pelaku yang disangka terlibat dalam perdagangan narkoba, dilakukan oleh tiga petugas polisi dari POLDA. Si pelarianpun tertangpak sudah oleh polisi, yang kemdian membawanya serta ikut ke dalam sebuah mobil yang digunakan, lalu melaju meninggalakan tempat kejadian menuju ke arah Surabaya.
Si pelarian masih berusaha memberontak dan melepaskan diri dari sergapan tiga petugas polisi yang memganinya dan berusaha untuk melakukan penahanan dan pemborgolan. Tiga orang petugas security masih membantu polisi untuk mengendalikan si pelarian yang masih mengenakan helm berwarna kuning gading. Mereka ingin memastikan bahwa polisi berhasil membawa si buronan sampai selesai. Dalam prosesnya, pas ketika si buronan melepaskan helm, seorang petugas security terlihat mengayunkan kaki ke arah perut si buronan dan berulang sebanyak beberapa kali. Si buronan tampak kesakitan, meskipuan tetap berusaha sekuat tenaga melepaskan diri dari penahanan, sampai akhirnya tidak berdaya digiring menuju ke dalam mobil yang menunggu.
Suasana chaos yang timbul dari proses penangkapan perlahan berangsur normal. Tersisa beberapa orang bergerombol berbicara satu sama lain di depan pos security, seperti menceritakan kejadian yang baru saja terjadi menurut versi kepahlawananannya masing masing. Tetapi sebagian besar dari yang ada dalam kerumunan adala kepoman, mereka yang penasaran untuk tahu kejadian yang sebenarnya dan mendengarkan kesaksian dari orang yang mengalami langsung; para petugas security di pos lalu lintas! Kepenasaran menimbulkan kemacetan yang makin berkembang karena penasara seseorang menular kepada kepenasaran orang lainnya. Di area public, kepenasaran berkembang bagaikan bola salu, mengakibatkan penyumbatan arus lalu lintas yang ramai dan deras di Sabtu bulan Agustus itu. Beruntung proses rekonstruksi audio visual tidak berlangsung lama hingga jalanan raya warisan Daendles kembali normal seperti sedia kala, menjalankan fungsinya dalam menyambut malam minggu malam yang gembira. Libur akhir pekan telah tiba!
Kesokan harinya ketika hari masih pagi, berita pecah; keluarga terduga pelaku kejahatan yang ditangkap polisi datang ke Mako untuk meminta petanggung jawaban berupa ganti rugi uang, lengkap dengan jumlah nominal sepuluh juta rupiah! Keadaan menjadi keruh ketika permintaan itu dirasa mengada ada dan bentuknya adalah pemerasan. Logika yang terbailk memang belakangan menjadi semakin umum dan seolah dapat diterima oleh khalayak. Indonesia yang negara Hukum idealnya diisi oleh warganya yang taat pada hukum dan menempatkan aturan hukum sebagai panglima yang ditaati dan dipatuhi. Kenyataan sehari hari tidaklah seindah utopia bahkan cita bangsa yang digagas oleh pendiri negeri dengan hati bersih.
Ujung ujung dari insiden penangkapan terduga pelanggar undang undang oleh apparat hukum pada Jumat sore itu adalah hitung hitungan angka nilai ganti rugi. Segala hal yang berkaitan dengan pemberitaan memang bisa diputar balikkan dan disesuaikan dengan kepentingan tertentu. Perlawanan tentu ada, karena dari setiap satu konflik akan timbul bermacam macam versi cerita menurut persepsi sang pencerita. Dan atas pertimbangan aneh, tawar menawar uang kompensasipun terjadi. Terjadi antara pihak terduga pelaku kejahatan dan satpam yang diwakili perusahaan penaungnya. Pertimbangan yang paling tidak masuk logika adalah bahwa demi menjaga ketenangan dengan lingkungan sekitar tempat bekerja!
Intinya adalah bahwa dalam kasus ini, lingkungan lebih berkuasa dari hukum apapun di dunia. Praktek praktek arogansi mengatasnamakan lingkungan, mengatasnamakan kelompok organisasi, mengatasnamakan isntitusi adalah contoh nyata aksi negative yang bebas bergerak di negeri yang dipagari dan mengusung platform hukum. Ironis memang, tapi mungkin itu sudah menjadi kehendak zaman. Apakah semua itu tidak terdeteksi oleh aparat hukum yang semestinya menjunjung tinggi slogan fiat Justitia ruat caelum?  Tidak sepenuhnya benar, karena aparat hukum bertindak pasif dan memiliki banyak sekali pertimbangan yang dapat memandulkan pemahamana mengenai penegakan hukum meskipun langit akan runtuh itu.
Pada akhirnya dari banyak konflik kepentingan akan bermuara kepada uang. Tidak mengherankan karena memang zaman telah membawa peradaban pada fase budaya konsumtif. Ketidak mampuan orang untuk menyeimbangkan antara kemampuan dan gebyar keinginan konsumsi akhirnya melahirkan banyak cara untuk korupsi, untuk mengukur segala sesuati dari sisi materi. Tehnologi semakin maju selaras dengan zaman, dan peradaban mengalami kemunduran sejalan dengan kemajuan yang disertai kemudahan serba instant.
Sudah semestinya kita bersyukur dapat menyaksikan semua dinamika itu, sambil menyadari sepenuhnya bahwa kita tidak mungkin bisa sendirian menciptakaan utopia.
 
Sukorejo 180831