Monday, April 07, 2008

Jejak pincang ditepi malam

Bintang gemintang berkerlipan di titian kabel sepanjang lapangan Merdeka mereinkarnasikan kenangan masalalu yang berhamburan dalam pencarian semu. Melesat angan pergi jauh tingalkan jasad yang dikurungi sunyi dalam gaduh malam birahi. Isi hati menyelinap pergi diantara liku bentor karatan dan kompleks makam sepanjang jalan, mencari penganan bagi dialog jiwa yang kelaparan.

Betapa mahalnya harga sebuah pertemuan yang bisa melahirkan kebersamaan, ketika jarak berkongsi dengan waktu menganiaya batin yang mengigil asing di tanah yang jauh. Telah terbiarkan diri mengecap rasa pengetahuan yang datang dari segala penjuru arah oleh mulut mulut sepanjang jalan dan kesimpulan yang menjadi property intelektual individu. Sebagian menyangkut hampa di lampion merah merah atau tercecer di baliho reobek pengiklan tirani, atau menggantung ragu bersama bintang gemintang di titian kabel membentang.

Mimpipun tan kunjung tiba ketika waktu hanya berisi realita. Duniapun pasti tahu bahwa hidup tidaklah hanya berisi keinginan dan ketidak inginan semata. Wangi parfum dan kerlingan mata mata genit hanyalah piranti biasa ketika senja beranjak pegi di tepi kota Binjai dan matahari mengerdip bersama ribuan naman dan wajah baru yang hanya melintas sesaat di teras hati.

Dewa dewa perawat nasib menyambut para penjamja selera yang menghitung rugi sebagian menimbang laba di sudut kuil tua di Kampung Keling. Orang asing menangisi jalan yang kehilangan trotoar, meraup semua pengertian dari ketidak tahuan akal.

Diantar deru kota Medan, 7 April 2008