Saturday, June 21, 2008

Obat Bagi Bangsa

Bangsa ini sedang sakit, hatinya yang sakit. Maka satu satunya obat bagi yang berhati sakit adalah tawakal. Tawakal dalam menerima hal hal yang tidak disukai dan tawakal dalam menerima hal hal yang disukai. Hati yang sakit mengakibatkan jiwa yang terganggu, mengidap gejala gila yang kemudian dimakmumkan menjadi sebuah ajaran modern dari hal yang paling tradisional sekalipun. Kegilaan semacam itu sangat mudah ditemukan dalam berita berita media massa setiap harinya. Orang lupa dengan jatidiri, bahkan Tuhan dikomoditikan menjadi kendaraan taktis. Ya! Tuhan! Bahkan perkumpulan ulama yang seharusnya mengedapankan factor dakwah dan control terhadap budi pekerti pemeluk agama justru tercebur ke selokan hukum materi yang terkadang lebih busuk dari selokan aslinya. Selokan itu berisi peraturan peraturan buatan manusia, kebebasan untuk menentukan siapa yang tidak benar dan – tentu saja – diri sendiri selalu benar.

Neo jahilliahisme adalah sebuah paham jahat yang merusak bayi bayi tatakrama. Paham itu ada tetapi kita tidak sadar keberadaanya. Kebanyakan orang yang bersuara lantang biasanya menentukan hanya apa yang tidak benar, tentu saja menurut penalaran si empunya kata kata. Sakit bangsa ini sungguh akut, seperti tumor yang menjalar pelan pelan, mencengkeram pangkal pangkal syaraf dan aliran darah, menjanjikan sebuah kematian mengenaskan yang bisa datang kapan saja. Kekerasan telah menjadi kebiasaan, hukum menjadi alat permainan tingkat tinggi dengan takaran uang, dan masyaallaaah….jabatan dipandang sebagai sebuah kesempatan untuk memperkaya diri. Tentu tidak semuanya, sebab jika keadaan itu menyeluruh, tentunya bangsa ini sudah tidak ada lagi. Indonesia sudah tidak ada lagi, kembali menjadi kerajaan kerajaan kecil yang dipimpin oleh dictator dictator kecil berejubah superhero, bertopeng malaikat dan mengenakan make up tebal bernama kepalsuan.

Sebab sebuah bangsa terdiri dari individu individu, maka individu individu itu pulalah yang semesetinya bisa memotivasi diri untuk menyembuhkan penyakit celaka yang memelintir bangsa. Zaman yang kata orang serba susah, hanya sebatas di perkataan saja. Jika ibaratnya badan yang biasa dimanja, maka kesakitan akan menjadi siksa. Akan tetapi bangsa kita bukan semacam itu, bangsa kita adalah bangsa yang tangguh, innovatif, menjunjung tinggi tenggang rasa, gotong royong dan persaudaraan. Bhinneka Tunggal Ika, semboyannya. Berbeda beda tetapi tetap satu! Perbedaan perbedaan itu semestinya diterima dengan penuh rasa syukur karena dengan banyaknya perbedaan justru kita adalah bangsa yang kaya, kaya dari semua seginya.

Begitu banyak dan besarnya kekuatan energi bangsa ini, pasti bisa dipakai untuk berhenti berambisi sejenak, dan mendefiniskan kembali keadaan Indonesia secara jujur, lalu menerimanya sebagai sebuah rasa malu. Itulah tawakalnya bangsa. Membangun sebuah bangsa haruslah bermula dari individu yang menghuninya sendiri. Ketaatan terhadap falsafah bangsa dan mengedepankan kepentingan Negara diatas segalanya, belajar percaya kepada pimpinan supaya tidak terjadi multiple dualisme kepemimpinan, dalam segala bidang dan yang didapat dengan segala cara. Kebanyakan dari kita menempatkan diri sebagai raja kecil, atau paling tidak berambisi menjadi raja kecil (bahkan ke tingkat yang paling tidak umum). Jika diteruskan maka akan muncul kekuatan kolompok kelompok kecil yang mengedepankan kegarangan kata kata dan kelihaian berdiplomasi yang bisa mencekoki pemahaman warga terpencil yang tidak tersentuh oleh lezatnya enampuluh tiga tahun kemerdekaan. Raja raja kecil ini begitu nakal dan ambisius, sehingga harus membuktikan kekuatan massanya, membuktikan kegarangannya didepan kelompok yang lain, raja kecil yang lain.

Memulai dari sendiri sangatlah tidak susah, saudara. Belajar untuk tetap setia kepada nurani dan memberikan penghargaan yang wajar bagi ajaran ajaran perilaku seperti agama, meletakkannya sebagai compliance blanket bagi setiap kalbu, setiap hati dan jiwa, maka yang tercipta adalah sebuah colored pink coutry, sebuah Negara penuh cinta dan kasih sayang. Agama ditempatkan bukan dikepala, apalagi diukur dengan undang undang buatan manusia. Tuhan bisa murka kepada bangsa kita yang mempermainkan namaNya dalam pernyataan pernyataan pembohongan publik oleh pejabat, Tuhan juga bisa murka dengan cara sebagian orang dari bangsa kita mengajarkan kebenaran Tuhan melalui kebencian dan kekerasan, penghujatan dan penghianatatan nilai. Tuhan akan sangat murka kepada kita jika kita terus beranggapan bahwa setiap orang berhak menjadi Tuhan dibalik baju gamis hasil upeti.

Tumor gila seperti itu hanya bisa dilawan dengan tekat kuat dan bulat untuk sembuh, dan memang berupaya keras untuk sembuh. Jika masing masing dari individu kita rajin bercermin pada nurani masing masing, pastilah Negara yang kaya lagi subur makmur ini bisa menjadi raksasa baru di Asia, bahkan kita bisa menjadi salah satu pilar kekuatan berlangsungnya kehidupan alam semesta, sebuah Negara gemah ripah loh jinawi yang dihuni oleh warga bangsanya yang bersemangat untuk ramah, sopan santun, cerdas dan berbudi pekerti luhur. Alat pemerintahannya berfungsi maksimal dalam melayani kepentingan warga bangsa, para pengemban tugas jabatannya menghayati jabatan sebagai sebuah amanah dan ibadah. Kelompok kelompok organisasi yang ada benar benar punya semangat profesionalisme, dalam ikut mengontrol jalannya kehidupan berbangsa dan bernegara. Setiap pernyataan dikeluarkan dengan sangat hati hati dan arif, jauh dari provokasi dan pembenaran diri, serta konsisten menjaga misi organisasi.

Mari, agama kita tempatkan dalam hati, dalam nurani sebagai penuntun perilaku, bukan di batok kepala konsumtif sebagai komoditi kelompok saja. Dan Tuhan adalah dzat yang tak terbantahkan, tak terdebatkan. Serta yang pasti saudara, semangat patriotisme demi keagungan nama Indonesia.


RI 1 – wannabe.

JGF Karawang, 080620