Pertanyaan pertanyaan yang muncul dari adanya rasa terancam, adanya kecemasan terhadap kestabilan emosi, ketidak nyamanan perasaan dan keamanan hati acap kali melahirkan kesimpulan subyektif dalam fikiran. Alam fikiran yang tidak memiliki pigura yang membatasi daya gerak fikiran mengombang ambingkan pertanyaan yang mengayun dan beranak pinak menjadi lebih banyak lagi kemasygulan.
Berprasangka adalah cara logis sang otak bekerja melindungi hati dan ego dari kerusakan yang mungkin terjadi dengan diawali kesakitan oleh luka yang maya. Cara berfikir yang investigative dan cenderung menduga duga ini sering juga dinamakan syak wasangka, berpraduga, sangkaan apriori dan lebih parah lagi bisa menjurus ke arah yang lebih negative; fitnah. Fikiran itu sendiri adalah anak dan buah dari ketidak percayaan yang sudah impotent kehilangan daya keyakinan terhadap seseorang yang dianggap telah dengan sengaja menikamkan belati karatan di pungung kita di masa lampau.
Keadaan bisa berubah menjadi kekacauan apabila prasangka ini diimplementasikan dengan sikap apriori, menghakimi bahkan dengan mentah mentah menjabarkan kesimpulan sebagai sebuah keyakinan yang tidak terbantahkan. Prasangka dipaksakan menjadi sebuah kebenaran yang tidak terbantahkan, sementara sanggahan maupun upaya pelurusan hanya kan bersifat pembenaran dan pembelaan diri belaka. Keadaan ini bisa disimpulkan menjadi situasi gawat. Counternya adalah dengan memberikan penjelasan sederhana yang jujur tanpa mengarahkan dengan ekstrim bahwa apa yang disangkakan adalah salah atau benar. Cukup dengan fakta fakta logis sederhana dan singkat saja.
Karena urusan prasangka ini adalah domain dari emosi, maka pada saatnyapun dia akan meredup dan perlahan padam kembali menjadi kesadaran, penalaran penalaran masuk akal bahkan kemudian bisa difahami sebagai sebuah kesalahan proses berfikir, kesalahan menyimpulkan sebuah dugaan belaka. Itu bisa terjadi pada pribadi pribadi dengan kecerdasan emosional yang memadai bisa menganalisa fikiran sendiri dari luar lingkaran pengetahuan. Prasangka terbangun sering karena ketidaktahuan. Keengganan untuk mengenal dan memahami sesama.
Kenyataanya adalah bahwa kita masih sering menggunakan asumsi, prediksi atau dengan bahasa dalam tulisan ini disebut sebgai prasangka tanpa argumentasi logis untuk menyimpulkan penilaian terhadap seseorang. Kebiasaan seperti ini tentu tidak baik karena lebih banyak mudharatnya dan mengarah kepada sifat su’udzan karena akan menyebabkan orang untuk berspekulasi dan memprediksi berdasarkan landasan emosional belaka.
Jika kita introspeksi, entah sudah berapa orang yang tanpa sadar telah menjadi korban dari prasangka kita. Telah berapa banyak orang baik yang menjadi buruk di mata kita…
Cubicle, 060928