Wednesday, August 02, 2006

Indahnya pasifisme

Diam pasif, ternyata tidak selamanya mengandung makna bodoh ataupun kalah. Dalam sikap diam dan pasif kita lebih banyak memiliki kesempatan untuk mempelajari, memperhatikan dan menimbang untuk akhirnya membuat keputusan terhadap apa yang kita perhatikan dan pelajari. Sikap diam pasif juga bisa dijadikan wahana untuk mengukur seberapa bagus mutu dari orang lain yang menjadi subyek bersikap kita. Dengan diam orang tidak akan tahu apa yang kita ketahui dan apa yang tidak kita ketahui. Sikap diam seperti ini kadangkala mengundang orang untuk bicara banyak tentang kehebatan kehebatanya, keunggulan keunggulannya sekedar ingin menanamkan kesan secara subyektif bahwa dia berkualitas baik, mungkin lebih baik dari kita sendiri dalam anggapanya yang dangkal.

Kebalikan sikap ini adalah mengumbar segala macam cerita, pengalaman, filsafat yang itu itu saja tetapi dengan penerapan yang sangat miskin. Disinilah pepatah “Tong kosong nyaring bunyinya” itu berlaku, saudara. Orang yang menilai orang lain dari sisi luarnya saja, tentu akan dengan instant menilai bahwa orang ini hebat, kualitas unggul dsb karena perbedaan karakteristik, budaya, bahasa, dan segala macam tetek bengek label peradaban umat manusia di dunia. Banyak orang yang menganggap bahwa orang asing yang bukan dari lingkungan yang dikenalnya secara impulsif diartikan sebagai orang yang unggul dalam kualitas. Orang seperti ini akan dengan serta merta mau membuat keputusan yang menyangkut tentang keberlangsungan nasib dan hidupnya, menganggap menemukan orang hebat sebagai sandaran. Keputusan spontan yang hanya dilandasi penilaia dangkal terhadap kualitas orang asing semata beresiko membawa dampak panjang bernama penyesalan.

Saudara, mengukur kualitas manusia idealnya adalah dari kepekaan nuraninya yang tercermin dalam sikap, perilaku, tutur kata maupun tingkah keseharian dalam berinteraksi dengan mahluk hidup lainya. Cara orang memperlakukan sesama dan bagaimana menempatkan hormat dalam skala prioritas praktek interaksinya sangat jelas adalah refleksi dari bentuk kepribadian yang ditimbulkann oleh cara berfikir dan cara memandang orang tersebut terhadap tatanan kehidupan. Cara pandang dan berfikir, terbentuk oleh banyak sekali aspek pengamalan empiris emosional dan pengalaman spiritual yang diterjemahkan menjadi sikap mental. Usia yang menua bukan jaminan kematangan, juga pendidikan tidak mutlak menjadi galah pengukur. Kerendahan budi timbul oleh ketidak patuhan terhadap nuraninya sendiri, penggunaan hak ego yang melebihi kapasitas terhadap orang lain dan sebagainya. Sikap seperti ini sangat mudah dilihat dari orang orang yang punya kepribadian sebagai penguasa yang menganggap dengan keberadaan pribadinya dia merasa berhak dan harus memiliki porsi menguasai terhadap sesuatu dari kehidupan orang lain.

Pasifisme menuntun kita untuk dengan teliti menilai orang lain dari banyak sekali faktor, mulai dari bagaimana sikap dan tutur kata, yang akan berujung kepada bagaimana pola berfikir si empunya sikap itu. Sebab saudara, segala sesuatu adalah bermula dari fikiran, dan fikiran setiap individu memiliki karakternya sendiri sendiri yang diimplementasikan dalam menjalani kehidupan ditengah mahluk hidup dan mati lainya di muka bumi. Ketika kita berhadapan dengan orang yang samasekali tidak kita kenal, ada baiknya kita melepaskan kepercayaan tidak sepenuhnya, tetapi tetap menjunjung tinggi hormat dan penghargaan kita sebagai sesama manusia. Sebab sekali lagi, orangpun akan menilai kita dari bagaimana kita bersikap terhadapnya ketika masih sama sama asing. Dengan begitu saudara, sikap diam pasif justru lebih memberi peluang untuk menentukan pilihan yang tepat apabila suatu saat kita harus membuat keputusan apakah kita akan meneruskan bentuk hubungan (apapun bentuknya) dengan orang tersebut atau cukup berhenti disini karena kita tahu dari pendalaman si orang asing yang tiba tiba menyeruak masuk ke dalam kehidupan kita. Keputusan berhenti ini bisa kita ambil ketika sikap diam pasif kita mementerjemahkan dengan jitu bahwa menyekutukan diri dengan orang tersebut lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya. Orang yang sengaja mengabaikan perasaan orang lain dan mengatasnamakan pepentingan sendirilah yang patut kita pertimbangkan untuk membangun sebuah perhubungan.

Dan jika orang asing itu ternyata hanya manusia –maaf- brengsek (jenis ini banyak sekali dijumpai di kehidupan), maka hendaknya kita tetap konsisten menjaga sikap dan tutur kata kita, tanpa harus mengharap berlebih bahwa orang itu sesuai yang kita harap yakni barbudi luhur dan berhati nurani. Tinggal kita doakan saja semoga dilimpahi hidupnya di dunia dengan rahmat dan karuniaNya. Dan dari situ kita akan belajar betapa indahnya sikap diam pasif dalam mengenal orang baru dalam kehidupan kita…

Portacamp 38 Papua 060802
(Tertulis untuk NW – DDA)