Bulan bundar penuh, mengintip
dari sela rimbun daun manga depan pekarangan. Sinarnya jatuh kedalam ingatan,
mengujam laksana beling yang dicurahkan dari pucuk pepohonan. Seperti bayang
bayang, pikiran mengembara dari pusat bara ke hamparan api lainnya. Badai
menyapa bersama malam yang datang penuhi kewajibannya. Pertarungan paling bisu
di dunia yang berkecamuk sejak dini hari sebeblumnya masih membabi buta dan
menganiaya. Berduyun duyun iblis datang lewat semua penjuru angin, seperti
sediakan menerobos seenaknya dengan berbagai prasangka dan beribu sisa.
Kebingungan yang telah membikin diri tak berdaya ini sungguh telah melumpuhkan
kekuatan yang terbangun, seolah semua menjadi tidak bermakna. Sia sia belaka!
Perang yang diam melahirkan perih
yang tak terbantahkan. Namun demikian perih yang datang tak akan dapat
dimengerti oleh siapapun, bahkan oleh mereka yang selama ini menganggap diri
sebagai belahan hati; orang yang paling dapat memahami tentang isi hati dan
pikiran, juga perkataan. Tak ada pertolongan bisa didapatkan karena diam
menerima adalah satu satunya pilihan. Hancur dan sakitnya perasaan tak dapat
dibagi bahkan dengan cerita. Seperti tak pantas rasanya memamerkan lagi sikap
kebayian yang menghiba dan menjatuhkan diri hanya demi empati. Di jalan yang
jauh, sepi dan gelap kesendirian semakin lengkap. Bersama bara didalam kepala,
ratusan kilometer perjalanan berubah menjadi ajang monolog panjang tentang pentingnya
memaknai kata kebajikan.
Kepada malam yang merangkan
menggapai fajar, perang dalam pikiran mengendap menjadi residu angan angan. Terlalu
banyak kata kata yang dirancang dan tak dapat dilahirkan oleh sebab dunia sudah
mati untuk orang yang terbakar amarahnya sendiri. Gelap pikiran untuk dapat
menemukan celah cahaya, supaya hati rela dan kuat melepaskan sebelum semuanya
berakhir menjadi dendam.
Wahai malam, biar kuceritakan
kepada tentang alam pikiran yang tak dapat dipahami dengan ukuran kewarasan dan
kecerdasan manusia manapun. Karena memahami alam pikiran memang bukan dengan
logika, melainkan dengan kerelaan hati. Begini; sejak badai setahun lalu, semua
seolah olah telah berubah. Keadaan yang aman tentram telah berganti menjadi
kecemasan dan syak wasangka. Bagi diri, hal itu tak lebih dari pengulangan akan
kesakitan panjang dengan versi yang lebih modern, dengan kesakitan jiwa yang
tidak kalah mengerikannya. Kamu tahu, jiwa yang sakit melulu berisi pikiran
jahat, dan itu membutuhkan banyak sekali tekad kebaikan demi untuk melawannya. Jiwa
yang sakit melahirkan obyek obyek yang menyakitkan tanpa seorangpun bisa
memahaminya. Tidak ada! Kali ini akan kuceritakan tentang kecacatan jiwa jilid
dua itu kepadamu, malam, oleh sebab hanya kamu teman setia bagi setiap orang
yang gundah gulana.
Berawal dari pengabaian dan
kemudian kepada lumpuhnya kebanggan akan arti kata ‘orang istimewa’, maka dunia
menjadi cacat. Cacat yang tak terlihat karena hanya terasa oleh si sakit jiwa;
sakit jiwa yang tak dapat terbaca oleh manusia. Kamu tahu, setiap pagi sewaktu
keharusan mewajibkan diri untuk berinteraksi dengan alam dan peradaban, maka
tak bisa dipungkiri banyak sekali obyek baru menjadi demikian membencikan. Bayangkan
saja, sederatan gunung gunung Arjuna, Wilis, Tidar, Kelud dan Semeru di
kejauhan yang semula begitu memberi energi karena ketakjuban akan ciptaan
ilahi, telah tiba tiba menjadi hantu mengerikan bagi perasaan. Ujung ujung
gunung itu begitu runcing dan keras mengoyak nyoyak pikiran. Perih tak
terkatakan dan tak ada pilihan lain selain merasakan, menghayatinya dengan
geraham direkatkan. Demikian juga dengan segala hal yang berkaitan dengan
gerombolan gerombolan pemuja kebebasan itu, membikin pikiran muntah darah
sendirian. Sebisa mungkin menghindar adalah jalan paling mendamaikan meskipun
acap kali hal itu tak bisa dilakukan. Kamu tahu, perlu waktu puluhan tahun yang
seolah terasa sebagai ratusan tahun untuk dapat berdamai dan berkompromi dengan
perang bisu itu, untuk dapat menerima obyek obyek horror itu sebagai hal yang
lumrah meskipun tak lagi mengandung kekaguman seperti sedia kala. Belajar dari
catatan empiris saja, batin memerlukan upaya tak terkira untuk dapat berdamai
dengan badai masalalu. Itupun tak akan bisa sepenuhnya kompromis, oleh sebab
luka hati sebenarnya ada dan abadi dalam diri si penderita. Hanya waktu saja
membuat kesakitan itu seolah olah tidak ada.
Jika sudah demikian, maka semua
kembali kepada diri. Seluruh kesalahan di muka bumi ditumpahkan hanya kepada
diri sendiri, karena dengan demikian maka kita bisa menerima kepincangan
pikiran dan kecacatan pikiran itu lahir dan diolah hanya oleh diri sendiir. Orang
lain, obyek lain, substansi lain tidak ada sangkut pautannya dengan keadaan
buruk yang dimanifestasikan secara subyektif itu. Tetapi pada dasarnya, setiap
penderitaan jiwa datang dari hasil hubungan dua orang manusia. Perasaan cinta
sering kali menjadi biang keladi penyebabnya. Dan pada umumnya juga, dari kedua
orang yang berkasih kasihan itu akan hanya satu orang saja yang terpuruk dalam
penderitaannya. Itupun dialami dengan sangat diam dan tak dapat dipahami oleh
siapapun bahkan oleh dia yang selama ini dianggap sebagai partner berbagi
kehidupan.
Ah sang malam, aku letih terbenam
dalam lumpur perasaan. Peperangan sendiri ini membuatku merasa menjadi rapuh
dan tak berguna. Syaraf syarafku telah rusak terbakar oleh begitu banyaknya pikiran
yang melulu berisi api. Suaraku telah habis meski tak satupun kata kata
terlahir sebagai kompensasi atas sesaknya dada. Semua serba diam, seolah semua
telah meninggalkan. Hanya kamu malam, teman setiaku yang mendengarkan
kecengenganku.
Ah, sebentar lagi fajar datang
menjemputmu dan kamupun harus pergi. Seperti orang yang kukasihi yang juga pergi
menjauh, menjauh hanya untuk melunaskan keinginan pribadi. Menjauh demi pribadi
pribadi baru yang lebih bermakna daripada sebatang kayu nyaris tanpa makna ini.
Mungkin hanya pantas menjadi nisan pengingat, bahwa pernah ada kehidupan
tercipta dengan segala keberuntungan menyertainya. Seperti juga engkau wahai
malam, akupun akan pergi. Pergi untuk memenuhi kewajiban kewajiban menjadi
manusia dan menurutkan kebijaksanaan yang tebawa oleh usia.
Rewwin, 130312
No comments:
Post a Comment