Sunday, December 20, 2009

Ingin Tidak Pernah Bertemu Malam

Dalam sebuah episode hidup, pernah merasa seperti ini; rasanya tidak ingin bertemu malam, sebab didalam malam iblis membabi buta, sedangkan tangan terikat pada kedua kaki. Tidak berdaya disiksa oleh iblis, iblis yang kemarin baru dilahirkan, mengajak serta seluruh kekuatan perusaknya. Beratus ratus hari dulu pernah berperang sendirian, menahan marah hingga tubuh bergetar, menahan sakit hingga tangis kehilangan air mata, menahan sedih yang tak terlukiskan dengan kata kata, menahan nyeri yang menyerang sekujur badan.

Iblis dari masalalu telah merasuki jiwa, dan itu akan perlu waktu cukup lama mengusir mereka, menundukkan mereka, berkompromi dengan mereka satu persatu. Jumlahnya terlalu banyak saat ini. Iblis iblis ada dimana mana, bahkan disetiap lagu yang biasanya bisa didengarkan sekarang isinya sindiran dan ejekan. Mending tidak didengarkan. Sejatinya mereka telah berkampung dan beranak pinak dalam pikiran, menjadi virus yang menyebar keseluruh sistem kerja badan dan otak. Agresif serta berpikir serba negatif. Mungkin sakit hati bagi orang lain hanya dramatisasi belaka yang membesar besarkan persoalan sepele dengan cara sangat subyektif. Apriori! Padahal kita tidak akan pernah bisa mencicipi seperti apa sakitnya hati orang lain.

Sebuah hubungan yang ternodai, ibarat batang kayu yang ditancapi paku baja. Ia tidak akan pernah kembali pulih selamanya. Cacat permanen, terbawa sampai tamatnya nanti. Sikap kasar yang membabi buta mau tidak mau pasti menyakiti, karena memang tujuannya hanya itu; menyakiti sebagai protes atas siksa yang ditanggungkan. Tetapi sikap kasar itu tidak pernah bisa cukup untuk menebus kerusakan yang terdampak di dalam alam batin. Semua porak pranda, setiap tempat menyisakan kesan bahwa sebisa mungkin tempat tersebut dihindari karena mengingatkan kepada kenangan. Memang membencikan perasaan seperti itu, tetapi harus dihadapi dan ditelan sendirian. Setiap hal yang mengingatkan kenangan pasti akan menjadi sesuatu yang tajam menusuk, perih memilukan. Hal hal semacam itu akan terjadi sampai nanti akhirnya masa buram itu sudah lewat. Hati begitu bahagia ketika merasa bisa berkompromi dengan iblis iblis itu. Rasanya kembali lahir dan memiliki semangat hidup lebih baik lagi, karena satu ujian sudah selesai terlewati.

Berharap pada pengalaman buruk masalalu akan membuat para iblis bosan menyiksa. Namanya iblis, semakin berinteraksi dengan manusia, maka semakin banyak orang akan terluka. Reaksi buruk dan kasar yang diekspresikan kepada penyebab sakit hati tidak akan cukup satu atau dua kali saja, itu bisa saja berulang ribuan kali, dan terjadi lagi dan lagi tanpa interval waktu yang bisa digambar. Semua dikendalikan oleh seberapa kuat iblis menguasai sikap. Ibarat harus melintasi lapangan luas berisi beling dibawah matahari, tanpa alas kaki, rasa takut tentu ada. Rasa takut bahwa kita tidak bisa menjadi orang baik, seperti sering menjadi cita cita dalam angan angan setiap orang; yaitu merasa bahagia ketika bisa menolong, serta menghormati orang melebihi cara mereka menghargai kita.

Setiap orang yang digolongkan sebagai orang dewasa, akan selalu dituntut tanggung jawab atas perbuatannya dan juga usianya. Sungguh sangat disesalkan semua rangkaian cerita kejadian buruk yang berujung pada cacatnya hubungan antar manusia, sebab kita tidak seharusnya melewati hal seperti itu. Setidaknya , itulah yang selalu diyakini oleh setiap orang ketika mengenal seseorang lainnya. Terkadang mungkin juga memang datang waktu yang tepat untuk tahu diri, pergi menjauh saja supaya semua orang terjaga dari terluka, membawa perih dada yang menganga menuju ke sebuah manara mercu suar dipulau kecil, dimana disana hanya sepi dan iblis iblis yang menyiksa yang tinggal.

Lupakan tentang bentuk penjelasan. Rasanya itu tidak lagi diperrlukan sebagai bekal perjalanan menuju depan. Cukup membawa luka hati sebagai kenangan.
Gempol 091220