Friday, September 20, 2019

Pecandu Koreng


#25

Lalu kenapa kamu korek korek lukamu lagi? Koreng memang gatal, seperti mengharuskan kita untuk selalu menggaruknya, memberikan rasa nyaman sejenak karena seakan luka itu diperhatikan. Tetapi sesudahnya akan meninggalkan lobang menganga berupa koreng baru dengan kedalaman yang lebih dalam lagi. Terutama ketika tidak ada hal lain didunia ini yang harus dihadapi kecuali serangan demons yang membabi buta, meniadakan hari malam dan membakar ketika siang. Mereka begitu lihai menghasut hati untuk tetap tunduk merunduk pada ego yang menjulang. Apa daya, semua peristiwa memang hanya ada didalam dunia hati, dunia angan angan dan perasaan belaka. Mencernanyapun dengan hati karena memang keadaan sampai separah inipun sebenarnya inti masalahnya adalah perasaan; urusan hati. Bahkan tidak ada satu orangpun yang akan sanggup memahami betul apa yang menyebabkan begitu kuat tekad untuk memilih jalan perih.

Memang hampir mustahil dapat menyelami perasaan seseorang secara persis. Yang ada paling adalah empati dalam bentuk melibatkan diri ke dalam perasaan orang tersebut, setidaknya membagikan kepedihan yang sama. Selebihnya dikendalikan oleh logika biasa, logika umum yang juga banyak disetujui orang karena memang sesuai dengan atuaran kepantasan dan norma sosial. Berpikir logis, atau bersikap dengan menggunakan alasan logika, tentu saja akan mengabaikan kepentingan hati. Logika menunjukkan jalan terang menuju depan dengan rambu rambu yang sudah jelas bisa menuntun sampai ke ujung tujuan hidup kelak. Bahwa norma  sosial dan etika kemanusiaan yang berlaku di masyarakat umum juga berlaku bagi siapapun. Tidak peduli dia adalah perayu ulung, pemikat hebat, atau penyinta yang luar biasa. Logika juga samasekali tidak fleksibel tidak seperti hati yang kadang seperti karet, melar sana melar sini, mekar, mengkerut lagi. Seperti selayaknya benda hidup, bergerak dan berkembang mengikuti arus suasana yang mudah berubah dan berganti haluan. Apalagi jika datang saatnya bosan! Logika bersifat kaku, memaksa dan rajatega.

Jika hati menghendaki sesuatu yang diyakini sebagai sumber  kebahagiaan abadi, maka kekuatanyapun akan mengalahkan sang logika. Peperangan batin atau perang fiksi tentu masih akan terus terjadi sampai lama lagi karena logika tidak akan menyerah begitu saja dan terus menghasut akal supaya tahu menempatakan diri. Sayangnya hati adalah tempat egosentris berpusat dimana fungsinya untuk kepentingan mempengharuhi laju jalannya cerita kehidupan umat manusia dan peradaban. Masalahnya  kondisi hati yang seperti dikisahkan diatas tidaklah sehat, sedang sakit tuna grahita untuk urusan duniawi. Setiap orang memiliki cara pandang dan cara pikir sendiri yang kesemuanya dikendalikan oleh hati. Kekuatan inti dari semua kejadian di atas muka bumi adalah karena kemauan hati, karena ketidak mauan hati. Itu saja!

Sang logika menggandeng akal akan terus memamerkan norma norma, aturan kepantasan, etika moral, kecerdasan emosional, kepekaan sosial dan lain lainnya dan kesemuanya pasti masuk akal sehat, aman dan nyaman dunia akhirat. Terkadang niat baik dari sang logika diartikan sebagai demons oleh sang hati, iblis yang berpesta tepat ditengah luka. Seperti belatung menggerogoti bagian tubuh hidup yang membusuk. Segala hal yang merugikan dan tidak mengenakkan dipropagandakan, segala macam dalih tentang tenggang rasa dan iba dikampanyekan. Intinya hanya satu, meminta hati untuk menghentikan aksinya yang sudah menyalahi aturan sosial yang ada dan sudah seharusnya ditaati bersama; norma sosial.

Hati bermahkota batu, meyakini jalan perih adalah jalur rintisan setapak menuju bahagia. Berbekal kisah perjalanan perjalanan ajaib dan transformasi perasaan yang gaib, keyakinan terbangun seiring berkembangnya perasaan. Segala sesal, rasa bersalah, kecewa, marah dan sedih berbaur silih berganti bagai badai yang tidak kunjung berhenti. Dan sang hati hanya menganggapnya sebagai dinamika yang akan membentuk sebuah kaldera baru nanti jika badai sudah mereda. Kaldera yang belum tersentuh oleh kehidupan apapun sehingga nanti cukup untuk menempatkan segala sesuatu dari masa lalu sesuai dengan kriteria dan tempatnya  yang terjaga.

Sementara itu gatal pada koreng tak akan berhenti menyiksa. Tindakan gegabah dengan mengorek pada koreng itu justru dinilai sebagai cara menikmati luka. Padahal, siapatah yang menghendaki luka, kecuali mereka yang sedang sakit jiwa. Sehingga orang lain, sesuai dengan standard logika umum, dengan enteng akan menganggap bahwa ia tidak lebih dari seorang pemelihara luka dan pecandu koreng. Play victim! 



happy birthday, buderfly!



Pabrik 190920