Friday, March 31, 2006

Bapak bapak anak anak

Bermain air, berenang renang kesana kemari dan melakukan ‘manuver-manuver’ aneh di kolam air untuk fun menjadikan sifat asli kanak kanak muncul lagi. Dikolam dengan segala fasilitas permainan yang ada puluhan manusia terapung apung, manusia ukuran bersar dan kecil, semua anak anak!

Taman air Eldorado mengingatkan masa kecil ketika air membawa sukacita yang meniadakan dimensi waktu. Banjir sungai setelah turun hujan, dengan arus yang kuat dan air berwarna coklat tanah. Sungai yang melulu berisi benda benda murni dari alam, pasir sebagai dasar endapan dan bebatuan kerikil bersih ditepi setiap bantaran dengan karang disetiap sisinya.

Eldorado membawa kembali kenangan masa kanak kanak yang perlahan menjadi usang. Kebahagiaan tiba tiba membuncah entah datang dari mana, dia menghilang begitu lamanya, tenggelam dalam realita muram kehidupan manusia dewasa, terkubur oleh pernik pernik peradaban dan tali hubungan yang merapuh ditikam usia.

Masa kanak kanak, sungguh adalah fondasi bagi sebuah kedewasaan…


Eldorado Water Park Cibubur, 060331

Wednesday, March 29, 2006

Membangung karakter dengan dongeng

Radio RRI Madiun pada jam setengah lima sore pada 1977an, setiap hari Jum’at pak Har akan membawakan dongenganya dalam bahasa Jawa. Suaranya yang terdengar khas bijaksana dan intonatif selalu mengantarkan cerita cerita yang selalu menakjubkan, tidak rugi menanti seminggu penuh setelah cerita yang berdurasi setengah jam tanpa iklan itu. Dongenganya membuat dunia otak anak anakku secara naluriah mencari dan menggabungkan inti makna cerita. Dirumah Mbahe, dari radio merk National dengan tulisan hitam Nusantara dalam cetakan miring, radio dua band dengan dua tombol bertuliskan suara dan gelombang. Dan mika transparan pelindung angka penunjuk gelombang frekwensi yang kutandai dengan garis dari pisau lipat, angka dimana Pak Har selalu datang setiap Jum’at sore untuk ‘putra putri’ nya yang setia.

Masa itu memang dunia hanya berisi sesuatu yang serba penuh keingin tahuan dan mudah sekali berkembang menjadi angan angan panjang, bahkan sebagian tertanam menyatu dengan darah dan otak, latar belakang kepribadian. Mbahe juga suka mendongeng, tentang hal hal yang bagiku serba mungkin dan memang ada, entah didunia sebelah mana yang nanti akan aku jelajahi kalau sudah dewasa. Mendengarkan Bue membacakan cerita dari buku pinjaman dari perpustakaan sekolah adalah masa yang luar biasa indah, menjelang tidur. Itulah waktunya Bue menitipkan mimpi indah bagi anak anaknya yang mencerna esensi cerita dengan caranya sendiri sendiri dalam bathin. Gaya Bue membaca dan juga sampai ke detail dialognya menayangkan gambaran multivisi dalam otak, serba indah, tentang dunia antah berantah disatu tempat dibumi ini juga.

Impresi tentang si baik hati, si malang, si licik jahat, si tekun, si cerdik dan karakter karakter lainya pasti ada dalam cerita Pak Har, Mbahe, Bue maupun dalam buku bacaan dongeng. Setiap karakter membekas sebagai sebuah cermin dalam dunia permainan selepas cerita itu menghilang dari pendengaran maupun ketika kata terakhir dari cerita ditulis ‘sekian’ atau ‘selesai’ atau ‘bersambung’ sekalipun.

Betapa kaya dunia anak anak dulu dengan dongengan dongengan indah, dari legenda, fabel sampai sekedar fiksi belaka, semua merangsang otak untuk mencari dan membuktikan kebenaranya nanti jika dewasa. Fabel dimasa kanak kanak tentu bukan cerita konyol jika kita memandangnya sekarang. Dunia anak anak siapapun orang dewasa pasti pernah melewatinya, dan masih bisa biarpun sedikit menengok kembali rasanya, cara memandang sesuatunya.

Ketika televisi tiba tiba menjadi benda yang menjamur, tokoh tokoh dongeng ini berganti serta merta dengan tokoh tokoh kartun, jagoan jagoan tak terkalahkan dan alat alat tehnologi diluar jangkauan akal pemikiran, yang justru menciutkan nyali untuk kelak melakukan pembuktian atau pencarian. Terlalu gamblang menyugukan ketidak mungkinan kecuali kesan, bahwa lebih jauh lagi dibelahan bumi yang lain sana orang sudah punya super hero yang individual, bisa terbang, tak terkalahkan dan berwajah tampan. Kekuatan kekuatan gaib dimiliki sebagai sarana pemberantas kejahatan sampai menghancurkan monster yang mengancam keutuhan planet bumi. Haih!

Dan zaman semakin instant. Dunia pandang anak anak tak berubah dari sejak tahun satu. Dunia imajinatif yang kemudian menjadi pijakan arah uraian langkah langkah sikap sepanjang perjalanan umur menyikapi setiap kejadian yang menghampiri sepanjang masa penghabisan umur. Menjadi karakter sebuah kepribadian setelah menginjak dewasa kelak.

Cerita dongeng, selalu mengandung pengetahuan dan nilai moral yang sederhana dan dapat dengan mudah dicerna oleh mesin berfikir anak anak, karena sesuai dengan pola fikir kanak kanak. Setiap dongeng selalu mengajarkan tentang perjuangan hidup, meniadakan tembok tembok sosial seperti etnis, agama, suku, dan asal muasal. Dongeng adalah konsumsi anak anak yang universal. Anak anak berlajar sesuatu dari dongeng dan yang utama mengenal norma norma sosial. Dongeng dapat membangun karakter kepribadian, tapi sayangnya hanya sedikit orang tua yang memiliki kemampuan mendongeng yang baik, yang sanggup meng’hipnotis’ sang anak untuk memasuki dunia cetakan karakter yang atraktif sekaligus menghibur.

Tanpa harus mengadopsi cerita kepahlawanan yang ngoyoworo dari negara lain seperti tokoh tokoh komik maupun kartun, Indonesia memiliki kekayaan dongeng dan legenda yang jika dikemas dengan apik dan kemudian semua orang tua peduli kepada anak untuk menyuguhkan itu kepada anak anaknya, dengan pesan moral yang bukan diktatif , maka atas ijin Tuhan pembangunan karakter bangsa itu akan tetap masih bisa dilakukan, dengan fondasi yang benar untuk menopang bangsa yang besar. Kelak, anak cucu kita akan memiliki identitas nasional sebagai bangsa Indonesia, dan kita di akherat akan ikut bangga.

060329

(Hormat dan salut untuk Mas Bambang Bimo Suryono - Jogyakarta)

Tuesday, March 28, 2006

DeKa

Namanya Asmar Doni, lelaki kelahiran Bonjol – Pasaman Sumatera barat, ia adalah satu dari sedikit teman laki laki yang sampai ke tahap all out, sangat akrab dan merasa klick. Don King aku menjulukinya, dan cukup memanggilnya dengan DeKa.

Di tengah lebat hutan Teso Nilo - Riau sekira empat tahun silam kami menjalani kehidupan bersama sama, dua pribadi dari dua dunia belakang yang sangat berbeda dan kemudian menjadi satu kesatuan warna yang saling melengkapkan. Deka si flamboyan menempatkan diri sebagai “adik hati” yang bagiku lebih kuanggap sebagai ‘sahabat hati’.

Kebersamaan selama hampir dua tahun itu melalui begitu banyak suka duka bersama, atau mungkin suka bersama. Sedikit sekali kami berduka dalam kungkungan penugasan yang begitu berat dan berpindah pindah tempat itu. Tempat favorit kami sama, di hedges nuersery Teso Timur, dimana akasia disemaikan dan kerap jadi santapan gajah liar.

Deka rasanya juga selalu menyertaiku dalam tugas tugas lapangan, menjelajah gelap malam ditengah hutan sambil menikmati indahnya berada di alam, atau meleati moment moment mendebarkan ketika harus berurusan dengan sindikat pencuri kayu yang mengklaim bahwa pohon yang ada dihutan adalah milik Tuhan, dan mereka bebas menebangi dan mengangkutinya dengan tronton untuk dijadikan uang belanja, dan sebagian foya foya. Ya, kamipun melakukan hal hal gila bersama sama, lebih banyak tertawa dan mengisi hari hari kami dengan kebersamaan yang menyenangkan.

Kebersamaan kami berkahir tatkala aku memilih untuk berhenti dari penugasan itu. Sesudah itu komunikasi kami menjadi sangat terbatas, dan kemudian perlahan mengendur dan lalu menjadi jarang karena kesibukan masing masing. Pertemuan yang benar benar terakhir adalah pada penugasanku di Duri – Riau. Kami bertemu sebentar, kemudian berpisah hingga sekarang.

Hingga kini, Deka tetap tersimpan dalam hati, menjadi sahabat yang tak pernah pergi dari tempatnya yang paling tersembunyi, dipalung hati. Kehilangan komunikasi dengannya tidak lantas mematikan keberadaanya dalam sanubari. Seluruh kenangan yang pernah terlewati terpatri abadi, menjadi catatan manis perjalanan riwayat diri untuk cerita bagi anak cucu kelak.

Deka, sahabat yang tak pernah pergi dari hati, hari ini hari ulang tahun baginya.
Selamat ulang tahun sahabat hatiku, semoga bahagia dan sejahtera selalu hidupmu…entah dimana...


Gempol, 060328

Monday, March 27, 2006

Cinta Azas Kasihan

Sebuah perbuatan yang timbul dari rasa kasihan adalah bentuk kepedulian yang paling hakiki. Empati, panggilan nurani untuk berbuat sesuatu diluar kepentingan diri pribadi. Rasa iba, yang mengetuk jiwa untuk kemudian menggerakkan niat dalam satu bentuk entah melibatkan materi ataupun tidak, tetaplah sebuah bahasa purba kodrat manusia.

Idealnya rasa sayangpun atas azas kasihan, bukan pemujaan terhadap satu pribadi. Rasa sayang yang berazaskan kasihan jauh lebih murni ketimbang ketertarikan badaniah, atau bahkan ketertarikan non badaniah. Azas kasihan tentu akan mengabaikan hukum materi, sebab ia lahir dari perasaan paling murni. Bukankah iba itu hakekatnya menempatkan rasa kasihan secara proporsional terhadap sesama, dan menyayangi adalah efek kembar dari mengasihi?

Orang tentu punya persepsi yang berbeda beda tentang ukuran kasihan ini. Ketika kita melihat anak kecil dijalanan yang mengetuk kaca jendela mobil dan mengharap kepingan uang receh berpindah ke tangannya, belum tentu menghadirkan rasa iba itu. Kesanggupan seseorang untuk menterjemahkan pandangan mata dan bahasa tubuhlah yang bisa menterjemahkan makna yang sesungguhnya. Pada skala yang berbeda rasa kasihan dijabarkan melalui banyak cara dengan menghasilkan banyak reaksi berbeda beda. Dan salah salah, orang yang memiliki sense of empathy yang rendah secara impulsif akan menilainya sebagai suatu pribadi yang pathetic; mengasihani diri.

Rasa kasihan yang timbul karena penderitaan, karena kadaan orang lain secara otomatis menimbulkan rasa yang kuat untuk ingin terlibat, ingin peduli dan ingin berbuat. Perbuatan atas azas kasihan sepenuhnya didasari pada tuntunan moral tanpa menghitung untung rugi apalagi kepentingan diri. Diatas semua itu, sebuah perbuatan yang didasari azas kasihan melahirkan efek kedamaian, kebahagiaan dan yang pasti rasa bersyukur bahwa diri lebih beruntung ketimbang orang lain. Impact positifnya adalah bahwa si yang terkasihani secara bertanggung jawab akan mengemban perasaan agung itu dalam sikap berterimakasih, bukan terbebani dengan hutang budi. Pembalasan dengan terimkasih memiliki standar penghormatan tinggi, imbal balik dari ketulusan dari dua rasa dasar manusia; iba dan bereterimakasih.

Adakah lalu cinta yang berazaskan kasihan? Kebanyakan orang merasa harga dirinya terendahkan ketika orang memandang dengan kasihan, menganggap diri lemah tak berdaya dalam pandangan penuh iba, terlunta lunta dan sebagainya. Cinta yang timbul dari rasa kasihan adalah ketulusan yang sebenarnya. Sebab azas kasihan menempatkan cinta pada sudut yang paling tepat dimana rasa iba atau kasihan melingkupi keinginan untuk berbuat selalu baik dan selalu menolong. Itulah makna cinta yang sejatinya, dimana kemudian orang menyimpulkan dalam tali perkawinan dengan harapan bahwa cinta akan membuat seseorang menjadi teman hidup yang sejati. Kebanyakan cinta datang dari rasa memuja, rasa mengagumi dan menginginkan, kemudian menggunakan topeng kasih sayang sebagai lambang, bukan atas azas kasihan.

Biarkan rasa kasihan menguasai diri dan bekembang menjadi rasa sayang, sebab dengan begitu kata ‘perceraian’ sungguh tak diperlukan, dimana perkawinan hanya menjadi formalitas bagi sebuah komitmen main main untuk menentukan seseorang menjadi teman hidup. Memilih teman hidup atas dasar kekaguman dan pemujaan hanya akan menuai kekecewaan ketika kadar kekaguman dan pemujaan itu aus digerus laju sang waktu. Lebih parah lagi jika keausan itu dipelintir sedemikian rupa menjadi sebuah alasan untuk berselingkuh, membentuk dunia baru diluar lingkaran dunia yang fungsinya hanya satu; menghancurkan. Sungguh, cinta seperti itu samasekali tak mengenal istilah azas kasihan. Ironis bukan, cinta yang mengatas namakan kasih dan sayang justru mengabaikan maknanya yang paling sederhana.

Sejenak kita berfikir, kapan terakhir kita merasa kasihan terhadap teman dalam hidup kita, kemudian orang orang sekitar kita? Azas kasihan, akan membuat dunia hanya melulu berisi kedamaian…


Gempol, 060327

Saturday, March 25, 2006

Sebuah Drama Pengingkaran Fakta

(sebuah kontemplasi akhir pekan)
Sungguh mudah terbaca hanya dari kata kata, betapa sepi sanggup melilit hati dengan keterperosokan dalam gelap fikiran. Suara yang membentur dinding tebal dan dingin membeku dijarak dua sentimeter dari wajah seperti hanya diperuntukkan kepada telinga sendiri, sebab semua telinga berada ribuan mil jauhnya dari letak keberadaan.

Lalu mengalirlah rindu kepada orang orang dimasa lalu, atau barangkali masa depan, sangat rancu. Menggenanglah manis rindu masa lalu, keramahan bumi perasaan kala itu, dan kenyamanan berada dalam lingkupanya yang hangat oleh cinta. Tak terbayang dahulu, bahwa keindahan dan kenyamanan seperti itupun akan berakhir dengan satu akhiran yang tak pernah ada dalam rumus tebakan. Misterius!

Ah, masa lalu. Kemana warna pedih perih masa lalu itu sekarang? Kenapa yang tertayang hanya kebaikan dan keindahan semata? Keindahan yang menarik narik angan angan untuk berdiri diatas angin dan berlarian diantara awan, jauh dari tanah kenyataan. Kepediahan masalalu menjadi bias, mungkin terkubur oleh gundukan sang waktu yang terus meninggi dan membesar. Sang gundukan waktu, tempat tangan nurani bertolak merabai masa depan yang berhamburan di udara sebagai asap.

Ternyata, masa lalu hanya jejak langkah kaki sendiri, yang menerabas belantara cerita dengan peta panduan intuisi dan senjata bernama pedang logika. Pengakuan atas kepemilikan jejak itulah yang memanggil manggil angan angan untuk kembali menoleh sejenak, dan mengais sisa kenangan manis adalah yang terbaik sebagai upaya pada saat ini. Tanah melempang bekas pijakan kaki pengalaman, bangunan bangunan indah yang sempat terbikin semasa perjalanan bahkan persinggahan persinggahan yang menenteramkan dulu, menjadi catatan pengakuan atas diri sendiri. Kenyamanan berada diputaran indahnya ketiadaan itu menjadi dramatisasi atas pengingkaran terhadap fakta bernama kekinian.

Kekinian, hanyalah tangan yang melepuh lelah mengayun pedang membabati belukar kejadian, yang kebetulan kali inipun terasa sedemikian ganas belantara yang satu ini. Kaki yang penuh goresan oleh onak yang tajam pada areal yang terjal mendaki. Rasa rasanya diri tak sanggup untuk maju mendesak, tetapi enggan menyerah demi harga diri. Bertahan dan mengumpulkan semua kekuatan dalam diri adalah pilihan, sambil menunggu hujan badai yang sedang mengamuk perlahan mereda untuk berhenti samasekali. Kekinian beberapa tahun lalu hanyalah kabut yang mengambang diudara masa depan, misteri belaka.

Demikian juga masa depan, tetaplah ia menjadi udara dengan kabut tipis tebal serupa asap rokok menggumpal gumpal. Ia tetap misteri yang tak tertebak dan bahkan menyimpan jawaban bukan dari salah satu jawaban atas tebakan yang dipersiapkan. Terkadang ketidak sesuaian jawaban yang diharapkan menyebabkan kekecewaan, terkadang juga membawa kebahagiaan. Segalanya absurd dan ambigus untuk benda bernama masa depan ini. Diri tak pernah tahu setebal apa lagi belantara onak berduri yang harus ditebas demi menciptakan jejak kenangan seperti ribuan kilometer pernah terbentuk. Dan ketika onak berduri ditanah tejal mendaki terlewati, apakah yang akan ditemui lagi? Semua tinggal menjadi misteri.

Masa lalu menjadi catatan penenang dan masadepan menjadi misteri penjanji ketika kekinian hanya berisi keletihan atas hampa. Menjelajahi dunia masa lalu dan masa depan yang nisbiah, adalah pengingkaran atas fakta datar benama; kekinian. Pengingkaran itu menghasilkan ketidaksesuaian antara fikiran, hati dan perbuatan. Dan…life goes on…

Gempol, 060325
(terima kasih kepada bung Didi Revkotz untukjudul tulisan ini)

Friday, March 24, 2006

Sepatu Mas Jaman

Mas Jaman, berumur tigapuluhan sekian. Staff bagian perencanaan disebuah perusahaan swasta yang dikelola langsung orang orang asing, Australia. Dia pekerja yang rajin dan inovatif. Selalu diciptakanya sendiri kesibukan kesibukan ketika hampir semua pekerjaannya sedang mengalami low priority. Dia memang cakap di bagiannya bahkan belum sekalipun mendapat komplain dari atasanya.

Musim hujan suatu pagi. Seperti biasa mas Jaman datang dikantor tigapuluh menit sebelum waktu mulai bekerja, 08.00 WIB. Perjalanan dari rumahnya yang berjarak lebih 20 kilometer dari kantor degan sepeda motor membuat sepatu yang dipakainya basah dan sedikit kotor. Sang atasan tiba tiba saja menghardik keras kepada mas Jaman, soal sepatu yang tak sepatutnya dipakai kekantor pagi itu; kotor dan tak terawat. Diperlihatkanya sepatunya yang mengkilap oleh semir dan kalis dari setetes airpun, sebab sang boss pastilah bermobil kekantor, dengan sopir yang digaji oleh kantor, dengan penghasilan kantor yang sedikit banyak diciptakan oleh mas Jaman juga.

Ia berusaha sebisa mungkin menstabilkan diri dengan keadaan. Meskipun begitu, hatinya sungguh tidak terima. Perasaan pribadinya tersinggung oleh ulah sang boss yang dianggapnya memang membawa permasalahan rumahnya kekantor pagi ini. Bathinya memprotes keras, tapi mulutnya diam sebagai bawahan. Kalau yang jadi permasalahan adalah karena kualitas pekerjaanya, dia akan memaklumi dan menerimanya dengan lapang dada. Tetapi ini soal sepatu, yang tidak ada sekuku hitampun hubunganya dengan tugas pekerjaanya. Dan hanya dia yang tahu, sepatu itu satu satunya yang dia punya sesuai dress code kantornya!

Mas Jaman bukan type pelawan, apalagi pahlawan. Maka perlahan diredamnya ketersinggunganya, diterimanya sebagai kritik untuk penampilan diri pribadinya, dan juga untuk citra penampilan kantornya. Hanya dua hari sejak itu ia harus segera menemukan cara untuk penampilan sepatunya.

Sejak dua hari itu, maka dia berangkat dan pulang kekantor hanya bersendalan saja, sementara sepatu yang telah dipoles dengan semir dan terlihat jauh lebih terawat disimpanya di locker kantor. Hanya ketika jam kerja saja dipakainya sepatu itu, sementara sendal jepitnya menemani keberangkatan dan kepulanganya kekantor. Dia menjalaninya dengan hati ringan, menemukan solusi untuk satu persoalan yang tak perlu menjadi singgungan atas harga dirinya yang terlalu ketinggian hanya oleh ucapan sang atasan. Justru mas Jaman mengucapkan terimakasih kepada atasanya.

Belajar dari mas Jaman, adalah menelaah sebuah resolusi konflik dari sudut yang paling individual. Berfikir positif atas kritik yang diterima kemudian mengimprovisasi pandangan yang melahirkan sebuah sikap arif berarti sebuah pembentukan karakter yang bijaksana. Zaman yang pekak dengan gembar gembor retorika reformasi dengan pola pola penonjolan individualisme seperti ini, justru yang diperlukan adalah karakter mas Jaman yang dengan arif memandang suatu ketidak nyamanan atau ketidak sukaan dari luar kotak pemikiran egonya sendiri. Jika saja Indonesia memiliki duaratus juta saja mas Jaman, maka negeri ini akan memiliki karakter yang membanggakan seperti yang dicita citakan Bung Karno dulu ; nation character building!
Karena sampai sekarang, bangsa ini tidak punya karakter yang jelas.


Simatupang, 060324

Thursday, March 23, 2006

Pertemuan terakhir

(Tertulis sebagai perenungan atas pertemuan terakhir ditubir jurang)

Menterjemahkan kata perpisahan dari hati yang gemetar tecabik perihnya, fikiran menjadi sarat oleh slide demi slide pertemuan yang selalu berjudul sama “ pertemuan terakhir”. Betapa telah begitu banyak kejadian kehilangan makna sekeras apapun otak dan bathin mengais sisa sisa nyamannya.

Peretemuan terakhir kesekian, berisi tangis semalaman di bilik terpisah dengan dinding berlapis lapis kepantasan logika. Tangisan yang menterjemahkan lolongan hati remuk, yang hanya menghasilkan kebisuan sampai perpisahan yang sebenarnya datang bersama matahari yang selalu saja tersenyum menghibur bumi, menyisakan tanya menyelip diantara kecemasan hati :
“ akankah kita bertemu lagi?”

Mengenang pertemuan terakhir, adalah membenturkan pundi harapan kepada karang tajam kenyataan; ambyar dan berharap akan datang cemburu dari pemandangan yang disuguhkan. Ah, rupanya cemburupun terelalu mahal untuk sekedar menjadi perhiasan negatifisme diri. Tak pantas hanya untuk sekedar dimiliki oleh penonton yang menyaksikan kejadian demi kejadian menyerempet eksistensi.

Merangkai lagi simpul simpul rasa pada pertemuan terakhir, diri terdampar pada ketidak tahu dirian yang dipaksakan. Menganggap kehidupan berjalan sekehendak takdir buatan dan tak sadar, linglung jadi figuran ditengah taman bunga penuh nyenyanyian; mirip dengan apa yang pernah terciptakan. Sayang diri telah kehilangan hak kepemilikan, meskipun hanya sekedar pengakuan dari dalam dan diam diam.

Ah, betapa banyak kata perpisahan terucapkan, tanpa satupun terfahami betul maknanya; hanya bunuh diri yang kesekian…

Gempol, ketika hujan tak berhenti menangisi kegelapan sang malam 060223

Wednesday, March 22, 2006

Mendung, gerimis dan sebuah ‘good bye’ pagi hari.

Embun yang terdampar ditanah pekaranganpun menjadi bias oleh gerimis yang datang kepagian. Mendung mengurung matahari, pagi berwarna kelabu adanya. Jam ini waktunya matahari meninggi, waktunya kehangatan menyelimuti dan kemudian membakar semangat diri melintasi satu ruang hidup, buat mengisi lembaran diary. Hari ini akan tetap berjalan, tak ada apapun yang sanggup menghalangi.

Jarak pandangan membentur dinding kabut yang menyelimuti sementara riuh jalanan menawarkan langkah untuk terus berlari. “Pagi ini, tak ada matahari” ucap asap knalpot kepada gedung gedung yang muram membeku sepanjang jalan basah.

Gerimis yang menaburi bumi mangaburkan kehangatan atas jarak yang membentangkan letak orang kesayangan setelah dialog semalam membeku tanpa keputusan. Fikiran mencari cari, sengatan matahari yang membangunkan kesadaran atas diri. Sia sia.

Lalu sebuah bisikan atas nama peradaban datang menghampiri, sekedar mengucapkan selamat tinggal untuk pergi. Sensitifitas telah melewati titik kulminasi, puncak dari segala yang ditahankan selama ini. Menyerah kalah pada ketidak mungkinan yang rajin menganiaya. Melambaikan tangan tak rela sementara air mata telah kehabisan energinya hanya untuk mengaliri kulit kasar sang pipi. Telah kering bahkan untuk menterjemahkan kesedihan atas ranting hati yang terkoyak patah.

Pagi ini dibumiku, mendung menghias gerimis dan sebuah ucapan selamat tinggal menikam jantung, menyempurnakan langkah matahari yang bersembunyi.

(Half time goes by
suddenly you’re wise
another blink of an eye, 67 is gone
the sun is getting high,
we're moving on...
I'm 99 for a moment dying for just another moment
and I'm just dreaming counting the ways to where you are

....there's never a wish better than this, when you only got 100 yrs to live...")


Cubicle, 060322

Tuesday, March 21, 2006

Pohon Pemujaan

Dia hanya pohon, yang tumbuh dari ketiadaan atas kuasa alam. Demikianlah kita, mengikuti gelembung kehidupan kita masing masing dan berhenti disetiap setasiun yang selalu kosong. Bukankah biadab, menebang pohon yang meneduhi kita dari sengangar terik matahari, memberikan kita oksigen dan kemudian dengan menutup mata dan tangan gemetaran kita tebangi? Aku hanya ingin berterimakasih kepada pohon itu, tanpa berniat kehilangannya. Pohon teduhan itu memang tidak bisa kita bawa kedunia kita yang berbeda ketika kita harus sama sama meneruskan perjalanan bersimpang arah. Tak apa, sebab kita memang punya kewajiban demikian demi mentaati peradaban.

Tapi pohon itu selalu aku bawa didalam hati, yang selalu memberi semangat bahwa dia akan tetap berdiri meraksasa disana menyediakan teduhnya ketika nanti entah kapan, akan aku temukan jalan kembali untuk kurebahkan diri disejuk tanah berdebu dibawah rindangnya, dimana desau angin memanjakan setiap titik syaraf yang bengkak oleh letih perjalanan. Entah nanti engkau ada disana atau tidak, tapi kenangan bersama dibawah pohon rindang itu tak pernah pergi dari tempatnya. Kita memang tak pernah sekalipun menyengaja bahwa kita akan pernah bertemu ditempat dimana sekarang tumbuh pohon itu.

Kita hanya punya kewajiban, berjalan dan terus berjalan menjauhi pohon rindang, untuk kemudian suatu saat logika memperbolehkan kita beristirahat dari kewajiban berjalan. Mari punguti setiap butir pengalaman disepanjang perjalanan, juga aku akan kisahkan perjalanan yang nanti suatu saat kita akan menceritakanya dengan citarasa film India, sebab nanti suatu saat yang tak pasti kita pasti akan bertemu disana, dibawah teduhnya rindang pohon spesies baru bernama Pohon Pemujaan.

(tertulis kepada seorang puteri - dalam hati)
Edited at cubicle, 060321

Monday, March 20, 2006

Tempat

(sebuah jawaban atas sebuah pertanyaan suatu sore)

Bilik bilik labirin dalam jiwa, telah terisi oleh penghuni segala rupa. Iblis iblis yang didatangkan dari negeri dongengan pendurjana, pun masih berjejalan diluar ruang, diluar kulit ari tubuh. Kelengangan yang dulu melahirkan kearifan dan tak jarang melantumkan tembang merdu dramatisasi panca indera sekarang menjadi riuh oleh tempik sorak dan suara gaduh. Sang tuan tanah telah menggadaikanya dengan harga sedemikian tinggi hingga tak ada angka yang pantas untuk disebutkan sebagai ukuran.

Penghuni penghuni baru itu, memang tak tahu sopan santun apalagi tenggang rasa. Mereka mencoreti dinding, merobeki langit langit dan menghancurkan lantai dengan suara gemuruh pesta urakan. Segala benda yang ada didalamnya dikhawatirkan menjadi rusak oleh ulah mereka yang menangan. Mereka menjadi virus didalam rumah hati yang mereka kunci dari dalam, penuh rahasia. Tak ada yang melawan sebab ia hanya budak rumah hati belian, yang lantas digadaikan. Kehilangan status kepemilikan, dan kemudian menjadi rumah pesta para iblis, pesta pora dari pagi siang sore malam ke pagi lagi. Pesta itu berupa: badai!

Tak ada lagi yang bisa dilakukan kecuali menunggu pesta mereka usai, setelah nurani sanggup mengkompromi bahwa pesta memang pekerjaan si menangan. Mengangkat tangan dan mempersilakan mereka tinggal didalam dengan selamat adalah pilihan. Maka si tuan tanah kehilangan pulalah segala yang merasa menjadi miliknya yang tak berharga. Rumah hati yang digadaikan itu! Itulah satu satunya yang kini patut dianggapnya sebagai benda berkepemilikan. Tapi si tuan tanah lupa jalan pulang. Ia terlalu sibuk menghamburkan uang gadaian untuk senang senang, pesta pora (seperti iblis) sampai tandas tak bersisa, tanpa isi angka. Ia lupa tempatnya berada, karena terlalu mabok oleh kenikmatan sebuah pesta dengan dress code binatang.

Seorang yang baik hati, yang diludahi dulu di tempat pesta menolongnya ketika ia tersesat dan sendirian dalam pencarian jalan pulangnya. Dituntunya si mabok dengan kekuatan yang ia punya sebagai orang nomor kesekian dalam skala prioritas si tuan tanah pemabuk. Diantarkanya sampai pintu rumah hati itu terbuka dan dia masih menemukan miliknya yang disangkakan hilang, fikiran yang penuh kemabukan tatkala itu. Ketika mabuknya perlahan berkurang, dan dia nyaman menjadi penguasa rumah hati. Dia perlahan berfikir…Ah betapa nikmatnya berpesta!

Maka digadaikannya lagi rumah itu, dengan harga yang lebih mahal kepada sekelompok iblis paling bengis. Kemudian rumah itu kehilangan bentuk, menjadi suram tanpa cahaya, hanya jeritan yang kadang terdengar dari dalamnya. Spooky istilahnya (meminjam terminologi dari seorang istimewa). Si tuan tanah setelah uangnyapun kandas ditempat pesta, terhuyung huyung mabuk pulang kerumahnya, lalu terkapar pingsan diemperanya. Pintunya terkunci dari dalam. Ketika siuman, ditemukan dirinya terkapar telanjang di emperan rumah tanpa bentuk. Inilah rumah yang dianggap tetap menjadi miliknya. Kini reot dan buruk, kehilangan bentuk dan…dia tak menemukan pintu ataupun jendela disana! Rumah itu telah jadi batu! Maka ia tetap menggelesot di emperanya, menghayalkan ribuan pesta yang pernah dilakukan sambil menyaksikan matahari melintasi langit bumi setiap hari. Sampai pangeran kodok akan datang untuk menyihir kembali rumah hati jadi rumah teduhan.

Atau, sampai ia pergi lagi mencari pinjaman, setidaknya diemperan rumah tanpa pintu itulah tempatnya berada...


Gempol, 060320

Saturday, March 18, 2006

Kursus Budi Pekerti

Demonstrasi mahasiswa Universitas Cendrawasih di Abepura Papua yang menuntut penutupan PT Freeport McMoran berakhir rusuh, empat nyawa aparat negara menjadi tumbal dibantai beramai ramai. Peristiwa barbar itu menyisakan kesan mengerikan, sebuah tragedi yang ironis. Tragedi kerena sedemikian brutal yang mengakibatkan kepiluan panjang, ironis karena justru dilakukan oleh mahasiswa terhadap aparat hukum, alat negara pengawal ketertiban dan keamanan.

Mahasiswa dalam pengertian harafiah adalah intelektual yang mengedepankan sikap sikap rasional. Secara lebih idealis mahasiswa adalah kader kader yang diharapkan mampu membawa bangsa kearah perbaikan. Jenjang pendidikan sampai di tingkat itu secara sederhana juga pasti memahami hukum hukum materi yang berlaku dalam peradaban manusia. Tetapi yang kita lihat ditayangan tivi itu samasekali mencerminkan kebalikan dari teori teori tersebut. Kita disuguhi tontonan mengerikan, dimana sekelompok petugas yang ragu dikepung dan dibantai oleh ribuan orang mahasiswa. Dan dalam keadaan tak berdaya sekalipun si petugas yang tidak dilengkapi senjata kecuali pelindung tubuh merka masih direjam dengan cara primitif dan sadis.

Sungguh kelompok demonstran itu hanya mengandalkan semangat kriminalisme, mengabaikan aspek hukum apalagi tenggang rasa. Mereka bangga menjadi primitif sehingga sangat tolol untuk sekedar mengerti dan menempatkan diri sebagai mahasiswa yang semestinya dalam komunitas peradaban berada pada derajat yang terhormat. Pemaksaan kehendak dan penggunaan kekerasan (anarkisme) mencerminkan betapa rendah budaya zaman jahilliyah tersebut. Status sosial sebagai mahasiswa hanya tempelan tanpa pemahaman yang memadai.

Ilmu ilmu yang mereka serap dari bangku kuliah hanya menghasilkan kekerasan dan pelanggaran terhadap aturan sebuah negara, sebuah lembaga dimana harus ada rakyat, pemerintahan dan wilayah. Tuntutan penutupan tambang emas dan tembaga rakasasa terkesan sekedar ‘kehendak’ mereka, tanpa memikirkan dampak lain yang akan timbul kalau Freeport harus tutup tiba tiba. Pastilah di kampus mereka juga diajarkan tentang efek domino dari penutupan sebuah tambang raksasa yang menyangkut harkat hidup ribuan orang pekerjanya, bahkan barangkali sampai kepada hal hal yang bersifat politispun mereka pelajari. Pelajaran diambil sebagai landasan ilmiah untuk meluruskan sekaligus mengawal proses bernegara dengan semangat untuk bersama, sekian ratus juta orang dari Sabang sampai Merauke. Ah, barangkali memang mereka berkuliah hanya supaya dapat gelar, dapat sertifikat dan nantinya dapat pekerjaan. Atau memang diajarkan kurikulum pelajaran membunuh polisi? Pantaslah kalau begitu apa yang mereka perbuat!

Konflik horizontal panjang di Papua memang (barangkali) mempengaruhi impresi mereka terhadap penegak hukum. Tetapi seharusnya mahasiswa mengerti betul bahwa petugas petugas itu hanya alat untuk mengawal ketertiban dan mengayomi masyarakat suatu negara. Dibalik figur tugas itu, mereka adalah individu individu yang hanya ingin berbakti kepada negara, tumpah darahnya. Petugas itu bergerak kaku dengan koridor HAM yang sangat ketat, sedangkan mahasiswa penyerangnya tak memiliki itu samasekali. Petugas petugas itu, mereka menjaga agar garis batas HAM tidak terlewati dan pada saat yang sama mereka tidak berada didalam naunganya. Ironis!

Mahasiswa, anarki, criminal…sebuah krisis akhlak yang seharusnya menjadi tombol waker bagi kita semua, betapa bangsa ini sudah memerlukan sebuah kursus sederhana tentang budi pekerti, tenggang rasa dan penghormatan terhadap hukum yang berlaku dimasyarakat suatu pemerintahan dalam wilayah negara Indonesia. Akal yang maju hanya akan jadi penghancur jika tak disertai akhlak yang baik. Kalau itu juga belum bisa difahami, barangkali memang harus setiap hari setiap kader pemimpin itu digembleng dengan doktrin berjudul tenggang rasa saja cukup. Atau kita akan menumpas anak cucu kita sendiri dengan menaburkan kader kader penentu karakter bangsa ini ditangan primitivisme?

(Sebagai ucapan berbelasungkawa kepada empat orang anggota keamanan negara yang tewas dalam pembubaran pemblokiran jalan di Abepura pada 16 Maret 2006)

Friday, March 17, 2006

Siman menggugat Tuhan

(Kronologi: Siman, seorang lelaki dari desa nun jauh dari asap kehidupan metropolis. Dia menjalani hidup berbekal intuisi dan mengumpulkan sedikit demi sedikit pengalaman untuk membangun kehidupanya sendiri dengan cita citanya yang sederhana; hidup tentram damai, pantas dalam peradaban manusia. Selepas dari pintu pagar rumah orang tuanya ketika dia remaja, dia merasa menjelajahi dunia ini sendirian, mengembara ke tempat tempat yang belum pernah dikenalnya, mengenali aneka warna dan rasa kehidupan dan menemukan pelajaran pelajaran tentang hidup sepanjang perjalanannya itu.

Syahdan, Siman membangun sebuah keluarga yang termasuk dalam cita cita sederhananya. Keluarga, sebuah investasi sosial dan pengejawantahan kehidupanya. Semua berjalan sempurna, dengan anak sebagai jimat penyemangat, dengan harapan dan mimpi yang terbangun dan perlahan menjadi kenyataan. Dia hanya tahu membangun, memberi dan mengadakan dari ketiadaan, menempatkan diri sebaik mungkin sebagai suami dan ayah bagi si kecil. Kebahagiaan yang lengkap, dia tak butuh apa apa lagi.

Suatu ketika, kebahagiaanya terampas oleh ulah durjana sang istri yang dia amat sayangi, istri yang dijadikan subyek pengabdian, ketika semua yang ditabung dan dibangunya runtuh oleh obesesi liar sang istri bersama lelaki bejat yang membuat sang istri jatuh cinta habis habisan. Maka Siman mengalami kebangkrutan mental dan material yang sempurna, merana berkepanjangan. Caci maki sang istri bahkan perlakuan fisik untuk memanipulasi kebejatanya diterimanya dengan hati perih, dan dia bertahan dengan investasi sosial yang ditanamnya. Hanya kepada Tuhan dia memohon untuk dikuatkan. Dan ketika tanpa nurani istrinya mengulangi perbuatanya untuk kedua kali, maka Siman menggugat Tuhan, mempertanyakan kesahihan doktrin doktrin moral yang selama ini dianutnya secara harafiah. Dia menggugat setelah bathinya letih berlari mengingkari kenyataan, setelah akal sehatnya tak mampu lagi mencerna makna ketidak adilan umat manusia. Demikian gugatanya….)

Benarkan engkau maha adil? Kalau demikian apakah adil memperlakukanku sedemikian buruk dalam kehidupan? Selama bertahun dipenjara oleh kekecewaan dan disiksa oleh kepintaran? Apakah salah jikalau aku lantas meragukan keberadaanmu sebagai yang maha adil dan penyayang? Rasa sayangkah ini namanya penganiayaan bathin yang tak berkesudahan, dan membiarkan si zalim sang penganiaya bebas tertawa berkeliaran diluar sana, diluar penjara pribadi yang terterali material?

Ketika kenyataan menjepit, aku telah datang kepadamu untuk berdoa, mengemis belas kasihan. Juga ketika orang orang yang begitu rendah budaya dengan enteng merenggut semua kebanggaan sebagai hakku, aku berdoa agar mereka dilaknat. Ketika kebahagiaan yang menjadi symbol dari kebanggaanku runtuh, engkau ada dimana untuk menegakkan keadilan? Apakah hanya mimpi buruk yang terus terjadi setiap malam itu saja yang pantas menjadi imbalanku, mimpi buruk yang terus saja terjadi dalam berbagai bentuknya.

Segala sesuatu yang terjadi dibumi ini tergantung kepada manusia sendiri. Kalaupun engkau maha adil, siapa yang bisa menunjukkan keadilanmu bagi diriku dalam peradaban manusia ini? Mengandalkan dan bergantung padamu hanya akan meracuni pikiran pikiran rasional, dan menaburkan benih harapan harapan yang tidak rasional. Aku sudah dianiaya, dihina, dirampas oleh manusia lain, dan itu membuatku memberontak atas segala keyakinanku sendiri.

Surgamupun terkadang aku ragukan keberadaannya. Bukankah manusia juga yang menggembar gemborkan tentang adanya surga sampai sampai orang rela membunuh dengan iming iming janji surga? Sungguh tidak rasional! Agama yang mengatakan bahwa janji surga itu berasal darimu. Tetapi semua yang menggunakan bahasa manusia adalah produk otak manusia juga.

Aku yakin semua hal dimulai dari pikiran. Demikian juga pembusukan perilaku, juga berakar dari pemikiran yang busuk, sebuah basis kleptrokasi ; kegembiraan atas prestasi jadi maling, kemudian jadi kebiasaan yang menyenangkan dan lama lama jadi kebutuhan. Bukankah dalam setiap kegiatan itu menghasilkan korban? Dan bukankah itu ketidak adilan yang senyatanya menurutmu? Apakah harus menunggu si klepto puas dulu sementara cerita tentang neraka hanya jadi momok belaka? Bukankah akan lebih ideal kalau engkau langsung saja menghukum mereka yang bermental maling dan bermoral bejat ketimbang membiarkan mereka menambah panjang daftar korban yang akhirnya akan datang mengemis padamu dengan doa doa mereka?

Aku menggugat atas kepiluan yang tiada berakhir…tolong jangan hanya diam saja.

Gempol, 060317

Thursday, March 16, 2006

Satu cerita tentang malam

Bahkan senyap sang malampun menjadi kabur oleh pikiran yang menimbun, makin lama makin kokoh mengunci bathin. Bumi menjadi hamparan maha luas dengan gunung dan laut yang memisahkan jarak antara jiwa jiwa yang diam diam menyimpan catatan tentang diri. Begitu jauh dari manapun. Kesendirian yang semestinya menenangkan menjadi kegelisahan ketika ternyata yang ditemukan hanya semu disekeliling.

Keindahan biasanya memiliki ruang sepanjang hidup masih terus dijalani. Bahkan dibalik tragedi yang memilukan atau prahara yang mengerikan sekalipun. Tetapi ketika iblis menempati posnya masing masing disetiap aspek ingatan, rayuan tentang estetika kesemestaan menjelma menjadi pemikiran skeptis belaka. Pemikiran yang hanya berputar putar pada pertanyaan tentang bagaimanakah cara menjalani hidup yang semestinya. Berputar tanpa jawaban kecuali ingatan yang datang silih berganti saling menindih bersama menumpuknya waktu ketika malam bergulir menuju muara bernama pagi.

Malam berisi diam, ketenangan yang mengendapkan banyak pertanyaan. Bahkan rapalan mantra pengusir gelisah rajin terlontar tanpa terucapkan sekedar menunda kemenangan sang amarah. Fikiran yang terkurung dalam ruang terkunci terus memberontak mencari celah, memanggil manggil datangnya seseorang yang dulu setia menemani, menjadi saksi atas setiap gerak yang terbuat dan kata yang terucap, yang lalu menuliskanya dengan indah untuk dipajang di dinding rumah teduhan hati.

Waktunya umat manusia tertidur melepaskan segala kesadaran dan tergolek menjadi zombie. Waktunya istirahat dari kenyataan yang terkadang membebani diri, dan berharap mendapat penghiburan dari mimpi yang dihasilkan dari kontemplasi bawah sadar. Maka bagi penduka waktunya juga menyongsong mimpi buruk yang akan jadi ilustrasi peristirahatan, memperpanjang garis antara tepi ke tepi sang malam dengan catatan hitam.

Sungguh tak penting apa yang telah terjadi hari ini, siang tadi. Sungguh tak penting juga apa yang mungkin akan terjadi esok pagi, keduanya sama sama nisbi. Kekinian adalah malam ini dimana angan angan timbul tenggelam antara kekhawatiran akan esok dan ketidak puasan atas cara memanifestasikan diri hari ini. Sungguh sebuah krisis mental yang rumit untuk diuraikan dengan penjabaran melalui tulisan. Tapi biarlah tulisan menjadi jejak sang fikiran yang tidak akan terhapus oleh waktu bahkan oleh hukum materi. Dan esok hari akan datang lagi bersama matahari, menerbitkan harapan dan benih benih cita cita yang terpupuk oleh gemerlap sisa embun dipucuk rerumputan sepanjang jalan kewajiban, mengaktualisasikan diri dan menjadi bagian dari kehidupan makro bumi manusia.


Gempol, lewat tengah malam di kontrakan, 060316

Wednesday, March 15, 2006

Secuil Sejarah Indah




…from the third floor, watching the busy street with you in mind.
Wondering how could I let this feeling go?
Whom will I tell if the rain pours down?
Whom will I send the picture of red sky?
What do we tell the hearts then?...

Sebait kata kata cantik itu meruntuhkan bangunan dinding keyakinan yang baru saja berdiri setelah berabad abad merana, menunggu proses kering agar kuat seperti karang.
Sebait kata itu merebut simpul hati yang sudah terkendali dalam kekang. Kembali angan mempertanyakan jawaban jawabanya, menggagapi masa masa depan yang tanpa bayangan.

(sebuah percakapan dengan sebelah hati pada 09 Januari 2006)

Tuesday, March 14, 2006

….dan ….

Badai dilangit hati perlahan menepi, diam diam menyisakan keletihan dan keperihan yang menjadi sia sia untuk dicari muasalnya. Dia yang datang ketika gelap menyekap dulu, perlahan menghitung gores demi gores luka yang kelihatan mata. Dia datang untuk membuktikan bahwa disetiap mendung selalu ada garis keperakan sebagai janji akan datangnya kecerahan, bahwa mendung dan hujan badai dihadirkan sebagai penegas keindahan sesudahnya.

Tangan lembutmu memapah berdiri, bangkit dan melangkah menjejaki tangga rumah kita dibalik langit ketika senja datang mengurung. Sendi sendi masih ngilu, dengan beban masalalu melekat dipunggung dan betis kaki. Mulut mungilmu bercerita tentang warna warni lukisa yang pernah kita buat dan kita tinggalkan ditebing gua dimana kita berlindung dari kejinya alam nyata. Mulut mungil yang selalu menaburkan cerita hati, bukan keinginan apalagi ketidak inginan.

Pernah kutitipkan hatiku padamu, dengan bungkus kesementaraan yang sama sama kita sepakati hingga aku tersesat dikedalaman lain lagi. Tersesat tanpa tahu kemana harus kembali, atau kemana harus menuju. Aku hanya tahu berlari dan terus berlari menghindari matahari yang keji membakar, dan berlari menghindari gelap malam yang kejam mengurung. Ya, aku berlari menghindari hingga tak sanggup lagi menghindar kecuali menipu diri dengan segala penghiburan pribadi.

Dibalik langit biru bening itu, engkau tawarkan lagi padaku mantera mantera penegak hati, sedangkan kedua kakiku tertancap erat dibeton yang mengeras ketika kesadaranku hilang dibungkam oleh bius nurani. Bahkan setumpuk naskah catatan kitapun aku kini sulit mengejanya, menerawangkan rasanya ketika itu. Aku kehilangan ketrampilanku untuk mengumpulkan lagi satu demi satu serpihan kehidupanku dulu.

Atau, barangkali memang badai panjang itu telah merubah wujudku menjadi sepotong kabut…

(kepada sesorang, yang pernah menggenggam erat tanganku jadi pegangan ketika angin badai menerjang dulu…terimakasihku tak terhingga buatmu)

Cubicle, 060313


Friday, March 10, 2006

Petinju Lucu = tontonan yang mengesalkan

Menyaksikan pertandingan tinju antara Apolos Inury dan Anwar Solihin dikelas walter yunior 63, 5kg menyisakan kedongkolan setelah delapan ronde yang seharusnya menjadi tontonan yang penuh excitement setelah ditunggu selama satu minggu itu menjadi sesuatu yang menyebalkan. Judulnya saja tinju professional, semestinya menampilkan profesionalisme sang petinju dan para second men yang mendampinginya, tetapi yang tertayang adalah kekuatan emosi, perkelahian yang miskin dengan tehnik bertinju yang baik, bahkan jauh dari memadai. Kedua petinju lebih banyak terlibat dalam rangkulan, dorongan, dan gerakan gerakan seperti perkelahian jalanan umumnya. Maka yang tampak dilayar tv adalah adu nyali antara dua orang petinju diatas ring! Kedua petinju menyuguhkan tontonan seni beladiri yang semestinya dikelola dengan keras dan manis menjadi tontonan “lucu” tanpa tendensi untuk melawak dengan wardrobe tinju; konyol memalukan, menimbulkan kekesalan belaka bagi penonton seni bertinju.

Menonton pertandingan tinju adalah mengikuti sensasi ketegangan rivalitas dua individu, dua orang diatas ring yang mengadu kekuatan, nyali, stamina, strategi, intelegensia dan tentu keberuntungan. Tinju adalah tontonan yang seharusnya bisa mendikte adrenalin penontonya ketika kedua orang diatas ring diadu satu lawan satu dengan sederet aturan ketat yang sama sama difahami dan dikawal oleh seorang wasit. Tehnik bertinju yang baik bukan hanya soal kuat memukul, tetapi juga pintar menggunakan tehnik yang benar, pintar dalam memilih momen momen memukul, pintar dalam mengatur mengontrol dan membelanjakan stamina, dan tidak kalah penting adalah pintar membaca strategi lawan, membaca kekuatan lawan, mengantisipasi serangan lawan dan menemukan solusi jitu dan cepat untuk menetralisir serangan lawan sambil menyusun taktik serangan pada saat yang bersamaan.

Tinju professional adalah pertandingan beladiri dengan bayaran, sebuah bisnis entertainment yang memerlukan pengelolaan secara professional dari setiap elemen yang terlibat mulai dari penyelenggara pertandingan, promotor, pelatih, sampai ke hal hal kecil dari si petinju sendiri. Tetapi yang tidak kalah menonjol dari pertandingan tinju adalah sportifitas karena basis filosofisnya adalah sportif sebagai landasan dasar dari sebuah pertandingan olah raga. Semakin professional para pelaku “bisnis berantem” ini maka semakin berkelas pulalah sebagai tontonan, ketika penonton disuguhi perebutan prestise diatas ring oleh dua orang dengan cara perkelahian yang gentleman.

Bisa dibayangkan betapa tidak mudahnya seorang petinju diatas ring yang pada saat bell dibunyikan tanda perkelahian dimulai diharuskan mampu untuk menjaga emosi tetap stabil antara marah, nafsu ingin mengalahkan, nafsu ingin menyakiti badan lawan dan lain sebagainya, pada saat yang bersama harus juga menjaga agar tidak terkalahkan dalam persaingan itu. Sepanjang tiga menit ronde berlangsung baku hantam itu harus mengikuti koridor aturan yang sangat ketat; hanya boleh memukul dengan kepalan tangan yang sudah dibungkus sarung tinju pada target target yang sudah ditentukan, menghindari serangan dan melindungi anggota badan dari pukulan lawan. Padahal untuk menjatuhkan musuh dalam perkelahian (seperti dalam mix martial art) banyak anggota badan mulai dari kaki sampai kepala bisa dijadikan senjata untuk meruntuhkan keperkasaan sang lawan.

Pertandingan tinju yang menarik untuk ditonton adalah ketika petinju diatas ring memegang teguh disiplin bertinju, dengan tehnik tehnik sesuai text book yang diaplikasikan dalam kombinasi antara kekuatan fisik dan kecerdasan. Pertandingan tinju menjadi berbobot oleh karena ketatnya persaingan kedua unsur tersebut dengan kedisiplinan yang terbaca dari gaya bertinju, melambangkan ketekunan si petinju dalam berlatih keras dan terus mengembangkan andalan yang dimiliki sebagai senjata diatas ring. Chris John adalah satu dari sangat sedikit petinju Indonesia yang memiliki dedikasi dan disiplin dalam bertinju, melengkapi diri secara maksimal untuk menduduki posisi elite dalam peta tinju nasional yang secara otomatis membuka pintu peluang bagi eksistensinya di ring internasional. Chris John mengukir prestasinya dengan gemilang karena dedikasi dan intergritasnya di dunia tinju sebagai profesi yang dipilihnya sepenuh hati. Dia pantas menyandang gelar juara dunia WBA saat ini.

Bagi penonton, yang menang dan yang kalah tidaklah menjadi soal yang penting ketika pertandingan tinju terasa enak untuk ditonton, bahkan ketika petinju yang “diinginkan” untuk menangpun akhirnya kalah, rasa hormat, salut kepada si pemenang akan muncul dari penonton yang juga harus mengikuti aturan permainan sebagai penonton yang professional. Bahkan sekalipun petinjug yang diandalkan diam diam terpukul knock out oleh sebuah lucky blow lawan. Apalagi bagi si petinju, ketika bell dari ronde terakhir usai dibunyikan atau ketika wasit mengehentikan pertandingan karena salah satu terpukul jatuh dan tak sanggup melanjutkan pertandingan, si menang dan si kalah akan berpelukan sesudah saling memukul selama pertandingan, saling memuji, menerima kemenangan dengan rendah hati dan juga menerima kekalahan dengan besar hati, untuk kemudian berlatih lagi siap untuk bertanding lagi, menguji lagi hasil latihan diatas ring.

Jadi memang tinju professional tidaklah pantas dijadikan arena perkelahian yang “gemlelengan”, minim disiplin dan persiapan hanya bermodal nyali dan kekuatan fisik, sebab hanya akan menjadi tontonan dua badut yang berkelahi diatas ring, saling takut kena pukul dan kebingungan cara memukul lawan. Lucu yang tak mengundang tawa, kecuali kekesalan bagi penonton professional yang mengharap sebuah tontonan seni beladiri professional, dedikasi terhadap pilihan hidup sebagai petarung.

(sebagai bayar hutang untuk seseorang yang mempertanyakan kapan akan menulis topik ini – Engkau tak pernah pergi jauh dari hidupku…)
Belakang TMII, 060310

Thursday, March 09, 2006

Hakuna Matata




Hakuna Matata!
What a wonderful phrase
Hakuna Matata!
Ain't no passing craze
It means no worries
For the rest of your days
It's our problem-free philosophy
Hakuna Matata!

Syair diatas menjadi ruh dari film animasi bertajuk The Lion King yang peraih academy award. Pesan moral dari film animasi tersebut tebagi bagi dalam banyak aspek, yang salah satunya adalah persahabatan yang dengan gamblang digambarkan oleh tiga binatang (dalam kehidupan nyata) yang sangat berbeda, yaitu antara Timon si meerkat dan Pumbaa si babi hutan dan Simba si singa jantan. Tulisan ini tentu akan mengesampingkan karakter karakter lain seperti Uncle Max si pemimpin komunitas meercat, si Scar yang jahat, trio hyena beserta gerombolanya yang bersekongkol dengan Scar demi lestarinya selera makan mereka yang rakus, Rafiki si kera baboon yang bijak, dan seabrek karakter lainnya, maaf mereka menunggu giliran untuk diterjemahkan oleh pemahaman yang terbatas ini.

Timon dan Pumbaa saling bertemu setelah keterbuangan masing masing dari komunitasnya. Timon si trouble maker yang segala hal menjadi salah setiap kali sampai ke tangannya seberapa kerasnyapun usaha untuk membuatnya benar, dan sesudah pandangan skeptis dari komunitasnya, penolakan halus secara bersama sama oleh kelompoknya dia meminta ijin kepada ibunya yang lembut khas keibuan untuk pergi jauh, mencari dunia dimana dia tidak harus menggali terowongan untuk menghindari hyena, dimana dia bisa bebas dari status sebagai penghuni mata rantai makanan terendah dikehidupan liar, setelah dia merasa hanya memiliki kegagalan. Tubuhnya kecil, tekatnya kuat dan cara berfikirnya cernderung praktis.

Pumbaa tak kalah menyedihkanya. Bahkan diluar komunitasnyapun dia menjadi persona non grata; sosok yang tidak disukai karena…bau kentutnya yang audzubilah!! Semua binatang pada kabur setiap kali dia ada, seranggapun pingsan oleh baunya, bahkan semak rerumputan langsung terkulai layu jika terkena gas buang mautnya. Badanya besar, dan selera makanya lumayan rakus.

Syahdan mereka akhirnya dipertemukan oleh ketdak sengajaan. Kesamaan dari kedua mahluk yang kelak menjadi sahabat dengan motto “friends stick to the end" ini adalah bahwa mereka sama sama polos saja menjalani hidup mereka, berfikir sederhana dan tentu dengan pesan moral bahwa hidup seharusnyalah polos tanpa pamrih seperti mereka. Dengan modal itu mereka menjelajahi belantara afrika untuk menemukan tempat yang dinasehatkan oleh Rafiki si kera baboon bijaksana; untuk melihat apa dibalik yang kelihatan mata (look beyond what you see). Timon yang kecil memang in charge dengan gaya berfikirnya yang harafiah mengartikan ucapan itu dan menjelajah belantara untuk menemukan tempat tinggal ideal bagi mereka berdua.

Dalam pengembaraan itu suatu hari, mereka menemukan bayi singa yang kelak bernama Simba yang terkapar pingsan dikerubuti burung nazar yang siap mencabik cabik kulitnya. Atas intuisi mereka lalu si bayi singa diselamatkan dan diasuhnya, didoltrin dengan filsafat filsafat Timon yang terkesan sok tau dan tak terbantahkan. Pesan pesan moral sederhana dijejalkan kepada Simba yang desperate karena perasaan bersalah yang ditanamkan Scar sang paman, menyemangati untuk meninggalkan masalalu sebagai masalalu, membelakangi dunia ketika dunia terasa membelakanginya dan sebagainya. Disinilah mulainya sebuah bentuk persahabatan yang penuh makna kebijakan, dimana Timon dan Pumbaa kemudian mengambil alih fungsi parental bagi si Simba kecil, menjadi tiga sekawan dengan motto yang mereka pelajari sepanjang pengalaman hidup mereka; Hakuna Matata!

Persahabatan itu terus berjalan sampai Simba tumbuh jadi singa jantan dewasa dengan bayang bayang tragedi kematian ayahnya Mufasa yang menjadi korban dari kekejian pamanya sendiri Scar yang haus kekuasaan dan dengan licik melakukan ‘kudeta’ dengan berkolaborasi dengan para hyena. Mereka bertiga benar benar hidup dengan Hakuna Matatanya, bebas masalah dan gemah ripah penuh ketenteraman dengan pangan berlimpah.

At the end of the day, setelah bertemu Nala teman masa kecilnya, Simba kemudian berencana merebut kembali kekuasaan dari tangan Scar dan para hyena. Kehidupan yang sudah berjalan adem ayem itu harus mengalami jeda perang besar antara Simba yang kemudian dibantu para singa betina kawan kawan Nala (dan tentu Timon dan Pumbaa juga Rafiki), melawan Scar sang paman dengan pasukan setia dan balatentara hyena-nya. Cerita itu sendiri berakhir dengan happy ending, Simba yang difitnah kemudian pada saatnya melawan sang zalim dan menang, dan meneruskan persahabatan dengan dua orang yang paling berjasa dalam hidupnya; Timon dan Pumbaa.

Cerita tentang Timon, Pumbaa dan Simba memberikan pesan moral bahwa persahabtan yang tanpa pamrih akan membawa kebaikan. Perbedaan karakter bahkan sifat maupun jenis dari tiga unsur mahluk itu justru menjadi perbedaan yang melengkapkan. Mereka tidak mengejar kesamaan dan sama sama menyadari perbedaan. Tetapi kepolosan fikiran tanpa kepalsuan sedikitpun membentuk tali tak terlihat yang mengikat kuat antara individu individu yang terlibat, menjadi kokoh sebagai satu kesatuan dalam label “sahabat” tanpa kepentingan. Ketiganya terbuang dari komunitasnya masing masing dengan cara dan alasanya masing masing, kemudian bertemu dalam keterasingan dan hanya mengandalkan intuisi untuk berbuat baik, tetap bersama saling menolong. Begitulah hakekatnya persahabtan manusia yang lebih berakal budi. Idealnya!

Hakuna Matata, my friends!
(life is problem free because problem is just a creation of our own mind)

Wednesday, March 08, 2006

Selamat ulang tahun, Sangalang!

Jika kakimu letih wahai Sangalang, mengejar harap dari mencari apa yang tak kau dapati, maka berhentilah sejenak dari berlari, definisikan ulang segala keinginan dan sekejap saja tengoklah kebelakang kepada kebun pengalaman yang ditumbuhi oleh subur onak dan semak berduri bernama kekecewaan.

Hari inipun tiba wahai Sangalang, setelah ratusan hari tak terbayangkan akan engku lewati dengan gagah berani, setelah ratusan kata tentang kematian engku suguhkan sebagai perhiasan kehidupan. Pun hati tetaplah menjadi pertaruhan terbaikmu jua.

Hari ini, mari kita baca semua keluhan yang hanya berujud gumaman dengan gema yang membingungkan disetiap lereng gunung ego yang kokoh engkau bangun sendirian, setelah kesia siaan demi kesia siaan engkau nikmati sebagai satu pembalasan yang pantas atas kuburan janin kebahagiaan yang ditancapkan dipunggungmu, tembus ke dada dan melukai jantungmu. Duh, betapa setahun penuh hari harimu berisi erang kesakitan yang dengan kerapuhanmu kau pura purai, kau sembunyikan diam diam namun tak sanggup engkau tanggungkan sendirian.

Selamat ulang tahun wahai sangalang, semoga amarah dan lapar bathinmu menuntunmu kembali pulang kepalung kebahagiaan nurani yang hanya engkau sendiri diam diam menikmati, semoga pelangi pagi hari yang terlukis diatas Bandara Sepinggan menjadi pertanda selesainya episode puting beliung pencarian dijiwamu, sebab bagimu selalu disisakanNya sejuk embun diujung rerumputan halaman rumahmu sebagai pemupuk optimisme.

Selamat ulang tahun wahai Sangalang, mari, berhenti sejenak mengasihani diri, membiarkan nurani lepas sejenak dari kungkungan tempurung ego diri, lalu memeriksa dengan seksama pilar pilar kesejatian yang telah berpuluh tahun menyokong kaki tetap berdiri memanifestasikan eksistensi. Mari kubantu mengukir catatan catatan kebanggaan atas jejak langkah yang telah menempuh lebih jauh justru ketika engkau harus sendirian. Aku melihat, kastil riwayat yang engkau bangun, berdiri kokoh didalam hati orang orang yang mengerti makna menyayangi, dengan nama dan catatan tentangmu terukir abadi disana.

Selamat ulang tahun wahai Sangalang,
tetaplah jadi malaikat bagi kehidupan yang hanya memiliki harapan sebagai kemewahan
tetaplah jadi sahabat bagi yang linglung memerlukan panduan
tetaplah menjadi matahari jiwa bagi orang orang yang terpenjara kegelapan akal fikiran…

Selamat ulang tahun wahai Sangalang…
Dari kejauhan kukirim bingkisan, surah Al-Fatehah sebagai puja kemuliaan, menembus gelap malam ketika gerimis menyingkir perlahan

Semoga, damai dan sejahtera selalu hidupmu…


Gempol, 060308

Monday, March 06, 2006

Menyublimkan Ego

Dia terbangun dari istirahat pendeknya semalam. Terbangun karena mimpi yang tak sanggup ditahankan sebagai mimpi melainkan tayangan kenyataan yang menyakitkan. Ya, dia sedang sakit bathin, terluka dan merana berkepanjangan. Mimpi itupun entah sudah yang keberapa ratus mengganggu istirahatnya. Dia hanya pasrah tak mampu mengelak dan tak berhak menolaknya. Ketika malam hanya berisi suara kipas angin yang menderu, diapandanginya tubuh tubuh anggota keluarganya yang terlelap tak berdaya. Hanya dia yang terjaga dirumah itu. Keterjagaanya membangunkan kesadaranya, betapa dia adalah yang terperkasa diantara semua yang tertidur saat itu. Kemudian bisikan ditelinga bathinya yang menderu oleh mimpi yang membangunkan tadi;

“ Aku tidaklah penting bagi diriku sendiri. Maafkan pengalaman jika aku keliru menganggap diriku penting bagi hidupku sendiri. Selama ini ego – lah yang justru menyiksaku sendirian, karena ego itu milikku sendiri”

Bisikan itu dibawanya keruang tamu, kedalam perenunganya sendiri yang menggumpal seiring asap rokok kretek yang dihisapnya. Dalam perenunganya, slide slide pengalaman menyakitkan yang dihadiahkan orang lain menjadi tayangan memalukan bahwa dia telah mendramatisir kesakitan itu sedemikian rupa, bahkan menawarkanya kepada udara berharap ada simpati bagi si ego, si karakter diri. Kesakitan hati terasa hanya membandul menjadi liontin hiasan nasib, sedangkan tak ada sesuatupun yang sanggup menggubahnya menjadi sandaran pengharapan. Kekecewaan dilumurkan pada setiap permukaan bumi, dan dijilatinya sebagai santapan tiga kali sehari, bahkan egonya yang sombong telah memprogandakan kader kader iblis ciptaanya sendiri yang di klaim sebagai iblis ciptaan orang lain yang diternakkan dijiwanya.

Ditemukan dirinya menjadi pribadi pincang yang mendekati lumpuh, dengan plakat tulisan dengan huruf besar besar didadanya; “AKU MENDERITA”. Ditemukan dirinya malam itu menjadi seorang pribadi yang pathetic mengobral iba bagi siapa saja demi simpati. Memalukan, sebab dia telah berjalan sendirian ratusan ribu kilometer untuk memunguti pengalaman, sedangkan dia tidak pernah mengeluh melainkan bangga selama ini. Kehancuran dan kehilangan atas apa yang dibangun dan dianggap menjadi miliknya pribadi yang selama ini menjadi batu penindih gerak kakinya dilihatnya mengakibatkan kakinya mengecil dan tak bertenaga, sedangkan dia sendiri yang meletakkan batu itu disana, dan menganggap orang lain yang melakukan itu dengan kejinya.


Keletihanya bathinya mengembalikan kesadarannya akan kesombonganya keapada karakter, kepada diri sendiri. Kesombongan yang lahir dari keinginan keinginan duniawi dan ketidak terpenuhinya harapan harapanya terhadap pribadi lain yang bersinggungan dengan dirinya, pribadi yang dengan sadar dia jadikan tumpangan hati berharap untuk berdamai dengan semua ketidak nyamanan dunia. Maka dia memilih berkompromi dengan konflik kesombongan individunya sendiri, memilih mencari format menyublimkan egonya sendiri agar menjadi kempis, kecil tak berbobot, tak berotot. Dinihari itu ditanyakanya kepad Tuhanya tentang sebuah formasi bagi pribadi yang mampu menumpas egonya sendiri dan bertekad mempersembahkan hidup bagi siapapun juga yang menganggapnya berguna bahkan kepada mereka yang tidak menganggapnya berguna. Dia hanya ingin berbuat baik, tanap pamrih apapun bahkan berharap pahala karena dia tak ikut mengontrol hasil akhir, seperti dia juga tidak ikut mengontrol kehidupan yang akan dijalaninya. Dia hanya tahu, terlalu lelah untuk melawan ego sendiri, memilih tidak menampakkan diri dan menjadi ada bagi siapapun yang melihatnya.

Maka pagi itu, setelah berpuluh batang rokok kandas di paru paru, didengarnya embun bercakap cakap dengan hangat sinar matahari, tentang diri yang memang tak berarti apa apa bagi diri sendiri, tak penting bagi diri sendiri, dan tak harus penting bagi orang lain….dan dia tersenyum menyambut datangnya hari, berjalan meretas usia menuju mati. Disepanjang jalan banyak dijumpai iblis yang diternakkanya di kandang kenangan, tak diberinya makan, biar mati kelaparan pelan pelan…


Gempol, 060306

Sunday, March 05, 2006

Sebuah nilai dari bawah hujan badai

Sore jam setengah empat. Jakarta dikurung hujan lebat dan angin ribut. Udara berwarna gelap oleh air hujan yang menghambur dan dipermainkan angin yang kebingungan arah, berputar dan berpendaran dengan liar. Pepohonan bergoyang hebat, meliuk kesana kemari dengan acak. Angin ribut makin kencang, seperti curah hujan yang makin deras meluncur langsung dari langit. Jalan jalan aspal mulai tergenang disana sini, airnya coklat tua menyapu debu dan tanah sepanjang trotoar dan pembatas jalan. Sebagian lagi mengalir deras memasuki gang gang dengan turunan, berubah menjadi kanal kecil yang dangkal membawa air entah berakhir dimana.

Ditengah hujan sebuah sepeda motor melaju pelan, menyusuri tepian jalan. Diatasnya duduk seorang laki laki memengang kemudi dengan penumpang anak perempuan kecil erat memeluk tubuh si lelaki, bapaknya sendiri. Sepanjang jalan percakapan keduanya tak pernah henti, si anak sibuk bercerita tentang air hujan yang terasa manis tak sengaja masuk ke mulutnya, bertanya tentang air hujan dan berceloteh tentang gembiranya hati si kecil. Ya, keduanya memang sengaja menikmati hujan yang turun, menembus derasnya dan membiarkan air membasahi sekujur tubuh mereka, menembus jaket dan helm mereka. Mereka bergembira, menikmati fenomena alam bernama hujan dengan hati penuh keriangan. Mereka berseru bersama ketika roda sepeda motor membelah genangan air dan memuncratkan air ke kaki mereka. Angin yang mengamuk terasa juga mendorong dorong tubuh keduanya, dan mereka nikmati sebagai sesuatu yang luar biasa dengan tertawa tawa.

Sepanjang jalan rasanya hanya mereka berdua yang bersepeda motor menembus hujan. Tiba tiba dijalur yang sama mobil berderet terhenti oleh sesuatu didepan sana. Sebatang dahan pohon angsana patah, tumbang menutup jalanan. Mobil mobil berhenti, karena tidak mungkin melewatinya. Lelaki pengemudi motor itu berhenti dekat dahan patah, keduanya turun dari motor. Si kecil dipandunya kepinggir jalan, diatas trotoar. Dibawah helm hijaunya mata kecilnya mengikuti bapaknya yang mendorong dorong patahan dahan yang masih melekat di pokok pohon dipinggir jalan. Lelaki itu berkutat keras dengan dahan yang menghalangi jalan, menarik dan mendorongnya ketepi untuk memberi ruang bagi mobil mobil yang akan melintasi jalanan dibawah hujan dan angin ribut sore itu. Perlahan lahan dahan seukuran betis orang dewasa itupun bergerak oleh dorongan kedua tanganya, bergerak kepinggir jalan dan memberikan ruang cukup bagi kendaraan untuk terus melaju. Tidak ada yang membantu. Orang orang didalam mobil hanya melihat dari balik atap dan kaca yang melindungi tubuh mereka dari basah air hujan yang dingin.

Sesudah dahan yang tetap menempel dipokoknya tersingkir, dan lalulintas berjalan mengalir, lelaki itu kembali menghampiri sepeda motornya, menghampiri anaknya yang berdiri memperhatikan tingkah bapaknya. Mobil yang mulai berjalan menyampaikan terimakasih mereka dengan sentuhan bunyi klakson, yang dibalas dengan senyum lebar dibalik helm dan lambaian tangan mengiyakan. Sebuah pekerjaan tanpa keharusan selesai, si lelaki kembali ke sepeda motornya dan sianak kembali berada diboncenganya, meneruskan perjalanan menembus hujan dan angin ribut disore gelap mengurung Jakarta. Sepenjang jalan itu jejak kekuatan angin ditemui, atap atap berterbangan, dahan dahan pohon patah bahkan pepohonan yang tumbang, menambah decak kagum keduanya betapa alam begitu perkasa dibalik keindahan guyuran hujan dan kengerian angin ribut.

Hari itu, si kecil memperolah pelajaran berharga dari kegembiraan main hujan hujanannya, dengan kegirangan dan pembelajaran tentang nilai kebaikan, bahwa diri sendiri bukanlah yang terpenting, bukan segala galanya. Bahwa diri sendiri bisa berguna bagi siapa saja selama tak ada maksud sesuatu dibalik apapun yang dikerjakan, kecuali kegembiraan hati melakukan hal hal yang membuat orang lain terbantu. Sebab, alamlah yang lebih perkasa daripada manusia, dan sebab Tuhanlah yang mengaturnya demikian. Maka tunduk takluk kepada Tuhan memberikan kegembiraan dan kedamaian yang diam tak terkira.


Pasar Rebo 060305

Friday, March 03, 2006

(...) kosong titik tiga kosong

Kosong titik tiga kosong...dari kekosongan kemudian berisi tiga titik bermakna vacum, bermakan kekosongan yang meragukan...

Begitulah hakekatnya sebuah kehidupan, terkadang kekosongan menghadang, mengisi dan menghiasi kehidupan...demikian juga saat ini, tiga tanda titik mengisi kepala dan kehidupan, ragu menanti sesuatu terjadi, sesuatu datang; masa depan.


dibawah mendung, 060303