Wednesday, February 22, 2006

Balada si badut

Ini kisah tentang seorang penduka bernama badut, hidup didunianya yang hitam kelam dan sendirian. Menyediakan. Hatinya terpenjara demi dunia lelucon bagi peradaban. Ia menyediakan diri menjadi tertawaan, membunuh kepribadian dengan topeng kesedihan. Oleh penguasa pertunjukan, dia hanyalah benda mati sebagai mainan, bibirnya ditempeli plastik lukisan sebuah senyuman. Dia sadar, hidupnya sendirian.

Suatu kali ia terdampar dikerumunan sebuah pemberhentian; seseorang menjanjikan datang dan mengharap jemputan. Si badut merasa terhormat berada di tempat seperti orang kebanyakan. Seseorang, kali ini bukan badut. Segala atribut kebadutanya dilepaskan, ditinggalkan dirumah dengan kesedihan, sayang rasanya meninggalkanya tergantung dilemari pengalaman.

Subuh ini si badut akan menjadi orang biasa yang tak dapat dikenali kebadutanya. Dipersiapkanya sekeranjang duka sebagai cerita (sebab hanya itu yang dia punya), dibawanya langkah yang lelah menuju kerumunan, tempat yang dijanjikan. Dia menunggu bersama malam dan segala kegirangan dalam fikiran, dia menunggu seperti semua orang ramah dan baik hati menemani, mengajaknya berbincang tentang indah kehidupan.

Maka datanglah kereta kesekian, dengan sebuah hati membawa bunga dan senyuman. Sebuah hati tempat sibadut menitipkan riwayat kehidupannya. Dia tersenyum dengan hati berdebaran kencang, menyusun ribuan kata untuk jadi percakapan. Harum rambut yang pernah dikenalinya membius cerita duka yang sejak setahun terakhir memperkosa bathin si badut. Dia tenggelam dalam cerita cerita sebuah pertemuan di negeri dongeng, negeri khayalan. Sebuah hati berjalan kearahnya, hati yang ditungguinya yang diharapkannya tanpa kemungkinan lain. Mutlak. Tak sadar si badut melonjak girang.

Direntangkan tangan dengan dada penuh perban, ketika si hati berada dihadapan menyambutnya masuk dalam pelukan. Senyumanya tetap senyum yang memabukkan dulu, senyum yang dia bawa khusus buat si badut yang kegirangan. Tetapi si hati hanya berlalu dan terus tersenyum, si badut hanya memeluk udara, memeluk kehampaan mulanya. Lalu kehampaan itu menjadi pemberontak paling garang ketika si hati jatuh rebah dalam pelukan sang pemilik pertunjukan. Sang hati pembawa bunga, dia datang bukan untuk si badut, menjadi bintang bagi sang pemilik menggelar sebuah pertunjukan.

Dengan kehampaan udara dipelukan, dunia meledak dalam gelak tawa yang tak terbendungkan. Sebagian menunjuk muka si badut yang kemerahan. Dunia terpingkal mentertawakan kebodohanya dengan semua mata melekat pada wajahnya yang kehilangan pijakan. Berhenti tertawa tak diijinkan sampai si badut tahu diri dan menyingkir dari keramaian, berjalan menunduk menyusuri trotoar Jakarta dengan sesekali sumpah serapah merendahkan dirinya. Telah didengarnya caci maki, telah dirasainya ludah penghinaan, telah diterimanya tamparan kemarahan dan hari ini, diterimanya sebuah cemooh terhadap keangkuhan harga diri. Apa lagi yang lebih kurang merendahkan dari semua kejadian?

Si badut pulang kedunianya dikegelapan. Menemukan jubah badutnya tetap tersenyum dalam gantungan, lalu ia menangis mengasihani diri. Sungguh ia ingin melukai hatinya sendiri namun tak didapatinya satupun kemungkinan. Si badut kenyang dengan hidupnya yang dipermainkan. Si badut mengira telah cukup dilewatinya kesengsaraan, namun nyatanya penyiksaan masih saja diterima tanpa bisa dihentikan. Dibawah gerimis, dibawah gelap lepas subuh ia tersdar bahwa ia belum lagi meraih puncak kesengsaraan bathinya sebagi badut senyatanya bagi kehidupan, bagi sang pemilik pertunjukan; orang orang yang menganiaya bathinya.

Ya dia hanya patut jadi badut kehidupan…


Gempol, 060221 – 0201hrs