Sunday, September 10, 2006

Hak menolak bertanggung jawab

Berputar putar pada lingkaran api, dua sayap patah ditimpas murka; kesabaran dan keikhlasan yang meletih membawa badan wadag yang semata wayang. Mencoba memberontak dari lingkungan dendam, hanya perih yang datang sebagai jawaban. Besi yang menancap di kepala terlalu perkasa untuk dipura purai keberadaannya, dengan makian dan hinaan sebagai palu godam penegas dominasinya.

Jika saatnya tiba, tanggung jawab atas beban tak berguna hanyalah pabrikasi dari sang iblis yang memaksa diri menjadi manusia mulia tanpa kemuliaan belaka. Semangat membandul menjadi beban ketika selembar kertas mengikat sebuah keharusan yang maha berat. Ya, tanggung jawabpun bisa berubah menjadi hak apabila kemudian ternyata hanya kesia siaan semata mengharap buah dari pengharapan yang ditebar acak di ladang tenggang rasa. Semestinya keikhlasan adalah melepaskan harapan atas apapun dan kesabaran adalah ketika diri harus tanpa batas mengukili sedikit demi sedikit keinginan yang menjadi tujuan serta menyingkirkan sesenti demi sesenti lapisan ketidak inginan.

Ludah didinding tembok dan sumpah serapah menghambur diudara menjadi puing penimbun hati yang berlobang menganga, mengkamuflasekan sejarah seolah sebuah jiwa tak punya rasa untuk sekedar merasakan luka. Lalu datanglah letih itu yang menyuguhkan kue kue alternatif sebagai penawarnya, opsi opsi pemberontakan atas lingkaran api yang mengurung dan membingungkan nurani. “Engkau punya hak untuk hidup yang lebih baik dari ini” kata hati memprovokasi semangat pemberontakan. Begitulah jika harapan hanya berbuah mentah setelah sekian lama diharap bisa jadi jamu pembangkit energi.

Jika tanggung jawab boleh diambil sebagai hak, maka menolak bertanggung jawab atas beban yang bukan kepunyaanpun semestinya bisa digolongkan sebagai hak yang boleh diambil dan diperjuangkan kapan saja. Sedikit mengabaikan hukum sebab akibat, setelah terbukti hukum itu hanya permainan atas pemutarbalikan fakta semata. Mengambil hak menolak untuk bertanggung jawab adalah sama halnya dengan memutus satu mata rantai dari lingkaran api yang membelenggu menguruskan diri. Ternyata sekian lama waktu bisa tidak bermakna apa apa bagi sebagian orang, ternyata tidak semua orang bisa mengambil pelajaran bijak dari pengalaman. Dan dalam cerita dunia, selalu ada orang yang mengambil porsi beban melebihi haknya atas nama kewajiban yang didoktrinkan oleh nurani, atau kewajiban yang dipakasakan oleh selembar kertas bukti dari cinta yang dilembagakan.

Saudara, terkadang kita terlalu memaksakan diri untuk memenuhi harapan orang lain terhadap kita, juga memaksakan diri untuk merasa berbahagia atas ketidak bahagiaan yang terjadi dalam hidup kita. Lebih ngenas lagi, sebagian dari kita menganggapnya sebagai tanggung jawab yang melekat dipundak, dengan pemahaman tentang tanggung jawab sebagai galah pengukur kualitas seorang manusia...

Gempol, 060910