Tuesday, January 03, 2006

Diam!


Aku menjadi semakin tak berdaya. Meyakini ketidak yakinan dan berserah pada keadaan memperlakukanku. Diam diam telah kupilih diam sebagai jawaban atas ribuan pertanyaan yang lengkap dengan jawaban dikepala. Aku hanya mahluk kecil penghuni planet.

Luka luka kecil, bahkan singgungan canda sekalipun tak terasa, kecuali membangkitkan pembusukan yang memang sudah ada dan menjadi mutan bagi emosi. Tinggal kewajiban yang harus dijalankan, kewajiban menjadi manusia itu sendiri.

Lalu bathin ragu bertanya tentang harapan, tentang jawaban tekateki masadepan. Harapan? Kemewahan apa lagi itu? Membicarakanya sama rasanya seperti menaburkan benih benih kekecewaan yang siap kita panen dimasa datang.

Penderitaan. Ufh…lagi lagi penderitaan! Bosan hati menafsirkan! Dia hanya ada dalam alam fikiran, dia adalah musuh yang kita ciptakan sediri kemudian kita dramatisir penganiayaanya. Dia datang pada setiap kehidupan yang rumit, complicated.

Diam kau wahai hati! Berhenti bertanya apalagi protes. Terima rasa hidup sebagai pembagian. Terima! Terima! Terima! Tanpa tanda tanya!

Dan kau wahai diri!
Telah bodoh masih bertingkah sombong dengan anggapan egois. Kamu bukan apa apa kecuali debu. Maka luruhlah ditempatmu, menjadi sesuatu yang tak berarti dimanapun berada.

Diam. Baiklah, diam. Mengunci mulut, menyumbat telinga. Tenggelam dalam kegelapan angan angan, tak ada masadepan maupun masasilam. Mustahil!!! Diam hanya karena hati letih mengeja kata kata, karena bathin lusuh diperbudak makna makna. Diam wahai diri! Diam wahai hati! Diamlah!

Diam! Just shut the hell up!!!! Jangan bertanya maupun berbisik tentang semua peristiwa!
Graha Simatupang, 2 Januari 2006