Friday, October 06, 2017

Hikayat Tanah Lor


 

 

 

 
Rabu Pahing yang dibalut gerimis mengawali langkah mengikuti arah khayali, dari kampungku di Boyolali menjelajahi tanah Jawa bagian utara. Rute Pantai Utara, jadi jika dari kampungku kearah timur sekitar 7 km, bertemu dengan kota kecil bernama Gemolong. Dari Gemolong ketemu jalur kereta api yang menandai jalur jalan utama Solo – Purwodadi. Pada perempatan Gemolong membelok ke kiri menuju kota Purwodadi yang masuk di Kabupaten Grobogan. Seratusan meter dari perempatan itu, terdapat stasiun kereta api kecil, peninggalan masa Belanda dulu. Stasiun Salem namanya. Konon Gemolong dulu namanya Salem, dan lebih konon lagi sebelum Salem namanya adalah Ngeseng. Mungkin dahulu kota persimpangan ini pernah berdiri pabrik seng, hal itu sama sekali tidak diketahui oleh pengetahuanku yang dangkal. Jalur kereta api itu yang menghubungkan pesisir utara Jawa menuju ke tengah (Solo) dan lalu bisa melebar ke seluruh pulau, menghubungkan dengan kota kota besar dengan stasiun stasiun besarnya seperti Jogyakarta dan Semarang.
Belanda membangun jalur kereta api untuk mengangkuti kayu kayu Jati dari peisir utara Jawa, Tanah Lor simbah menyebutkannya. Terkadang juga disebut Ngare. Kalau direnung renung, Tanah Lor artinya adalah tanah pesisir utara Jawa, sedangkan Ngare kemungkinan seseorang pernah menyebut daerah hutan yang luas itu dengan Ngarai. Selain kayu jati, produk produk laut juga mengalir ke jantung Jawa melalui jalur yang sama. Kudus, Jepara, Pati, Blora, Rembang, dan sekitarnya adalah gudang produk maritim yang sangat besar. Simbah adalah pedagang di masa produktifnya. Namanya Wakiyem, orang memanggilnya Mbah Jo (karena pernah bersuami bernama Harjo – yang dulu aku selalu memanggilnya dengan panggilan Mbah Moe). Masa kecilku dulu sering mainan di besek raksasa tempat simbah membawa tembakau dagangannya ke Tanah Lor, tembakau yang didapat dari daerah Temanggung. Simbah sering menyebut stasiun Kutoarjo masa itu. Terkadang simbah membawa ke selatan ikan asin berkarung karung untuk dijual di Solo. Jari manis sebelah kiri punya simbah memang tampak beda, dan beliau berkisah bahwa kecacatan itu diakibatkan oleh duri ikan asin dalam karung dagangannya yang ia tepuk di atas kereta api suatu ketika, dan menyebabkan luka infeksi, menjadikannya cacat permanen. Jejak jejak simbah sebagai bekas peniaga ulung hanya aku temui ujungnya, dari beberapa benda saja seperti sekaleng uang koin yang kata simbah sudah tidak laku lagi, menjadi barang mainan bagi aku sesaudara. Besek raksasa bekas wadah tembakau yang terbuat dari anyaman bambu itu, tempat favorit bermain bersama kami. Kami sering masuk ke besek itu, kemudian menutup diri kami dengan penutupnya yang juga dari anyaman bambu. Kami betah berlama lama berdua dialam besek itu, sambil sesekali mengintip keluar melalui lubang lubang anyaman. Benda selanjutnya adalah Grobok (mungkin benda ini asalnya dari kata drop box). Peti raksasa yang berfungsi sebagai meja itu berada ditengah ruangan, karena memang difungsikan sebagai meja. Terbuat dari kayu jati tebal, dan didalamnya simbah menyimpan untingan untingan padi dan terkadang beras dalam wadah dari anyaman bambu lagi, anamanya bojok.
Wadah dari anyaman bambuseperti itu tiap tiap ukuran dan bentuk memiliki nama sendiri sendiri. Yang terkecil itu namanya centhak, tompo, kemudian lebih besar lagi tumbu, bojok, tomblok, lalu senik. Itu urutan berdasarkan kapasitas daya angkutnya. Biasanya cara membawanya di gendong dengan menggunakan utas kain jarik atau selendang. Sedangkan benda serupa yang dikhususkan untuk dipikul bernama thopling. Seperti halnya barang diatas, thopling juga dibuat dari anyaman bambu berbentuk segi empat setinggi kira kira 50cm Di keempat sudutnya ditautkan tali keatas, tempat nantinya melilit di pikulan. Container gendongan itu dibuat dengan anyaman bambu yang halus, sedangkan thopling dibuat lebih kasar dan kekar. Peralatan peralatan itu sekarang sudah mulai punah, berubah menjadi plastic dan yang bermesin. Aku masih mengalami paling senang kalau dipikul oleh pakde Bejo, aku sebelah dan anak lain di thopling sebelah, terkadang juga menggunakan benda hasil bumi sebagai penyeimbang sebelah. Itu sensasional bagi masa kecil.
Melewati Gemolong, jalanan lengang diguyur gerimis Januari. Tetapi sungguh hari hari pertama tahun barupun tak juga membedakan aktifitas di pasar pasar tradisional yang terlewati. Jika melintas ke arah utara, maka nanti akan ketemu dengan papan tulisan besar besar berbunyi “Lokasi Pariwisata makam Pangeran Samudro”. Itulah yang orang orang sebut sebagai Gunung Kemukus. Konon itu dalah sebuah bukit dimana terdapat makam yang dikeramatkan. Orang percaya bahwa memohon dan bertirakat di makam itu dapat mendatangkan kekayaan, dengan syarat bahwa si pemohon harus berhubungan badan dengan lawan jenis sesama pemohon di tempat itu. Sejak beberapa tahun silam mitos itu sudah berubah, Gunung Kemukus sudah menjadi lokasi pelacuran dan salah satu sumber pendapatan kabupaten Sragen. Konon pangeran Samudro adalah seorang pangeran yang jatuh cinta kepada ibunya sendiri. Kisah itu sangat mirip dengan kisah Tangkuban Perahu di Jawa Barat. Jika dinalar secara logika, maka memang perkawinan sedarah tidak boleh karena sangat riskan terhadap keturunannya kelak. Aku sendiri belum pernah datang ke tempat itu, tempat yang langsung berkonotasi mesum.
Sampai dengan Gunung Kemukus terlewati, sepanjang perjalanan kita beriringan dengan rel kereta api di kiri jalan, kemudian kita akan bertemu kota kecil bernama Sumberlawang. Kota kecil dengan stasiun kereta api kecil yang masih terawat baik sehingga sekarang. Aku tidak punya cerita banyak soal Sumberlawang ini, kecuali dulu waktu SMP sempat bersepeda bersama teman teman ke kota kecil ini. Melewati Sumberlawang, maka kemudian perjalanan lebih banyak melintasi hutan dan oro oro. Seingatku dulu ini adalah hutan jati yang rimbun dan terkesan wingit, jalannya  berbelok belok di beberapa tempat. Sekarang pepohonan didominasi oleh pohon pohon mahoni raksasa, dan beberapa rumah sudah dibangun diantara sela selanya. Jalanan yang sebentar aspal sebentar beton menandakan bahwa tekstur tanah ditempat ini labil, mudah bergerak dan menyebabkan kerusakan konstruksi jalan.
Kita skip perjalanan melewati hutan dan pedesaan, untuk kemudian memasuki kabupaten Grobongan. Sawah dan beberapa bangunan tua menyambut beku, meskipun hari sudah beranjak makin siang. Waktunya sarapan telah terlewatkan, dan gerimis masih saja turun perlahan lahan. Kuda penarik delman mengangkut penumpang yang baru pulang dari pasar, diantaranya membawa seekor kambing betina yang dipegangi erat oleh pemiliknya, tepat di kekang lehernya. Aku membayangkan percakapan antara kuda penarik delman dan kambing penumpangnya; mereka tentu saling mencurahkan isi hati tentang betapa nesatpanya hidup menjadi binatang. Yang satu diperbudak oleh tuannya untuk mencari nafkah dengan tenaganya, dan sang penumpang hanya menunggu waktu sampai sang jagal menutup biografinysa sebagai kambing untuk terhidang di meja makan. Sang kuda lebih nestapa lagi, setelah tenaganya habis diperas sepanjang usia, iapun akan menghadapi golok tajam penjagal di warung sate kuda. Sayang sekali, mereka tak terdengar menghiba hiba oleh telinga manusia.
 
Memasuki kota Purwodadi, jalanan masih saja sepi. Barangkali memang kota ini setiap hari sepi. Atau hanya kebetulan karena angka di almanak berwarna merah, kemudian seolah olah kehidupan berhenti sejenak. Menara tandon air di persimpangan jalan lima arah tengah kota menandakan kita berada di pusat kota Purwodadi. Menara air yang menjadi penanda, pertemuan dari lima arah jalan yang berbeda beda; Solo, Semarang, Blora, Pati dan Rembang. 
 Jam delapan malam. Pikiran kosong di ruang tamu. Buku  gendut berjudul “Pram Melawan” tinggal sekira seperempat lagi selesai kubaca, tapi saat ini aku sedang tidak mood membaca. Aku pengen mendengar sesuatu, tapi mendengar apa yang menarik saat ini? Seharian tadi berulang ulang memutar lagu in the arms of angel dari Sarah McCallahan itu. Diluar rumah gerimis turun, suara butiran air lembut menyentuh atap beranda berbahan plastik. Gerimis mengurung badan kita dalam ruang yang begitu aman dan kering. Teralinya berupa perasaan syahdu merindu rindu. Semua kenangan membanjir, semua ingatan mengalir menembusi rintik air. Sungguh hujan adalah sesuatu yang ajaib.
Sejak kecil sampai setua ini aku masih menyukai hujan. Waktu kecil aku senang sekali main hujan hujanan. Bue seringnya mengijinkan, dengan catata bahwa sesudah hujan hujanan harus mengerjakan sesuatu atau jika sudah tidak ada pekerjaan yang menjadi tugas lagi. Telanjang bulat hujan hujanan, berlarian dan memburu genangan genangan kecil. Seperti biasa, berdua dengan Sony. Aku masih ingat kekecewaan jika sedang asyik asyiknya bermain, hujan berhenti. Biasanya kami teruskan bermain hujan hujanan tanpa hujan di parit perti kecil atau ke sawah yang lebih basah…..
Purwodadi. Memasuki kota kecil itu sama saja memasuki labirin persimpangan lima jalan yang membingungkan. Aku mencari arah menuju Blora. Purwodadi menyeret ingatan kepada masa kecil, cerita simbah tentang Tanah Lor, tentang Wong Ngare. Dulu di kampungku ada beberapa warga baru pindahan dari Tanah Lor. Orang orangnya cenderung lebih religious, dan logat bahasa jawanya aneh di telinga kecilku. Bahkan semasa SMA, aku punya teman Ngare yang tinggal dikampungku, teman sekelsku. Dia menumpang dirumah saudaranya, karena jarak sekolahan yang relative lebih dekat dibanding di kampungnya Tanah Lor sana. Namanya Kuswandi. Meskipun polos dan lugu, tetapi dia baik hati, dan selalu punya uang jajan kalau sekolah. Sedangkan aku hampir selalu tanpa uang jajan. Di sekolahan terkadang aku ‘memeras’ teman teman dengan mengerjakan PR mereka atau ‘menyendera’ surat buat mereka. Kuswandi ikut pakdenya, namanya Dakelan (aku yakin sebenarnya adalah Dahlan). Dia orang yang lumayan misterius. Orang orang Ngare yang tinggal di Andong antaranya ada Siran, Ngadenan (Adnan?), Ropingi (Rofii?) dll.
Dan aku menyelam kepada kenangan itu sambil mengirup udara Purwodadi yang basah oleh gerimis tak berhenti. Sepanjang jalan slide demi slide khayal bertamu ke ruang ingatan. Inilah Tanah Lor yang pernah dijelajahi oleh simbah di masa silam. Tanah Lor yang yang pernah hidup di pikiran masa kecilku sebagai sebuah lanskap subur lohjinawi dengan penduduknya yang masih agak terbelakang dari segi peradaban modern. Tapi ini baru batas selatan dari Tanah Lor, tanah pesisir Jawa bagian utara.
Diantara hutan hutan jati dan jalan aspal sunyi itulah aku bersama Ampung pernah menjelajah desa desa hingga ke Demak, bersepeda motor memburu benda antik dan kuno simpanan warga. Bahkan sempat juga mendapatkan senjata api pistol Smith and Wesson di sekitar Pati, senjata api simpanan warga bekas polisi hutan dulu. Desa desa itu juga menyimpan bermacam pusaka dan senjata di rumah mereka, yang tidak akan bermafaat jika tinggal menjadi simpenan dan dikeramatkan. aku ingat, ada stasiun besar dan tua bernama Gundih diantara lebatnya hutan jati itu. Di depan stasiun itu ada sate yang lezat sekali, jawa sekali, tidak seperti sate sate yang dijual di kota kota. Tidak jauh dari stasiun itu ada pemandangan yang mencengangkan; selusinan rumah rumah gedong peninggalan zaman Belanda berdiri megah dengan arsitektur Eropa yang menawan. Bisa dikatakan lokasinya sebenarnya ditengah hutan. Kondisinya sangat terawat dan menjadi milik dari Perhutani.
Dari cerita cerita orang orangg, aku tahu bahwa daerah Gundih, Godong, Juwana sampai Blora adalah daerah penghasil kayu jati Jawa kualitas nomor satu di dunia pada masanya. Tidak heran jika Belanda mendatangkan pegawai pegawai yang cakap membabat pohon pohon raksasa itu, untuk kemudian dimuat ke atas gerbong gerbong kereta meuju entah kemana. Aku masih ingat waktu kecil masih sering berpapasan dengan truk raksasa dengan bentuk aneh, hitam, kotor dan kekar dengan muatan log kayu jati berukuran raksasa. Kami menyebutkan truk itu adalah truk Gorga (bisa jadi berasal dari kata Gurkha, pasukan bayaran dari dataran Nepal atau India), asapanya hitap pekat, suaranya selalu meraung parau, dan belum tentu seminggu sekali melewati jalan raya di kampungku. Truk Gorga adalah kendaraan yang menakutkan. Suranya bisa kedengaran dari berkilo kilo meter sebelum truk itu melintas. Bahkan dimasa kecil aku masih ingat, masih bisa terdengar suara kereta apai yang melintas di Gemolong, yang jaraknya sekitar 7km an. Masuk akal karena zaman itu memang praktis tidak ada polusi suara kecuali ada orang hajatan. Listrik belum ada, dan tivi masih satu dua dirumah orang orang kaya dengan sumber tenaga menggunakan accu. Sepi pedesaan seperti itu sekarang sudah sulit untuk ditemukan, kesunyian telah didistorsi oleh gaduhnya teknologi. Hanya pada waktu terang bulan saja sekali sekali aku ikut simbah dan bue, menggelar tikar dihalaman rumah yang berlantai tatanan batu dan ditumbuhi rumput teki di sela selanya. Terkadang dengan beberapa tetangga, dan seringnya ada mbah Mustaram mampir untuk ikut ngobrol sampai jauh larut malam. Jika hari sedang baik, teh tubruk pahit, gula jawa dan ikan asin bisa menjadi peneman yang istimewa bagi orang orang tua menggiring malam. Suara obrolannya hanya terdengar seperti menggumam dari dalam rumah.
Mbah Mustaram adalah orang yang istimewa dimata ingatanku. Istrinya namanya mbah Ranti, anak anak kecil takut sama mbah Ranti karena kalau ada anak kecil ditangkap maka dia akan diuyel uyel dengan payudaranya yang sudah molor dan berukuran sebesar kepala anak anak. Ukuran sebesar itu hanya satu sisi saja! Mbah Ranti itu nggilani! Mbah Mustaram, seperti halnya laki laki malam. Dia berjalan kaki bertemu orang dan ngobrol, jalan lagi dan seterusnya. Padahal mbah Mustaram mukanya mengerikan. Wajahnya terkelupas hampir separoh, bagian hidung hingga bibir atasnya sudah hilang, sehingga susunan tulang tulang mukannya kelihatan. Konon mbah Mustaram ganteng waktu mudanya. Karena ganteng itu, maka dia disukai oleh istri lurah. Zaman feodal dulu tidak ada yang berani macam macam dengan mbah Lurah. Suatu malam ketika mbah Mustaram muda menjaga jagung di ladang, dia tidur di gubugnya dan merasakan seperti mukanya tersiram pasir panas. Dia tidak sempat mengetahui apa yang terjadi. Dan sejak itu mukanya mengalami pembusukan luar biasa sehingga bagian depannya menjorok kedalam dalam susunan tulang tengkorak. Mbah Mus Grumpung kami dulu memanggilnya karena kondisi fisiknya.
Konon mbah Mustaram ini juga berasal dari Tanah Lor, jauh sebelum aku dilahirkan. Beranak pinak di kampungku, dan anak pertamanya adalah mbah Wagiyem, bersuamikan mbah Atmo. Mbah Atmo orangnya kekar, tinggi besar (tadinya) kepalanya selalu gundul dan jalannya ekar. Dia seperti kebanyakan lelaki di desa waktu itu, juga jarang menenakan pakaian penutup badan. Telanjang dada senantiasa! Kaki kirinya seolah berjalan menyamping ketika ia melangkah kedepan. Konon kecacatan itu ia dapatkan di pasar Kemusu. Dia terkena serpihan peluru mortir ketika Belanda menggempur pasar Kemusu pada waktu mbah Atmo muda. Pekerjaannya  adalah kuli pikul,memikul barang barang dagangan serupa toko kelontong ke pasar pasar sekitar kampung. Zaman dulu tenaga manusia dihargai sebagai alat transportasi. Dia kulinya mbah Suwondo, pedagan kelontong pasar dari kampungku juga. Jika ke pasar Kemusu yang jauh itu, mbah Wondo naik sepeda dengan ban mati, dan mbah Atmo memikul barang dagangannya kepasar dan kembali kerumah. Lokasi dan jarak pasarnya tergantung hari pasaran. Legi itu ke Karanggede sekitar 12 kilometer, Pahing itu ke Kacangan , sekitar tiga kilometer, Pon itu ke Klego sekitar 5 kilometer, Wage itu ke Kemusu seitar 18 kilometer dan Kliwon itu ke Ngegot yang hanya berjarak sekitar 3 kilometer saja. Mbah Atmo jalannya ekar, serpihan logam masih tertanam di paha kirinya yang cecel bonyel. Aku suka sekali nanggap cerita dari orang orang tua, kisah kisah zaman wali,  zaman Belanda, zaman Jepang, zaman perang kemerdekaan, zaman PKI, dan zaman zaman sebelum masa itu semua yang mereka cerita. Bahkan dari salah satu orang tua aku mendapat cerita, legenda tentang asal usul nama desaku, Andong. Mbah Atmo menantu mbah Mustaram, mahir menyanyikan lagu lagu patriotik Jepang, berhitung Jepang dan menirukan gerakan gerakan militer Jepang yang ia dapat ketika dia dilatih menjadi anggota Heiho yang kemudian menjadi PETA. Mbah Atmo lancar bercerita tentang Remusa (Romusha), tentang Kimigayo, dan baris berbaris a la Jepang.
Sayang sekali mbah Atmo merana di hari tuanya. Bersama istrinya dia terpukul oleh peristiwa tragis, anak keduanya bernama Juyati, melahirkan orok tanpa pernikahan, yang lantas dibunuhnya si orok dan membuangnya di barongan oren (rumpun bambu ori, jenis bambu yang berduri tajam)  belakang rumahnya. Itu terjadi sekitar tahun 1983, dan begitu menggemparkan sampai kampungku penuh manusia; sekedar ingin tahu kejadiannya. Juyati kemudian dibawa oleh polisi, dan kabarnya dipenjara di Boyolali (kota kabupaten). Sejak itu tak terdengar sangat lama kisah Juyati yang berparas cantik dan berkulit bersih itu. Sejak peristiwa itu mbah Atmo dan istrinya seperti menarik diri dari pergaulan. Tidak lama kemudian mbah Wagiyem meninggal, mati ngenes menanggungkan wiring (malu), dan mbah Atmo sudah sangat jarang keluar rumah, apalagi berkisah tentang masa masa perang. Kalau aku kerumahnya, dia melayani seperti biasa, tetapi lebih pendiam dan tidak beranjak dari tempatnya. Berbulan bulan akhirnya dia tidak beranjak dari tempatnya duduk, diujung dipan dengan setengah badaya menghadap jendela, memandang orang di jalanan yang hanya berjarak 5 meteran dari jendela rumahnya. Oya, dia selalu mengaji tidak lama sesudah kejadian itu. Dia mengaji seolah tidak pernah berhenti. Beberapa bulan itu terus terjadi, sampai kemudian suara mengajinya mendengung dengung, bergumam gumam saja. Selang sekitar satu setengah tahun dari istrinya, kemudan mbah Atmo meninggal. Atmo Ngatemin, berbadan kekar, berkepala plontos dan kalau jalan ekar. Adik adik Juyati sepertinya tidak terlalu terpukul. Parno, Jarwono, Parjo, Kirman, Tukimin. Kirman dan Tukimin adalah teman bermainku. Mbah Atmo Gundala Putera Petir kami anak anak remaja yang nakal dulu memanggilnya diam diam.
Aku punya kisah dengan Kirman dan Tukimin. Dulu sewaktu lepas lulus dari SD, aku tidak langsung meneruskan sekolah ke SMP.  Aku sempat berjualan es keliling, gerobak kecil dengan pengeras suara kecil memainkan musik dangdut, atau apa saja yang penting bunyi dari pita kaset. Eskimo namanya, semacam es mambo kalau zaman sekarang. Juragannya  orang dari Kacangan, pak Ilyas namanya. Rumah pak Ilyas sekitar jarak 6 rumah dari rumah Ampung teman lamaku yang sekarang. Kami punya cara sendiri untuk berbuat curang ketika berjualan es itu. Kang Kirman yang mengajari; kalau haus dan kepingin mencicipi seperti apa es yang dijajakan, maka cukup kenyot saja es di dalam termos itu, jangan sampai habis, lalu kembalikan lagi. Selama bungkus dan tusuknya masih ada, maka Pak Ilyas tidak akan menghitungnya sebagai dagangan nyang sudah laku. Suhu udara dan kulaitas termos siap menjadi kambing hitam yang tak punya perlawanan. Trik itu sukses berjalan lancar. Meskipun berjualan, bukan serta merta kami tahu seperti apa rasanya eskimo itu. Bahkan kalau berjualan sampai ke Andong dan mampir kerumah, biasanya mbah Kun mentraktir eskimo untuk anak anak yang berkerumun. Aku sang penjual termasuk salah satu anak yang menjadi obyek kebaikan mbah Kun. Berdagang es keliling itu terhenti karena suatu hari adiknya bapak, Om Prapto pulang dari Jakarta dan waktu ke Andong melihatku mendorong gerobak es itu, dia marah besar. Katanya hal itu mempermalukan keluarga besar bapak. Sedangkan, masa kecilku sendiri hampir tidak pernah ada figur bapak. Padahal kami sangat miskin waktu itu, dan bue tidak berdaya untuk menyekolahkan anak kembarnya ke SMP.
Ketika tahun ajaran baru sudah berjalan sekitar tiga bulan, aku baru masuk SMP. Namanya SMP Pemda, yang kelak menjadi SMP Bhineka Karya. Kepala sekolahnya sudah uzur, betul betul berjiwa pendidik. Namanya pak Wignyo Suharsono. Orang tua yang bijaksana meskipun terkadang galak luar biasa. Kakakku yang pertama sudah di sekolah yang sama, tetapi di SMEA. Lokasinya sama. Untuk keluarga kami, pak Wignyo memaklumi jika bayaran SPP menunggak beberapa bulan karena tidak ada kiriman uang dari bapak. Terkadang kami malu jika pengumuman tentang tenggat akhir bayaran bulanan atau bayaran lainnya tiba. Kakakku akan menghadap pak Wignyo untuk meminta penangguhan pembayaran bagi keluarga kami. Biasanya beliau mengabulkan. Aku sekolah sampai selesai di SMP Pemda itu, dan kemudian melanjutkan ke SMEA Pemda di lokasi yang sama.
Pada waktu SMP kelas 2, aku pernah diminta oleh Om Waluyo, pegawai Pos di Jakarta famili jauh, untuk tinggal bersama ibunya yang waktu itu umurnya sekitar 70 tahun. Mbah Harjo namanya, tinggal di kampung bernama Kliwonan. Rumahnya kecil, ditengah pekarangan yang luas dengan banyak pohon jambu, belimbing, dan tentu saja singkong dan papaya. Berdua saja kami tinggal disitu, aku dijanjikan akan diurus soal uang kebutuhan sekolah. Aku senang, karena jarak ke sekolah menjadi dekat. Sedangkan kalau dari Andong, sekitar lima kilo ke sekolahan, seringnya jalan kaki. Jika kebetulan bertemu teman yang bersepeda, terkadang aku dibonceng. Pernah suatu ketika adikku dibonceng teman sekolahnya, dan kakinya masuk ke jari jari sepeda. Sepatu baru warna coklat kiriman dari Jakarta menjadi robek dibagian belakangnya.
Di Kliwonan aku sepenuhnya  mengurus mbah Harjo. Ini kegiatan rutinnya: Pagi hari, bangun tidur sekitar jam 5, ke pasar Kacangan membawa sekarung daun singkong yang sudah diikat ikat sedemikian rupa. Terkadang bukan hanya sekarung, dan terkadang juga bukan hanya daun singkong yang dijual melainkan juga nangka, pisang dan lainnya. Mbah Harjo akan kepasar untuk menjualnya nanti. Kembali dari pasar, aku ke kebun untuk ramban (memetik daun pucuk pucuk daun singkong) untuk dijual esok harinya. Kegiatan ramban itu berlangsung hingga menjelang siang, karena sekolah masuk siang. Daun daun singkong yang sudah dipetik dikumpulkan dalam wadah besar didalam rumah. Siang sampai sore aku sekolah. Pulang sekolah masing mengikat daun daun singkong itu dengan ukuran yang kira kira sama. Oya, aku juga kebagian untuk masak nasi, itu sering terjadi. Dan mbah Harjo itu pelitnya luar biasa. Pernah suatu kali dia mendapat kiriman ikan bandeng dari salah satu kerabatnya, disimpan entah dimana tau taunya dicuri kucing. Hm, kalau malam aku sering keluar lompat jendela untuk bermain dengan mas Sugi tetangga depan rumah. Orangnya ganteng. Sedangkan tetangga terdekat adalah Bude Kerti namanya, anaknya ada tiga, dua laki laki dan satu perempuan. Yang perempuan sudah berkeluarga dan tinggal dirumah itu juga bersama suaminya. Bude Kerti termasuk orang berada, termasuk diantaranya keluarga ini sudah memiliki sumur, tempat aku mengambil air untuk isi gentong dan kolah mandi mbah Harjo, tempat aku mencuci dan juga numpang mandi di kamar mandi samping sumurnya. Keluarga yang baik. Sayangnya aku lupa nama anak anak bude Kerti, karena yang satu lebih tua dari aku, dan satunya lebih muda. Mas Meri yang lebih muda itu, aku masih ingat namanya. Tipikal orang kaya. Halus dan terawatt.
 
Terkadang kalau pas sekolah libur aku pulang ke Andong. Jalan kaki tentu. Jauh dari bue dan saudara lainnya sungguh tidak mengenakkan. Berjalan sekitar 6 bulan saja aku tinggal sama mbah Harjo. Selama itu pula aku belum pernah bertemu dengan yang namanya Om Waluyo. Alasan aku pergi dari rumah itu karena mbah Harjo ke Jakarta diantar oleh menantunya, pak Bardan namanya. Keluarga pak Bardan tinggal di belakang pasar Kacangan, dan memiliki tiga orang anak Handoko, Yoyok, dan Anna. Pak Bardan lurah pasar yang sangat dibenci karena sikap kasarnya, arogan dan sewenang wenang. Perawakannya tinggi besar, brewok dan jika berbicara lantang. Sepeda motornya BSA besar itu. Bu Bardan punya usaha warung makan. Ramai juga karena letaknya dibelakang pasar. Rumahnya luas, aku sering main kesana dan bersahabat dengan Handoko. Sayangya, keluarga pak Bardan mengalami akhir yang tragis, dan itu panjang ceritanya…
 
To be continued…
 

 

 

 

 



Sunday, September 03, 2017

Korupsi


 

 
Ketika liburan Idhul Adha tiba di hari terakhir, jalanan sepanjang Surabaya Jember melalui Pasuruan, Probolinggo, Randuagung bumi seiolah dipanggang oleh perkasa matahari. Panasnya memaksa orang waras untuk mencari teduhan atau sekedar menghindari sengatannya secara langsung. Deru kendaraan orang pulang liburan, dan orang merangkai riwayat kehidupan masing masing menjejali jalanan dengan berbagai cerita perjalanan yang mereka simpan diam diam. Rasanya semua orang tidak ingin diabaikan, justru pengen didahulukan atau setidaknya dianggap lebih penting dari orang lain. Konsep meras berhak diatas hak orang lain itulah yang menggerogoti tata krama adat nusantara di jalanan. Maka setuju jika Bang Ali menyimpulkan bahwa kehidupan sosial di jalanan adalah cermin dari isi keadaan sosial di seluruh negeri.

Setiap hari ada saja berita tentang pejabat yang ditangkap, atau dianggap turut bertanggung jawab dalam tindak pidana korupsi alias mencuri uang yang adalah hak negara. Dan kesemuanya meraka adalah orang orang yang memiliki status sosial tinggi, entah dari jabatannya atau entah dari jumlah harta yang dititipkan Tuhan kepadanya. Maklum, respect sosial bisa datang kepada orang yang berkuasa. Dan kekuasaan bisa datang karena adanya harta benda yang melimpah, kekuatan uang bisa menempatkan seseorang dalam status sosial tinggi di lingkungannya. Orang kaya akan lebih disegani ketimbang orang tidak kaya. Sialnya, orang yang merasa kaya justru merasa memiliki hak lebih banyak dari pada hak orang lain yang tidak kaya.


Sesungguhnya sikap arogan karena kekuasaan itu sudah menjadi gaya hidup kaum penguasa sejak zaman dulu. Ketika sikap yang kemudian diterjemahkan sebagai sikap hedonis itu menjadi gaya hidup, maka etika moral otomatis akan terabaikan. Mencuri uang negara kemudian dianggap sebagai dosa kolektif, atau bahkan kesalahan kolosal. Bukankah kejahatan yang dilakukan oleh banyak orang menimbulkan aspek beban moral yang semakin sedikit bagi pelakunya? Korupsi oleh pejabat setingkat bupati atau walikota, atau Dirjen, atau kepala ini itu dan bahkan di level level kepangkatan dibawahnya sekalipun semestinya tidak patut dilakukan. Persepsi ‘tidak patut’ tersebut boleh jadi keluar dari ukuran rakyat jelata yang tidak memiliki akses kekuasaan setingkat pejabat negeri. Bukan lantaran hak pribadinya yang terzolimi, tetapi ukuran ketidak patutan itu memantul dari kesadaran bahwa uang yang dimaling adalah uang milik negara. Uang milik negara adalah iuran setiap warga negara yang dikelola oleh management negara dan diperuntukkan bagi kesejahteraan yang merata. Patriotisme yang melahirkan definisi ketidak patutan itu. Patriotism atas rasa ikut memiliki uang negara sebagai asset property bersama warga bangsa. Tidak untuk memperkaya diri pribadi.

Jadi sebenarnya gaya hidup-lah yang patut diduga sebagai akar dari mental korup para pejabat. Dan sekali lagi perbuatkan meng korup uang rakyat semestinya tidak patut dilakukan oleh pejabat sebab pelaku sendiri sudah tentu dari golongan orang yang memiliki jabatan, kekuasaan dan kekayaan. Kaum elit di lingkungan rakyat kebanyakan! Segala kebutuhan hidup sudah disediakan oleh negara yang juga alokasi dari uang rakyat, bahkan jabatan memberikan akses kepada hak hak istimewa bahkan terkadang kemewahan. Berada terlalu lama di awan terkadang membuat orang canggung rasanya memijak bumi. Terlalu lama diistemewakan oleh kekuasaan terkadang membuat orang mengabaikan kesadaran bahwa ia adalah manusia biasa, yang lemah tanpa daya. Menjadi koruptor tentu saja sepaket dengan sikap sombong dan imitative.

Barangkali jarang terpikirkan bahwa mental pencuri uang negara bisa juga lahir dari kondisi birokrasi yang ada di lingkungan ‘pengabdian’nya. Seorang pejabat yang berkuasa atas suatu mandat negara diharuskan menjadi penerus pesan dari atasannya, para pengambil kebijakan. Persoalan persoalan kritis di kemasyarakatan dijawab secara politis, berlindung dibalik tameng birokrat dengan jawaban jawaban yang di plot sebagai blunder. Pokoknya blunder. Ketidak terus terangan lingkungan pengabdian itu bisa juga menjadi virus yang mengembang biakkan keberanian seorang pejabat untuk berbuat koruptif, atas jasanya menjadi penyampai pesan blunder terhadap sesuatu yang mestinya saklek.

Ketika korupsi semakin hari semakin menjadi jadi, maka dapat di simpulkan bahwa penindakan terhadap perilaku tidak patut tersebut ada yang kurang pas. Korupsi menghasilkan kekayaan diatas rata rata pejabat biasa, dan kekayaan diatas rata rata meimbulkan kuasa. Resiko hukuman badan atas pelanggaran pidana yang ambigu tentu dapat dianggap sepadan dengan kekayaan dan kekuasaan yang diapatkan. Jika sudah terlanjur kaya, maka menjadi pesakitanpun akan tetaplah pesakitan kaya. Dan pesakitan kaya tentu memiliki kuasa atas lingkungan tempatnya berada. Maka korupsi menjadi sesuatu yang tidak tabu lagi. Orang tidak lagi menganggap bahwa kemartabatan adalah ukuran sosial politik yang tak dapat dipungkiri. Zaman sudah berubah menjadi semakin menjauh dari konsep kemartabatan. Kapitalisme tanpa sadar sudah menjadi adat kebiasaan dan tradisi sosial kita. Dan kapitalisme mengabaikan prinsip prinsip etika kemanusiaan, atau konsep konsep keseharusan.

Tanpa bermaksud menebarkan syak wasangka, berita berita terpercaya menyuguhkan fakta bahwa pelaku korupsi dan atau antek anteknya berasal dari berbagai lini birokrasi. Mulai dari pemegang kuasa yudikatif maupun legislative. Dari sector hukum dan peradilan yang semestinya menjadi pribadi pilar pilar penegak keadilan layaknya adegium fiat justicia ruat caelum (adegium ini mengandung perasaan anggun, gagah sekaligus bangga sebagai abdi law enforcement), dari sector kerohaniawian yang semestinya lebih mengerti dan mengamalkan apa itu perilaku amanah dan akhlak yang baik, dan sector sector lainnya yang memiliki fungsi begitu ideal sebagai alat atau aparatur membina negara yang gemah ripah loh jinawi. Kenyataaanya keleluasaan akses kepada kekuasaan itu yang diselewengkan dan disalah gunakan sebagai kesempatan untuk mencuri uang negara. Tentu mereka itu hanya oknum.

Jika golongan elit boleh menjustifikasi perbuatan malingnya sebagai bukan ketidak patutan sosial, maka tidak heran kemudian jika perilaku masyarakat kebanyakan menjadi seolah olah urakan, mementingkan diri sendiri dan mangabaikan kepentingan orang. Dan yang lebih mengenaskan lagi mengedepankan car acara kekerasan serta intimidasi atas nama kekuasaan. Setiap orang memang memiliki kekuasaan masing masing setidaknya kekuasaan atas kebebasan dirinya sendiri. Kondisi anarkis ini menjadi bukti bahwa menghormati orang lain berarti menurunkan ego pribadi. Dan orang enggan untuk menurunkan ego pribadi. Seorang koruptor yang sudah dikenal public sejak semula akan tampil dengan senyum imitasi dibalik seragam berwana dan bertuliskan “pesakitan yang terkonfirmasi”.  Mereka akan menjalani kehidupan penjara yang tidak sebegitu lama, dan mendapatkan hak hak istimewa sebagai narapidana kaya. Biaya untuk itu tidak perlu mengahabiskan hasil malingnya sampai sepertiga.

Budaya permisif terhadap pelanggaran nilai nilai luhur kemartabatan para oknum pejabat negara, dan anggota elit masyarakat jelata melahirkan hukum rimba yang mengerikan dan tidak menjadi perhatian. Hanya lantaran sebuah amplifier rusak orang sudah dengan mudah membunuh sesamanya, menukar nyawa orang lain yang jelas jelas tidak sebanding dengan nilai ekonomi dari sebuah ampli bekas. Orang makin dijauhkan dari kemartabatan, oleh sebab harta sudah menjadi ukuran baru pengganti kemartabatan. Penjahat penjahat kelas teri yang bernasib nahas ketika perbuatan mereka gagal harus siap menjadi pelampiasan atas kebuasan sesama manusia. Sepertinya ngeri membayangkan bahwa nyawa tidak lebih berarti dari sesuatu yang memiliki nilai ekonomi. Tidak banyak yang menyadari bahwa kebuasan kaum bawah adalah manifestasi dari busuknya perilaku para oknum pejabat yang semstinya menjadi panutan dalam membangun karakter bangsa. Penjahat kelas teri adalah yang paling tepat untuk menjadi pelampiasan atas frustrasi sosial rakyat jelata. Bukan lagi soal kemiskinan, tetapi lebih kepada soal hak pribadi yang merasa dianiaya. Mereka yang bernasib sial akan mati hangus di selokan atau diperlakukan bagaikan bukan manusia hingga tinggal menjadi pengisi berita criminal. Lalu lesap tak ada cerita lanjutnya. Padahal mereka yang mati hangus dibakar massa atau mati dengan badan cerai berai diamuk warga juga adalah pejuang bagi orang orang yang disayanginya. Para korban pembunuhan massa direnggutkan begitu saja dengan cara sadis dari orang orang yang disayanginya dan menyayanginya.

·        Jarang orang mau mengakui, kesederhanaan adalah kekayaan yang terbesar di dunia ini: suatu karunia alam. Dan yang terpenting diatas segala-galanya ialah keberaniannya. Kesederhaan adalah kejujuran, dan keberanian adalah ketulusan.

Sumber: Mereka Yang Dilumpuhkan (1951)

 

 

 

Jember, 170903

 

 

Monday, April 10, 2017

Belantara Api


:mpbpj
Konon perasaan manusia ibarat hutan belantara. Oleh faktor alami, ia ditumbuhi jutaan jenis vegetasi dengan manfaat berbeda bagi kehidupan. Segala yang tumbuh disana diperuntukkan bagi kebaikan isi dunia. Jika perasaan adalah belantara, maka ia ditumbuhi dengan berjuta vegetasi empiris hasil dari pengalaman menjalani kehidupan selama bertahun tahun. Berisi banyak sekali nilai nilai dan pemahaman pemahaman tentang etika, tenggang rasa dan didominasi oleh tetumbuhan yang lahir dari interaksi antar sesama manusia.

Syahdan belantara mengalami kebakaran hebat. Kebakaran dapat terjadi oleh berbagai sebab. Hutan belantara yang pernah terbakar di masa sebelumnya akan lebih rentan terhadap kebakaran, oleh sebab masih tersimpan sisa sisa trauma dan zat asam yang merubah susunan kehidupan belantara selamanya. Hanya orang orang yang betul betul paham tentang seluk beluk belantara perasaan yang akan sanggup menyulutkan api yang sama di titik yang sama sehingga mampu menciptakan kebakaran maha dahsyat. Musim dipilih dengan teliti supaya api mudah menjalar dan tanpa bersusah payah menciptakan pasal.

Ketika belantara perasaan terbakar atau sengaja dibakar, maka api akan berkobar dalam waktu yang tak bisa diramal. Banyak faktor yang mempengaruhi durasinya. Yang paling dominan adalah adanya sisa sisa kebakaran dari waktu yang sebelumnya yang tidak akan pernah benar benar hilang sirna sampai akhir masa. Sewaktu badai api menjilat, membakar dan menghanguskan seluruh isi belantara, maka upaya untuk meredam dan memadamkannya akan sia sia. Siang dan malam akan berisi perang dengan lawan yang tak kasat mata dengan kekuatan yang luar biasa. Cara paling bijak adalah menyingkir dan menunggu saatnya kebakaran berakhir. Biarkan saja semua hangus, luluh lantak jadi arang dan abu. Biarkan saja badan pemilik perasaan turut remuk redam dalam siksaan. Bahkan ribuan umpatan dan jutaan sumpah serapah tidak akan mampu sedikitpun meredam api yang sedang marah.

Menunggu api amarah reda adalah penyiksaan lain lagi yang tak terjabarkan dengan kata kata. Sebagai manusia tentu pikiran akan mencari pihak yang bertanggung jawab atas terbakarnya belantara yang berisi hasil dari perjuangan akan prinsip prinsip kebaikan. Pada akhirnya hanya sakit dan keletihan luar biasa yang tersisa sesudah malam malam tanpa jeda berisi denting pedang dari perang yang tak kunjung usai. Yang tersisa ketika fajar menyingising adalah ribuan luka gores dan kulit yang melepuh oleh dahsyatnya api. Perih tak terkatakan dan tak perlu dipertontonkan. Menerima kekalahan akan mengembalikan semuanya kepada keyakinan bahwa semua terjadi atas kehendak Tuhan. Maka oleh sebab pemikiran itulah semua dikembalikan kepada pemilik kehidupan. Segala tetumbuhan kebaikan di belantara perasaan telah hangus terberangus oleh api yang durjana. Maka tidak salahlah jika kemudian mengadu kepada Tuhan untuk melaknat sesiapapun yang berlaku sedemikian keji terhadap sesama ciptaanNya.

Meskipun para pengecut sudah lari dan bersembunyi dibalik kemegahan dunia modern dan hanya meninggalkan bencana, kita harus yakin bahwa Tuhan melihat dan menyaksikan semuanya. Doa dan harapan terpanjatkan lewat setiap hembusan nafas agar para durjana dilaknat oleh pemilik kehidupan. Dan doa harapan yang terpanjatkan tiap detik akan didengarkan juga oleh malaikat, mahluk gaib, setan, iblis dan seluruh semesta turut mengamininya. Itulah doa dari orang yang merasa teraniaya dan tak mampu lagi melawan dengan perbuatan.

Membayangkan belantara perasaan pasca kebakaran hebat yang sudah berjalan sehari semalam, tidak berbeda jauh dengan menghidupkan kembali mummi mummi iblis yang salama puluhan tahun sudah berhasil dijinakkan dalam ruang gelap kenangan. Kedatangan iblis iblis baru yang dibawa oleh orang yang mengaku sebagai istimewa telah membangkitkan lagi keganasannya. Kali ini berlipat ganda oleh sebab sekutu baru yang lebih beringas dan keji itu. Perang bisu yang panjang akan berlangsung sembari belantara perasaan berkobar oleh api liar.  Setiap hari akan ditemui benci dan siksa diri. Malam malam akan kehilangan nuansanya dan berganti dengan monolog penuh amarah tanpa seorangpun yang dapat mendegar apalagi memahami maknanya. Semuanya hanyalah pengulangan dari badai api hitam di masa lalu yang dengan susah payah diterima sebagai catatan nasib. Memang biadab orang yang tega menyakiti orang yang telah dan selalu berusaha berbuat baik, berusaha memegang prinsip prinsip kebaikan dalam menjalani kehidupan. Memang biadab orang yang menghianati kepercayaan orang lain yang menitipkan hati dan perasaanya kepadanya untuk dijaga. Orang seperti itu hanya pantas untuk doakan agar Tuhan melaknatnya, memberikan bencana dan celaka atau hilang dari muka bumi.

Mengharapkan orang akan menjaga perasaan kita terkadang berbuah sia sia. Terlalu menyerahkan rapuhnya hati tanpa cangkang kepada orang yang dianggap bisa dipercaya sekalipun bisa berubah menjadi bencana paling dahsyat yang tak terduga. Penghianatan akan kepercayaan akan melahirkan dendam yang jika diikuti akan menyebabkan kerusakan parah. Ketika perasaan kalah sudah sampai di dasar bawah, melawan dengan cara menghancurkan adalah pilihan paling tepat.

Maka tidak ada lagi sisa kebaikan dari sekian tahun belantara perasaan itu terbangun dan terpelihara dengan tujuan kemaslahatan. Menangisi dan meratapi luluh lantaknya belantara pun tak bisa membantu merubah keadaan. Semua musnah tanpa bisa diselamatkan lagi. Segala yang pernah tumbuh, hidup dan memberi makna kehidupan didalamnya tinggal menjadi onggok onggok debu dan arang belaka. Tidak ada lagi yang layak dijadikan kenangan bahwa kebaikan pernah ada di hamparan sisa kebakaran belantara perasaan. Asam yang tertinggal akan menjadi racun yang menghambat tumbuhnya tunas tunas dari akar yang selamat dari amukan khianat. Maka semua akan berjalan sesuai kehendak alam. Yang hangus terbakar tinggal tersisa dalam ingatan samar samar, tetapi yang membakarnya akan menajadi setan, iblis yang menyebabkan gemeratak gigi geraham setiap kali bayangannya melintas dalam ingatan. Memperpanjang perang hanya akan menambah jumlah korban, sebab perang hanya merubah orang menjadi buruk dan jauh dari sisi kemanusiaan.

Panasnya api yang membakar kulit kaki tak seberapa dibanding ganasnya api yang membakar perasaan. Menerima kalah adalah menelan konskwensi itu sendiri. Permintaan maaf dan pengakuan bersalah sejatinya hanya kepalsuan, ditulis dan diucapkan tanpa perasaan. Sakit hati kerena tertipu harta akan luntur oleh waktu sedangkan sakitnya perasaan akan terbawa sampai ke liang kubur. Semua menjadi tidak bermakna lagi. Memang demikianlah adat dunia, bahwa sehebat apapun sesuatu maka pada saatnya akan menjadi tidak bermakna lagi.

Meskipun waktu menelikung usia, badai api di perasaan dan pikiran tak akan kunjung reda. Gelombang demi gelombang amarah akan membuncah memporak porandakan kebaikan yang tersusun susah payah. Biarkan setan sampai bosan menikam, biarkan iblis sampai habis mengiris. Terimalah siksa itu sebagai hadiah perpisahan dari orang istimewa, yang menjelma menjadi penghinat penuh nista; mahluk lebih rendah daripada satwa.

 

Rewwin - 170409

Sunday, March 12, 2017

Monolog Malam

Bulan bundar penuh, mengintip dari sela rimbun daun manga depan pekarangan. Sinarnya jatuh kedalam ingatan, mengujam laksana beling yang dicurahkan dari pucuk pepohonan. Seperti bayang bayang, pikiran mengembara dari pusat bara ke hamparan api lainnya. Badai menyapa bersama malam yang datang penuhi kewajibannya. Pertarungan paling bisu di dunia yang berkecamuk sejak dini hari sebeblumnya masih membabi buta dan menganiaya. Berduyun duyun iblis datang lewat semua penjuru angin, seperti sediakan menerobos seenaknya dengan berbagai prasangka dan beribu sisa. Kebingungan yang telah membikin diri tak berdaya ini sungguh telah melumpuhkan kekuatan yang terbangun, seolah semua menjadi tidak bermakna. Sia sia belaka!

Perang yang diam melahirkan perih yang tak terbantahkan. Namun demikian perih yang datang tak akan dapat dimengerti oleh siapapun, bahkan oleh mereka yang selama ini menganggap diri sebagai belahan hati; orang yang paling dapat memahami tentang isi hati dan pikiran, juga perkataan. Tak ada pertolongan bisa didapatkan karena diam menerima adalah satu satunya pilihan. Hancur dan sakitnya perasaan tak dapat dibagi bahkan dengan cerita. Seperti tak pantas rasanya memamerkan lagi sikap kebayian yang menghiba dan menjatuhkan diri hanya demi empati. Di jalan yang jauh, sepi dan gelap kesendirian semakin lengkap. Bersama bara didalam kepala, ratusan kilometer perjalanan berubah menjadi ajang monolog panjang tentang pentingnya memaknai kata kebajikan.

Kepada malam yang merangkan menggapai fajar, perang dalam pikiran mengendap menjadi residu angan angan. Terlalu banyak kata kata yang dirancang dan tak dapat dilahirkan oleh sebab dunia sudah mati untuk orang yang terbakar amarahnya sendiri. Gelap pikiran untuk dapat menemukan celah cahaya, supaya hati rela dan kuat melepaskan sebelum semuanya berakhir menjadi dendam.

Wahai malam, biar kuceritakan kepada tentang alam pikiran yang tak dapat dipahami dengan ukuran kewarasan dan kecerdasan manusia manapun. Karena memahami alam pikiran memang bukan dengan logika, melainkan dengan kerelaan hati. Begini; sejak badai setahun lalu, semua seolah olah telah berubah. Keadaan yang aman tentram telah berganti menjadi kecemasan dan syak wasangka. Bagi diri, hal itu tak lebih dari pengulangan akan kesakitan panjang dengan versi yang lebih modern, dengan kesakitan jiwa yang tidak kalah mengerikannya. Kamu tahu, jiwa yang sakit melulu berisi pikiran jahat, dan itu membutuhkan banyak sekali tekad kebaikan demi untuk melawannya. Jiwa yang sakit melahirkan obyek obyek yang menyakitkan tanpa seorangpun bisa memahaminya. Tidak ada! Kali ini akan kuceritakan tentang kecacatan jiwa jilid dua itu kepadamu, malam, oleh sebab hanya kamu teman setia bagi setiap orang yang gundah gulana.

Berawal dari pengabaian dan kemudian kepada lumpuhnya kebanggan akan arti kata ‘orang istimewa’, maka dunia menjadi cacat. Cacat yang tak terlihat karena hanya terasa oleh si sakit jiwa; sakit jiwa yang tak dapat terbaca oleh manusia. Kamu tahu, setiap pagi sewaktu keharusan mewajibkan diri untuk berinteraksi dengan alam dan peradaban, maka tak bisa dipungkiri banyak sekali obyek baru menjadi demikian membencikan. Bayangkan saja, sederatan gunung gunung Arjuna, Wilis, Tidar, Kelud dan Semeru di kejauhan yang semula begitu memberi energi karena ketakjuban akan ciptaan ilahi, telah tiba tiba menjadi hantu mengerikan bagi perasaan. Ujung ujung gunung itu begitu runcing dan keras mengoyak nyoyak pikiran. Perih tak terkatakan dan tak ada pilihan lain selain merasakan, menghayatinya dengan geraham direkatkan. Demikian juga dengan segala hal yang berkaitan dengan gerombolan gerombolan pemuja kebebasan itu, membikin pikiran muntah darah sendirian. Sebisa mungkin menghindar adalah jalan paling mendamaikan meskipun acap kali hal itu tak bisa dilakukan. Kamu tahu, perlu waktu puluhan tahun yang seolah terasa sebagai ratusan tahun untuk dapat berdamai dan berkompromi dengan perang bisu itu, untuk dapat menerima obyek obyek horror itu sebagai hal yang lumrah meskipun tak lagi mengandung kekaguman seperti sedia kala. Belajar dari catatan empiris saja, batin memerlukan upaya tak terkira untuk dapat berdamai dengan badai masalalu. Itupun tak akan bisa sepenuhnya kompromis, oleh sebab luka hati sebenarnya ada dan abadi dalam diri si penderita. Hanya waktu saja membuat kesakitan itu seolah olah tidak ada.

Jika sudah demikian, maka semua kembali kepada diri. Seluruh kesalahan di muka bumi ditumpahkan hanya kepada diri sendiri, karena dengan demikian maka kita bisa menerima kepincangan pikiran dan kecacatan pikiran itu lahir dan diolah hanya oleh diri sendiir. Orang lain, obyek lain, substansi lain tidak ada sangkut pautannya dengan keadaan buruk yang dimanifestasikan secara subyektif itu. Tetapi pada dasarnya, setiap penderitaan jiwa datang dari hasil hubungan dua orang manusia. Perasaan cinta sering kali menjadi biang keladi penyebabnya. Dan pada umumnya juga, dari kedua orang yang berkasih kasihan itu akan hanya satu orang saja yang terpuruk dalam penderitaannya. Itupun dialami dengan sangat diam dan tak dapat dipahami oleh siapapun bahkan oleh dia yang selama ini dianggap sebagai partner berbagi kehidupan.

Ah sang malam, aku letih terbenam dalam lumpur perasaan. Peperangan sendiri ini membuatku merasa menjadi rapuh dan tak berguna. Syaraf syarafku telah rusak terbakar oleh begitu banyaknya pikiran yang melulu berisi api. Suaraku telah habis meski tak satupun kata kata terlahir sebagai kompensasi atas sesaknya dada. Semua serba diam, seolah semua telah meninggalkan. Hanya kamu malam, teman setiaku yang mendengarkan kecengenganku.

Ah, sebentar lagi fajar datang menjemputmu dan kamupun harus pergi. Seperti orang yang kukasihi yang juga pergi menjauh, menjauh hanya untuk melunaskan keinginan pribadi. Menjauh demi pribadi pribadi baru yang lebih bermakna daripada sebatang kayu nyaris tanpa makna ini. Mungkin hanya pantas menjadi nisan pengingat, bahwa pernah ada kehidupan tercipta dengan segala keberuntungan menyertainya. Seperti juga engkau wahai malam, akupun akan pergi. Pergi untuk memenuhi kewajiban kewajiban menjadi manusia dan menurutkan kebijaksanaan yang tebawa oleh usia.

 

Rewwin, 130312

 

 

Saturday, March 11, 2017

Jalan Pertapa


 

 

 
Kata seorang kenalan, ketika seseorang mati karena kecelakaan, maka jasadnya akan terbujur kaku dan perlahan membusuk sedangkan ruhnya menunggui sejenak untuk lalu menghilang. Terbang ke langit dan tak dapat lagi ditemukan di kehidupan. Sang ruh lalu menyatu dengan udara, menyaksikan dalam diam cerita cerita tentang si mendiang semasa berjaya; lengkap dengan bumbu bumbu cerita yang mendramatisirnya. Tetapi sang ruh tak lagi dapat mempengaruhi pikiran manusia hidup, apalagi merubah keadaan. Tentu ia menjadi semacam saksi bisu yang memendam semua perasaannya dengan sepenuhnya tidak berdaya. Sang Kenalan juga menceritakan bagaimana menderitanya  si ruh karena penyesalan yang membebani semasa hidupnya. Penyesalan terbesar bagi orang mati adalah tidak memanfaatkan waktu, daya dan kekuasaannya untuk kebaikan. Sesungguhnya, manusia adalah mahluk Tuhan yang paling dapat menjadi bengis dan keji, melebihi kejahatan semua jenis mahlukNya. Bahkan terhadap orang alim dan baik semasa hidupnyapun, si ruh tetap menyesali karena masih banyak perbuatan baik di dunia yang tak sempat dikerjakannya.

Cerita sang kenalan seperti menterjemahkan sebuah perceraian antara kehidupan dan kematian, menggambarkan sebisa mungkin inti residu dari kematian itu sendiri. Sesuatu yang hidup sekian lama tentu meninggalkan jejak kisah yang panjang, beranak pinak menjadi cerita cerita peradaban. Rahasia rahasia tercipta, sebagian tersimpan tetap menjadi rahasia. Kemisteriannya akan abadi dan hanya hidup dalam ingatan si empunya kisah rahasia. Jika sebuah kematian layak ditangisi, hal itu semata mata karena kesedihan mendalam atas putusnya rantai riwayat. Putus dan yang tak mungkin akan tersambung lagi meskipun dengan cerita cerita surgawi sekalipun, meskipun dengan dongeng dongen tentang kegaiban dan keajaiban. Mati adalah mati, berhentinya sebuah siklus dan yang tidak akan terulang lagi.

Bagi sebagian orang, kematian justru diharapkan. Aneh memang, ketika Tuhan menganugerahkan kehidupan yang begitu sempurna dan indahnya, si penerima pemberian justru tidak mengiginkannya. Demikianlah sifat manusia, yang terkadang dihadapkan kepada persoalan dunia yang demikian liat sehingga melemahkan seluruh keyakinan bahkan mengikis dengan deras perasaan bersyukurnya. Dunia menjadi tempat yang tragis, dikendalikan oleh pengusasa penguasa –yang juga manusia – yang berhati bengis. Di dunia modern yang laju peradabanya dikendalikan oleh kapital, nilai manusia hanya diukur berdasarkan angka angka. Ajaran luhur bahwa kewajiban manusia adalah memanusiakan manusia (Multatuli) telah luntur menjadi serpihan kata tanpa makna bagi kaum pemuja kuasa. Ajaran kebaikan yang pernah diterima sebagai jatidiri terlupakan hanya demi predikat baru ciptaan penjajah bernama profesionalisme salah kaprah.

Sebagian dari kita terkadang terlalu bangga menjadi bangsa jajahan. Terlalu mudah mengelu elukan orang yang samasekali asing hanya karena dia didapuk sebagai pimpinan. Budaya yang terbentuk hanya bertujuan untuk menyenangkan sang pimpinan. Pimpinan yang belum tentu menjadi tauladan, tetapi diagungkan sebagai yang menentukan kehidupan. Kebiasaan dan tradisi kerja seperti itu hanya mengajarkan orang untuk memandang ke atas, tanpa memperhatikan pijakan. Orang orang pada kelas terendah cukup bahagia dengan dapat mengekspresikan pemujaanya kepada pimpinannya, sedangkan mereka pada level menengah tiba tiba menjadi raja raja kecil di areanya masing masing dengan tingkat kebengisannya masing masing. Semua menjalankan system dengan ambisi menguasai, ambisi mengkudai orang lain, menyenangkan pimpinan dan mempromosi diri sendiri. Tanpa disadari, lingkungan politik kerja seperti itu menciptakan manusia manusia egois dan kebal kemanusiaan.

Ketika seorang manusia yang bersikeras menjadi manusia biasa dengan sifat kemanusiaannya berhadapan dengan system feudal modern, maka ia kan menjadi manusia kerdil diantara para raksasa pengusa. Para penguasa yang menentuka segala sesuatu atas orang lain dalm bentuk angka. Menghadapi gempuran demi gempuran ketidak adilan dengan ketidak berdayaan terkadang melahirkan pikiran untuk berhenti melawan dan mencari jalan damai yang tak melukai siapapun. Jalan pertapa, dimana tak seorangpun manusia dapat bersinggungan didalam simpang pikiran maupun ambisi pribadinya. Sedangkan bagi yang mampu untuk tetap berdiri ketika badai dan taufan keangkuhan menerpa berulang ulang hanya ada dua jenis manusia yaitu mereka yang memang memiliki keikhlasan dalam hati dan pikirannya dan mereka yang memang tidak memiliki pilihan lain oleh sebab tuntutan yang mengharuskan demikian. Kedua duanya hanya komponen dari sebuah system yang tak menghargai kemanusiaan dengan manusiawi, yang menjalankan roda kekuasaan dengan tanpa menggunakan konsep kemanusiaan.


Jalan pertapa hanyalah berisi keintiman terhadap dzat pencipta, dengan merendahkan hati serendah rendahnya bahkan lebih rendah dari pada tanah. Hidup sang pertapa tidak ada lain kecuali menghamba kepada kemanusiaan dengan keikhlasan sepenuhnya. Mengupayakan semua tindakan demi manfaat untuk orang lain disekitarnya. Jalan pertapa tak mengenal ambisi duniawi, hanya sekedar kebutuhan naluriah semata mata. Diri sendiri menjadi nomor dua karena yang utama adalah diri orang lain disektarnya. Jalan pertapa adalah pilihan tersulit sebagai pengakuan atas kekalahan terhadap laju peradaban yang mengutamakan grafik serta angka.

Pun demikian, memilih jalan pertapa akan tetap  mengihidupkan kenangan akan bengisnya manusia terhadap manusia lainnya, sebagai kisah empiris yang akan tertinggal menjadi ruh.

 

Rewwin, 170310